Monday, August 15, 2016

PRILAKU KONSUMEN DALAM PANDANGAN EKONOMI ISLAM

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat serta taufik-Nya saya dapat menyusun makalah ini dengan judul “Perilaku Konsumen dalam Pandangan Ekonomi Islam” ini untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi, Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW yang akan menjadi shafa’atul uthma bagi kita semua di akhirat kelak.Amin.
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Ely Masykurah, S.E, M.Si yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyusun makalah ini dan yang senantiasa membimbing dan memberikan ilmunya kepada saya. Kepada temen-temen yang telah memberikan masukan atas kesempurnaan makalah ini.
Saya  juga menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran dari dosen pengampu sangat kami harapkan demi kebaikan makalah kami selanjutnya dan semoga apa yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi kita semua.


Ponorogo, Oktober 2015
Hormat Kami

Penyusun



DAFTAR ISI
Halaman judul……………………………………………………………     1
Kata pengantar…………………………………………………………..      2
Daftar isi………………………………………………………………...      3
Bab I Pendahuluan ……………………………………………………..      4
a.       Latar belakang………………………………………………..    4
b.      Rumusan masalah…………………………………………….    5
Bab II Pembahasan………………………………………………………     6
a.       Definisi perilaku konsumen …………………………………     6
b.      Dasar hokum perilaku konsumen …………………………….    6
c.       Konsep dasar konsumen dalam Islam………………………..     8
d.      Konsep Maslahah dalam perilaku konsumen islam …………      9
e.       Prinsip-prinsip konsumsi muslim…………………………….      10
f.       Model Kesimbangan dalam konsumsi ……………………….    11
g.      Makro ekonomi perilaku konsumen dalam islam…………….     13
Bab III Kesimpulan ……………………………………………………....   16
Daftar Pustaka ……………………………………………………………   17




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ekonomi Islam sesungguhnya adalah satu realitas “baru” dalam dunia ilmiah modern saat ini. Ekonomi Islam tumbuh menyempurnakan diri di tengah-tengah beragamnya system sosial dan ekonomi konvensional yang berbasiskan pada sistem sekuler. Dikatakan baru karena system ekonomi Islam sudah pernah dipraktikkan secara sempurna di masa rasulullah hingga masa keemasan daulah islamiyah. Yang kemudian ekonomi Islam terlahir kembali di masa berkecamuknya perang dingin antara dua super power dunia Amerika Serikat yang didukung sekutu Baratnya, berhadapan dengan Uni Soviet yang didukung negara Eropa Timur. Kedua blog ini merupakan cerminan dari paham kapitalisme dan sosialisme-komunisme. Ditengah kedua arus ini, ekonomi Islam merupakan jawaban atas ketidakseimbangan antara system kapitalisme dan sosialisme-komunisme dalam mengatur konsumsi, distribusi dan produksi dan lain sebagainya.
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian karena manusia tidak aka nada kehidupan tanpa adanya konsumsi. Mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan kehidupan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan. Begitu pentingnya masalah konsumsi, Islam telah mengatur bagaimana manusia berguna bagi ke-maslaht­-an kehidupannya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, maka ia akan menjalankan konsumsi yang jauh dari sifat hina. Prilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan al-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Karena konsumsinya tidak hanya berdasarkan kebutuhan duniawi akan tetapi juga kebutuhan akherat.
Untuk itulah dalam makalah ini akan dibahas tentang prilaku konsumen dalam pandangan ekonomi islam sehingga memberikan gambaran bagi kita untuk menjalankan pemenuhan kebutuhan hidup berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
B.     Rumusan Masalah
Diharapkan dalam makalah ini bisa menjawab rumusan masalah berikut ini:
1.      Apa dasar hokum prilaku konsumen dalam pandangan ekonomi islam?
2.      Bagaimana konsep dasar konsumen dalam pandangan ekonomi islam?
3.      Bagaimana prinsip Islam dalam konsumsi?
4.      Bagaimana prilaku konsumen muslim?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Perilaku Konsumen
Dalam teori ekonomi dikatakan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu berusaha memaksimalkan kepuasannya dan selalu bertindak rasional. Para konsumen akan berusaha memaksimalkan kepuasannya selama kemampuan finansialnya memungkinkan. Mereka memiliki pengetahuan tentang alternatif produk yang dapat memuaskan kebutuhan mereka.[1]
Menurut Kotler dalam The American Marketing Assosiation, sebagaimana dikutip Nugroho J. Setiadi, prilaku konsumen merupakan interaksi dinamis antara afeksi dan kognisi, perilaku dan lingkungannya, di mana manusia melakukan kegiatan pertukaran dalam hidup mereka. Dari hal tersebut terdapat tiga ide penting yang dapat disimpulkan yaitu: 1) perilaku konsumen adalah dinamis; 2) hal tersebut melibatkan interaksi antara afeksi dan kognisi, perilaku dan kejadian di sekitar; 3) juga melibatkan pertukaran.[2]
 Sedangkan menurut Swastha dan Handoko perilaku konsumen (consumer behavior) dapat didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang-barang dan jasa-jasa, termasuk didalamnya proses pengambilan keputusan pada persiapan dan menentukan kegiatan-kegiatan tertentu[3]. Menurut Engel adalah tindakan langsung yang terlibat untuk mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk jasa, termasuk proses keputusan yang mengikuti dan mendahului tindakan ini. Sedangkan menurut Loudan dan Bitta lebih menekankan perilaku konsumen sebagai suatu proses pengambilan keputusan. Mereka mengatakan bahwa perilaku konsumen adalah pengambilan keputusan yang mensyaratkan aktifitas individu untuk mengevaluasi, memperoleh, menggunakan, atau mengatur barang dan jasa.[4]
Dari pengertian diatas, maka perilaku konsumen merupakan tindakan-tindakan dan hubungan sosial yang dilakukan oleh konsumen perorangan, kelompok maupun organisasi untuk menilai, memperoleh dan menggunakan barang-barang serta jasa melalui proses pertukaran atau pembelian yang diawali dengan proses pengambilan keputusan yang menentukan tindakan-tindakan tersebut.
B.     Dasar Hukum Prilaku Konsumen
Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah  kepada manusia untuk dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Salah satu pemanfaatan yang telah diberikan adalah kegiatan ekonomi secara umum dan lebih sempit lagi dalam kegiatan konsumsi. Hassan Sirry menyatakan bahwa sumber hokum tersebut antara lain yaituyang berasal dari ayat al-Qur’an dan al-Sunnah. [5]
Firman Allah:
”Makanlah dan minumlah, namun jangan berlebihan-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.[6]
Hadith Rasulullah:
“Abu Said al-Chodry berkata: ketika kami dalam bepergian bersama nabi. Mendadak dating seorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah mengharapkan bantuan makanan, maka nabi bersabda: siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak menpunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan pada orang yang tidak berbekal. Kemudian rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya. (H.R. Muslim)
Selain firman allah dan sabda rasullah diatas masih banyak kita temui di al-Qur’an dan hadith yang menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan ekonomi baik itu konsumsi, produksi, distribusi dan muamalah-muamalah yang lainnya.         
C.    Konsep Dasar Konsumen Dalam Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, pemenuhan kebutuhan akan sandang pangan dan papan harus dilandasi dengan nilai-nilai spritualisme islami dan adanya keseimbangan dalam pengelolaan harta kekayaan. Selain itu, kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dalam memenuhi kebutuhannya harus berdasarkan batas kecukupan (had al-kifayah), baik atas kebutuhan pribadi maupun keluarga.[7] Ketentuan dalam ekonomi Islam yang berlandaskan nilai-nilai spritualisme islami, menafikan karakteristik perilaku konsumen yang berlebihan dan materalistik.
Dalam melakukan nilai konsumsi, nilai guna atau tingkat kepuasan (utility) diterima harus sebanding dengan apa yang telah dikeluarkan atau dibelanjakan. Sehingga terjadi antara keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Kendati demikian, utility konsumen dipengaruhi tentang cita rasa, pendapatan dan preferensi dari barang dan jasa yang tersedia. Dalam perkembanganya, preferensi seseorang terhadap sebuah komoditas sangat beragam dimana sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan pemahaman manusia terhadap kehidupam. Preferensi seorang muslim akan sangat jauh berbeda dengan preferensi seorang non-muslim. Karena itu ada tiga unsur yang dapat mempengaruhi prilaku seorang konsumen dalam berkonsumsi yaitu rasionalitas, kebebasan ekonomi dan utility.
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam
D.    Konsep Maslahah Dalam Perilaku Konsumen Islami
Imam Shatibi menggunakan kata maslahah yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasaan dalam terminologo ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hokum syara’ yang paling utama. Ada lima elemen dasar menurut beliau yakni kehidupan atau jiwa (al-nafs), harta (al-maal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql) dan keluarga atau keturunan (al-nasl).
Dari kelima elemen diatas, maslahah terbagi menjadi dua jenis yaitu pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan akherat. Kedua, maslahah terhadap elemen yang menyangkut hanya kehidupan akerat. Pada tingkatan tertentu, konsumen muslim memiliki alokasi untuk hal-hal menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi lebih sedikit daripada nonmuslim. Dalam membandingkan konsep pemenuhan kebutuhan yang terkandung didalamnya maslahah, perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hokum syara’ yakni:[8]
1.      Daruriyyah
Tujuan daruriyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan, agama, akal dan keturunan serta harta benda. Jika tujuan ini diabaikan maka tidak akan ada kedamaian dan akan timbul kerusakan dan kerugian di dunia dan akhirat.
2.      Hajiyyah
Hukum Syara dalam kategori ini dimaksudkan untuk lebih berhati-hati dalam pemenuhan konsumsi seorang muslim.
3.      Tahsiniyyah
Syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman didalamnya. Tujuanya untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dari daruriyyah dan hajiyyah.
E.     Prinsip Konsumsi Muslim
Ada beberapa prinsip dalam berkonsumsi bagi seorang muslim yang membedakan dengan prilaku konsumsi nonmuslim. Prinsip tersebut disarikan dari ayat al-Qur’an dan hadith. Prinsip itu adalah:[9]
1.         Prinsip syariah
Prinsip ini terdiri dari prinsip-prinsip turunan diantaranya yaitu
a.       Memperhatikan tujuan konsumsi atau maslahah
b.      Memperhatikan kaidah ilmiah seperti kebersihan, kehalalan dan lain-lain
c.       Memperhatikan bentuk konsumsi
2.         Prinsip kuantitas
Prinsip ini terdiri dari prinsip-prinsip turunan diantaranya yaitu
a.       Sederhana dan tidak bermegah-megahan sebagimana dalam al-Qur’an surat al-Furqan ayat 67, al-Isra’ ayat 27
b.      Keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-thalaq ayat 7
3.         Prinsip prioritas
Prioritas atau urutan konsumsi alokasi harta menurut syariat islam antara lain adalah
a.       Untuk nafkah diri, istri, anak dan saudara
b.      Untuk memperjuangkan agama Allah
4.         Prinsip moralitas
Prinsip ini mengandung arti ketika berkonsumsi terhadap suatu barang maka harus menjaga martabat manusia yang mulia. Sehingga dalam berkonsumsi harus menjaga adab dan etika.
Menurut Manan terdapat lima prinsip konsumsi dalam Islam yaitu: pertama, prinsip keadilan. Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Kedua, prinsip kebersihan. Maksudnya adalah bahwa makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Ketiga, prinsip kesederhanaan. Prinsip ini mengatur  perilaku manusia mengenai makan dan minuman yang tidak berlebihan. Keempat, prinsip kemurahan Hati. Dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhannya, Kelima, prinsip moralitas. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah SWT. sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.[10]
Sedangkan prinsip konsumsi menurut Ali Sakti, bahwa ada empat prinsip utama dalam sistem ekonomi islam yang diisyaratkan dalam al-Qur’an: 1) hidup hemat dan tidak bermewah-mewahan. Ini berarti tindakan ekonomi hanyalah untuk   memenuhi kebutuhan (needs) bukan keinginan (wants); 2) implementasi zakat, infak, dan shadaqah; 3) pelarangan riba. Menjadikan sistem bagi hasil dengan instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai sistem kredit dan instrumen bunganya; 4) menjalankan usaha-usaha yang halal; dari produk atau komoditi, proses produksi hingga distribusi.
Sesungguhnya Islam tidak mempersulit jalan hidup seseorang konsumen. Jika seseorang mendapatkan penghasilan dan setelah dihitung dan hanya mampu memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya saja, maka tak ada keharusan untuk membelanjakan untuk konsumsi sosial. Sedangkan apabila pendapatannya melebihi konsumsi tidak ada alasan baginya untuk tidak mengeluarkan kebutuhan  konsumsi sosial. Pendapatan dan penghasilan yang diperoleh dengan cara yang halal akan digunakan untuk menutupi kebutuhan individu dan keluarga dengan jalan yang halal pula, yang secara langsung menguntungkan pasar mulai dari produsen hingga pedagang. Setiap uang yang dibelanjakan konsumen menjadi revenue bagi pengusaha sebagai bentuk pertukaran antara barang dan uang. Konsumen mendapatkan kepuasan dari barang yang di beli dan pengusaha mendapatkan keuntungan dari barang yang dijualnya. Konsumen memerlukan barang untuk kelangsungan hidupnya, secara langsung membutuhkan produsen dan pedagang. Sedangkan pengusaha memerlukan konsumen agar dia dapat melanjutkan produksi sekaligus pula menghidupkan diri dan keluarga dari keuntungan barang yang dijualnya. Tidak jarang, dalam satu segi konsumen bisa berperan sebagai produsen dan produsen bisa berperan sebagai konsumen.
F.     Model Keseimbangan dalam Konsumsi  Islam
Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada keadilan distribusi. Keadilan konsumsi adalah di mana seorang konsumen membelanjakan penghasilannya untuk kebutuhan materi dan kebutuhan sosial. Kebutuhan materi dipergunakan untuk kehidupan duniawi individu dan keluarga. Konsumsi sosial dipergunakan untuk kepentingan akhirat nanti yang berupa zakat, infaq, dan shadaqah. Dengan kata lain konsumen muslim akan membelanjakan pendapannya untuk duniawi dan ukhrawi. Di sinilah muara keunikan konsumen muslim yang mengalokasikan pendapatannya yang halal untuk zakat sebesar 2,5 %, kemudian baru mengalokasikan dana lainnya pada pos konsumsi yang lain. Baik berupa konsumsi individu maupun konsumsi sosial yang lainnya. 
Dalam Ekonomi Islam kepuasan konsumen bergantung pada nilai-nilai agama yang dia terapkan pada rutinitas kegiatannya yang tercermin pada uang yang dibelanjakannya. Ajaran agama yang dijalankan baik menghindarkan konsumen dari sifat israf, karena israf merupakan sifat boros yang dengan sadar dilakukan untuk memenuhi tuntutan nafsu belaka.
Selain karena keseimbangan konsumsi maka di antara pendapatan konsumen merupakan hak-hak Allah terhadap para hamba-Nya yang kaya dalam harta mereka. Yakni dalam bentuk zakat-zakat wajib, diikuti sedekah dan infak. Semua konsumsi itu dapat membersihkan harta dari segala noda syubhat dan dapat mensucikan hati dari berbagai penyakit yang menyelimutinya seperti rasa kikir, tak mau mengalah dan egois.
Dalam perspektif ekonomi Islam. perilaku konsumsi seorang muslim didasarkan pada beberapa asumsi sebagaimana dikemukakan oleh Monzer Kahf, yaitu :[11]
1.        Islam merupakan suatu agama yang diterapkan di tengah masyarakat.
2.        Zakat hukumnya wajib.
3.        Tidak ada riba dalam masyarakat.
4.        Prinsip mudharabah diterapkan dalam aktivitas bisnis.
5.        Konsumen berperilaku rasional yaitu berusaha mengoptimalkan kepuasan.
Dalam ekonomi Islam, unsur pendapatan masyarakat dialokasikan pada beberapa bentuk pengeluaran, yaitu untuk konsumsi, tabungan dan sebagian dari pendapatan itu dikurangkan untuk infak dan shadaqah. Hal ini selaras dengan makna hadith Nabi SAW yaitu "Yang engkau miliki adalah apa-apa yang engkau konsumsi dan apa-apa yang engkau infakkan". Dari penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan suatu fungsi pendapatan dalam ekonomi Islam sebagai berikut:
Y = C + S + Infaq
Y = C + Infaq + S
Jika……………..FS = C + Infaq
Maka…………...Y =FS+S
Di mana………..FS = Final spending (konsumsi yang dikeluarkan seseorang baik untuk pribadi dan untuk di jalan Allah)
Dengan adanya konsumsi sosial akan membawa berkah dan manfaat, yaitu munculnya ketentraman, kestabilan, dan keamanan sosial, karena segala rasa dengki akibat ketimpangan sosial dan ekonomi dapat dihilangkan dari masyarakat. Rahmat dan sikap menolong juga mengalir deras ke dalam jiwa orang kaya yang memiliki kelapangan harta. Sehingga masyarakat seluruhnya mendapatkan karunia dengan adanya sikap saling menyayangi, saling bahu membahu sehingga muncul kemapanan sosial.[12] Di sinilah, nampak ekonomi Islam menaruh perhatian pada maslahah sebagai tahapan dalam mencapai tujuan ekonominya, yaitu falah (ketentraman). Konsumen muslim selalu menggunakan kandungan berkah dalam setiap barang sebagai indikator apakah barang yang dikonsumsi tersebut akan menghadirkan berkah atau tidak.[13] Dengan kata lain konsumen akan jenuh apabila mengkonsumsi  suatu barang atau jasa apabila tidak terdapat berkah di dalamnya. Konsumen merasakan maslahah dan menyukainya dan tetap rela melakukan suatu kegiatan meskipun manfaat  kegiatan tersebut bagi dirinya sudah tidak ada.[14]
G.    Makro Ekonomi Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Islam
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa perilaku konsumsi seorang muslim ditujukan untuk dimensi dunia dan akhirat. Berangkat dari sasaran pokok ini, maka utuk menghasilkan fungsi makro ekonomi perilaku konsumen dalam Islam perlu ditentukan asumsi sebagai dasar pijakan. Asumsi yang harus dipenuhi untuk membangun fungsi makro perilaku konsumen dalam Islam adalah:[15]
1.         Ekonomi Islam didefinisikan sebagai sistem ekonomi dimana hokum Islam dan institusi Islam berjalan dan mayoritas masyarakat meyakini terhadap ideology Islam dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.         Istitusi zakat dijadikan sebagai struktur sosio-ekonomi masyarakat dan lembaga zakat telah melakukan pengumpulan zakat dan penyaluran sesuai peritah Islam.
3.         Perilaku riba dapat dilarang atau tidak terjadi.
4.         Qirod menjadi isntitusi ekonomi yang legal. Qirod didefinisikan sebagai suatu aktivitas mengembangkan uang untuk proses produksi melalui kerjasama antara pemilik modal dengan pemilik keahlian.
5.         Dikembangkannya pasar yang untuk producer’s goods, consumer’s goods dan secara khusus untuk instrument keuangan.
6.         Konsumen diasumsikan berusaha memaksimumkan kepuasan atas pendapatannya. Hal ini sebagai implikasi dari hadith rasul yang menyatakan: “upayakan harta anak yatim, sehingga harta tersebut tidak habis dimakan zakat”. Hal ini diasumsikan bahwa konsumen dianjurkan untuk menjaga tingkat kekayaan dari pengurangan setelah pembayaran zakat.
Jika asumsi tersebut dipenuhi, maka bangunan makro ekonomi mengenai perilaku konsumen dapat dicapai. Situasi makro ini tergantung pada bagaimana perilaku konsumen dalam membelanjakan hartanya. Perilaku konsumen yang mempengaruhi situasi makro ekonomi adalah tergantung padavkeputusan pengeluaran akhir atau the final spending decisions dan keputusan investasi atau the investment decisions.



BAB III
KESIMPULAN
Perilaku konsumen merupakan tindakan-tindakan dan hubungan sosial yang dilakukan oleh konsumen perorangan, kelompok maupun organisasi untuk menilai, memperoleh dan menggunakan barang-barang serta jasa melalui proses pertukaran atau pembelian yang diawali dengan proses pengambilan keputusan yang menentukan tindakan-tindakan tersebut. Pemenuhan kebutuhan akan sandang pangan dan papan harus dilandasi dengan nilai-nilai spritualisme islami dan adanya keseimbangan dalam pengelolaan harta kekayaan. Selain itu, kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dalam memenuhi kebutuhannya harus berdasarkan batas kecukupan (had al-kifayah), baik atas kebutuhan pribadi maupun keluarga. Ketentuan dalam ekonomi Islam yang berlandaskan nilai-nilai spritualisme islami, menafikan karakteristik perilaku konsumen yang berlebihan dan materalistik. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut sebagai seorang muslim harus memperhatikan prinsip-prinsip dalam berkonsumsi yaitu prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati, prinsip moralitas.
Dengan adanya konsumsi sosial akan membawa berkah dan manfaat, yaitu munculnya ketentraman, kestabilan, dan keamanan sosial, karena segala rasa dengki akibat ketimpangan sosial dan ekonomi dapat dihilangkan dari masyarakat. Rahmat dan sikap menolong juga mengalir deras ke dalam jiwa orang kaya yang memiliki kelapangan harta. Sehingga masyarakat seluruhnya mendapatkan karunia dengan adanya sikap saling menyayangi, saling bahu membahu sehingga muncul kemapanan sosial. Di sinilah, nampak ekonomi Islam menaruh perhatian pada maslahah sebagai tahapan dalam mencapai tujuan ekonominya, yaitu falah (ketentraman).



DAFTRA PUSTAKA
Hakim, Lukman. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga, 2012.
Nasution, Edwin Mustafa, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenadan Media Group, 2010.
Muhammad. Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakrta: BPFE-Yogyakarta, 2004.
Nawawi, Ismail. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010
Hidayat, Miftahul Muhammad. Teori Konsumsi Berorientasi Teologis-Etis, Yogyakarta: Tesis, Universitas Islam Indonesia, 2000
Simamora,Bilson. Panduan Riset Perilaku Konsumen
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia. Ekonomi Islam, Yogyakarta : Grafindo, 2008
Sarwono. Analisis Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ekonomi Islam. Innofarm Jurnal Inovasi Pertanian, 2009




[1] Bilson Simamora, Panduan Riset Perilaku Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 3-4.
[2] Ibid., 3.
[3] Swastha dan Handoko, Analisis Perilaku Konsumenten terhadap produk Tabungan Perbankan, (Solo: PT. Aksara Solopos, 2000), 10.
[4] Bilson Simamora, Panduan Riset Perilaku Konsumen, 2.
[5] Muhammad Miftahul Hidayat, Teori Konsumsi Berorientasi Teologis-Etis, (Tesis, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2000)
[6] Al-Qur’an, 7:31
[7] Ismail Nawawi, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), 63-64.
[8] Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 62-64
[9] Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta:Erlangga, 2012),93-99
[10] Imadudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, 181-182.
[11] Sarwono, “Analisis Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ekonomi Islam”, Innofarm (Jurnal Inovasi Pertanian, 8, (2009), 45-46
[12] Adiwarman A. Karim, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), 8-9.
[13] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia, Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Grafindo, 2008), 177.
[14] Ibid., 157
[15] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004),208-209.

Saturday, August 13, 2016

KONSEP DAN APLIKASI AKAD WAKA>LAH, HIWA>LAH, KAFA>LAH, RAHN DAN QORD DALAM PERBANKAN SYARIAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Muamalah dalam Islam dilandasi pemikiran bahwa setiap kegiatan dan aktivitas manusia memiliki dimensi “ibadah” yang dapat diimplementasikan pada setiap level kegiatan. Dengan aqidah yang benar akan dapat menghasilkan perbuatan baik yang mencerminkan suatu akhlak mulia. Bank-bank syariah ialah Bank atau lembaga keuangan yang berlandaskan prinsip Islam, yang mana didalamnya bebas dari unsur-unsur Riba, Gharar, Judi, dan berbagai transaksi-transaksi yang dilarang oleh hukum islam.[1]
Dalam dunia perbankan khususnya bank syariah sangat banyak akad yang dilakukan antara lain wakalah, kafalah, qord, rahn dan lain sebagainya. Meskipun dalam praktek sudah menggunakan akad-akad tersebut namun kenyataannya belum berjalan dengan baik, hal ini terlihat pada pandangan masyarakat mengenai perbankan syariah sendiri dimana menurut masyrakat masih menganggap praktek perbankan syariah dalam menjalankan akad sama dengan yang diterapkan pada operasional bank konvensional. Untuk itu pada kesempatan kali ini pemakalah akan menyampaikan ulasan terkait dengan beberapa akad dalam perbankan syariah mengingat sangat pentingnya pembenahan dan penyempurnaan ekonomi syariah kususnya dalam perbankan.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep dan aplikasi akad wakalah dalam perbankan syariah?
2.      Bagaimana konsep dan aplikasi  akad hiwalah dalam perbankan syariah?
3.      Bagaimana konsep dan aplikasi  akad kafalah dalam perbankan syariah?
4.      Bagaimana konsep dan aplikasi  akad rahn dalam perbankan syariah?
5.      Bagaimana konsep dan aplikasi  akad qord dalam perbankan syariah
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wakalah
Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil. Al-Wakalah juga berarti penyerahan (al-Tafwid}}) dan pemeliharaan (al-Hifd}).[2] Menurut kalangan syafi‟iyah arti wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu an-niyabah) dan dapat di lakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan tersebut di laksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup.[3]
Wakalah dalam arti harfiah adalah menjaga, menahan atau penerapan keahlian atau perbaikan atas nama orang lain, dari sini kata Tawke>l diturunkan yang berarti menunjuk seseorang untuk mengambil alih atas suatu hal juga untuk mendelegasikan tugas apapun ke orang lain.[4] Akad Wakalah adalah akadyang memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan dimana yang memberi kuasa tidak dalam posisi melakukan kegiatan tersebut.[5]
B.     Landasan Syariah Wakalah
1.    Al-Qur‟an
Salah satu dasar dibolehkannya Wakalah adalah firman Allah SWT yang berkenaan dengan kisah As}-habul Kahfi.
y7Ï9ºxŸ2ur óOßg»oY÷Wyèt/ (#qä9uä!$|¡tGuŠÏ9 öNæhuZ÷t/ 4 tA$s% ×@ͬ!$s% öNåk÷]ÏiB öNŸ2 óOçFø[Î6s9 ( (#qä9$s% $uZø[Î7s9 $·Böqtƒ ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqtƒ 4 (#qä9$s% öNä3š/u ÞOn=ôãr& $yJÎ/ óOçFø[Î6s9 (#þqèWyèö/$$sù Nà2yymr& öNä3Ï%ÍuqÎ/ ÿ¾ÍnÉ»yd n<Î) ÏpoYƒÏyJø9$# öÝàZuŠù=sù !$pkšr& 4x.ør& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uŠù=sù 5-ø̍Î/ çm÷YÏiB ô#©Ün=tGuŠø9ur Ÿwur ¨btÏèô±ç öNà6Î/ #´ymr& ÇÊÒÈ  
dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.QS Al-Kahfi : 19

÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ  
 dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakamdari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.. (QS. An-Nissa :35)
2.    Al- Hadist
Terdapat beberapa hadist yang dianggap relevan dengan hukum Wakalah, antara lain:
”Bahwasanya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi‟ dan seorang Anshar untuk mewakilinya untuk mengawinkan (qabul perkawinan Nabi) dengan Maimunah binti al-Harits.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa‟)

C.    Macam-Macam Waklah
Wakalah dapat dibedakan menjadi: al-Wakalah Al-Am>ah dan Al-Wakalah Al-Khoss}ah, Al-wakalah al-muqoy>adoh dan al-wakalah mutlaqoh.[6]
a.      Al-wakalah al-khoss}ah, adalah prosesi pendelegasian wewenang untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik. Dan spesifikasinyapun telah jalas, seperti halnya membeli Honda tipe X, menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.
b.      Al-wakalah al-‘am>ah, adalah prosesi pendelegasian wewenang bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi. Seperti belikanlah aku mobil apa saja yang kamu temui.
c.       Al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh. Adalah akad dimana wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya jualah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika kredit. Sedangkan Al-wakalah al-muthlaqoh adalah akad wakalah dimana wewenang dan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu, misalnya jualah mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.[7]
D.    Aplikasi Perbankan
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C(Letter Of Credit Import Syariah & Letter Of Credit Eksport Syariah),Inkaso dan Transfer uang, Penitipan, Anjak Piutang (Factoring), Wali Amanat, Investasi Reksadana Syariah, Pembiayaan Rekening Koran Syariah, Asuransi Syariah.[8]
E.     Pengertian Hawalah
Secara etimologi, yang dimaksud dengan hawalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hawalah secara etimologi ialah:
أَلنَّقْلُ مِنْ مَحَلٍّ إِلَى مَحَلِّ
 “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”[9]
Sedangkan secara terminologi, pengertian hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Misalnya: A memberi pinjaman kepada B, sedangkan B masih mempunyai piutang kepada C. Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban utang tersebut pada C. Dengan demikian, C  yang harus bayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap selesai.[10]
F.     Landasan Hawalah
1.      Sunnah
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ فَاِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hawalah itu.”
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang meng-hawalah-kan kepada orang yang mampu/kaya, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang di-hawalah-kan. Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.
2.      Ijma
Ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda karena hawalah adalah pemindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada uang atau kewajiban finansial.[11]
G.    Aplikasi Perbankan
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
1.      Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2.       Post-date check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
3.      Bill discounting, secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee. Sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hawalah.[12]
H.    Pengertian Kafalah
Secara etimologi berarti penjaminan. Kafalah mempunyai padanan kata yang banyak, yaitu dh}amanah, hamalah, dan za’amah. Menurut Al-Mawardi, ulama madzhab Syafi’i, semua istilah tersebut memiliki arti yang sama, yaitu penjaminan.[13]
Menurut istilah kafalah berarti akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak (kafil) kepada pihak lain (makful ‘anhu) dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful lahu).
Istilah kafalah dalam praktek perbankan sekarang ini adalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggung (makful ‘anhu) apabila pihak yang ditanggung cidera janji atau wanprestasi. Secara teknis dapat dikatakan bahwa pihak bank dalam hal ini memberikan jaminan kepada nasabahnya sehubungan dengan kontrak kerja/perjanjian yang telah disepakati antara nasabah dengan pihak ketiga. Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya
I.       Dasar Hukum Kafalah
Dasar hukum kafalah dapat dipelajari dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dalam Al-Qur’an terdapat pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf, yaitu Al-Qur’an Surat Yusuf : 72 yang artinya:
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ  
penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".[14]
Kata za’im yang artinya penjamin dalam Surat Yusuf tersebut adalahgharim, orang yang bertanggung jawab atas pembayaran. Sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan kata za’iim berarti sama dengan kata kafiil.
Dalam Al-Qur-an Surat al-Maidah (5) : 2 Allah berfirman yang artinya:
“Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.”(QS. Al-Mai’dah : 2).
Selama masih dalam koridor kebaikan dan bukan untuk berbuat dosa dan pelanggaran, memberikan jaminan kepada orang lain merupakan perwujudan tolong menolong.
J.      Macam Kafalah
Menurut ulama wahbah az-Zuhayliy dan Sayyid Sabiq, ditinjau dari segi obyeknya Kafalah terbagi menjadi 2 Jenis, yaitu:[15]
1.      Kafalah bin Nafs (kafalah bil Wajhi), Merupakan akad jaminan dari kafil untuk menghadirkan diri seseorang pada waktu tertentu di tempat tertentu. Kafalah ini bukan merupakan kajian ekonomi Islam.
2.      Kafalah bil Ma>l, Merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Kafalah bil Mal sendiri terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a.       Kafalah bi al -Taslim, yaitu merupakan jaminan yang diberikan dalam rangka menjamin penyerahan atas barang yang disewa pada saat berakhirnya masa sewa.
b.      Kafalah Munjazah, yaitu merupakan jaminan yang diberikan secara mutlak tanpa adanya pembatasan waktu tertentu.
c.       Kafalah muqay>adah/muallaqah, yaitu merupakan jaminan atau kafalah yang dibatasi waktunya, sebulan, setahun dan sebagainya.


K.    Aplikasi Dalam Perbankan
Dalam mekanisme system perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat diaplikasikan dalam bentuk pemebrian jaminan bank dengan terlebih dahulu diawali dengan pembukaan fasilitas yang ditentukan oleh bank atas dasar hasil analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan diberikan fasilitas tersebut. Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada perkiraan administratif baik berupa komitmen maupun kontinjen.
Fasilitas yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan prinsip kafalah tersebut adalah fasilitas bank garansi dan fasilitas letter of credit. Fungsi kafalah adalah pemberian jaminan oleh bank bagi pihak-pihakyang terkait untuk menjalankan bisnis mereka secara lebih aman dan terjamin, sehingga adanya kepastian dalam berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank berarti akan mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah wanprestasi/lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga akan memperoleh manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan mereka.
Transaksi yang dapat dikelompokkan dalam akad-akad kafalah adalah:[16]
1.    Bank Garansi
Bank garansi adalah surat jaminan yang diterbitkan oleh bank untuk menjamin pihak ketiga atas permintaan nasabah sehubungan dengan transaksi ataupun kontrak yang telah mereka sepakati sebelumnya. Pemberian jaminan ini pada umumnya disyaratkan oleh pihak ketiga terhadap mitra kerjanya, yang bertujuan untuk mendapatkan kepastian dilaksanakannya isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakati. Apabila terjadi cidera janji oleh mitra kerjanya, berdasarkan surat jaminan bank (bank garansi) maka pihak ketiga tadi dapat mengajukan kalim kepada bank penerbit garansi tersebut, asal saja semua syarat-syarat untuk pengajuan klaim telah terpenuhi. Bank garansi berfungsi sebagai covering risk jika salah satu pihak lali/cidera janji memenuhi kewajibannya di mana pihak bank mengambil-alih risiko tersebut.
2.    Letter of Credit
Pada umumnya instrumen letter of credit yang diterbitkan oleh bank akan membantu memperlancar transaksi perdagangan (ekspor impor) antar negara karena letter of credit berperan sebagai jembatan penghubung, pengambil-alihan risiko bagi masing-masing pihak terkait sehingga mereka merasa lebih aman untuk melakukan transaksi.
Apabila pihak eksportir melakukan pengiriman barang-barng mereka kepada importir terlebih dahulu sebelum importir melakukan pembayaran atas harga barang yang dikirim tersebut, akan timbul kekhawatiran dari pihak eksportir kalau importir tidak melaksanakan pembayaran sedangkan barang-barang sudah terlanjur dikirim ke negara importir, sehingga eksportir akan menanggung risiko kemungkinan tidak diterimanya pembayaran. Sebaliknya apabila importir melakukan pembayaran/mengirim uang terlebih dahulu kepada eksportir sebelum barang dikirim oleh eksportir kepada importir, justru saat ini importir yang khawatir dan mempunyai risiko kalau pihak eksportir tidak mengirimkan barang-barang sesuai dengan pesanan, sedangkan pembayarannya telah dilakukan terlebih dahulu.
Kondisi ragu-ragu dan saling curiga antara eksportir dan importir akan berlangsung terus karena masing-masing pihak tidak akan mau melakukan transaksi yang berisiko tinggi tanpa adanya suatu jaminan dan kepastian akan pembayaran maupun peneriamaan barang sesuai dengan kesepakatan mereka, sehingga akhirnya akan berdampak terhadap kelancaran dan pertumbuhan transaksi perdagangan secara keseluruhan.
Untuk menjembatani permasalahan ini diperlukan suatu instrumen yang dikeluarkan oleh institusi yang independen dan dapat diterima oleh masing-masing pihak terkait agar mereka dapat menjalankan transaksi secara aman tanpa keraguan. Instrumen tersebut adalah letter of credit, merupakan dokumen bank yang intinya berupa janji atau komitmen bank kepada pihak penjual/eksportir melalui bank mereka untuk melakukan pembayaran, pembelian atau akseptasi dokumen-dokumen yang mereka kirim, dengan syarat apabila semua klausula-klausula yang disyaratkan dalam dokumen tadi telah dipenuhi oleh penjual/eksportir.
Dalam hal ini bank sebagai penerbit letter of credit akan menerbitkan letter of credit atas dasar permohonan dari pembeli (importir) melalui sales contract yang telah mereka sepakati (antara importir dan eksportir) sehingga pihak bank dalam hal ini bukan dalam posisi mewakili importir, tetapi memberikan jaminan terhadap kelangsungan bisnis importir, karena dengan adanya letter of credit ini pihak eksportir akan merasa aman untuk mengirimkan barang-barangnya terlebih dahulu sedangkan pembayaran dari importir akan diterima nanti setelah dokumen-dokumen yang diterima mereka, diperiksa dan sesuai dengan yang disepakati. Pembayarn baru akan dilakukan apabila semua dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam letter of credit tersebut telah dipenuhi oleh eksportir.
3.    Kartu Kredit
Bank menjamin nasabah (pemegang kartu) untuk belanja tanpa uang cash kepada pihak ketiga (merchant, supermarket, hypermarket).Dan karena penjaminan itu, maka bank selaku kafil dapat mengenakan ujrah (fee) kepada nasabah
L.     Pengertian Rahn
Secara etimologi, gadai (al-rahn) berarti al-t}ubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan.[17] Sedangkan secara terminologi, al-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.[18]
Beberapa  pandangan atau pendapat ulama fiqh mengenai pengertian gadai (ar-rahn) di antaranya adalah:
1.      Ulama Syafi’iyah: “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.”
2.      Ulama Malikiyah: “Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.”  
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi penyerahannya boleh juga secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya (sertifikat sawah).
3.      Ulama Hanabilah: “Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.”
4.      Ulama Hanafiyah: “Menjadikan sesuatu (barang) sebagai  jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya.” [19]
M.   Dasar Hukum Rahn
1.      Al-Qur’an
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْ ضَةٌ ۗ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ...

 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)....(QSal-Baqarah: 283)

Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan bisa dikenal sebgai jaminan (collateral) atau objek pegadaian.[20]
2.      Al-Hadits
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامَا مِنْ يَهُودِيِّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi.” (HR. Bukhari no. 1926, kitab al-Bayu, dan Muslim)

N.    Aplikasi Rahn Pada Bank Syariah
Kontrak rahn dipakai dalam dua hal, yaitu:
1.      Sebai prinsip
Rahn dipakai dalam prinsip, artinya sebagai akad tambahan terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan ba’i al murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensinya akad tersebut.
2.      Sebagai produk
Dibeberapa Negara akad rahn dipakai sebagai alternative dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa dalam rahn tidak dikenal bunga tetap, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan penjagaan serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berkumulasi dan berfungsi ganda, sementara rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka.[21]
O.    Pengertian Qirad}
Menurut bahasa Qirad} diambil dari kata qardh yang berarti potongan, sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Qirad} disebut juga dengan mudharabah(bagi hasil).
Menurut istilah Syar’i qiradh berarti akad diantara dua pihak untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi diantara mereka berdua sesuai perjanjian yang telah disepakati.[22]
P.     Landasan Hukum Qiradh
1.      Al Qur’an
}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§
Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (Rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (QS.Al Baqarah: 198)

2.      As Sunah
Hadits yang berkaitan dengan qiradh antara lain:
a.       Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain) dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjual belikan” (HR. Ibnu Majah dan Shuhaib)
b.      Dalam hadits yang lain diriwayatkan oleh Tabrani dan Ibnu Abbas bahwa Abbas Ibn Muthalib jika memberikan harta untuk mudarabah, dia mensyaratkan kepada pengusaha untuk tidak melewati lautan, menuruni jurang dan membeli hati yang lembab. Jika melanggar persyaratan tersebut ia harus menanggungnya. Persyaratan tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau memperbolehkannya.[23]
Q.    Aplikasi Dalam Perbankan
Akad qard biasanya diterapkan sebagai berikut:
1.      Sebagai produk perlengkapan kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas danbonafiditasnya,yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yangrlatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlahuang yang dipinjamnya itu.
2.      Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat,sedangkan ia tidak bisamenarik dananya karena,misalnya tersimpan dalam bentuk deposito.
3.      Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kcil atau memebayarsektor sosial. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produkkhusus yaitu al-qardh al-hasan[24]



BAB III
KESIMPULAN

1.       Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil. Menurut kalangan syafi‟iyah arti wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-muwakil) kepada orang lain (al-wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu an-niyabah) dan dapat di lakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan tersebut di laksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup.
2.       Secara etimologi, yang dimaksud dengan hawalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya memindahkan atau mengoperkan. Sedangkan secara terminologi, pengertian hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
3.       Secara etimologi berarti penjaminan. Kafalah mempunyai padanan kata yang banyak, yaitu dhamanah, hamalah, dan za’amah. Menurut Al-Mawardi, ulama madzhab Syafi’i, semua istilah tersebut memiliki arti yang sama, yaitu penjaminan. Menurut istilah kafalah berarti akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak (kafil) kepada pihak lain (makful ‘anhu) dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful lahu).
4.       Secara etimologi, gadai (al-rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan.. Sedangkan secara terminologi, al-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.
5.      Menurut bahasa Qirad} diambil dari kata qardh yang berarti potongan, sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Qirad} disebut juga dengan mudharabah(bagi hasil). Menurut istilah Syar’i qiradh berarti akad diantara dua pihak untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi diantara mereka berdua sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Daftar Pustaka

Ayub, Muhammad,  Understanding Islamic Finance,  (Jakarta,  PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Dahlan, Abdul Aziz, dkk Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 6.
http://alhushein.blogspot.com diakses 29 april 2016 14:15 WIB
Karim, Helmi Fiqh Muamalah cet. 3, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik, Cetakan 1, Jakarta: Gema Insani, 2001),
Rhesa Yogaswara, dapat dilihat http://viewislam.wordpress.com/2016/04/16/konsep-akad-wakalah-dalam-fiqh-muamalah/ diakses 2 Mei 2016 13:15 WIB
Sabiq Sayyid, Fiqhus Sunnah dalam Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik Jakarta : Gema Insani, 2008.
Sesuai dengan pasal 8 huruf e,f,h,j dan I, surat keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/kep./dir  tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip syariah
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, Jakarta: Grafindo Persada, 2010.
Susanto, Burhanuddin. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: UII Press 2008..




[1]  Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press 2008), 224.
[2]  Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah dalam Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani, 2008), 120.
[3]  Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002) , 20
[4]  Muhammad Ayub,  Understanding Islamic Finance,  (Jakarta,  PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 529
[5]  Abdul Aziz Dahlan, dkk Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 6, 1912
[6]  Rhesa Yogaswara, dapat dilihat http://viewislam.wordpress.com/2016/04/16/konsep-akad-wakalah-dalam-fiqh-muamalah/ diakses 2 Mei 2016 13:15 WIB.
[8]  Sesuai dengan pasal 8 huruf e,f,h,j dan I, surat keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/kep./dir  tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip syariah
[9]  Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), 99.
[10]  Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 126.
[11]  Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, 99.
[12]  Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah. 127
[13]  Ibid., 231.
[14]  Antonio, Bank Syariah, 231.
[15]  Ibid., 232.
[16]  http://alhushein.blogspot.com diakses 29 april 2016 14:15 WIB
[17]  Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. 105.
[18]  Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah. 128.
[20]  Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, 216.
[21]  Ibid., 217.
[22]  Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Rajawalai Pers,2010), 51.
[23]  Ibid.
[24]  Antonio, Bank Syariah, 226