BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Qawaidul
fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) dan Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul)
adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak dari kita yang kurang mengerti
bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah dan kaidah
ushuliyah. Melihat dari fungsinya kaidah ushuliyah dan kaidah
fiqhiyah digunakan sebagai sarana ushul dalam menggali hukum syar’i. Maka dari
itu kedua ushul ini sangat penting untuk di pelajari. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan
tentang kaidah-kaidah fiqh. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan
mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi
titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain
itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lebih mudah mencari
solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
latar belakang kelahiran qawaid al-fiqhiyah?
2. Apa
fungsi dan manfaat qawaid al-fiqhiyah?
3. Apakah
kaidah pokok qawaid al-fiqhiyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Kelahiran Qawaid Al-Fiqhiyah
Ketika Rasulullah saw
masih hidup, segala persoalan yang dialami umat Islam bisa langsug ditanyakan
kepada beliau, dan sebagai mubayyin atau pemberi kejelasan, Rasulullah
saw memang selalu bersikap kooperatif dan terbuka menerima beragam persoalan
yang diajukan umatnya. Setiap pertanyaan dijawab secara tegas dan memuaskan,
walaupun ada sebagian jawaban yang masih bersifat umum. Para sahabat pun
bersikap taat, mengikuti serta melaksanakan apa yang disampaikan Rasulullah
saw.
Di kala Rasulullah saw
telah wafat, para sahabat mau tidak mau haris berijtihad untuk memecahkan
beragam persoalan yang mereka hadapi. Semakin kompleksnya permasalahan yang
dihadapi dan tidak pernah ada pada masa sebelumnya mengharuskan mereka
berijtihad agar diketahui hukumnya, sebab Rasulullah saw sebagai rujukan hukum
sudah tidak ada lagi. Metode yang ditempuh sahabat setiap kali menghadapi
persoalan baru adalah pertama-tama berusaha mencari jawabannya dalam al-Qur’an.
Jika dalam al-Qur’an tidak ditemukan, maka langkah kedua adalah berupaya
meneliti hadits-hadits nabi saw. Namun jika dalam hadits pun tidak ditemukan,
maka mereka pun berupaya melakukan ijtihad sendiri dengan tetap berpegang pada
prinsip-prinsp pokok yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Adapun pembukuan ilmu al-qawā’id
al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh) sebagai disiplin ilmu yang berdiri
sendiri dan terlepas dari ilmu fiqh, maka dengan menelaah buku-buku yang membahas
mengenai ilmu ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa ulama-ulama mażhab Ḥanafi lah
yang pertama kali membukukan al-qawā’id al-fiqhiyyah sebagai suatu
disiplin ilmu yang mandiri.
Di antara ulama-ulama
tersebut, salah satunya adalah Abū Ţāhir al-Dibās. Disebutkan bahwasanya Imām
Abū Ţāhir al-Dibās[1] salah seorang tokoh mażhab Ḥanāfiyah, yang bermukim di daerah yang dikenal
dengan negeri ”Mā Warā’a al-Naḥar”, berhasil menyimpulkan fiqh mażhab
Ḥanāfiyah, kedalam empat belas kaidah fiqh, ketika berita itu didengar oleh
Imām Abū Sa’īd al-Harawi beliau segera bersafar kepada al-Dibās. Abū Ţāhir
al-Dibās adalah orang yang buta (tidak melihat), ia kemudian sering
mengulang-ulangi empat belas kaidah tersebut setiap malam di masjid ketika
masjid dalam keadaan kosong, al-Harawi kemudian menyiapkan posisinya, sementara
semua jama’ah telah keluar masjid, lalu al-Dibās pun mengunci pintu masjid. Ia
kemudian sempat mengulangi tujuh dari kaidah-kaidah fiqh tersebut, kaidah
itupun didengar oleh al-Harawi dan dihapalkannya, namun hal itu diketahui oleh
al-Dibās sehingga ia memukul al-Harawy dan mengeluarkannya dari masjid, sejak
saat itu, al-Dibās tidak pernah lagi
mengulangi kebiasaannya itu. Adapun al-Harawi, maka ia kembali kepada
sahabat-sahabatnya dan menyebarkan tujuh kaidah yang telah didengarnya dari
al-Dibās tersebut.[2]
Berita dan kejadian di
atas didengar oleh al-Qāḍī Husain[3], ia pun kemudian berusaha mengumpulkan fiqh mażhab Syāfi’iyah dan berhasil
menyimpulkannya kedalam empat kaidah besar, yaitu:
1.
Keyakinan tidak dapat dihilangkan
oleh keraguan ( الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ ).
2.
Kesulitan mendatangkan kemudahan ( الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ ).
3.
Kemudaratan harus dihilangkan ( الضَّرَرُ يُزَالُ
).
Keempat kaidah tersebut,
di kemudian hari menjadi cikal bakal munculnya al-qawā’id al-khamsu
al-kubrā, setelah beberapa ulama fiqh mażhab Syāfi’ī menambahkan satu
kaidah lagi yaitu: ( الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
) “Hukum setiap perkara tergantung
kepada maksudnya”, sehingga kesemuanya menjadi lima kaidah fiqh yang pokok
dan disepakati oleh ulama-ulama mażhab Syāfi’ī.
Kitab pertama yang dibukukan dalam disiplin ilmu kaidah-kaidah fiqh secara
khusus adalah Uşūl al-Karkhī oleh Imām Abū al-Ḥasan al-Karkhī[5],
beliau mengumpulkan di dalam bukunya tersebut tiga puluh tujuh (37) kaidah,
setelah itu muncul buku Uşūl al-Futyā oleh Imām Muhammad ibn al-Ḥariś
al-Khasyānī al-Qairuwānī al-Mālikī[6],
kemudian menyuşūl buku Ta’sīs al-naẓar oleh Imām Abū Zaid al-Dābūsī
al-Ḥanafī[7]
yang didalamnya terhimpun delapan puluh enam (86) kaidah, kemudian menjamur
setelah itu buku-buku yang membahas secara khusus disiplin ilmu al-qawā’id
al-fiqhiyyah dalam prespektif berbagai mażhab, di antaranya ada yang
memiliki penjelasan yang panjang, ada yang berupa iktişār (kesimpulan),
dan di antaranya ada yang merupakan penjelasan kembali (syarah) terhadap
kitab-kitab yang ringkas.[8]
B.
Fungsi
dan Manfaat al-Qawaid al-Fiqhiyah
Fungsi mempelajari qawaid fiqhiyah
itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri,
manfaat qawaid fiqhiyah ialah:
1. Dengan mempelajari
kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang
mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2. Dengan memperhatikan
kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang
dihadapi.
3. Dengan mempelajari kaidah
fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang
berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4. Meskipun kaidah-kaidah
fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya
kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah,
meskipun dengan cara yang tidak langsung.
5. Mempermudah dalam
menguasai materi hukum
6. Kaidah membantu menjaga
dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
7. Mendidik orang yang
berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahan baru.
8. Mempermudah orang yang
berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya
dalam satu topik.[9]
C.
Kaidah
Pokok Qawaid Al-Fiqhiyah dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Syari’ah
1.
Kaidah
pertama
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
Segala sesuatu
tergamtung tujuannya
a.
Pengertian Kaidah
Kaidah
pertama ini al-umuru bi maqasidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz
al-umuru dan al- maqasid merupakan bentuk plural yang terbentuk
dari lafadz al-amru dan al-maqsod.
Secara etimologi lafadz al-umuru merupakan bentuk plural dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz “al-umuru bi maqasidiha” diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.
Secara etimologi lafadz al-umuru merupakan bentuk plural dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz “al-umuru bi maqasidiha” diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.
b. Makna Kaidah
Kaidah
ini memiliki arti bahwasanya setiap perbuatan yang dilakukan tergantung pada
niat yang dimunculkan, artinya setiap niat yang terefleksikan dalam tindakan
nyata, maka niat yang tidak terealisasikan dalam bentuk dhohir maka tidak akan
berimplikasi pada wujud syar’i.
Hukum
perbuatan dikembalikan pada niat, apabila seseorang meningggalkan hal-hal yang
dilarang demi melaksanakan perintah, maka dia diberi pahala atas perbuatannya.,
tapi apabila dia meninggalkan hal-hal yang dilarang tersebut hanya berdasarkan
kebiasaan maka tidak ada pahala baginya, contoh:Allah melarang makan bangkai
diselain keadaan darurat, berdasarkan firman Allah:
حَرَّمَتْ
عَلَيْكُمْ المَيْتَةَ
“
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,”
Apabila
seseoraang meninggalkan makan bangkai karena dia jijik, maka tidak ada pahala
baginya, tapi apabila dia tidak makan bangkai karena ada larangan syara’ maka
Allah memberi pahala baginya.
c. Dasar Kaidah
Al-Qur’an
Qoidah
Al umuru bi maqosidiha terbangun dari pesan terdalam dalam surat Al
Bayyinah (5) tentang keharusan melakukan niat dalam ibadah.
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Artinya: “Mereka (orang-orang kafir)tidak diperintahkan
kecuali untuik beribadahkepada Allah, seraya memurnikan ikhlas dlam beragama
(ibadah)”
Dalam
konteks ayat diatas, al Qurtubi menafsiri kata al din adalah ibadah. Dalam
penafsiran ini beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat dalam kata
mukhlishin, adalah perbuatan hati yang hanya di lakukan dalam rangka beribadah.
Ikhas sendiri adalah perbuatan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara
niat. Karena itu, jelaslah bahwa ada keterkaitan antara ibadah dan niat.
Al-Hadist
Hadist
NAbi SAW yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah
انما الاعمال بالنيات
Artinya: “keabsahan amal-amal tergantung pada
niat”
Penelusuran
secara semantik juga akan menguak kandungan terdalam hadits tersebut, sekaligus
akan ditemukan beberapa elemen penting yang membuatnya layak untuk dijadikan
bahan pijakan membangun kaidah “al-umuru bi maqashidiha ini. Pada permulaan
hadits itu terdapat huruf innama yang berfungsi sebagai media
“pembatas”rangkaian kalimat sesudahnya (adat al-hashr) artinya, ketika kata
al-a’mal bi al-niyyat didahului oleh kata innama, maka akan menimbulkan
pengertian bahwa hanya dengan niatlah amal perbuatan seseorang akan layak
diperhitungkan; dianggap sebagai amal ibadah, tidak dengan selainnya.
d.
Aplikasi Kaidah
Berdasarkan
pengertian dan makna qoidah bahwasanya setiap perbuatan yang dilakukan
tergantung pada niat yang dimunculkan, jika sebuah pekerjaan tidak diniati,
maka pekerjaan itu tidak dianggap sah menurut syari’at, begitu juga pekerjaan
yang kita kerjakan pasti didasari niat (tujuan) tertentu, maka seseorang yang
niat melakukan kebajikan dan tidak sampai terlaksana, sayri’at tetap memberi
penghargaan padanya dengan menghadiahkan satu pahala.
2.
Kaidah
kedua
الْيَقِيْنُ
لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
Keyakinan tidak
dapat dihilangkan oleh kebimbangan
a.
Pengertian Kaidah
Manusia
hidup tidak mungkin lepas dari beragam perasaan senang, sedih, sakit, sehat,
kuat, lemah, rajin, malas dan ragu. Selalu menyertai denyut nadi kehidupan
manusia. Islam pun sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin memiliki
pengertian dan perhatian besar pada hal-hal yang bersifat
psikologis-antropologis ini. Rasa yakin yang biasa mengawali hidup manusia baik
dlam dunia bisnis, relasi sosial, hingga interaksi spiritualnya.
b. Makna Kaidah
Kaidah
ini menandaskan bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak dapat
dipengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu uamh merupakan unsur
eksternal dan muncul setelah keyakinan tidak akan menghilangkan hukum yakin
yang telah ada sebelumnya. Seorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada
dalam kondisi suci dengan berwudlu misalnya tidak akan hilang hukum kesuciannya
disebabkan munculnya keraguan setelah itu. Karena keraguan itu timbul, dia
telah meyakini keabsahan thahârah yang telah dilakukan.
Yang
dimaksud yakin dalam kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu
objek hukum yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai kadar
pengetahuan yang mantap atau persepsi kuat.
c. Dasar Kaidah
Al-Qur’an
Pondasi
terbangun kaidah ini adalah firman Allah swt dalam Q.S. Yunus : 36 yang
berbunyi
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا
إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
(٣٦)
Artinya:
“dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka kerjakan.”
Ayat
ini pada mulanya menyoroti karakter orang-orang musyrik yang seringkali
berpegang pada perangkat-perangkat yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Terhadap Tuhan yang mesti disembah pun mereka masih cenderung berimajinasi pada
benda-benda mati yang persepsi mereka dapat memberi jaminan keselamatan dan
kelangsungan hidup. Dengan ayat ini, Allah SWT memberi penegasan akan hal yang
mesti dijadikan pijakan berfikir dan bertindak, bukan masih diragukan. Karena
walau bagaimanapun, hal yang masih dalam keragian atau masih menjadi tanda
tanya tidak dapat disejajarkan dengan keyakinan.[10]
d.
Aplikasi Kaidah
Banyak
sekali persoalan-persoalan hukum yang dicakup kaidah ini, diantaranya adalah
keyakinan akan sahnya thaharah (bersuci). Seseorang yang sebelumnya
telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci semisalnya dengan berwudlu
tidak akan hilang hukum thaharahnya disebabkan keraguan yang muncul
kemudian.
Begitupum
seseorang yang berhutang kepada temannya kemudian dia ragu apakah nilai
hutangnya sebanyak sepuluh ribu atau sebelas ribu? Maka dia dihariskan membayar
sebelas ribu. Dengan argumen apabila jumlah hutang yang sebenarnya adalah
sebelas ribu, maka dia telah membayarnya dengan tepat. Namun jika hanya sepuluh
ribu berarti dia telah berbuat kebaikan dengan bersedekah melalui kelebihan
nilai nominal yang dibayarkan.
Alasan
mendasar mendasar mengapa kebimbangan tidak bisa menghilangkan keyakinan adalah
karena posisi keraguan (syak) dianggap lebih lemah daripada keyakinan.[11]
3.
Kaidah
keliga
الْمَشَقَّةُ
تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
Kesulitan akan
mendorong kemudahan
a. Pengertian
Kaidah
Al-masyaqqah menurut arti bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu
kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS.
Al-Nahl ayat 7:
وَتَحْمِلُ
أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ
Artinya: “Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu
negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan
kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.”
Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:
إِنَّ
الدِيْنَ يُسْرٌ
Artinya: “Agama itu mudah, tidak memberatkan.” Yusrun
lawan dari kata ‘usyrun.
b. Makna Kaidah
Adapun makna
terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah:
إن الأحكام التى ينشأ عن تطبيقها حرج
على المكلف ومشقة فى نفسه أو ماله فالشريعة تخففهما بما يقع تحت قدرة المكلف دون
عسر أو
حرج
“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf; dan pada diri dan
sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban
tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”
Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna.
1.
Masyaqqah
dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh mukallaf
ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang manusia berusaha untuk terbang dia
dianggap melakukan masyaqqah dalam pengertian pertama ini.
2.
Masyaqqah
dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja
itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat
berat.
3.
Masyaqqah dalam
pengertian kesulitan yang tidak sampai ‘keluar’ dari kebiasaan umum.
4.
Masyaqqah yang
dimaknai sebagai ‘melawan hawa nafsu’.
Untuk membedakan masyaqqah yang bisa berpengaruh dalam tataran
hukum, al-Syathibi memberikan sebuah batasan bahwa pekerjaan tersebut - karena
saking beratnya - jika dilakukan terus menerus, akhirnya justru membuatnya
ditinggalkan secara total atau sebagiannya saja. Atau jika pekerjaan itu dapat
menyebabkan salah satu bagian dari pelaku menjadi “tidak beres”. Kesulitan
dalam sebuah perbuatan yang berdampak terhadap hal-hal seperti ini termasuk
dalam kategori masyaqqah yang “keluar dari kebiasaan”, dalam arti bahwa
kesulitan yang semacam itu akan mempengaruhi formulasi hukum yang dihasilkan.
Sedangkan apabila tidak sampai pada kondisi demikian, maka ia tidak dapat
berpengaruh pada tataran hukum.
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya
kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah
meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan
kesukaran.
c. Dasar Kaidah
Al-Qur’an
Dasar kaidah ini adalah firman Allah SWT di dalam surat al-Baqarah:
185
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS.
Al-Baqarah: 185)
Sedangkan dalam surat al-Hajj ayat 78 dinyatakan:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ
مِنْ حَرَجٍ
“Dan
dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
Dalam surat al-Maidah ayat 6, Allah SWT berfirman:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ
عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah
tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”
Dari akumulasi (kumpulan) ayat yang telah disebutkan di atas, maka
tercetuslah sebuah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib al-taysir yang bermakna
bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan
memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besarnya apresiasi
syari’at pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum. Bahkan, jika
seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu di antara dua hal, kemudian
ia memilih yang lebih ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh
Allah SWT.
Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas tidak berlaku
serampangan dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu yang harus
dipenuhi agar kemudahan itu dapat diperoleh. Hal itu akan dijelaskan pada
pembahasan selanjutnya.
d.
Aplikasi Kaidah
Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang
diberikan syari’at bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan
taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, rukhshah adalah sebuah
formulasi hukum yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan
obyek hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai
diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang
melarang.
Sebaliknya, jika formulasi hukum syari’at tidak mengalami
perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adalah
suatu formulasi hukum-hukum dasar syari’at yang bersifat umum dan tidak
terbatas pada obyek, situasi, kondisi, dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya,
‘azimah adalah sebentuk kerangka hukum dasar (fundamental) yang belum mengalami
perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.
Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syari’at masih seperti
sedia kala, maka ia dinamakan ‘azimah. Tapi bila telah berubah dan mengalami
perubahan bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka ia dinamakan rukhshah.
4.
Kaidah
keempat
الْعَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ
Bahaya harus
dihilangkan
a.
Pengertian Kaidah
Setiap orang dalam hidupnya pasti tidak ingin tertimpa bahaya atau
kesusahan. Pembawaan alamiah ini membuat kebanyakan manusia selalu berpikir
pragmatis dan praktis. Ia selalu berupaya merengkuh kebahagiaan sepuas-puasnya
dan berusaha menghindari bahaya sejauh-jauhnya. Sebagai bukti adalah makna yang
terangkum dalam konsep kaidah ini, yang secara eksplisit memotivasi kita untuk
membuang jauh-jauh semua bahaya.
b. Dasar Kaidah
لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Jangan
membahayakan diri dan orang lain”
Bila ditinjau dari aspek bahasa maupun tata bahasa hadits yang
terlihat pendek dan sederhana ini ternyata mepunyai banyak kandungan makna yang
dalam.
c.
Aplikasi Kaidah
Di kalangan fuqaha sendiri diskursus seputar siapa yang berwenang
menentukan nilai mashlahah dan mafsadah sangat semarak. Namun secara umum
fuqaha sepakat bahwa cara menentukan nilai suatu pekerjaan harus melalui
panduan syariah.
5.
Kaidah
kelima
الْعَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ
Adat istiadat
dijadikan pijakan hukum
a.
Pengertian Kaidah
Berkaitan
dengan batasan adat dalam kaidah ini, fuqaha sebagaimana dikutip al-Suyuti memberikan
batasan bahwa “adat istiadat” yang bisa mendapat legistimasi syari’at adalahg
segala sesuatu yang tidak mempunyai batasan syari’at.
b. Dasar Kaidah
Al-Qur’an
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (١٩٩)
Artinya: jadilah Engkau
Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh.(Q.S. Al-A’raf: 199)
c.
Aplikasi Kaidah
1.
Kadar
pergerakan dalam salat. Ukuran pergerakan yang dianggap banyak atau sedikit
dikembalikan pada adat istiada atau kebiasaan baik kebiasaan yang bersifat
pribadi atau kolektif. Sehingga jika dianggap banyak maka akan membatalkan
salat, tapi bila dinilai sedikit maka tidak membatalkan.
2.
Standar takaran
dan timbangan. Untuk menentukan jenis timbangan dan takaran sepenuhnya
diserahkan pada kebiasaan masyarakat. Tidak ada ketentuan paten bahwa dalam
jual beli harus memakai standar tertentu semuanya diserahkan pada pada
tradsisi.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kaidah Pokok Qawaid Al-Fiqhiyah dan Aplikasinya
Dalam Ekonomi Syari’ah
1.
Segala sesuatu tergamtung tujuannya ( الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا )
2.
Keyakinan tidak dapat dihilangkan
oleh keraguan ( الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ ).
3.
Kesulitan mendatangkan kemudahan ( الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ
التَّيْسِيْرَ
).
4.
Kemudaratan harus dihilangkan ( الضَّرَرُ يُزَالُ ).
5.
Adat kebiasaan dapat digunakan
sebagai landasan hukum ( الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ).
DAFTAR PUSTAKA
Abū al-Ḥasanāt Muḥammad ibn ‘Abdul Hay al-Kanawī al-Hindī. al-Fawā’idu al-Bahiyyatu fī Tarājimi al-Ḥanafiyyah. t. Cet; Beirūt: Dār al-Ma’rifah, 1323 H.
Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2003.
Muhammad bin Jarir bin Yazid al-Thabariy. Tafsir al-Thabary. Dar
al-Fikr, Beirut: 1405, XI/116.
Muhammad Khalid
al-Attasi, Syarh Majallah al-Ahkam al-Adliyah, Mathba’ah Himsh, Himsh
1349 H, 18.
[1]Muḥammad ibn Muḥammad ibn Sufyan, Abū Thahir
al-Dibās, Imām Ahlu al-Ra’yi Iraq di zamannya, pernah menjadi Qāḍī di
Syam, kemudian ia pergi ke Mekah dan wafat di sana. Lihat: Abū al-Ḥasanāt
Muḥammad ibn ‘Abdul Hay al-Kanawī al-Hindī, al-Fawā’idu al-Bahiyyatu fī Tarājimi al-Ḥanafiyyah , (t. Cet; Beirūt: Dār al-Ma’rifah, 1323 H.), h. 187.
[2] Jalaluddīn 'Abdurraḥmān bin Abī Bakar
al-Suyūţī, op. cit., h. 7.; Kisah ini masih diragukan keabsahannya,
sebab tidak pantas perbuatan seperti itu dilakukan oleh seorang ulamā’, apalagi
menyembunyikan ilmu, Wallahu a’lam.. Lihat juga: Ismā’īl ibn Ḥasan
ibn Muḥammad ‘Ulwān, op. cit., h. 47.
[3] al-Ḥusain ibn Muḥammad ibn Aḥmad, Abū ‘Ali
al-Marważī al-Qāḍī al-Syāfi’ī, salah seorang ulamā’ mażhab Syāfi’ī, wafat tahun
462 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Juz. XVIII., op. cit.,
h. 260.; Abū Naşr ‘Abdul Wahhāb ibn ‘Ali
al-Subkī, Juz. IV., op. cit., h. 356.
[5]‘Ubaidullāh
ibn al-Ḥusain ibn Dilāl, Abū al-Ḥasan al-Baghdādī al-Karkhī. salah seorang
ulamā’ besar mażhab Ḥanafiyyah, mufti kota Iraq, wafat tahun 340 H. Lihat: Syamsuddīn ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn ‘Uśmān al-Żahabī, Juz. XV., op. cit.,
h. 426.
[6] Muḥammad
ibn Ḥariş ibn Asad al-Khasyānī al-Qairuwaany, Abū ‘Abdillāh, seorang ulamā’
mażhab Mālikiyah, wafat tahun 361 H. Lihat: Juz. XVI., ibid., h.
165.
[7]
‘Abdullāh ibn ‘Umar ibn ‘Isa al-Dābūsī al-Bukhārī, al-Qāḍī Abū Zaid, ulamā’
negeri Mā Warā’a al-Naḥar, ulamā’ mażhab Ḥanafiyyah , wafat di kota
Bukhara tahun 430 H. Lihat: Juz. XVII., ibid., h. 521.
[9] Bakry, Nazar, Fiqh
dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003
[10] Muhammad bin
Jarir bin Yazid al-Thabariy, Tafsir al-Thabary. Dar al-Fikr, Beirut:
1405, XI/116.
[11] Muhammad
Khalid al-Attasi, Syarh Majallah al-Ahkam al-Adliyah, Mathba’ah Himsh,
Himsh 1349 H, 18.
No comments:
Post a Comment