PEMBAHASAN
Abu
Bakar meneruskan sistem yang ditempuh oleh Nabi tanpa mengadakan perubahan
apapun. Karena beliau disibukkan dengan peperangan-peperangan untuk membasmi
kaum murtad, menundukkan orang Islam yang tidak mau membayar zakat,dan berbagai
rupa urusan politik dan pemerintahan.
Dalam
sebuah riwayat dijelaskan bahwa Abu Bakar menyerahkan urusan peradilan kepada
Umar bin Khatab lebih kurang dua tahun lamanya. Namun selama itu tidak ada
seorangpun yang dating untuk menyelesaikan suatu perkara, karena para sahabat
yang sedang berperkara itu mengetahui bahwa Umar adalah orang yang sangat
tegas, dan mereka pada waktu itu masih sangat besar toleransinya yang menyebabkan
tidak terjadinya persengketaan yang tidak wajar.[1]
a.
Al-qur'an.
b. Sunnah Rasul dan
keputusan-keputusan yang pernah dilaksanakan oleh Rasul.
c. Keterangan dari
sahabat lain atau para ahli ilmu.
d. Hasil
kesepakatan para pemimpin Negara dan ahli ilmu pengetahuan.
Lembaga
al-Qadla' pada masa ini belum dipisahkan dengan lembaga pemerintahan. Pada
tingkat pusat langsung dipegang oleh khalifah sendiri, sedangkan pada tingkat
daerah dipegang oleh gubernur (kepala daerah), belum diadakan pejabat yang
khusus untuk mengurus urusan peradilan secara tersendiri. Jadi kepala Negara
pada masa Abu Bakar bertidak sebagai orang yang memutus suatu perkara (Qadli) dan sebagai orang yang
melaksanakan putusan (munafidz) atau
melaksanakan eksekusi.[2]
Ketika
pemerintahan Islam dipegang oleh khalifah Umar bin Khatab, kekuasaan
pemerintahan Islam sudah bertambah luas sehingga pekeijaan yang harus
dilaksanakan oleh beliau bertambah banyak dan sulit bagi khalifah Umar untuk
menyelesaikan sendiri tugas-tugas tersebut. Dengan ini khalifah Umar memisahkan
tugas-tugas tersebut ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang peradilan.
Tidak saja di kota Madinah sebagai pusat pemerintahan, bahkan di kota-kota
tempat kediaman para gubernur, khalifah mengangkat pejabat peradilan (hakim)
untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di
antara hakim (qadli) yang diangkat khalifah Umar adalah Abu Darda' di Madinah, Syuraih
di Bashrah, dan Abu Musa Al-Asy'ary di Kufah dan Iraq.[3] Jadi orang yang pertama kali
memisahkan jabatan qadla' dengan jabatan pemerintahan dalam Islam adalah khalifah Umar
bin Khatab.
Sejak
khalifah Umar memisahkan tugas kehakiman dengan tugas pemerintahan, banyak
instruksi yang dibuatnya untuk pegangan para Qadli. Di antaranya adalah surat khalifah
Umar kepada Abu Musa al-Asy'ary yang isinya menjelaskan tentang peranan dan
tanggung jawab seorang Hakim Muslim. Di dalam surat khalifah Umar mengandung hokum
wajibnya qadla, pokok-pokok penyelesaian di muka sidang, serta asas-asas
pokok yang berkenaan dengan pelaksanaan peradilan Islam yaitu, asas keotentikan,
asas pengembangan, asas pembatalan suatu keputusan perkara, asas imparsialitas,
prinsip ketulusan dan niat baik, dan asas kejujuran. Bahkan hal-hal tersebut
disambut dan diterima baik oleh para Ulama' dan masih relevan hingga saat ini.[4]
Dalam
melaksanakan persidangan peradilan, khalifah Umar berpendapat bahwa tempat yang
paling baik adalah di masjid, karena masjid merupakan tempat yang mulia dan
suci. Sedangkan bagi orang non muslim, khalifah masih membenarkan untuk menyelesaikan
perselisihan mereka sendiri dengan hokum agama mereka asalkan tidak
bertentangan dengan ketentuan umum dan tidak mengganggu ketertiban Negara.
Diriwayatkan
bahwa umar pernah berkata kepada salah seorang Qadli demikian:
"Janganlah
dibawa ke hadapanku, kasus persengketaan yang bernilai satu atau dua dirham
".
Maksudnya,
khalifah Umar ketika mengangkat pejabat-pejabat qadli, beliau membatasi mereka khusus
tentang penyelesaian sengketa harta benda (urusan perdata), tetapi perkara
jinayah (pidana) yang menyangkut hokum qishas atau had-had maka tetap menjadi
wewenang khalifah dan penguasa daerah.[5]
Khalifah
Umar juga membentuk Dewan Fatwa yang bertujuan untuk member fatwa kepada yang
memerlukannya dan mencegah serta membetulkan fatwa-fatwa yang tidak benar dan
bertentangan dengan hokum syara'. Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Fatwa ini
digunakan oleh para qadli dalam memutus perkara yang mereka hadapi sepanjang
ketentuan hokum membenarkan. Anggota Dewan Fatwa ini adalah sahabat Rasul yang
mempunyai keahlian dalam bidang hokum syara' diantaranya, Ali bin Abi Thalib,
Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Abdurrahman bin ' Auf, dan
Ubay bin Ka'ab.
Selain
itu khalifah Umar juga membentuk lembaga yang menangani urusan kriminal dan
pidana yang disebut ahdath yaitu
pasukan polisi yang bertugas melindungi masyarakat dari segala hal yang dapat
mengganggu ketertiban. Polisi yang bertugas disebut
shohibul ahdath. Khalifah juga untuk pertama kalinya mengadakan
system pemenjaraan bagi pelaku kriminal atau pelaku jinayah lainnya. Beliau
membeli rumah Safwan bin Umayyah dan menjadikannya sebagai penjara. Ketentuan
yang dilakukan khalifah Umar ini juga dilakukan oleh para gubernur di daerah
masing-masing.
Ketika
jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan, system peradilan Islam yang
telah dibangun oleh khalifah Umar bin Khatab terus disempurnakan. Di antara
usaha-usaha yang dilaksanakan oleh Usman dalam bidang peradilan antara lain:
a. Membangun gedung
peradilan baik di kota Madinah maupun di daerah Gubernur, yang sebelumnya
pelaksanaan persidangan dilaksanakan di masjid.
b. Menyempurnakan
administrasi peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang mengurusi
administrasi peradilan.
c. Member gaji
kepada qadli dan stafnya yang diambilkan dari Baitul Mal.
d. Mengangkat Naib
Qadli, yaitu semacam panitera yang membantu tugas- tugas Qadli.[6]
Dalam
memberi hukum, Utsman mengambil dari Alquran, Sunnah, dan pendapat khalifah
sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para
sahabat.[7]
Pada
periode khalifah Ali bin Abi Thalib tidak banyak perubahan yang dilakukan dalam
bidang peradilan, mungkin ini disebabkan karena situasi Negara pada waktu itu
tidak stabil karena ada pihak-pihak yang tidak mengakui kekhalifahannya.
Kebijakan
yang dilakukan beliau hanya melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan oleh khalifah Ustman bin Affan dengan sedikit perubahan misalnya,
dalam bidang pengangkatan qadli, yang sebelumnya menjadi wewenang
penuhpemerintah pusat (khalifah), sekarang diserahkan kepada gubernur (kepala
daerah) untuk mengangkatnya.
Imam
Burhanuddin menguraikan sebuah riwayat ketika khalifah Ali bin Abi Thalib
melantik An-Nakha'I menjadi gubernur Mesir, beliau berpesan dalam bidang peradian sebagai berikut : " kemudian pilihlah untuk jabatan
qadli diantara rakyatmu yang engkau pandang sebagai orang yang terhormat dan
tidak disibukkan dengan urusan-urusan lain, anjurkan kepada mereka agar
bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang
sebenarnya, pilihlah orang-orang yang tidak sombong lantaran pujian, tidak
condong lantaran hasutan, kemudian perbanyaklah memberikan pesan-pesan
kepadanya dan berilah fasilitas yang dapat meringankan bebannya.
KESIMPULAN
1.
Peradilan Islam pada masa khalifah Abu Bakar belum
mengalami perubahan yang lebih karena masih disibukkan dengan permasalahan
memerangi orang murtad dan pembangkang menunaikan zakat. Peradilan pada masa
ini belum dipisahkan antara lembaga pemerintahan dan lembaga peradilan itu
sendiri. Dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul masih ditangani oleh
khalifah dan gubernur secara langsung.
2.
Peradilan Islam pada masa khalifah Umar bin Khattab
mengalami kemajuan yang sangat pesat dikarenakan semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam dan tugas yang di tanggung khalifah pada saat itu. Khalifah
Umar memisahkan lembaga pemerintahan dengan-lembaga peradilan sendiri-sendiri.
Kemudian diangkatnya para Qadli ditempatkan di setiap daerah peradilan yang di
bentuk, usaha-usaha beliau dalam perkembangan peradilan tampak pada dibentuknya
dewan fatwa, ahdath, tempat pemenjaraan bagi pelaku kriminal dan instruksi-instruksi
beliau kepada para Qadli yang dapat dijadikan sebagai asas pokok dalam
menyelesaikan masalah persidangan.
3.
Pada masa khalifah Utsman bin Affan system peradilan
semakin disempurnakan dengan melakukan usaha diantaranya, membangun gedung
peradilan yang sebelumnya berada di masjid, menyempurnakan administrasi
peradilan, memberi gaji kepada Qadli dan stafnya, mengangkat naib qadli atau
panitera.
4.
Sedangkan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib tidak
banyak melakukan perubahan terhadap system peradilan karena situasi Negara pada
waktu itu tidak stabil. Khalifah Ali hanya melanjutkan kebijakan-kebijakan dari
khalifah sebelumnya dan merubah sedikit kebijakan yaitu mengenai pengangkatan
Qadli yang dahulu dilakukan oleh khalifah secara langsung, pada masa ini
diserahkan kepada gubernur.