KUMPULAN MAKALAH EKONOMI DAN PERBANKAN SYARIAH
Blog ini berisi tentang kumpulan makalah ekonomi, perbankan syariah dan juga tugas mata kuliah lainya.
Monday, October 22, 2018
Wednesday, February 21, 2018
Tuesday, May 23, 2017
Sunday, April 16, 2017
Tuesday, November 15, 2016
PERADILAN ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
PEMBAHASAN
Abu
Bakar meneruskan sistem yang ditempuh oleh Nabi tanpa mengadakan perubahan
apapun. Karena beliau disibukkan dengan peperangan-peperangan untuk membasmi
kaum murtad, menundukkan orang Islam yang tidak mau membayar zakat,dan berbagai
rupa urusan politik dan pemerintahan.
Dalam
sebuah riwayat dijelaskan bahwa Abu Bakar menyerahkan urusan peradilan kepada
Umar bin Khatab lebih kurang dua tahun lamanya. Namun selama itu tidak ada
seorangpun yang dating untuk menyelesaikan suatu perkara, karena para sahabat
yang sedang berperkara itu mengetahui bahwa Umar adalah orang yang sangat
tegas, dan mereka pada waktu itu masih sangat besar toleransinya yang menyebabkan
tidak terjadinya persengketaan yang tidak wajar.[1]
a.
Al-qur'an.
b. Sunnah Rasul dan
keputusan-keputusan yang pernah dilaksanakan oleh Rasul.
c. Keterangan dari
sahabat lain atau para ahli ilmu.
d. Hasil
kesepakatan para pemimpin Negara dan ahli ilmu pengetahuan.
Lembaga
al-Qadla' pada masa ini belum dipisahkan dengan lembaga pemerintahan. Pada
tingkat pusat langsung dipegang oleh khalifah sendiri, sedangkan pada tingkat
daerah dipegang oleh gubernur (kepala daerah), belum diadakan pejabat yang
khusus untuk mengurus urusan peradilan secara tersendiri. Jadi kepala Negara
pada masa Abu Bakar bertidak sebagai orang yang memutus suatu perkara (Qadli) dan sebagai orang yang
melaksanakan putusan (munafidz) atau
melaksanakan eksekusi.[2]
Ketika
pemerintahan Islam dipegang oleh khalifah Umar bin Khatab, kekuasaan
pemerintahan Islam sudah bertambah luas sehingga pekeijaan yang harus
dilaksanakan oleh beliau bertambah banyak dan sulit bagi khalifah Umar untuk
menyelesaikan sendiri tugas-tugas tersebut. Dengan ini khalifah Umar memisahkan
tugas-tugas tersebut ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang peradilan.
Tidak saja di kota Madinah sebagai pusat pemerintahan, bahkan di kota-kota
tempat kediaman para gubernur, khalifah mengangkat pejabat peradilan (hakim)
untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di
antara hakim (qadli) yang diangkat khalifah Umar adalah Abu Darda' di Madinah, Syuraih
di Bashrah, dan Abu Musa Al-Asy'ary di Kufah dan Iraq.[3] Jadi orang yang pertama kali
memisahkan jabatan qadla' dengan jabatan pemerintahan dalam Islam adalah khalifah Umar
bin Khatab.
Sejak
khalifah Umar memisahkan tugas kehakiman dengan tugas pemerintahan, banyak
instruksi yang dibuatnya untuk pegangan para Qadli. Di antaranya adalah surat khalifah
Umar kepada Abu Musa al-Asy'ary yang isinya menjelaskan tentang peranan dan
tanggung jawab seorang Hakim Muslim. Di dalam surat khalifah Umar mengandung hokum
wajibnya qadla, pokok-pokok penyelesaian di muka sidang, serta asas-asas
pokok yang berkenaan dengan pelaksanaan peradilan Islam yaitu, asas keotentikan,
asas pengembangan, asas pembatalan suatu keputusan perkara, asas imparsialitas,
prinsip ketulusan dan niat baik, dan asas kejujuran. Bahkan hal-hal tersebut
disambut dan diterima baik oleh para Ulama' dan masih relevan hingga saat ini.[4]
Dalam
melaksanakan persidangan peradilan, khalifah Umar berpendapat bahwa tempat yang
paling baik adalah di masjid, karena masjid merupakan tempat yang mulia dan
suci. Sedangkan bagi orang non muslim, khalifah masih membenarkan untuk menyelesaikan
perselisihan mereka sendiri dengan hokum agama mereka asalkan tidak
bertentangan dengan ketentuan umum dan tidak mengganggu ketertiban Negara.
Diriwayatkan
bahwa umar pernah berkata kepada salah seorang Qadli demikian:
"Janganlah
dibawa ke hadapanku, kasus persengketaan yang bernilai satu atau dua dirham
".
Maksudnya,
khalifah Umar ketika mengangkat pejabat-pejabat qadli, beliau membatasi mereka khusus
tentang penyelesaian sengketa harta benda (urusan perdata), tetapi perkara
jinayah (pidana) yang menyangkut hokum qishas atau had-had maka tetap menjadi
wewenang khalifah dan penguasa daerah.[5]
Khalifah
Umar juga membentuk Dewan Fatwa yang bertujuan untuk member fatwa kepada yang
memerlukannya dan mencegah serta membetulkan fatwa-fatwa yang tidak benar dan
bertentangan dengan hokum syara'. Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Fatwa ini
digunakan oleh para qadli dalam memutus perkara yang mereka hadapi sepanjang
ketentuan hokum membenarkan. Anggota Dewan Fatwa ini adalah sahabat Rasul yang
mempunyai keahlian dalam bidang hokum syara' diantaranya, Ali bin Abi Thalib,
Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Abdurrahman bin ' Auf, dan
Ubay bin Ka'ab.
Selain
itu khalifah Umar juga membentuk lembaga yang menangani urusan kriminal dan
pidana yang disebut ahdath yaitu
pasukan polisi yang bertugas melindungi masyarakat dari segala hal yang dapat
mengganggu ketertiban. Polisi yang bertugas disebut
shohibul ahdath. Khalifah juga untuk pertama kalinya mengadakan
system pemenjaraan bagi pelaku kriminal atau pelaku jinayah lainnya. Beliau
membeli rumah Safwan bin Umayyah dan menjadikannya sebagai penjara. Ketentuan
yang dilakukan khalifah Umar ini juga dilakukan oleh para gubernur di daerah
masing-masing.
Ketika
jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan, system peradilan Islam yang
telah dibangun oleh khalifah Umar bin Khatab terus disempurnakan. Di antara
usaha-usaha yang dilaksanakan oleh Usman dalam bidang peradilan antara lain:
a. Membangun gedung
peradilan baik di kota Madinah maupun di daerah Gubernur, yang sebelumnya
pelaksanaan persidangan dilaksanakan di masjid.
b. Menyempurnakan
administrasi peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang mengurusi
administrasi peradilan.
c. Member gaji
kepada qadli dan stafnya yang diambilkan dari Baitul Mal.
d. Mengangkat Naib
Qadli, yaitu semacam panitera yang membantu tugas- tugas Qadli.[6]
Dalam
memberi hukum, Utsman mengambil dari Alquran, Sunnah, dan pendapat khalifah
sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para
sahabat.[7]
Pada
periode khalifah Ali bin Abi Thalib tidak banyak perubahan yang dilakukan dalam
bidang peradilan, mungkin ini disebabkan karena situasi Negara pada waktu itu
tidak stabil karena ada pihak-pihak yang tidak mengakui kekhalifahannya.
Kebijakan
yang dilakukan beliau hanya melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan oleh khalifah Ustman bin Affan dengan sedikit perubahan misalnya,
dalam bidang pengangkatan qadli, yang sebelumnya menjadi wewenang
penuhpemerintah pusat (khalifah), sekarang diserahkan kepada gubernur (kepala
daerah) untuk mengangkatnya.
Imam
Burhanuddin menguraikan sebuah riwayat ketika khalifah Ali bin Abi Thalib
melantik An-Nakha'I menjadi gubernur Mesir, beliau berpesan dalam bidang peradian sebagai berikut : " kemudian pilihlah untuk jabatan
qadli diantara rakyatmu yang engkau pandang sebagai orang yang terhormat dan
tidak disibukkan dengan urusan-urusan lain, anjurkan kepada mereka agar
bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang
sebenarnya, pilihlah orang-orang yang tidak sombong lantaran pujian, tidak
condong lantaran hasutan, kemudian perbanyaklah memberikan pesan-pesan
kepadanya dan berilah fasilitas yang dapat meringankan bebannya.
KESIMPULAN
1.
Peradilan Islam pada masa khalifah Abu Bakar belum
mengalami perubahan yang lebih karena masih disibukkan dengan permasalahan
memerangi orang murtad dan pembangkang menunaikan zakat. Peradilan pada masa
ini belum dipisahkan antara lembaga pemerintahan dan lembaga peradilan itu
sendiri. Dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul masih ditangani oleh
khalifah dan gubernur secara langsung.
2.
Peradilan Islam pada masa khalifah Umar bin Khattab
mengalami kemajuan yang sangat pesat dikarenakan semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam dan tugas yang di tanggung khalifah pada saat itu. Khalifah
Umar memisahkan lembaga pemerintahan dengan-lembaga peradilan sendiri-sendiri.
Kemudian diangkatnya para Qadli ditempatkan di setiap daerah peradilan yang di
bentuk, usaha-usaha beliau dalam perkembangan peradilan tampak pada dibentuknya
dewan fatwa, ahdath, tempat pemenjaraan bagi pelaku kriminal dan instruksi-instruksi
beliau kepada para Qadli yang dapat dijadikan sebagai asas pokok dalam
menyelesaikan masalah persidangan.
3.
Pada masa khalifah Utsman bin Affan system peradilan
semakin disempurnakan dengan melakukan usaha diantaranya, membangun gedung
peradilan yang sebelumnya berada di masjid, menyempurnakan administrasi
peradilan, memberi gaji kepada Qadli dan stafnya, mengangkat naib qadli atau
panitera.
4.
Sedangkan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib tidak
banyak melakukan perubahan terhadap system peradilan karena situasi Negara pada
waktu itu tidak stabil. Khalifah Ali hanya melanjutkan kebijakan-kebijakan dari
khalifah sebelumnya dan merubah sedikit kebijakan yaitu mengenai pengangkatan
Qadli yang dahulu dilakukan oleh khalifah secara langsung, pada masa ini
diserahkan kepada gubernur.
Tafsir QS Surah Al-Baqarah ayat 187 (II)
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. cqçR$tFørB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçų»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tF2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKt ãNä3s9 äÝøsø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsø:$# ÏuqóF{$# z`ÏB Ìôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@ø©9$# 4 wur Æèdrçų»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ßrßãn «!$# xsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ã ª!$# ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 cqà)Gt ÇÊÑÐÈ
B.
Terjemah Surah Al-Baqarah
avat 187
Artinya: "Dihalallkan bagi kamu pada
malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka aJalah
pakaian bagimu dan ki.mupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kcrm tukik dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dan benang hitam Yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu
san,,xi' (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang
kamu beri'tikaffl 15] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Atlah menerangkan ayat-avat- A'ya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa. [1]
bercampur
|
-
puasa
|
malam hari
|
bagi
kamu
|
Dihalalkan
|
Bagi
kalian
|
Pakaia
|
Mereka
|
isteri-isten
kamu;
|
Kepada/dengan
|
Allah
|
Telah
mengetahui
|
Bagi mereka
|
Pakaian
|
Dari kalian
|
Maka
Dia mengampuni
|
Diri
kalian
|
Khianat/ tidak dapat menahan
|
Kalian
adalah
|
Baliwasannya
kalian
|
Campurilah
mereka
(istri-istri)
|
Maka
sekarang
|
Dari/ kepada kalian
|
Dan
Dia memaafkan
|
Atas kalian
|
Untuk
kalian
|
Allah
|
Telah menetapkan
|
Apa
yang
|
Dan carilah
oleh kalian j
|
Oleh
kalian
|
Nyata/jelas
|
Sampai
|
Danminumlah
|
Dan makanlah
|
Hitam
|
Benang
|
Dari
|
Putih
|
Benang
|
Puasa
|
Sempurnakanlah
|
Kemudian
|
Waktu
fajar
|
Dari
|
Sedang
kalian
|
Kalian
campuri meraka
|
Dan jangan
|
Malam
|
sampai
|
Batas-batas
hukum
|
Itulah
|
Masjid
|
Dalam
|
Orang yang
i'tikaf
|
Menerangkan
|
Demikianlah
|
Kalian mendekatinya
|
Maka janganlah
|
Allah
|
(mereka)
bertakwa
|
Supaya mereka
|
Kepada manusia
|
Ayat- ayatnya
|
Allah
|
C. Tafsir
al-Mufradat
Lailata al-shiyami ialah malam liari puasa, besuknya seseorang berpuasa
Al-rofatsu = Menurut makna aslinya kata tersebut menunjuk pada segala
perkataan kotor. Namun dalam konteks ayat di atas kata rafatii menunjuk pada
ani seks dan segala yang menyebabkan.[2]
Al-libasu= Menghianati dirimu sendiri dengan melakukan perbuatan yang kamu sendiri
tabu bahwa perbuatan itu adalah haram
Tahtaanuna anfusakum= Mengkhianati dirimu sendiri dengan melakukan perbuatan yang
kamu sendiri tahu bahwa perbuatan itu adalah haram
Al-khoitu alyabyadhu= Putihnya tanda siang pada permulaan, yang warna sinarnya
sama seperti benang putih yang tipis dan panjang lama kelamaan menyebar
Alkhaithi al-aswadi= Gelapnya matahari yang pada mulanya berbentuk gelap seperti
benang di samping benang putih (sinar matahari) Mengerjakan secara sempurna.
mubaashirati= Bersentuhan antara dua jenis kulit. Yang dimaksud adalah
bersetubuh (lima').
al-i’tikafi: Menurut syari at Islam adalah diam di
masjid karena melakukan ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah [3]
D. Sabab al-Nuzul
Firman Allah SWT
"Dihalalkan bagi kan.u p icki malam hari puasa ... sampai akhir avat" (Surat Al-Baqarah ayat 187)
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari jalur
Abdurrahman bin Abi Laila dari Mu'az bin Jabal, katanya "Mereka biasa
makan makan minum dan mencampuri wanita-wanita selama mereka masih belum tidur.
Tetapi kalau sudah tidur, mereka tak hendak bercampur lagi. Kemudian ada
seorang laki-laki Ansar, Qais bin Sarmah namanya. Selelah melakukan salat isya
ia tidur dan tidak makan minum sampai pagi dan ia bangun pagi dalam keadaan
letih. Dalam pada itu Umar telah mencampuri istrinya setelah ia bangun tidur.
Ia datang kepada Nabi SAW. lalu menceritakan peristiwa dirinya. Maka Allah pun
menurunkan: "Dihalalkan bagi kan.u
mencampuri istri-istrimu... sampai dengan firnian-Nya: "Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam
" (Surat al-Baqarah ayat 187).
Hadis ini masyhur atau terkenal, diterima dan lbnu Abi Laila,
walaupun ia tidak pernah mendengarnya dari Mu'az. tetapi ia mempunya
saksi-saksi lain, misalnya yang dikeluarkan oieh Bukhari dari Barra', katanya:
"Biasanya para sahabat Nabi SAW. jika salah seorang diantara mereka berpuasa,
lalu datang waktu berbuka, kemudian ia tertidur sebelum berbuka, maka ia tidak
makan semalaman dan seharian itu sampai haii petang lagi. Kebetulan Qais bin
Sarmah berpuasa. Tatkala datang saat berbuka, dicampurinya istrinya, lalu
tanyanya. "Apakah kamu punya makanan?" Jawabnya" "Tidak,
tetapi saya akan pergi dan mencarikan makanan untukmu". Seharian Qais
bekerja, hingga ia tertidur lelap, dan ketika istrinya datang dan melihatnya,
maka katanya: "Sialan kamu!" Waktu tengah hari ia karena terlalu lelah,
tak sadarkan diri, lalu disampaikannya peristiwa itu kepada Nabi SAW maka
turunlah ayat yang berbunyi:
"Dihalalkan bagi kamu pada malam liari puasa dengan istri-isirimu "
(surah al-Baqarah ayat 187). Mereka amat bergembira dan berbesar hati
menerimanya. Di samping itu turun pui- "dan
makan minumlah hingga nyala bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar"
(surah al-Baqaral. ayat 187)
Pada ayat yang lalu diperintahkan kepada orang-orang mukmin
agar berpuasa pada Ramadhan dan melaksankannya dengan sebaik-beiknya serta
mencukupkan bilangannya, lalu mengagungkan Allah dengan bertakbir dan bersyukur
atas segala petunjuk yang diberikannya, maka pada ayat ini dijelaskan beberapa
hal yang berhubungan dengan kesempurnaan ibadah puasa.[4]
Pada masa-masa permulaan diwajibkannya puasa, bercampur S'iatnt- istri, makan dan minum itr.
terlarang apa bila yang bersangkutan lelah tidtr sesudah berbuka. Apabila dia
bangun tidur pada malam hari, meskipun belum fajar, tidak diperbolehkan
bercampur dap tidak hilal pula makan dan minum. Pernah terjadi, salah seorang
dari mereka belum mendapatkan makanan pada waktu berbuka, lalu dia tertidur.
Kemudian dia terbangun, maka tidak halal baginya untuk makan dan minum. Oleh
karena itu. dia berpuasa whishal 'bersambung'
dua hari. Maka, pada siang harinya, dia merasa sangai payah dan sampailah
berita tentang orang ini kepada Rasulullah SAW. sebagaimana sampai juga kepada
Beliau berita tentang seorang laki-laki yang tertidur sesudah berbuka atau
istrinya yang tertidur, terus timbul dorongannya untuk mencampuri istrinya,
kemudian ia lakukan hal itu.
Tampaklah keberatan kaum muslimin untuk menunaikan tugas ini,
lalu Allah mengembalikan mereka kepada kemudahan. Dan, pengalaman mereka masih
terasa di dalam hati, sehingga mereka dapat merasakan nilai kemudahan ini dan
betapa besarnya rahmat Allah dan pengabulan-Nya terhadap keinginan mereka.
Maka, turunlah ayat ini, yang menghalalkan bagi mereka untuk bercampur suami
istri pada waktu antara maghrib hingga fajar.
..............
"Dihalalkan bagi kamu ¡¡ada malam hari bulan puasa
bercamptir dengan istri-istri kamu."
"Rafast" itu adalah tindakan permulaan
untuk melakukan hubungan intim atau hubungan intim itu sendiri. Kedua hal ini
memang uimaksudkan di sini dan diperbolehkan Akan tetapi, al-Qur'an tidak
melewatkan makna ini begini saja tanpa memberikan sentuhan kasih sayang yang
penuh kelembu'an, keakraban, dan kasih sayang dalam hubungan suami istri,
menghindari makna kebinatangan yang kasar dan jorok, dan ditimbulkannya kesan
ketertutupan di dalam memudahkan hubungan ini.[5]
"Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah
bagian bagi mereka."
"Pakaian" itu adalah untuk menutupi dan
melindungi tubuh. Demikian pula dalam hubungan antara suami istri. Masing-masing
menutupi dan melindungi yang lain. Islam memberlakukan manusia dengan
eksistensinya sebagai adanya, dengan bangunan dan fitrahnya, dan membimbing
tangannya untuk menaiki targga ketinggian secara menyeluruh. Islam dengan
pandangannya memenuhi dorongan daging dan darah, dan meyertainya dengan ruh
yang ha'us, dan menyelimutinya dengan selimut yang halus ini pada suatn waktu.[6]
Diungkapkan kepada mereka perasaan yang tersembunyi,
disingkapkan kepadanya
rahmat Allah yang mengabulkan bisikan halus fitrahnya,
"Allah "lengetahui
bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu. Karena itu, Allah mengampuni kamu
dan memberi maaf kepadamu."
Ketidak mampuan menahan nafsu yang diceritakan kepada mereka
ini tergambar di dalam
suara-suara hati yang tertahan dan keinginan-keinginan yang dipendam, atau
tergambar dalam tindakan nyata sendiri, dan memang sebagian mereka
melakukannya. Dalam kedua keadaan ini, mereka diampuni dan dimaafkan oleh
Allah, sejak terlihatnya kelemahan mereka dan Allah mengetahui yang demikian
itu. Maka, Allah memperkenankan bagi meieka untuk melakukan apa yang tidak
dapat mereka tahan itu.
"Maka
sekarang campurilah mereka "
Akan tetapi, kebolehan ini tidak berlaku begitu saja tanpa
menghubungkannya dengan Allah dan tanpa mengarahkan jiwa dalam aktifitas ini
kepada Allah.
"Dan
carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu ".
Carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kamu ini, yailu
bersenang-senang antara suami-istri dan ber?enang-sena:ig dengan anak-anak
sebagai bualinva yang langsung. Keduanya itu adalah termasuk urusan Allah dan
termasuk kenikmatan yang diberikannya kepadamu Karena hal itu diperbolfelikan
dan diperkenankan ba.gi kamu, maka diperkenankan pula bagi kamu untuk
mencarinya. Hal ini selalu dihubungkan dengan Allah karena ia termasuk pemberian-Nya.
Dibaliknya terdapat hikmah dan perhitungan Karena itu, ia bukan sekedar
dorongan nafsu biologis yang berhubungan badan semata, terlepas dari ufuk
tertinggi yang menjadi arah tujuan semua aktifitas.[7]
Dengan demikian hubungan suami-istri ini dilakukan dengan
tujuan yang lebih besar dan untuk yang leb.h tinggi dari bumi dan daripada
kelezatan yang mereka rasakan, sehingga hubungan ini menjadi bersih, lembut dan
bermartabat.
Dengan memperhatikan isyarat-isyarat, pengarahan Qur'ani, dan
iashawwitr Islami
seperti ini, kita mengetahui nilai usaha yang membawa hasil lagi bijaksana yang
dilakukan untuk meningkatkan kemanusiaan dan mengembangkannya, dalam bingkai
fitrah, potensi dan karakter ciptaannya.
Demikianlah manhaj Islam di dalam mendidik, meningkatkan dan
mengembangkan. Manhaj yang keluar (timbul) dan tangan Sang Maha Pencipta.
Sedang Dia Maha Mengetahui terhadap apa yang Ia ciptakan dan Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahuis
Sebagaimana ia memperkenankan berhubungan suami-istri, pada
waktu yang sama ia memperkenankan makan dan minum.
"Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar".
Yakni, hingga cahaya membentang di ufuk dan puncak-puncak
gunung. Bukan lampaknya benang putih di langit yang dikenal dengan fajar kadzib.[8]
Berdasarkan beberapa riwayat mengenai batasan waktu imsak,
dapatlah kami katakan bahwa waktu imsak itu sebentar sebelum terbitnya
matahari. Sekarang, kita berimsak sesuai dengan waktu-waktu yang sudah
diketahui di daerah kita beberapa lama sebelum tiba waktu imsak menurut
syari'at dan kadang-kadang di tambah lagi demi kehati-hatian.
KESIMPULAN
Pada masa-masa permulaan diwajibkannya puasa, bercampur
suami-istri, makan dan minum itu terlarang apa bila yang bersangkutan telah
tidur sesudah berbuka Apabila dia bangun tidur pada malam hari, meskipun belum
fajar, tidak diperbolehkan bercampur dan tidak halal pula makan dan minum.
Pernah terjadi, salah seorang dari mereka belum mendapatkan makanan pada waktu
berbuka, lalu dia tertidur. Kemudian dia terbangun, maka tidak halal baginya
untuk makan dan minum.
Hubungan suami-istri in, dilakukan dengan tujuan yang lebih
besar dan untuk yang lebih tinggi dari bumi dan daripada kelezatan yang ineieka
rasakan, sehingga bubungan ini menjadi bersih, lembut dan bermartabat.
Dengan memperhatikan isyarat-isyarat, pengarahan Qur'ani, dan
tashawwur Islami
seperti ini; kila mengetahui nilai usaha yang membawa hasil lagi bijaksana yang
dilakukan untuk meningkatkan kemanusiaan dan mengembangkannya, dalam bingkai
fitrah, potensi dan karakter ciptaannya
. Sebagaimana Ia memperkenankan berhubungan suami-istri. pada
waktu yang sama ia memperkenankan ir.akan dan minum.
"Dan makan minumlah hingga terang bayimu benang puuh dan
berang hitam, yaitu fajar".
Yakni, hingga cahaya membentang di ufuk dan puncak-puncak
gunung Bukan tampaknya benang putih di langit yang dikenal dengan fajar
kadzib
Berdasarkan beberapa riwayat mengenai batasan waktu imsak,
dapatlah kami katakan bahwa waktu imsak itu sebentar -sebelum terbitnya
matahari Sekarang, kita berimsak sesuai dengan waktu-waktu yang sudah diketahui
di daerah kita beberapa lama sebelum tiba waktu imsak menurut syari'at dan
kadang-kadang di tambah lagi demi kehati-hatian.
Abubakar,
Bahrun.
Terjemahan Tafsir Jalalain He-Aui Ashahun Nuzul .Jilid /, Bandung: Sinar Bani Algensindo, 2003
Al-Maraghi, Alimad Mustafa
Terjemahan Tafsir Al-Maraghi Ju: II, Semarang: PT
Karya Telia Putra Semarang, 1993.
Aminuddin. Lutfi Hadi
Tafsir Avai Ahkam, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.
Departemen
Agama RI. Al-Our'an dan Tafsirnya (Edisi yang
Disempurnakan), Jakarta: Departemen Agama RI. 2009
Yasin, As'ad, dkk. Terjemahan Tafsir T'ii Zhilalil Our'an Jilid !-IO, Jakarta Gema Insani Press, 2000
Subscribe to:
Posts (Atom)