Monday, November 14, 2016

Hukum Perjanjian


Di dalam kehidupan sehari-hari, secara tidak sadar manusia telah banyak melakukan berbagai peijanjian dalam rangka memenuhi kebutuhannya, seperti jual beli, tukar menukar atau sewa menyewa. Perjanjian merupakan suatu aspek yang harus ada di dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut agar di dalam prakteknya tidak ditemukan suatu masalah yang mungkin akan berujung kepada suatu tindak pidana.
Peijanjian memang terdengar sederhana karena kita memang sering melakukannya. Oleh karena itu, di dalam makalah ini terdapat uraian tentang masalah yang berkaitan dengan hukum perjanjian (pengertian, syarat-syarat, pelaksanaannya serta berakhirnya suatu perjanjian). Uraian di dalam makalah ini diucapkan akan memberikan pengetahuan yang lebih tentang hukum perjanjian agar di dalam melakukan perjanjian nantinya lebih sesuai dengan hukum vang berlaku


A.    Pengertian Hukum Perjanjian
Dalam hukum asing dijumpai istilah overseenkomst (bahasa Belahda), contract, agreement (bahasa Inggris), contract, convention (bahasa Perancis), pacte, conventie, contractus (bahasa Latin), kontraki, vertrag (bahasa Jerman), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai "kontrak" atau "perjanjian". Sedangkan menuru; pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa peijanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih seling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu peijanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepauu seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa peijanjian mempunyai unsur-unsui sebagai berikut:
1.       Ada pihak-pihak yang menjadi subjek.
2.       Ada persetujuan diantara pihak-pihak (kesepakatan consensus).
3.       Ada objek yang berupa benda.
4.       Ada tujuan vang bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan)
5.       Ada bentuk tertentu, lisan atau tertulis.[1]
Oleh karena itu, maka suatu perjanjian mempunyai arti penting, antara lain sebagai berikut:
1.       Untuk mengetahui apa yang disepakati para pihak.
2.       Untuk mengetahui dimanakah peijanjian itu dibuat, kapankah mulai mengikat.
3.       Untuk mengetahui siapakah sebenarnya yang menjadi subjeknya.
4.       Untuk mengetahui syarat-syarat berlakunya perjanjian, cara berakhirnya, cara menyelesaikan konflik yang timbul, serta sebagai alat pembuktian/
B.     Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat-syarat sahnya kontrak dapat dikaji berdasarkan hukum kontrak yang terdapat di dalam KUH Perdata (civil law) dan hukupi kontrak Amerika.[2]
1.      Menurut KUH Perdata (Civil Law)
Perjanjian adalah sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Syarat subjektif, syarat ini apa bila dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan, meliputi:[3]
1)      Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya.
Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian harus memberikan persetujuannya secara bebas, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu haruslah merupakan kehendak dari pihak lain. Namun dalam hukum perjanjian terdapat tiga hal yang menyebabkan tidak tercapainya kesepakatan secara bebas yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan.
2)      Kecakapan untuk membuat perjanjian.
Yang dimaksud dengan kecakapan (kemampuan) adalah adanya pengetahuan dan kehendak terhadap apa yang diperjanjikan, berdasarkan pengetahuan dan kehendak dari pihak yang bersangkutan. Adapun pihak yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum atau membuat perjanjian adalah anak yang belum dewasa, mereka yang berada dibawah pengampuan (curatele) dan isteri (pada masa lampau).[4]
2)      Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjiannya bata! demi hukum, meliputi:[5]
1)      Suatu hak (objek) tertentu.
Setiap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian. Jika yang menjadi objek adalah barang, maka harus jelas apa jenisnya, jumlahnya, harganya. Setidak-tidaknya dari keterangan objek yang diperjanjiakan harus dapat ditetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak
2)      Sesuatu sebab yang halal (Causa).
Yang dimaksud dengan sebab yang halal bukanlah motif atau alasan membuat perjanjian, tetapi isi dari perjanjian, sebab motif atau alasan yang mendorong seseorang membuat penjanjian Tidak dipersoalkan oleh hukum perjanjian, karen« dalam membuat perjanjian berlaku sistem terbuka yang berarti semua orang bebas membuat peijanjian apapun motifnya atau alasannya asal tidak bertentangan dengan peraturan peiundangan.
2.      Menurut Hukum Kontrak Amerika
Di dalam hukum kontrak (law of contract) Amerika ditentukan empat syarat sahnya kontrak, yaitu:
a.     Adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan)
Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan). Yang diartikan dengan offer (penawaran) adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang, sedangkan acceptance (penerimaan) adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar tawaran untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar.
b.    Metting of minds (persesuaian kehendak).
Penawaran dan penerimaan antara kedua belah pihak dapat menghasilkan bentuk luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak berarti bahwa kontrak itu dikatakan sah. Yang harus diperhatikan supaya kontrak itu dikatakan sah adalah adanya meeting of mind, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas maka kontrak itu dikatakan sah. Persesuaian kehendak itu harus dilakukan secara jujur, tetapi apabila kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan (fraud), kesalahan (mistake), paksaan (duress) dari penyalahgunaan keadaan (undu influence) maka kontrak itu menjadi tidak sah, dan kontrak itu dapat dibatalkan
c.     Consideration (prestasi)
Yaitu sebagai sesuatu yang diberikan, dijanjikan atau dilakukan secara timbal balik. Perbuatan, sikap tidak berbuat atau janji dari masing-masing pihak adalah harga bagi yang telah dibeli oleh pihak lainnya. Consideranon (prestasi) dapat berupa akan dilaksanakan atau sudah dilaksanakan.
d.    Competent pariies and legal subject matter (kemampuan hukum para pihak dan pokok persoalan yang sah).
Competent parties adalah kemampuan dan kecakapan dan subjek hukum untuk melakukan kontrak. Sedangkan legal subject matter yaitu keabsahan dari pokok persoalan[6]
C.     Pelaksanaan Suatu Perjanjian
1.      Asas konsensualitas.
Menurut asas ini, peijanjian sudah timbul dan mengikat sejak tercapainya consenjus atau kesepakatan anatara kedua belah pihak mengenai objek peijanjian.
2.      Perjanjian berlaku sebagai undang-undang.
Jika penanjian telah dilahirkan, maka pihak-pihak yang membuat wajib melaksanakannya dengan i'tikad baik, artinya pelaksanaannya tidak boleh merugikan pihak yang bersangkutan dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat menyimpang dari ketentuan Hukum Perjanjian. Dalam hal ini berlakulah ketentuan pasal 1338 KUH Perdata yang menentukan, bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[7]
1.    Perjanjian berdasar kepada kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Menurut pasal 1339 KUH Perdata, perjanjian tidak hanya mengikat terhadap hal-hal yang disebutkan di dalamnya tetapi juga mengikat terhadap (yang menurut sifatnya perjanjian) diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
2.    Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Contoh. A berjanji kepada B bahwa A tidak mendirikan perusahaan yang sama dengan perusahaan B. Ternyata A melakukan wanprestasi, dengan mendirikan perusahaan sejenis.
Dalam contoh ini, terhadap prestasi yang dapat dikenakan executie riil, yaitu B meminta pada pengadilan agar A melaksanuKun prestasinya, dengan menutup perusahaan A. dengan demikian terhadap perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu dapat dikenakan executie riil.
3.    Perjanjian berbuat sesuatu.
Untuk jenis perjanjian ini ada dua pendapat, yaitu jika prestasi dari debitur sangat melekat, tidak terpisahkan dari pribadi debitur, maka execute rut tidak dapat dikenakan apabila si debitur melakukan wanprestasi, sebaliknya jika prestasi dari debitur tidak melekat pada pribadinya, maka terhadapnya dapat dikenakan execute rul
4.    Perjanjian untuk memberi' menyerahkan sesuatu.
Untuk jenis peijanjian ini pun ada dua pendapat, jika objek perjanjian yang hendak diserahkan itu adalah barang bergerak, terhadapnya dapat dikenakan execute riil, sebaliknya jika objek perjanjian yang hendak diserahkan itu adalah barang tidak bergerak misalnya tanah maka terhadapnya tidak dapat dikenakan execute riil[8]
5.    Pembelaan-pembelaan yang dapat diajukan debitur.
Dalam hal debitur dikatakan melakukan wanprestasi, maka ia dapat membela dirinya dengan mengadukan beberapa alasan yang sudah ditentukan dalam undang-undang, yaitu:
a.         Mengajukan adanya keadaan memaksa (overmacht).
b.         Mengajukan bahwa kreditur sendiri melakukan wanprestasi.
c.         Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.[9]
D.    Berakhirnya Peijanjian
Di dalam pasal 1381 B W disebutkan bahwa ada sepuluh macam cara berakhirnya perjanjian:
1.      Karena pembayaran.
2.      Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu disuatu tempat.
3.      Pembaharuan hutang.
4.      Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik.
5.      PercaTinuran hutang.
6.      Pembebasan hutang.
7.      Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
8.      Pembatalan peijanjian
9.      Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan.
10.  Lewat waktu.[10]




[1] Suhardana, Contrac! Drafting (Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak) (Yogyakarta Universitas Atma Jaya, 2009), 9
[2] Salim, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak) (Jakarta: Sinar Grafika, 2003),
3Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan (Teori dan Contoh) (Jakarta Kencana,
2008), 50.
[4] C S. T Kansil, Hubim Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum dalam Ekonomi) (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001), 10.
[5] 16 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: PT. Intermasa. 1995), 152
[6] Salim, Hukum, 35.
' Kansil. Hukum, 13.
10 Ibid., 15
[8] Ibid, 13.
[9] Saliman, Hukum, 50.
[10] Kansil, Hukum, 11.

No comments:

Post a Comment