Di dalam kehidupan sehari-hari,
secara tidak sadar manusia telah banyak melakukan berbagai peijanjian dalam
rangka memenuhi kebutuhannya, seperti jual beli, tukar menukar atau sewa
menyewa. Perjanjian merupakan suatu aspek yang harus ada di dalam melakukan
kegiatan-kegiatan tersebut agar di dalam prakteknya tidak ditemukan suatu
masalah yang mungkin akan berujung kepada suatu tindak pidana.
Peijanjian memang terdengar sederhana
karena kita memang sering melakukannya. Oleh karena itu, di dalam makalah ini
terdapat uraian tentang masalah yang berkaitan dengan hukum perjanjian (pengertian,
syarat-syarat, pelaksanaannya serta berakhirnya suatu perjanjian). Uraian di
dalam makalah ini diucapkan akan memberikan pengetahuan yang lebih tentang
hukum perjanjian agar di dalam melakukan perjanjian nantinya lebih sesuai
dengan hukum vang berlaku
A. Pengertian
Hukum Perjanjian
Dalam hukum asing dijumpai istilah overseenkomst (bahasa Belahda), contract, agreement (bahasa Inggris), contract, convention (bahasa Perancis),
pacte, conventie, contractus
(bahasa Latin), kontraki, vertrag
(bahasa Jerman), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita
dikenal sebagai "kontrak" atau "perjanjian". Sedangkan
menuru; pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian perjanjian sebagai suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih. Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa peijanjian adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih seling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan Ahli hukum lain mengemukakan
bahwa suatu peijanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepauu
seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.
Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa peijanjian
mempunyai unsur-unsui sebagai berikut:
1.
Ada pihak-pihak yang menjadi subjek.
2.
Ada persetujuan diantara pihak-pihak (kesepakatan
consensus).
3.
Ada objek yang berupa benda.
4.
Ada tujuan vang bersifat kebendaan (mengenai harta
kekayaan)
5.
Ada bentuk tertentu, lisan atau tertulis.[1]
Oleh karena itu, maka suatu perjanjian mempunyai arti
penting, antara lain sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui apa yang disepakati para pihak.
2.
Untuk mengetahui dimanakah peijanjian itu dibuat,
kapankah mulai mengikat.
3.
Untuk mengetahui siapakah sebenarnya yang menjadi
subjeknya.
4.
Untuk mengetahui syarat-syarat berlakunya perjanjian,
cara berakhirnya, cara menyelesaikan konflik yang timbul, serta sebagai alat
pembuktian/
B. Syarat-Syarat
Sahnya Perjanjian
Syarat-syarat sahnya kontrak dapat dikaji berdasarkan hukum kontrak
yang terdapat di dalam KUH Perdata (civil
law) dan hukupi kontrak Amerika.[2]
1. Menurut KUH
Perdata (Civil Law)
Perjanjian adalah sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1) Syarat
subjektif, syarat ini apa bila dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan,
meliputi:[3]
1) Kesepakatan
mereka yang mengikat dirinya.
Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah bahwa pihak-pihak
yang membuat perjanjian harus memberikan persetujuannya secara bebas, apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu haruslah merupakan kehendak dari pihak lain.
Namun dalam hukum perjanjian terdapat tiga hal yang menyebabkan tidak
tercapainya kesepakatan secara bebas yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan.
2)
Kecakapan untuk membuat perjanjian.
Yang dimaksud dengan kecakapan (kemampuan) adalah adanya
pengetahuan dan kehendak terhadap apa yang diperjanjikan, berdasarkan
pengetahuan dan kehendak dari pihak yang bersangkutan. Adapun pihak yang tidak
mampu melakukan perbuatan hukum atau membuat perjanjian adalah anak yang belum
dewasa, mereka yang berada dibawah pengampuan (curatele)
dan isteri (pada masa lampau).[4]
2) Syarat objektif,
syarat ini apabila dilanggar maka perjanjiannya bata! demi hukum, meliputi:[5]
1) Suatu hak (objek) tertentu.
Setiap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek
perjanjian. Jika yang menjadi objek adalah barang, maka harus jelas apa
jenisnya, jumlahnya, harganya. Setidak-tidaknya dari keterangan objek yang
diperjanjiakan harus dapat ditetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban
masing-masing pihak
2) Sesuatu sebab yang halal (Causa).
Yang dimaksud dengan sebab yang halal bukanlah motif atau
alasan membuat perjanjian, tetapi isi dari perjanjian, sebab motif atau alasan
yang mendorong seseorang membuat penjanjian Tidak dipersoalkan oleh hukum perjanjian,
karen« dalam membuat perjanjian berlaku sistem terbuka yang berarti semua orang
bebas membuat peijanjian apapun motifnya atau alasannya asal tidak bertentangan
dengan peraturan peiundangan.
2. Menurut Hukum Kontrak
Amerika
Di dalam hukum kontrak
(law of contract) Amerika ditentukan empat syarat sahnya kontrak,
yaitu:
a. Adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan)
Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan). Yang diartikan
dengan offer (penawaran)
adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus
pada masa yang akan datang, sedangkan
acceptance (penerimaan) adalah kesepakatan dari pihak penerima
dan penawar tawaran untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar.
b. Metting of minds (persesuaian kehendak).
Penawaran dan penerimaan antara kedua belah
pihak dapat menghasilkan bentuk luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak berarti
bahwa kontrak itu dikatakan sah. Yang harus diperhatikan supaya kontrak itu
dikatakan sah adalah adanya
meeting of mind, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak
antara para pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas maka kontrak
itu dikatakan sah. Persesuaian kehendak itu harus dilakukan secara jujur,
tetapi apabila kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan (fraud), kesalahan (mistake), paksaan (duress) dari penyalahgunaan keadaan (undu influence) maka kontrak itu
menjadi tidak sah, dan kontrak itu dapat dibatalkan
c. Consideration (prestasi)
Yaitu sebagai sesuatu yang diberikan, dijanjikan atau
dilakukan secara timbal balik. Perbuatan, sikap tidak berbuat atau janji dari
masing-masing pihak adalah harga bagi yang telah dibeli oleh pihak lainnya. Consideranon (prestasi) dapat berupa
akan dilaksanakan atau sudah dilaksanakan.
d. Competent pariies and legal subject matter (kemampuan hukum para pihak dan
pokok persoalan yang sah).
Competent parties adalah kemampuan dan kecakapan dan
subjek hukum untuk melakukan kontrak. Sedangkan
legal subject matter yaitu keabsahan dari pokok persoalan[6]
C. Pelaksanaan
Suatu Perjanjian
1. Asas
konsensualitas.
Menurut asas ini, peijanjian sudah timbul dan mengikat sejak
tercapainya consenjus atau
kesepakatan anatara kedua belah pihak mengenai objek peijanjian.
2. Perjanjian
berlaku sebagai undang-undang.
Jika penanjian telah dilahirkan, maka pihak-pihak yang
membuat wajib melaksanakannya dengan i'tikad baik, artinya pelaksanaannya tidak
boleh merugikan pihak yang bersangkutan dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat
menyimpang dari ketentuan Hukum Perjanjian. Dalam hal ini berlakulah ketentuan
pasal 1338 KUH Perdata yang menentukan, bahwa setiap perjanjian yang dibuat
secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[7]
1. Perjanjian
berdasar kepada kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Menurut pasal 1339 KUH Perdata, perjanjian tidak hanya
mengikat terhadap hal-hal yang disebutkan di dalamnya tetapi juga mengikat
terhadap (yang menurut sifatnya perjanjian) diwajibkan oleh kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang.
2. Perjanjian untuk
tidak berbuat sesuatu.
Contoh. A berjanji kepada B bahwa A tidak mendirikan
perusahaan yang sama dengan perusahaan B. Ternyata A melakukan wanprestasi,
dengan mendirikan perusahaan sejenis.
Dalam contoh ini, terhadap prestasi yang dapat dikenakan executie riil, yaitu B meminta pada
pengadilan agar A melaksanuKun prestasinya, dengan menutup perusahaan A. dengan
demikian terhadap perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu dapat dikenakan executie riil.
3. Perjanjian
berbuat sesuatu.
Untuk jenis perjanjian ini ada dua pendapat, yaitu jika
prestasi dari debitur sangat melekat, tidak terpisahkan dari pribadi debitur,
maka execute rut tidak
dapat dikenakan apabila si debitur melakukan wanprestasi, sebaliknya jika
prestasi dari debitur tidak melekat pada pribadinya, maka terhadapnya dapat
dikenakan execute rul
4. Perjanjian untuk
memberi' menyerahkan sesuatu.
Untuk jenis peijanjian ini pun ada dua pendapat, jika objek
perjanjian yang hendak diserahkan itu adalah barang bergerak, terhadapnya dapat
dikenakan execute riil,
sebaliknya jika objek perjanjian yang hendak diserahkan itu adalah barang tidak
bergerak misalnya tanah maka terhadapnya tidak dapat dikenakan execute riil[8]
5. Pembelaan-pembelaan
yang dapat diajukan debitur.
Dalam hal debitur dikatakan melakukan wanprestasi, maka ia
dapat membela dirinya dengan mengadukan beberapa alasan yang sudah ditentukan
dalam undang-undang, yaitu:
a.
Mengajukan adanya keadaan memaksa (overmacht).
b.
Mengajukan bahwa kreditur sendiri melakukan
wanprestasi.
c.
Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya
untuk menuntut ganti rugi.[9]
D. Berakhirnya
Peijanjian
Di dalam pasal 1381 B W disebutkan bahwa ada sepuluh macam
cara berakhirnya perjanjian:
1. Karena
pembayaran.
2. Penawaran
pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu
disuatu tempat.
3. Pembaharuan
hutang.
4. Kompensasi atau
perhitungan hutang timbal balik.
5. PercaTinuran
hutang.
6. Pembebasan
hutang.
7. Hapusnya barang
yang dimaksudkan dalam perjanjian
8. Pembatalan
peijanjian
9. Akibat
berlakunya suatu syarat pembatalan.
10. Lewat waktu.[10]
[1] Suhardana, Contrac! Drafting (Kerangka Dasar dan Teknik
Penyusunan Kontrak) (Yogyakarta Universitas Atma Jaya, 2009), 9
3Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan
(Teori dan Contoh) (Jakarta Kencana,
[4] C S. T Kansil, Hubim Perusahaan
Indonesia (Aspek Hukum dalam Ekonomi) (Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 2001), 10.
[8] Ibid, 13.
[9] Saliman, Hukum, 50.
[10] Kansil, Hukum,
11.
No comments:
Post a Comment