Thursday, August 11, 2016

Kaidah Pokok Qawaid Al-Fiqhiyah dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Syari’ah (KAIDAH PENETAPAN HUKUM)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) dan Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah dan kaidah ushuliyah. Melihat dari fungsinya kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah digunakan sebagai sarana ushul dalam menggali hukum syar’i. Maka dari itu kedua ushul ini sangat penting untuk di pelajari. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif  di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang kelahiran qawaid al-fiqhiyah?
2.      Apa fungsi dan manfaat qawaid al-fiqhiyah?
3.      Apakah kaidah pokok qawaid al-fiqhiyah?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Kelahiran Qawaid Al-Fiqhiyah
Ketika Rasulullah saw masih hidup, segala persoalan yang dialami umat Islam bisa langsug ditanyakan kepada beliau, dan sebagai mubayyin atau pemberi kejelasan, Rasulullah saw memang selalu bersikap kooperatif dan terbuka menerima beragam persoalan yang diajukan umatnya. Setiap pertanyaan dijawab secara tegas dan memuaskan, walaupun ada sebagian jawaban yang masih bersifat umum. Para sahabat pun bersikap taat, mengikuti serta melaksanakan apa yang disampaikan Rasulullah saw.
Di kala Rasulullah saw telah wafat, para sahabat mau tidak mau haris berijtihad untuk memecahkan beragam persoalan yang mereka hadapi. Semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi dan tidak pernah ada pada masa sebelumnya mengharuskan mereka berijtihad agar diketahui hukumnya, sebab Rasulullah saw sebagai rujukan hukum sudah tidak ada lagi. Metode yang ditempuh sahabat setiap kali menghadapi persoalan baru adalah pertama-tama berusaha mencari jawabannya dalam al-Qur’an. Jika dalam al-Qur’an tidak ditemukan, maka langkah kedua adalah berupaya meneliti hadits-hadits nabi saw. Namun jika dalam hadits pun tidak ditemukan, maka mereka pun berupaya melakukan ijtihad sendiri dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsp pokok yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Adapun pembukuan ilmu al-qawā’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh) sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan terlepas dari ilmu fiqh, maka dengan menelaah buku-buku yang membahas mengenai ilmu ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa ulama-ulama mażhab Ḥanafi lah yang pertama kali membukukan al-qawā’id al-fiqhiyyah sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri.
Di antara ulama-ulama tersebut, salah satunya adalah Abū Ţāhir al-Dibās. Disebutkan bahwasanya Imām Abū Ţāhir al-Dibās[1] salah seorang tokoh mażhab Ḥanāfiyah, yang bermukim di daerah yang dikenal dengan negeri ”Mā Warā’a al-Naḥar”, berhasil menyimpulkan fiqh mażhab Ḥanāfiyah, kedalam empat belas kaidah fiqh, ketika berita itu didengar oleh Imām Abū Sa’īd al-Harawi beliau segera bersafar kepada al-Dibās. Abū Ţāhir al-Dibās adalah orang yang buta (tidak melihat), ia kemudian sering mengulang-ulangi empat belas kaidah tersebut setiap malam di masjid ketika masjid dalam keadaan kosong, al-Harawi kemudian menyiapkan posisinya, sementara semua jama’ah telah keluar masjid, lalu al-Dibās pun mengunci pintu masjid. Ia kemudian sempat mengulangi tujuh dari kaidah-kaidah fiqh tersebut, kaidah itupun didengar oleh al-Harawi dan dihapalkannya, namun hal itu diketahui oleh al-Dibās sehingga ia memukul al-Harawy dan mengeluarkannya dari masjid, sejak saat itu,    al-Dibās tidak pernah lagi mengulangi kebiasaannya itu. Adapun al-Harawi, maka ia kembali kepada sahabat-sahabatnya dan menyebarkan tujuh kaidah yang telah didengarnya dari al-Dibās tersebut.[2] 
Berita dan kejadian di atas didengar oleh al-Qāḍī Husain[3], ia pun kemudian berusaha mengumpulkan fiqh mażhab Syāfi’iyah dan berhasil menyimpulkannya kedalam empat kaidah besar, yaitu:
1.      Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan ( الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ  ).
2.      Kesulitan mendatangkan kemudahan ( الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ ).
3.      Kemudaratan harus dihilangkan  ( الضَّرَرُ يُزَالُ ).
4.      Adat kebiasaan dapat digunakan sebagai landasan hukum  ( الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ).[4]
Keempat kaidah tersebut, di kemudian hari menjadi cikal bakal munculnya al-qawā’id al-khamsu al-kubrā, setelah beberapa ulama fiqh mażhab Syāfi’ī menambahkan satu kaidah lagi yaitu:  ( الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا“Hukum setiap perkara tergantung kepada maksudnya”, sehingga kesemuanya menjadi lima kaidah fiqh yang pokok dan disepakati oleh ulama-ulama mażhab Syāfi’ī.
Kitab pertama yang dibukukan dalam disiplin ilmu kaidah-kaidah fiqh secara khusus adalah Uşūl al-Karkhī oleh Imām Abū al-Ḥasan al-Karkhī[5], beliau mengumpulkan di dalam bukunya tersebut tiga puluh tujuh (37) kaidah, setelah itu muncul buku Uşūl al-Futyā oleh Imām Muhammad ibn al-Ḥariś al-Khasyānī al-Qairuwānī al-Mālikī[6], kemudian menyuşūl buku Ta’sīs al-naẓar oleh Imām Abū Zaid al-Dābūsī al-Ḥanafī[7] yang didalamnya terhimpun delapan puluh enam (86) kaidah, kemudian menjamur setelah itu buku-buku yang membahas secara khusus disiplin ilmu al-qawā’id al-fiqhiyyah dalam prespektif berbagai mażhab, di antaranya ada yang memiliki penjelasan yang panjang, ada yang berupa iktişār (kesimpulan), dan di antaranya ada yang merupakan penjelasan kembali (syarah) terhadap kitab-kitab yang ringkas.[8]

B.     Fungsi dan Manfaat al-Qawaid al-Fiqhiyah
Fungsi mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah:
1.      Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2.      Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3.      Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4.      Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
5.      Mempermudah dalam menguasai materi hukum
6.      Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
7.      Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
8.      Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik.[9]


C.    Kaidah Pokok Qawaid Al-Fiqhiyah dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Syari’ah
1.      Kaidah pertama
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
Segala sesuatu tergamtung tujuannya
a.       Pengertian Kaidah
Kaidah pertama ini al-umuru bi maqasidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqasid merupakan bentuk plural yang terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqsod.
Secara etimologi lafadz al-umuru merupakan bentuk plural dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz “al-umuru bi maqasidiha” diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.
b.      Makna Kaidah
Kaidah ini memiliki arti bahwasanya setiap perbuatan yang dilakukan tergantung pada niat yang dimunculkan, artinya setiap niat yang terefleksikan dalam tindakan nyata, maka niat yang tidak terealisasikan dalam bentuk dhohir maka tidak akan berimplikasi pada wujud syar’i. 
Hukum perbuatan dikembalikan pada niat, apabila seseorang meningggalkan hal-hal yang dilarang demi melaksanakan perintah, maka dia diberi pahala atas perbuatannya., tapi apabila dia meninggalkan hal-hal yang dilarang tersebut hanya berdasarkan kebiasaan maka tidak ada pahala baginya, contoh:Allah melarang makan bangkai diselain keadaan darurat, berdasarkan firman Allah:
حَرَّمَتْ عَلَيْكُمْ المَيْتَةَ
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,”
Apabila seseoraang meninggalkan makan bangkai karena dia jijik, maka tidak ada pahala baginya, tapi apabila dia tidak makan bangkai karena ada larangan syara’ maka Allah memberi pahala baginya.
c.       Dasar Kaidah
Al-Qur’an 
Qoidah Al umuru bi maqosidiha terbangun dari pesan terdalam dalam surat Al Bayyinah (5) tentang keharusan melakukan niat dalam ibadah.
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Artinya: “Mereka (orang-orang kafir)tidak diperintahkan kecuali untuik beribadahkepada Allah, seraya memurnikan ikhlas dlam beragama (ibadah)”
Dalam konteks ayat diatas, al Qurtubi menafsiri kata al din adalah ibadah. Dalam penafsiran ini beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat dalam kata mukhlishin, adalah perbuatan hati yang hanya di lakukan dalam rangka beribadah. Ikhas sendiri adalah perbuatan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara niat. Karena itu, jelaslah bahwa ada keterkaitan antara ibadah dan niat.
Al-Hadist
Hadist NAbi SAW yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah 
انما الاعمال بالنيات
Artinya: “keabsahan amal-amal tergantung pada niat”
Penelusuran secara semantik juga akan menguak kandungan terdalam hadits tersebut, sekaligus akan ditemukan beberapa elemen penting yang membuatnya layak untuk dijadikan bahan pijakan membangun kaidah “al-umuru bi maqashidiha ini. Pada permulaan hadits itu terdapat huruf innama yang berfungsi sebagai media “pembatas”rangkaian kalimat sesudahnya (adat al-hashr) artinya, ketika kata al-a’mal bi al-niyyat didahului oleh kata innama, maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya dengan niatlah amal perbuatan seseorang akan layak diperhitungkan; dianggap sebagai amal ibadah, tidak dengan selainnya.
d.      Aplikasi Kaidah
Berdasarkan pengertian dan makna qoidah bahwasanya setiap perbuatan yang dilakukan tergantung pada niat yang dimunculkan, jika sebuah pekerjaan tidak diniati, maka pekerjaan itu tidak dianggap sah menurut syari’at, begitu juga pekerjaan yang kita kerjakan pasti didasari niat (tujuan) tertentu, maka seseorang yang niat melakukan kebajikan dan tidak sampai terlaksana, sayri’at tetap memberi penghargaan padanya dengan menghadiahkan satu pahala. 



2.      Kaidah kedua  
الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ  
Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh kebimbangan
a.       Pengertian Kaidah
Manusia hidup tidak mungkin lepas dari beragam perasaan senang, sedih, sakit, sehat, kuat, lemah, rajin, malas dan ragu. Selalu menyertai denyut nadi kehidupan manusia. Islam pun sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin memiliki pengertian dan perhatian besar pada hal-hal yang bersifat psikologis-antropologis ini. Rasa yakin yang biasa mengawali hidup manusia baik dlam dunia bisnis, relasi sosial, hingga interaksi spiritualnya.
b.      Makna Kaidah
Kaidah ini menandaskan bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak dapat dipengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu uamh merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan tidak akan menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya. Seorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci dengan berwudlu misalnya tidak akan hilang hukum kesuciannya disebabkan munculnya keraguan setelah itu. Karena keraguan itu timbul, dia telah meyakini keabsahan thahârah yang telah dilakukan.
Yang dimaksud yakin dalam kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu objek hukum yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau persepsi kuat.
c.       Dasar Kaidah
Al-Qur’an 
Pondasi terbangun kaidah ini adalah firman Allah swt dalam Q.S. Yunus : 36 yang berbunyi
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ (٣٦)

Artinya:   “dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Ayat ini pada mulanya menyoroti karakter orang-orang musyrik yang seringkali berpegang pada perangkat-perangkat yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Terhadap Tuhan yang mesti disembah pun mereka masih cenderung berimajinasi pada benda-benda mati yang persepsi mereka dapat memberi jaminan keselamatan dan kelangsungan hidup. Dengan ayat ini, Allah SWT memberi penegasan akan hal yang mesti dijadikan pijakan berfikir dan bertindak, bukan masih diragukan. Karena walau bagaimanapun, hal yang masih dalam keragian atau masih menjadi tanda tanya tidak dapat disejajarkan dengan keyakinan.[10]
d.      Aplikasi Kaidah
Banyak sekali persoalan-persoalan hukum yang dicakup kaidah ini, diantaranya adalah keyakinan akan sahnya thaharah (bersuci). Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci semisalnya dengan berwudlu tidak akan hilang hukum thaharahnya disebabkan keraguan yang muncul kemudian.
Begitupum seseorang yang berhutang kepada temannya kemudian dia ragu apakah nilai hutangnya sebanyak sepuluh ribu atau sebelas ribu? Maka dia dihariskan membayar sebelas ribu. Dengan argumen apabila jumlah hutang yang sebenarnya adalah sebelas ribu, maka dia telah membayarnya dengan tepat. Namun jika hanya sepuluh ribu berarti dia telah berbuat kebaikan dengan bersedekah melalui kelebihan nilai nominal yang dibayarkan.
Alasan mendasar mendasar mengapa kebimbangan tidak bisa menghilangkan keyakinan adalah karena posisi keraguan (syak) dianggap lebih lemah daripada keyakinan.[11]



3.      Kaidah keliga  
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
Kesulitan akan mendorong kemudahan
a.       Pengertian Kaidah
Al-masyaqqah menurut arti bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. Al-Nahl ayat 7:
وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ
Artinya:     “Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.”

Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:
إِنَّ الدِيْنَ يُسْرٌ
Artinya:     “Agama itu mudah, tidak memberatkan.” Yusrun lawan dari kata ‘usyrun. 
b.      Makna Kaidah
Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah: 
إن الأحكام التى ينشأ عن تطبيقها حرج على المكلف ومشقة فى نفسه أو ماله فالشريعة تخففهما بما يقع تحت قدرة المكلف دون عسر أو حرج

“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf; dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”
Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna.
1.      Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah dalam pengertian pertama ini.
2.      Masyaqqah dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat berat.
3.      Masyaqqah dalam pengertian kesulitan yang tidak sampai ‘keluar’ dari kebiasaan umum.
4.      Masyaqqah yang dimaknai sebagai ‘melawan hawa nafsu’. 
Untuk membedakan masyaqqah yang bisa berpengaruh dalam tataran hukum, al-Syathibi memberikan sebuah batasan bahwa pekerjaan tersebut - karena saking beratnya - jika dilakukan terus menerus, akhirnya justru membuatnya ditinggalkan secara total atau sebagiannya saja. Atau jika pekerjaan itu dapat menyebabkan salah satu bagian dari pelaku menjadi “tidak beres”. Kesulitan dalam sebuah perbuatan yang berdampak terhadap hal-hal seperti ini termasuk dalam kategori masyaqqah yang “keluar dari kebiasaan”, dalam arti bahwa kesulitan yang semacam itu akan mempengaruhi formulasi hukum yang dihasilkan. Sedangkan apabila tidak sampai pada kondisi demikian, maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum.
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. 
c.       Dasar Kaidah
Al-Qur’an 
Dasar kaidah ini adalah firman Allah SWT di dalam surat al-Baqarah: 185
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر 
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Sedangkan dalam surat al-Hajj ayat 78 dinyatakan:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ 
“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.

Dalam surat al-Maidah ayat 6, Allah SWT berfirman:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ 
“Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”
Dari akumulasi (kumpulan) ayat yang telah disebutkan di atas, maka tercetuslah sebuah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib al-taysir yang bermakna bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besarnya apresiasi syari’at pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum. Bahkan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang lebih ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah SWT. 
Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas tidak berlaku serampangan dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi agar kemudahan itu dapat diperoleh. Hal itu akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
d.      Aplikasi Kaidah
Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syari’at bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang melarang. 
Sebaliknya, jika formulasi hukum syari’at tidak mengalami perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar syari’at yang bersifat umum dan tidak terbatas pada obyek, situasi, kondisi, dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya, ‘azimah adalah sebentuk kerangka hukum dasar (fundamental) yang belum mengalami perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.
Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syari’at masih seperti sedia kala, maka ia dinamakan ‘azimah. Tapi bila telah berubah dan mengalami perubahan bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka ia dinamakan rukhshah. 
4.      Kaidah keempat  
الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Bahaya harus dihilangkan
a.       Pengertian Kaidah
Setiap orang dalam hidupnya pasti tidak ingin tertimpa bahaya atau kesusahan. Pembawaan alamiah ini membuat kebanyakan manusia selalu berpikir pragmatis dan praktis. Ia selalu berupaya merengkuh kebahagiaan sepuas-puasnya dan berusaha menghindari bahaya sejauh-jauhnya. Sebagai bukti adalah makna yang terangkum dalam konsep kaidah ini, yang secara eksplisit memotivasi kita untuk membuang jauh-jauh semua bahaya.  

b.      Dasar Kaidah
لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Jangan membahayakan diri dan orang lain”
Bila ditinjau dari aspek bahasa maupun tata bahasa hadits yang terlihat pendek dan sederhana ini ternyata mepunyai banyak kandungan makna yang dalam.
c.       Aplikasi Kaidah
Di kalangan fuqaha sendiri diskursus seputar siapa yang berwenang menentukan nilai mashlahah dan mafsadah sangat semarak. Namun secara umum fuqaha sepakat bahwa cara menentukan nilai suatu pekerjaan harus melalui panduan syariah.
5.      Kaidah kelima
الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Adat istiadat dijadikan pijakan hukum
a.       Pengertian Kaidah
Berkaitan dengan batasan adat dalam kaidah ini, fuqaha sebagaimana dikutip al-Suyuti memberikan batasan bahwa “adat istiadat” yang bisa mendapat legistimasi syari’at adalahg segala sesuatu yang tidak mempunyai batasan syari’at.

b.      Dasar Kaidah
Al-Qur’an
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (١٩٩)
Artinya: jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(Q.S. Al-A’raf: 199)
c.       Aplikasi Kaidah
1.      Kadar pergerakan dalam salat. Ukuran pergerakan yang dianggap banyak atau sedikit dikembalikan pada adat istiada atau kebiasaan baik kebiasaan yang bersifat pribadi atau kolektif. Sehingga jika dianggap banyak maka akan membatalkan salat, tapi bila dinilai sedikit maka tidak membatalkan.
2.      Standar takaran dan timbangan. Untuk menentukan jenis timbangan dan takaran sepenuhnya diserahkan pada kebiasaan masyarakat. Tidak ada ketentuan paten bahwa dalam jual beli harus memakai standar tertentu semuanya diserahkan pada pada tradsisi.



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Kaidah Pokok Qawaid Al-Fiqhiyah dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Syari’ah
1.      Segala sesuatu tergamtung tujuannya ( الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا )
2.      Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan ( الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ  ).
3.      Kesulitan mendatangkan kemudahan ( الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ ).
4.      Kemudaratan harus dihilangkan  ( الضَّرَرُ يُزَالُ ).
5.      Adat kebiasaan dapat digunakan sebagai landasan hukum  ( الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ).



DAFTAR PUSTAKA

Abū al-Ḥasanāt Muḥammad ibn ‘Abdul Hay al-Kanawī al-Hindī. al-Fawā’idu                  al-Bahiyyatu fī Tarājimi al-Ḥanafiyyah.  t. Cet; Beirūt: Dār  al-Ma’rifah, 1323 H.
Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.
Muhammad bin Jarir bin Yazid al-Thabariy. Tafsir al-Thabary. Dar al-Fikr, Beirut: 1405, XI/116.
Muhammad Khalid al-Attasi, Syarh Majallah al-Ahkam al-Adliyah, Mathba’ah Himsh, Himsh 1349 H, 18.




 




[1]Muḥammad ibn Muḥammad ibn Sufyan, Abū Thahir al-Dibās, Imām Ahlu al-Ra’yi Iraq di zamannya, pernah menjadi Qāḍī di Syam, kemudian ia pergi ke Mekah dan wafat di sana. Lihat: Abū al-Ḥasanāt Muḥammad ibn ‘Abdul Hay al-Kanawī al-Hindī, al-Fawā’idu                  al-Bahiyyatu fī Tarājimi al-Ḥanafiyyah ,  (t. Cet; Beirūt: Dār  al-Ma’rifah, 1323 H.), h. 187.
[2] Jalaluddīn 'Abdurraḥmān bin Abī Bakar al-Suyūţī, op. cit., h. 7.; Kisah ini masih diragukan keabsahannya, sebab tidak pantas perbuatan seperti itu dilakukan oleh seorang ulamā’, apalagi menyembunyikan ilmu, Wallahu a’lam.. Lihat juga: Ismā’īl ibn Ḥasan ibn Muḥammad ‘Ulwān, op. cit., h. 47.    
[3] al-Ḥusain ibn Muḥammad ibn Aḥmad, Abū ‘Ali al-Marważī al-Qāḍī al-Syāfi’ī, salah seorang ulamā’ mażhab Syāfi’ī, wafat tahun 462 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī,  Juz. XVIII.,  op. cit., h. 260.;  Abū Naşr ‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali al-Subkī, Juz. IV., op. cit., h. 356.
[4] Jalaluddīn 'Abdurrahmān bin Abī Bakar al-Suyūţī,  op. cit., h. 7 dan 33.
[5]‘Ubaidullāh ibn al-Ḥusain ibn Dilāl, Abū al-Ḥasan al-Baghdādī al-Karkhī. salah seorang ulamā’ besar mażhab Ḥanafiyyah, mufti kota Iraq, wafat tahun 340 H. Lihat:  Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī,  Juz. XV.,  op. cit., h. 426.    
[6] Muḥammad ibn Ḥariş ibn Asad al-Khasyānī al-Qairuwaany, Abū ‘Abdillāh, seorang ulamā’ mażhab Mālikiyah, wafat tahun 361 H. Lihat: Juz. XVI., ibid., h. 165.
[7] ‘Abdullāh ibn ‘Umar ibn ‘Isa al-Dābūsī al-Bukhārī, al-Qāḍī Abū Zaid, ulamā’ negeri Mā Warā’a al-Naḥar, ulamā’ mażhab Ḥanafiyyah , wafat di kota Bukhara tahun 430 H. Lihat: Juz. XVII., ibid., h. 521.  
[8] Ismail ibn Ḥasan ibn Muḥammad ‘Ulwān, op. cit., h. 48.
[9] Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003
[10] Muhammad bin Jarir bin Yazid al-Thabariy, Tafsir al-Thabary. Dar al-Fikr, Beirut: 1405, XI/116.
[11] Muhammad Khalid al-Attasi, Syarh Majallah al-Ahkam al-Adliyah, Mathba’ah Himsh, Himsh 1349 H, 18.

No comments:

Post a Comment