KATA PENGANTAR
Segala puji
dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat serta
taufik-Nya saya dapat menyusun makalah ini dengan judul “Perilaku Konsumen
dalam Pandangan Ekonomi Islam” ini untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar
Ilmu Ekonomi, Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Agung
Muhammad SAW yang akan menjadi shafa’atul uthma bagi kita semua di
akhirat kelak.Amin.
Ucapan
terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Ely Masykurah, S.E, M.Si yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk menyusun makalah ini dan yang
senantiasa membimbing dan memberikan ilmunya kepada saya. Kepada temen-temen
yang telah memberikan masukan atas kesempurnaan makalah ini.
Saya juga menyadari bahwa dalam makalah ini masih
banyak kesalahan dan kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
dosen pengampu sangat kami harapkan demi kebaikan makalah kami selanjutnya dan
semoga apa yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Ponorogo,
Oktober 2015
Hormat Kami
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
judul…………………………………………………………… 1
Kata
pengantar………………………………………………………….. 2
Daftar
isi………………………………………………………………... 3
Bab I Pendahuluan
…………………………………………………….. 4
a.
Latar
belakang……………………………………………….. 4
b.
Rumusan
masalah……………………………………………. 5
Bab II Pembahasan……………………………………………………… 6
a.
Definisi
perilaku konsumen ………………………………… 6
b.
Dasar hokum
perilaku konsumen ……………………………. 6
c.
Konsep dasar
konsumen dalam Islam……………………….. 8
d.
Konsep
Maslahah dalam perilaku konsumen islam ………… 9
e.
Prinsip-prinsip
konsumsi muslim……………………………. 10
f.
Model
Kesimbangan dalam konsumsi ………………………. 11
g.
Makro ekonomi
perilaku konsumen dalam islam……………. 13
Bab III Kesimpulan
…………………………………………………….... 16
Daftar Pustaka
…………………………………………………………… 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekonomi Islam sesungguhnya adalah satu
realitas “baru” dalam dunia ilmiah modern saat ini. Ekonomi Islam tumbuh
menyempurnakan diri di tengah-tengah beragamnya system sosial dan ekonomi
konvensional yang berbasiskan pada sistem sekuler. Dikatakan baru karena system
ekonomi Islam sudah pernah dipraktikkan secara sempurna di masa rasulullah
hingga masa keemasan daulah islamiyah. Yang kemudian ekonomi Islam terlahir
kembali di masa berkecamuknya perang dingin antara dua super power dunia
Amerika Serikat yang didukung sekutu Baratnya, berhadapan dengan Uni Soviet
yang didukung negara Eropa Timur. Kedua blog ini merupakan cerminan dari paham
kapitalisme dan sosialisme-komunisme. Ditengah kedua arus ini, ekonomi Islam
merupakan jawaban atas ketidakseimbangan antara system kapitalisme dan
sosialisme-komunisme dalam mengatur konsumsi, distribusi dan produksi dan lain
sebagainya.
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar
dalam setiap perekonomian karena manusia tidak aka nada kehidupan tanpa adanya
konsumsi. Mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga
mengabaikan penegakan kehidupan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan.
Begitu pentingnya masalah konsumsi, Islam telah mengatur bagaimana manusia
berguna bagi ke-maslaht-an kehidupannya. Seluruh aturan Islam mengenai
aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, maka ia akan
menjalankan konsumsi yang jauh dari sifat hina. Prilaku konsumsi yang sesuai
dengan ketentuan al-Qur’an dan al-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai
keberkahan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Karena konsumsinya tidak hanya
berdasarkan kebutuhan duniawi akan tetapi juga kebutuhan akherat.
Untuk itulah dalam makalah ini akan dibahas
tentang prilaku konsumen dalam pandangan ekonomi islam sehingga memberikan
gambaran bagi kita untuk menjalankan pemenuhan kebutuhan hidup berdasarkan
al-Qur’an dan al-Sunnah.
B. Rumusan Masalah
Diharapkan
dalam makalah ini bisa menjawab rumusan masalah berikut ini:
1.
Apa dasar
hokum prilaku konsumen dalam pandangan ekonomi islam?
2.
Bagaimana
konsep dasar konsumen dalam pandangan ekonomi islam?
3.
Bagaimana
prinsip Islam dalam konsumsi?
4.
Bagaimana
prilaku konsumen muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Perilaku Konsumen
Dalam teori ekonomi dikatakan
bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu berusaha memaksimalkan
kepuasannya dan selalu bertindak rasional. Para konsumen akan berusaha
memaksimalkan kepuasannya selama kemampuan finansialnya memungkinkan. Mereka
memiliki pengetahuan tentang alternatif produk yang dapat memuaskan kebutuhan
mereka.[1]
Menurut Kotler dalam The American Marketing Assosiation, sebagaimana
dikutip Nugroho J. Setiadi, prilaku konsumen merupakan interaksi dinamis antara
afeksi dan kognisi, perilaku dan lingkungannya, di mana manusia melakukan
kegiatan pertukaran dalam hidup mereka. Dari hal tersebut terdapat tiga ide
penting yang dapat disimpulkan yaitu: 1) perilaku konsumen adalah dinamis; 2)
hal tersebut melibatkan interaksi antara afeksi dan kognisi, perilaku dan
kejadian di sekitar; 3) juga melibatkan pertukaran.[2]
Sedangkan menurut Swastha dan Handoko perilaku
konsumen (consumer behavior) dapat
didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat
dalam mendapatkan dan mempergunakan barang-barang dan jasa-jasa, termasuk
didalamnya proses pengambilan keputusan pada persiapan dan menentukan kegiatan-kegiatan
tertentu[3]. Menurut Engel adalah
tindakan langsung yang terlibat untuk mendapatkan, mengkonsumsi, dan
menghabiskan produk jasa, termasuk proses keputusan yang mengikuti dan
mendahului tindakan ini. Sedangkan menurut Loudan dan Bitta lebih menekankan
perilaku konsumen sebagai suatu proses pengambilan keputusan. Mereka mengatakan
bahwa perilaku konsumen adalah pengambilan keputusan yang mensyaratkan
aktifitas individu untuk mengevaluasi, memperoleh, menggunakan, atau mengatur
barang dan jasa.[4]
Dari pengertian diatas, maka
perilaku konsumen merupakan tindakan-tindakan dan hubungan sosial yang
dilakukan oleh konsumen perorangan, kelompok maupun organisasi untuk menilai,
memperoleh dan menggunakan barang-barang serta jasa melalui proses pertukaran
atau pembelian yang diawali dengan proses pengambilan keputusan yang menentukan
tindakan-tindakan tersebut.
B.
Dasar Hukum
Prilaku Konsumen
Islam memandang bahwa bumi dengan segala
isinya merupakan amanah Allah kepada
manusia untuk dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Salah
satu pemanfaatan yang telah diberikan adalah kegiatan ekonomi secara umum dan
lebih sempit lagi dalam kegiatan konsumsi. Hassan Sirry menyatakan bahwa sumber
hokum tersebut antara lain yaituyang berasal dari ayat al-Qur’an dan al-Sunnah. [5]
Firman Allah:
”Makanlah dan minumlah, namun jangan
berlebihan-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan”.[6]
Hadith
Rasulullah:
“Abu Said al-Chodry berkata: ketika
kami dalam bepergian bersama nabi. Mendadak dating seorang berkendaraan, sambil
menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah mengharapkan bantuan makanan, maka nabi
bersabda: siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang
tidak menpunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus
dibantukan pada orang yang tidak berbekal. Kemudian rasulullah menyebut
berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak
memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya. (H.R. Muslim)
Selain firman allah dan sabda
rasullah diatas masih banyak kita temui di al-Qur’an dan hadith yang
menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan ekonomi baik itu konsumsi, produksi,
distribusi dan muamalah-muamalah yang lainnya.
C.
Konsep Dasar
Konsumen Dalam Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, pemenuhan kebutuhan akan
sandang pangan dan papan harus dilandasi dengan nilai-nilai spritualisme islami
dan adanya keseimbangan dalam pengelolaan harta kekayaan. Selain itu, kewajiban
yang harus dipenuhi oleh manusia dalam memenuhi kebutuhannya harus berdasarkan
batas kecukupan (had al-kifayah), baik atas kebutuhan pribadi maupun
keluarga.[7]
Ketentuan dalam ekonomi Islam yang berlandaskan nilai-nilai spritualisme
islami, menafikan karakteristik perilaku konsumen yang berlebihan dan
materalistik.
Dalam
melakukan nilai konsumsi, nilai guna atau tingkat kepuasan (utility)
diterima harus sebanding dengan apa yang telah dikeluarkan atau dibelanjakan.
Sehingga terjadi antara keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Kendati
demikian, utility konsumen dipengaruhi tentang cita rasa, pendapatan dan
preferensi dari barang dan jasa yang tersedia. Dalam perkembanganya, preferensi
seseorang terhadap sebuah komoditas sangat beragam dimana sangat dipengaruhi
oleh keyakinan dan pemahaman manusia terhadap kehidupam. Preferensi seorang
muslim akan sangat jauh berbeda dengan preferensi seorang non-muslim. Karena
itu ada tiga unsur yang dapat mempengaruhi prilaku seorang konsumen dalam
berkonsumsi yaitu rasionalitas, kebebasan ekonomi dan utility.
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu kebutuhan
(hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi
suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat
darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang
sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika
konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik
dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang
mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan
prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat
secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam
D.
Konsep
Maslahah Dalam Perilaku Konsumen Islami
Imam Shatibi
menggunakan kata maslahah yang maknanya lebih luas dari sekedar utility
atau kepuasaan dalam terminologo ekonomi konvensional. Maslahah merupakan
tujuan hokum syara’ yang paling utama. Ada lima elemen dasar menurut beliau
yakni kehidupan atau jiwa (al-nafs), harta (al-maal), keyakinan (al-din),
intelektual (al-aql) dan keluarga atau keturunan (al-nasl).
Dari kelima
elemen diatas, maslahah terbagi menjadi dua jenis yaitu pertama, maslahah terhadap
elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan akherat. Kedua, maslahah terhadap
elemen yang menyangkut hanya kehidupan akerat. Pada tingkatan tertentu,
konsumen muslim memiliki alokasi untuk hal-hal menyangkut akhirat, akan
mengkonsumsi lebih sedikit daripada nonmuslim. Dalam membandingkan konsep
pemenuhan kebutuhan yang terkandung didalamnya maslahah, perlu
membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hokum syara’ yakni:[8]
1.
Daruriyyah
Tujuan daruriyah merupakan
tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan
akhirat yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa,
keyakinan, agama, akal dan keturunan serta harta benda. Jika tujuan ini
diabaikan maka tidak akan ada kedamaian dan akan timbul kerusakan dan kerugian
di dunia dan akhirat.
2.
Hajiyyah
Hukum Syara dalam kategori ini
dimaksudkan untuk lebih berhati-hati dalam pemenuhan konsumsi seorang muslim.
3.
Tahsiniyyah
Syariah menghendaki kehidupan yang
indah dan nyaman didalamnya. Tujuanya untuk mencapai pemanfaatan yang lebih
baik, keindahan dari daruriyyah dan hajiyyah.
E.
Prinsip
Konsumsi Muslim
Ada beberapa
prinsip dalam berkonsumsi bagi seorang muslim yang membedakan dengan prilaku
konsumsi nonmuslim. Prinsip tersebut disarikan dari ayat al-Qur’an dan hadith.
Prinsip itu adalah:[9]
1.
Prinsip
syariah
Prinsip ini terdiri dari
prinsip-prinsip turunan diantaranya yaitu
a.
Memperhatikan
tujuan konsumsi atau maslahah
b.
Memperhatikan
kaidah ilmiah seperti kebersihan, kehalalan dan lain-lain
c.
Memperhatikan
bentuk konsumsi
2.
Prinsip
kuantitas
Prinsip ini terdiri dari
prinsip-prinsip turunan diantaranya yaitu
a.
Sederhana dan
tidak bermegah-megahan sebagimana dalam al-Qur’an surat al-Furqan ayat 67,
al-Isra’ ayat 27
b.
Keseimbangan
antara pendapatan dan pengeluaran. Sebagaimana firman Allah dalam surat
at-thalaq ayat 7
3.
Prinsip
prioritas
Prioritas atau urutan konsumsi
alokasi harta menurut syariat islam antara lain adalah
a.
Untuk nafkah
diri, istri, anak dan saudara
b.
Untuk
memperjuangkan agama Allah
4.
Prinsip
moralitas
Prinsip ini mengandung arti ketika
berkonsumsi terhadap suatu barang maka harus menjaga martabat manusia yang
mulia. Sehingga dalam berkonsumsi harus menjaga adab dan etika.
Menurut
Manan terdapat lima prinsip konsumsi dalam Islam yaitu: pertama, prinsip keadilan.
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak
dilarang hukum. Kedua, prinsip kebersihan. Maksudnya adalah
bahwa makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun
menjijikkan sehingga merusak selera. Ketiga,
prinsip kesederhanaan. Prinsip
ini mengatur perilaku manusia mengenai
makan dan minuman yang tidak berlebihan. Keempat,
prinsip kemurahan Hati. Dengan
mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan
meminum makanan halal yang disediakan Tuhannya, Kelima, prinsip moralitas.
Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah SWT. sebelum makan dan
menyatakan terimakasih setelah makan.[10]
Sedangkan
prinsip konsumsi menurut Ali Sakti, bahwa ada empat prinsip utama dalam sistem
ekonomi islam yang diisyaratkan dalam al-Qur’an: 1) hidup hemat dan tidak
bermewah-mewahan. Ini berarti tindakan ekonomi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan (needs) bukan keinginan (wants);
2) implementasi zakat, infak, dan shadaqah; 3) pelarangan riba. Menjadikan
sistem bagi hasil dengan instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai sistem
kredit dan instrumen bunganya; 4) menjalankan usaha-usaha yang halal; dari
produk atau komoditi, proses produksi hingga distribusi.
Sesungguhnya
Islam tidak mempersulit jalan hidup seseorang konsumen. Jika seseorang
mendapatkan penghasilan dan setelah dihitung dan hanya mampu memenuhi kebutuhan
pribadi dan keluarganya saja, maka tak ada keharusan untuk membelanjakan untuk
konsumsi sosial. Sedangkan apabila pendapatannya melebihi konsumsi tidak ada
alasan baginya untuk tidak mengeluarkan kebutuhan konsumsi sosial. Pendapatan dan penghasilan
yang diperoleh dengan cara yang halal akan digunakan untuk menutupi kebutuhan
individu dan keluarga dengan jalan yang halal pula, yang secara langsung menguntungkan
pasar mulai dari produsen hingga pedagang. Setiap uang yang dibelanjakan
konsumen menjadi revenue bagi
pengusaha sebagai bentuk pertukaran antara barang dan uang. Konsumen
mendapatkan kepuasan dari barang yang di beli dan pengusaha mendapatkan
keuntungan dari barang yang dijualnya. Konsumen memerlukan barang untuk
kelangsungan hidupnya, secara langsung membutuhkan produsen dan pedagang.
Sedangkan pengusaha memerlukan konsumen agar dia dapat melanjutkan produksi
sekaligus pula menghidupkan diri dan keluarga dari keuntungan barang yang
dijualnya. Tidak jarang, dalam satu segi konsumen bisa berperan sebagai
produsen dan produsen bisa berperan sebagai konsumen.
F.
Model Keseimbangan dalam Konsumsi Islam
Keseimbangan konsumsi dalam
ekonomi Islam didasarkan pada keadilan distribusi. Keadilan konsumsi adalah di
mana seorang konsumen membelanjakan penghasilannya untuk kebutuhan materi dan
kebutuhan sosial. Kebutuhan materi dipergunakan untuk kehidupan duniawi
individu dan keluarga. Konsumsi sosial dipergunakan untuk kepentingan akhirat
nanti yang berupa zakat, infaq, dan shadaqah.
Dengan kata lain konsumen muslim akan membelanjakan pendapannya untuk duniawi
dan ukhrawi. Di sinilah muara keunikan konsumen muslim yang mengalokasikan
pendapatannya yang halal untuk zakat sebesar 2,5 %, kemudian baru
mengalokasikan dana lainnya pada pos konsumsi yang lain. Baik berupa konsumsi
individu maupun konsumsi sosial yang lainnya.
Dalam Ekonomi Islam kepuasan konsumen
bergantung pada nilai-nilai agama yang dia terapkan pada rutinitas kegiatannya
yang tercermin pada uang yang dibelanjakannya. Ajaran agama yang dijalankan
baik menghindarkan konsumen dari sifat israf,
karena israf merupakan sifat boros
yang dengan sadar dilakukan untuk memenuhi tuntutan nafsu belaka.
Selain karena keseimbangan
konsumsi maka di antara pendapatan konsumen merupakan hak-hak Allah terhadap
para hamba-Nya yang kaya dalam harta mereka. Yakni dalam bentuk zakat-zakat
wajib, diikuti sedekah dan infak. Semua konsumsi itu dapat membersihkan harta
dari segala noda syubhat dan dapat mensucikan hati dari berbagai penyakit yang
menyelimutinya seperti rasa kikir, tak mau mengalah dan egois.
Dalam perspektif ekonomi Islam. perilaku
konsumsi seorang muslim didasarkan pada beberapa asumsi sebagaimana dikemukakan
oleh Monzer Kahf, yaitu :[11]
1.
Islam
merupakan suatu agama yang diterapkan di tengah masyarakat.
2.
Zakat
hukumnya wajib.
3.
Tidak
ada riba dalam masyarakat.
4.
Prinsip
mudharabah diterapkan dalam aktivitas bisnis.
5.
Konsumen
berperilaku rasional yaitu berusaha mengoptimalkan kepuasan.
Dalam ekonomi Islam, unsur
pendapatan masyarakat dialokasikan pada beberapa bentuk pengeluaran, yaitu
untuk konsumsi, tabungan dan sebagian dari pendapatan itu dikurangkan untuk
infak dan shadaqah. Hal ini selaras dengan makna hadith Nabi SAW yaitu "Yang
engkau miliki adalah apa-apa yang engkau konsumsi dan apa-apa yang engkau
infakkan". Dari penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan suatu
fungsi pendapatan dalam ekonomi Islam sebagai berikut:
Y
= C + S + Infaq
Y
= C + Infaq + S
Jika……………..FS = C + Infaq
Maka…………...Y =FS+S
Di
mana………..FS = Final spending (konsumsi yang dikeluarkan seseorang baik
untuk pribadi dan untuk di jalan Allah)
Dengan adanya konsumsi sosial akan
membawa berkah dan manfaat, yaitu munculnya ketentraman, kestabilan, dan
keamanan sosial, karena segala rasa dengki akibat ketimpangan sosial dan
ekonomi dapat dihilangkan dari masyarakat. Rahmat dan sikap menolong juga
mengalir deras ke dalam jiwa orang kaya yang memiliki kelapangan harta.
Sehingga masyarakat seluruhnya mendapatkan karunia dengan adanya sikap saling
menyayangi, saling bahu membahu sehingga muncul kemapanan sosial.[12]
Di sinilah, nampak ekonomi Islam menaruh perhatian pada maslahah sebagai tahapan dalam mencapai tujuan ekonominya, yaitu falah (ketentraman). Konsumen muslim
selalu menggunakan kandungan berkah dalam setiap barang sebagai indikator
apakah barang yang dikonsumsi tersebut akan menghadirkan berkah atau tidak.[13]
Dengan kata lain konsumen akan jenuh apabila mengkonsumsi suatu barang atau jasa apabila tidak terdapat
berkah di dalamnya. Konsumen merasakan maslahah dan menyukainya dan tetap rela
melakukan suatu kegiatan meskipun manfaat
kegiatan tersebut bagi dirinya sudah tidak ada.[14]
G.
Makro Ekonomi
Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Islam
Pada
pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa perilaku konsumsi seorang muslim
ditujukan untuk dimensi dunia dan akhirat. Berangkat dari sasaran pokok ini,
maka utuk menghasilkan fungsi makro ekonomi perilaku konsumen dalam Islam perlu
ditentukan asumsi sebagai dasar pijakan. Asumsi yang harus dipenuhi untuk
membangun fungsi makro perilaku konsumen dalam Islam adalah:[15]
1.
Ekonomi Islam
didefinisikan sebagai sistem ekonomi dimana hokum Islam dan institusi Islam
berjalan dan mayoritas masyarakat meyakini terhadap ideology Islam dan
mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Istitusi zakat
dijadikan sebagai struktur sosio-ekonomi masyarakat dan lembaga zakat telah
melakukan pengumpulan zakat dan penyaluran sesuai peritah Islam.
3.
Perilaku riba
dapat dilarang atau tidak terjadi.
4.
Qirod menjadi
isntitusi ekonomi yang legal. Qirod didefinisikan sebagai suatu
aktivitas mengembangkan uang untuk proses produksi melalui kerjasama antara
pemilik modal dengan pemilik keahlian.
5.
Dikembangkannya
pasar yang untuk producer’s goods, consumer’s goods dan secara khusus
untuk instrument keuangan.
6.
Konsumen
diasumsikan berusaha memaksimumkan kepuasan atas pendapatannya. Hal ini sebagai
implikasi dari hadith rasul yang menyatakan: “upayakan harta anak yatim,
sehingga harta tersebut tidak habis dimakan zakat”. Hal ini diasumsikan
bahwa konsumen dianjurkan untuk menjaga tingkat kekayaan dari pengurangan
setelah pembayaran zakat.
Jika asumsi
tersebut dipenuhi, maka bangunan makro ekonomi mengenai perilaku konsumen dapat
dicapai. Situasi makro ini tergantung pada bagaimana perilaku konsumen dalam
membelanjakan hartanya. Perilaku konsumen yang mempengaruhi situasi makro
ekonomi adalah tergantung padavkeputusan pengeluaran akhir atau the final
spending decisions dan keputusan investasi atau the investment decisions.
BAB III
KESIMPULAN
Perilaku konsumen merupakan tindakan-tindakan dan
hubungan sosial yang dilakukan oleh konsumen perorangan, kelompok maupun
organisasi untuk menilai, memperoleh dan menggunakan barang-barang serta jasa
melalui proses pertukaran atau pembelian yang diawali dengan proses pengambilan
keputusan yang menentukan tindakan-tindakan tersebut. Pemenuhan
kebutuhan akan sandang pangan dan papan harus dilandasi dengan nilai-nilai
spritualisme islami dan adanya keseimbangan dalam pengelolaan harta kekayaan.
Selain itu, kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dalam memenuhi
kebutuhannya harus berdasarkan batas kecukupan (had al-kifayah), baik
atas kebutuhan pribadi maupun keluarga. Ketentuan dalam ekonomi Islam yang
berlandaskan nilai-nilai spritualisme islami, menafikan karakteristik perilaku
konsumen yang berlebihan dan materalistik. Dalam
pemenuhan kebutuhan tersebut sebagai seorang muslim harus memperhatikan
prinsip-prinsip dalam berkonsumsi yaitu prinsip
keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati, prinsip
moralitas.
Dengan
adanya konsumsi sosial akan membawa berkah dan manfaat, yaitu munculnya
ketentraman, kestabilan, dan keamanan sosial, karena segala rasa dengki akibat
ketimpangan sosial dan ekonomi dapat dihilangkan dari masyarakat. Rahmat dan
sikap menolong juga mengalir deras ke dalam jiwa orang kaya yang memiliki
kelapangan harta. Sehingga masyarakat seluruhnya mendapatkan karunia dengan
adanya sikap saling menyayangi, saling bahu membahu sehingga muncul kemapanan
sosial. Di sinilah, nampak ekonomi Islam menaruh perhatian pada maslahah sebagai tahapan dalam mencapai
tujuan ekonominya, yaitu falah (ketentraman).
DAFTRA PUSTAKA
Hakim, Lukman.
Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga, 2012.
Nasution, Edwin Mustafa, dkk. Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenadan Media Group, 2010.
Muhammad. Ekonomi Mikro Dalam Perspektif
Islam. Yogyakrta: BPFE-Yogyakarta, 2004.
Nawawi, Ismail. Ekonomi Mikro dalam
Perspektif Islam. Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010
Hidayat, Miftahul Muhammad. Teori Konsumsi
Berorientasi Teologis-Etis, Yogyakarta: Tesis, Universitas Islam Indonesia,
2000
Simamora,Bilson. Panduan Riset Perilaku
Konsumen
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi
Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia. Ekonomi Islam, Yogyakarta :
Grafindo, 2008
Sarwono. Analisis
Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ekonomi Islam. Innofarm Jurnal Inovasi
Pertanian, 2009
[1] Bilson Simamora, Panduan Riset Perilaku Konsumen,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 3-4.
[2] Ibid., 3.
[3] Swastha dan Handoko, Analisis Perilaku Konsumenten terhadap
produk Tabungan Perbankan, (Solo: PT. Aksara Solopos, 2000), 10.
[4] Bilson Simamora, Panduan Riset Perilaku Konsumen, 2.
[5] Muhammad Miftahul Hidayat, Teori Konsumsi
Berorientasi Teologis-Etis, (Tesis, Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 2000)
[7] Ismail Nawawi, Ekonomi Mikro dalam
Perspektif Islam, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), 63-64.
[8] Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
62-64
[9] Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta:Erlangga,
2012),93-99
[10] Imadudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, 181-182.
[11] Sarwono, “Analisis Perilaku Konsumen dalam
Perspektif Ekonomi Islam”, Innofarm (Jurnal Inovasi Pertanian, 8,
(2009), 45-46
[12] Adiwarman A. Karim, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta:
Darul Haq, 2004), 8-9.
[13] Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia, Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Grafindo,
2008), 177.
[14] Ibid., 157
No comments:
Post a Comment