Tuesday, November 15, 2016

PERADILAN ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN

PEMBAHASAN

Abu Bakar meneruskan sistem yang ditempuh oleh Nabi tanpa mengadakan perubahan apapun. Karena beliau disibukkan dengan peperangan-peperangan untuk membasmi kaum murtad, menundukkan orang Islam yang tidak mau membayar zakat,dan berbagai rupa urusan politik dan pemerintahan.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Abu Bakar menyerahkan urusan peradilan kepada Umar bin Khatab lebih kurang dua tahun lamanya. Namun selama itu tidak ada seorangpun yang dating untuk menyelesaikan suatu perkara, karena para sahabat yang sedang berperkara itu mengetahui bahwa Umar adalah orang yang sangat tegas, dan mereka pada waktu itu masih sangat besar toleransinya yang menyebabkan tidak terjadinya persengketaan yang tidak wajar.[1]
Dasar hukum yang digunaka khalifah abu Bakar ketika memutus suatu perkara yaitu:
a.       Al-qur'an.
b.      Sunnah Rasul dan keputusan-keputusan yang pernah dilaksanakan oleh Rasul.
c.       Keterangan dari sahabat lain atau para ahli ilmu.
d.      Hasil kesepakatan para pemimpin Negara dan ahli ilmu pengetahuan.
Lembaga al-Qadla' pada masa ini belum dipisahkan dengan lembaga pemerintahan. Pada tingkat pusat langsung dipegang oleh khalifah sendiri, sedangkan pada tingkat daerah dipegang oleh gubernur (kepala daerah), belum diadakan pejabat yang khusus untuk mengurus urusan peradilan secara tersendiri. Jadi kepala Negara pada masa Abu Bakar bertidak sebagai orang yang memutus suatu perkara (Qadli) dan sebagai orang yang melaksanakan putusan (munafidz) atau melaksanakan eksekusi.[2]
Ketika pemerintahan Islam dipegang oleh khalifah Umar bin Khatab, kekuasaan pemerintahan Islam sudah bertambah luas sehingga pekeijaan yang harus dilaksanakan oleh beliau bertambah banyak dan sulit bagi khalifah Umar untuk menyelesaikan sendiri tugas-tugas tersebut. Dengan ini khalifah Umar memisahkan tugas-tugas tersebut ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang peradilan. Tidak saja di kota Madinah sebagai pusat pemerintahan, bahkan di kota-kota tempat kediaman para gubernur, khalifah mengangkat pejabat peradilan (hakim) untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di antara hakim (qadli) yang diangkat khalifah Umar adalah Abu Darda' di Madinah, Syuraih di Bashrah, dan Abu Musa Al-Asy'ary di Kufah dan Iraq.[3] Jadi orang yang pertama kali memisahkan jabatan qadla' dengan jabatan pemerintahan dalam Islam adalah khalifah Umar bin Khatab.
Sejak khalifah Umar memisahkan tugas kehakiman dengan tugas pemerintahan, banyak instruksi yang dibuatnya untuk pegangan para Qadli. Di antaranya adalah surat khalifah Umar kepada Abu Musa al-Asy'ary yang isinya menjelaskan tentang peranan dan tanggung jawab seorang Hakim Muslim. Di dalam surat khalifah Umar mengandung hokum wajibnya qadla, pokok-pokok penyelesaian di muka sidang, serta asas-asas pokok yang berkenaan dengan pelaksanaan peradilan Islam yaitu, asas keotentikan, asas pengembangan, asas pembatalan suatu keputusan perkara, asas imparsialitas, prinsip ketulusan dan niat baik, dan asas kejujuran. Bahkan hal-hal tersebut disambut dan diterima baik oleh para Ulama' dan masih relevan hingga saat ini.[4]
Dalam melaksanakan persidangan peradilan, khalifah Umar berpendapat bahwa tempat yang paling baik adalah di masjid, karena masjid merupakan tempat yang mulia dan suci. Sedangkan bagi orang non muslim, khalifah masih membenarkan untuk menyelesaikan perselisihan mereka sendiri dengan hokum agama mereka asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan umum dan tidak mengganggu ketertiban Negara.
Diriwayatkan bahwa umar pernah berkata kepada salah seorang Qadli demikian:
"Janganlah dibawa ke hadapanku, kasus persengketaan yang bernilai satu atau dua dirham ".
Maksudnya, khalifah Umar ketika mengangkat pejabat-pejabat qadli, beliau membatasi mereka khusus tentang penyelesaian sengketa harta benda (urusan perdata), tetapi perkara jinayah (pidana) yang menyangkut hokum qishas atau had-had maka tetap menjadi wewenang khalifah dan penguasa daerah.[5]
Khalifah Umar juga membentuk Dewan Fatwa yang bertujuan untuk member fatwa kepada yang memerlukannya dan mencegah serta membetulkan fatwa-fatwa yang tidak benar dan bertentangan dengan hokum syara'. Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Fatwa ini digunakan oleh para qadli dalam memutus perkara yang mereka hadapi sepanjang ketentuan hokum membenarkan. Anggota Dewan Fatwa ini adalah sahabat Rasul yang mempunyai keahlian dalam bidang hokum syara' diantaranya, Ali bin Abi Thalib, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Abdurrahman bin ' Auf, dan Ubay bin Ka'ab.
Selain itu khalifah Umar juga membentuk lembaga yang menangani urusan kriminal dan pidana yang disebut ahdath yaitu pasukan polisi yang bertugas melindungi masyarakat dari segala hal yang dapat mengganggu ketertiban. Polisi yang bertugas disebut shohibul ahdath. Khalifah juga untuk pertama kalinya mengadakan system pemenjaraan bagi pelaku kriminal atau pelaku jinayah lainnya. Beliau membeli rumah Safwan bin Umayyah dan menjadikannya sebagai penjara. Ketentuan yang dilakukan khalifah Umar ini juga dilakukan oleh para gubernur di daerah masing-masing.
Ketika jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan, system peradilan Islam yang telah dibangun oleh khalifah Umar bin Khatab terus disempurnakan. Di antara usaha-usaha yang dilaksanakan oleh Usman dalam bidang peradilan antara lain:
a.      Membangun gedung peradilan baik di kota Madinah maupun di daerah Gubernur, yang sebelumnya pelaksanaan persidangan dilaksanakan di masjid.
b.     Menyempurnakan administrasi peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang mengurusi administrasi peradilan.
c.      Member gaji kepada qadli dan stafnya yang diambilkan dari Baitul Mal.
d.     Mengangkat Naib Qadli, yaitu semacam panitera yang membantu tugas- tugas Qadli.[6]
Dalam memberi hukum, Utsman mengambil dari Alquran, Sunnah, dan pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.[7]
Pada periode khalifah Ali bin Abi Thalib tidak banyak perubahan yang dilakukan dalam bidang peradilan, mungkin ini disebabkan karena situasi Negara pada waktu itu tidak stabil karena ada pihak-pihak yang tidak mengakui kekhalifahannya.
Kebijakan yang dilakukan beliau hanya melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh khalifah Ustman bin Affan dengan sedikit perubahan misalnya, dalam bidang pengangkatan qadli, yang sebelumnya menjadi wewenang penuhpemerintah pusat (khalifah), sekarang diserahkan kepada gubernur (kepala daerah) untuk mengangkatnya.
Imam Burhanuddin menguraikan sebuah riwayat ketika khalifah Ali bin Abi Thalib melantik An-Nakha'I menjadi gubernur Mesir, beliau berpesan dalam bidang peradian sebagai berikut : "    kemudian pilihlah untuk jabatan qadli diantara rakyatmu yang engkau pandang sebagai orang yang terhormat dan tidak disibukkan dengan urusan-urusan lain, anjurkan kepada mereka agar bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang sebenarnya, pilihlah orang-orang yang tidak sombong lantaran pujian, tidak condong lantaran hasutan, kemudian perbanyaklah memberikan pesan-pesan kepadanya dan berilah fasilitas yang dapat meringankan bebannya.

KESIMPULAN

1.   Peradilan Islam pada masa khalifah Abu Bakar belum mengalami perubahan yang lebih karena masih disibukkan dengan permasalahan memerangi orang murtad dan pembangkang menunaikan zakat. Peradilan pada masa ini belum dipisahkan antara lembaga pemerintahan dan lembaga peradilan itu sendiri. Dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul masih ditangani oleh khalifah dan gubernur secara langsung.
2.   Peradilan Islam pada masa khalifah Umar bin Khattab mengalami kemajuan yang sangat pesat dikarenakan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam dan tugas yang di tanggung khalifah pada saat itu. Khalifah Umar memisahkan lembaga pemerintahan dengan-lembaga peradilan sendiri-sendiri. Kemudian diangkatnya para Qadli ditempatkan di setiap daerah peradilan yang di bentuk, usaha-usaha beliau dalam perkembangan peradilan tampak pada dibentuknya dewan fatwa, ahdath, tempat pemenjaraan bagi pelaku kriminal dan instruksi-instruksi beliau kepada para Qadli yang dapat dijadikan sebagai asas pokok dalam menyelesaikan masalah persidangan.
3.   Pada masa khalifah Utsman bin Affan system peradilan semakin disempurnakan dengan melakukan usaha diantaranya, membangun gedung peradilan yang sebelumnya berada di masjid, menyempurnakan administrasi peradilan, memberi gaji kepada Qadli dan stafnya, mengangkat naib qadli atau panitera.
4.   Sedangkan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib tidak banyak melakukan perubahan terhadap system peradilan karena situasi Negara pada waktu itu tidak stabil. Khalifah Ali hanya melanjutkan kebijakan-kebijakan dari khalifah sebelumnya dan merubah sedikit kebijakan yaitu mengenai pengangkatan Qadli yang dahulu dilakukan oleh khalifah secara langsung, pada masa ini diserahkan kepada gubernur.



' Teungku Muhammad Hasby As-Siddiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), 14.
[2] Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), 81.
[3]    Abdur Rahman I, Syari'ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), 24.
[4]     http//. Asas-As'as Peradilan Islam. Google. Com.
[5] Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu,1993), 42.
[6]    Abdul Manan, 83.
[7] http://google. Peradilan pada Masa Khulafaur Rasyidin. Com.

Tafsir QS Surah Al-Baqarah ayat 187 (II)

A.    Teks Surah Al-Baqarah ayat 187
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. šcqçR$tFøƒrB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçŽÅ³»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tFŸ2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$# 4 Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ムª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcqà)­Gtƒ ÇÊÑÐÈ  

B.     Terjemah Surah Al-Baqarah avat 187
Artinya: "Dihalallkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka aJalah pakaian bagimu dan ki.mupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kcrm tukik dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam Yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu san,,xi' (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaffl 15] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Atlah menerangkan ayat-avat- A'ya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. [1]





bercampur
- puasa
malam hari
bagi kamu
Dihalalkan





Bagi kalian
Pakaia
Mereka
isteri-isten
kamu;
Kepada/dengan





Allah
Telah mengetahui
Bagi mereka
Pakaian
Dari kalian





Maka Dia mengampuni
Diri kalian
Khianat/ tidak dapat menahan
Kalian adalah
Baliwasannya kalian





Campurilah
mereka (istri-istri)
Maka sekarang
Dari/ kepada kalian
Dan Dia memaafkan
Atas kalian





Untuk kalian
Allah
Telah menetapkan
Apa yang
Dan carilah oleh kalian j





Oleh kalian
Nyata/jelas
Sampai
Danminumlah
Dan makanlah





Hitam
Benang
Dari
Putih
Benang





Puasa
Sempurnakanlah
Kemudian
Waktu fajar
Dari





Sedang kalian
Kalian campuri meraka
Dan jangan
Malam
sampai





Batas-batas hukum
Itulah
Masjid
Dalam
Orang yang i'tikaf





Menerang­kan
Demikianlah
Kalian mendekati­nya
Maka janganlah
Allah





(mereka) bertakwa
Supaya mereka
Kepada manusia
Ayat- ayatnya
Allah


C.     Tafsir al-Mufradat
Lailata al-shiyami ialah malam liari puasa, besuknya seseorang berpuasa
Al-rofatsu = Menurut makna aslinya kata tersebut menunjuk pada segala perkataan kotor. Namun dalam konteks ayat di atas kata rafatii menunjuk pada ani seks dan segala yang menyebabkan.[2]
Al-libasu= Menghianati dirimu sendiri dengan melakukan perbuatan yang kamu sendiri tabu bahwa perbuatan itu adalah haram
Tahtaanuna anfusakum= Mengkhianati dirimu sendiri dengan melakukan perbuatan yang kamu sendiri tahu bahwa perbuatan itu adalah haram
Al-khoitu alyabyadhu= Putihnya tanda siang pada permulaan, yang warna sinarnya sama seperti benang putih yang tipis dan panjang lama kelamaan menyebar
Alkhaithi al-aswadi= Gelapnya matahari yang pada mulanya berbentuk gelap seperti benang di samping benang putih (sinar matahari) Mengerjakan secara sempurna.
mubaashirati= Bersentuhan antara dua jenis kulit. Yang dimaksud adalah bersetubuh (lima').
al-i’tikafi: Menurut syari at Islam adalah diam di masjid karena melakukan ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah [3]
D.    Sabab al-Nuzul
Firman Allah SWT
"Dihalalkan bagi kan.u p icki malam hari puasa ... sampai akhir avat" (Surat Al-Baqarah ayat 187)
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari jalur Abdurrahman bin Abi Laila dari Mu'az bin Jabal, katanya "Mereka biasa makan makan minum dan mencampuri wanita-wanita selama mereka masih belum tidur. Tetapi kalau sudah tidur, mereka tak hendak bercampur lagi. Kemudian ada seorang laki-laki Ansar, Qais bin Sarmah namanya. Selelah melakukan salat isya ia tidur dan tidak makan minum sampai pagi dan ia bangun pagi dalam keadaan letih. Dalam pada itu Umar telah mencampuri istrinya setelah ia bangun tidur. Ia datang kepada Nabi SAW. lalu menceritakan peristiwa dirinya. Maka Allah pun menurunkan: "Dihalalkan bagi kan.u mencampuri istri-istrimu... sampai dengan firnian-Nya: "Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam " (Surat al-Baqarah ayat 187).
Hadis ini masyhur atau terkenal, diterima dan lbnu Abi Laila, walaupun ia tidak pernah mendengarnya dari Mu'az. tetapi ia mempunya saksi-saksi lain, misalnya yang dikeluarkan oieh Bukhari dari Barra', katanya: "Biasanya para sahabat Nabi SAW. jika salah seorang diantara mereka berpuasa, lalu datang waktu berbuka, kemudian ia tertidur sebelum berbuka, maka ia tidak makan semalaman dan seharian itu sampai haii petang lagi. Kebetulan Qais bin Sarmah berpuasa. Tatkala datang saat berbuka, dicampurinya istrinya, lalu tanyanya. "Apakah kamu punya makanan?" Jawabnya" "Tidak, tetapi saya akan pergi dan mencarikan makanan untukmu". Seharian Qais bekerja, hingga ia tertidur lelap, dan ketika istrinya datang dan melihatnya, maka katanya: "Sialan kamu!" Waktu tengah hari ia karena terlalu lelah, tak sadarkan diri, lalu disampaikannya peristiwa itu kepada Nabi SAW maka turunlah ayat yang berbunyi: "Dihalalkan bagi kamu pada malam liari puasa dengan istri-isirimu " (surah al-Baqarah ayat 187). Mereka amat bergembira dan berbesar hati menerimanya. Di samping itu turun pui- "dan makan minumlah hingga nyala bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar" (surah al-Baqaral. ayat 187)


Pada ayat yang lalu diperintahkan kepada orang-orang mukmin agar berpuasa pada Ramadhan dan melaksankannya dengan sebaik-beiknya serta mencukupkan bilangannya, lalu mengagungkan Allah dengan bertakbir dan bersyukur atas segala petunjuk yang diberikannya, maka pada ayat ini dijelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan kesempurnaan ibadah puasa.[4]
Pada masa-masa permulaan diwajibkannya puasa, bercampur S'iatnt- istri, makan dan minum itr. terlarang apa bila yang bersangkutan lelah tidtr sesudah berbuka. Apabila dia bangun tidur pada malam hari, meskipun belum fajar, tidak diperbolehkan bercampur dap tidak hilal pula makan dan minum. Pernah terjadi, salah seorang dari mereka belum mendapatkan makanan pada waktu berbuka, lalu dia tertidur. Kemudian dia terbangun, maka tidak halal baginya untuk makan dan minum. Oleh karena itu. dia berpuasa whishal 'bersambung' dua hari. Maka, pada siang harinya, dia merasa sangai payah dan sampailah berita tentang orang ini kepada Rasulullah SAW. sebagaimana sampai juga kepada Beliau berita tentang seorang laki-laki yang tertidur sesudah berbuka atau istrinya yang tertidur, terus timbul dorongannya untuk mencampuri istrinya, kemudian ia lakukan hal itu.
Tampaklah keberatan kaum muslimin untuk menunaikan tugas ini, lalu Allah mengembalikan mereka kepada kemudahan. Dan, pengalaman mereka masih terasa di dalam hati, sehingga mereka dapat merasakan nilai kemudahan ini dan betapa besarnya rahmat Allah dan pengabulan-Nya terhadap keinginan mereka. Maka, turunlah ayat ini, yang menghalalkan bagi mereka untuk bercampur suami istri pada waktu antara maghrib hingga fajar.
..............
"Dihalalkan bagi kamu ¡¡ada malam hari bulan puasa bercamptir dengan istri-istri kamu."
"Rafast" itu adalah tindakan permulaan untuk melakukan hubungan intim atau hubungan intim itu sendiri. Kedua hal ini memang uimaksudkan di sini dan diperbolehkan Akan tetapi, al-Qur'an tidak melewatkan makna ini begini saja tanpa memberikan sentuhan kasih sayang yang penuh kelembu'an, keakraban, dan kasih sayang dalam hubungan suami istri, menghindari makna kebinatangan yang kasar dan jorok, dan ditimbulkannya kesan ketertutupan di dalam memudahkan hubungan ini.[5]
"Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah bagian bagi mereka."
"Pakaian" itu adalah untuk menutupi dan melindungi tubuh. Demikian pula dalam hubungan antara suami istri. Masing-masing menutupi dan melindungi yang lain. Islam memberlakukan manusia dengan eksistensinya sebagai adanya, dengan bangunan dan fitrahnya, dan membimbing tangannya untuk menaiki targga ketinggian secara menyeluruh. Islam dengan pandangannya memenuhi dorongan daging dan darah, dan meyertainya dengan ruh yang ha'us, dan menyelimutinya dengan selimut yang halus ini pada suatn waktu.[6]
Diungkapkan kepada mereka perasaan yang tersembunyi, disingkapkan kepadanya rahmat Allah yang mengabulkan bisikan halus fitrahnya,
"Allah "lengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu. Karena itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu."
Ketidak mampuan menahan nafsu yang diceritakan kepada mereka ini tergambar di dalam suara-suara hati yang tertahan dan keinginan-keinginan yang dipendam, atau tergambar dalam tindakan nyata sendiri, dan memang sebagian mereka melakukannya. Dalam kedua keadaan ini, mereka diampuni dan dimaafkan oleh Allah, sejak terlihatnya kelemahan mereka dan Allah mengetahui yang demikian itu. Maka, Allah memperkenankan bagi meieka untuk melakukan apa yang tidak dapat mereka tahan itu.
"Maka sekarang campurilah mereka "
Akan tetapi, kebolehan ini tidak berlaku begitu saja tanpa menghubungkannya dengan Allah dan tanpa mengarahkan jiwa dalam aktifitas ini kepada Allah.
"Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu ".
Carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kamu ini, yailu bersenang-senang antara suami-istri dan ber?enang-sena:ig dengan anak-anak sebagai bualinva yang langsung. Keduanya itu adalah termasuk urusan Allah dan termasuk kenikmatan yang diberikannya kepadamu Karena hal itu diperbolfelikan dan diperkenankan ba.gi kamu, maka diperkenankan pula bagi kamu untuk mencarinya. Hal ini selalu dihubungkan dengan Allah karena ia termasuk pemberian-Nya. Dibaliknya terdapat hikmah dan perhitungan Karena itu, ia bukan sekedar dorongan nafsu biologis yang berhubungan badan semata, terlepas dari ufuk tertinggi yang menjadi arah tujuan semua aktifitas.[7]
Dengan demikian hubungan suami-istri ini dilakukan dengan tujuan yang lebih besar dan untuk yang leb.h tinggi dari bumi dan daripada kelezatan yang mereka rasakan, sehingga hubungan ini menjadi bersih, lembut dan bermartabat.
Dengan memperhatikan isyarat-isyarat, pengarahan Qur'ani, dan iashawwitr Islami seperti ini, kita mengetahui nilai usaha yang membawa hasil lagi bijaksana yang dilakukan untuk meningkatkan kemanusiaan dan mengembangkannya, dalam bingkai fitrah, potensi dan karakter ciptaannya.
Demikianlah manhaj Islam di dalam mendidik, meningkatkan dan mengembangkan. Manhaj yang keluar (timbul) dan tangan Sang Maha Pencipta. Sedang Dia Maha Mengetahui terhadap apa yang Ia ciptakan dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahuis
Sebagaimana ia memperkenankan berhubungan suami-istri, pada waktu yang sama ia memperkenankan makan dan minum.
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar".
Yakni, hingga cahaya membentang di ufuk dan puncak-puncak gunung. Bukan lampaknya benang putih di langit yang dikenal dengan fajar kadzib.[8]
Berdasarkan beberapa riwayat mengenai batasan waktu imsak, dapatlah kami katakan bahwa waktu imsak itu sebentar sebelum terbitnya matahari. Sekarang, kita berimsak sesuai dengan waktu-waktu yang sudah diketahui di daerah kita beberapa lama sebelum tiba waktu imsak menurut syari'at dan kadang-kadang di tambah lagi demi kehati-hatian.

KESIMPULAN

Pada masa-masa permulaan diwajibkannya puasa, bercampur suami-istri, makan dan minum itu terlarang apa bila yang bersangkutan telah tidur sesudah berbuka Apabila dia bangun tidur pada malam hari, meskipun belum fajar, tidak diperbolehkan bercampur dan tidak halal pula makan dan minum. Pernah terjadi, salah seorang dari mereka belum mendapatkan makanan pada waktu berbuka, lalu dia tertidur. Kemudian dia terbangun, maka tidak halal baginya untuk makan dan minum.
Hubungan suami-istri in, dilakukan dengan tujuan yang lebih besar dan untuk yang lebih tinggi dari bumi dan daripada kelezatan yang ineieka rasakan, sehingga bubungan ini menjadi bersih, lembut dan bermartabat.
Dengan memperhatikan isyarat-isyarat, pengarahan Qur'ani, dan tashawwur Islami seperti ini; kila mengetahui nilai usaha yang membawa hasil lagi bijaksana yang dilakukan untuk meningkatkan kemanusiaan dan mengembangkannya, dalam bingkai fitrah, potensi dan karakter ciptaannya
. Sebagaimana Ia memperkenankan berhubungan suami-istri. pada waktu yang sama ia memperkenankan ir.akan dan minum.
"Dan makan minumlah hingga terang bayimu benang puuh dan berang hitam, yaitu fajar".
Yakni, hingga cahaya membentang di ufuk dan puncak-puncak gunung Bukan tampaknya benang putih di langit yang dikenal dengan fajar kadzib
Berdasarkan beberapa riwayat mengenai batasan waktu imsak, dapatlah kami katakan bahwa waktu imsak itu sebentar -sebelum terbitnya matahari Sekarang, kita berimsak sesuai dengan waktu-waktu yang sudah diketahui di daerah kita beberapa lama sebelum tiba waktu imsak menurut syari'at dan kadang-kadang di tambah lagi demi kehati-hatian.

Abubakar, Bahrun. Terjemahan Tafsir Jalalain He-Aui Ashahun Nuzul .Jilid /, Bandung: Sinar Bani Algensindo, 2003
Al-Maraghi, Alimad Mustafa Terjemahan Tafsir Al-Maraghi Ju: II, Semarang: PT Karya Telia Putra Semarang, 1993.
Aminuddin. Lutfi Hadi Tafsir Avai Ahkam, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.
Departemen Agama RI. Al-Our'an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), Jakarta: Departemen Agama RI. 2009
Yasin, As'ad, dkk. Terjemahan Tafsir T'ii Zhilalil Our'an Jilid !-IO, Jakarta Gema Insani Press, 2000



[1]
[2] Lulfi Hadi Aminuddin. Tafsir Ayal Alikam. (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press. 2008, 103.
[3] Ahmad Mustala Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi Ju: II. (Semarang PT Karya Toha Putra Semarang. 1993). 134
Baru Algensindo, 2003) 187 J Departemen Agama RI. At-Ouran dan Tafsirnya (ICdisi yang Disempurnakan). (Jakarta
Departemen Agama RI, 2009). 277
' Asad Y asin. dkk. Terjemahan Tafsir Fii ZhitatU Our an Jilid 1-10, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000). 208.
[6] Ibid.
[7] Ibid,.
[8] Ibid.. 209