Friday, October 14, 2016

ASAS HUKUM WARIS ISLAM

ASAS HUKUM WARIS ISLAM

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Pembagian harta warisan merupakan amalan yang harus segera dilakukan bagi ahli waris. Dalam pembagian warisan tidak hanya membahas siapa saja yang menjadi ahli waris dari peninggalan mawaris. Dalam hal ini membahas mengenai prinsip-prinsip dasar sebelum pembagian harta warisan. Ada beberapa pertimbangan yang menjadi prinsip dasar dalam hal kewarisan. Sehingga pihak ahli waris mendapatkan sesuai dengan haknya.
Dalam beberapa pandangan para ahli waris ada beberapa hal yang menjadi prinsip dasar dalam pembagian warisan. Seperti halnya sebuah peraturan yang harus ditaati, pembagian warisan memiliki aturan sendiri. Sebagai contoh, ada prinsip paksaan dalam asas kewariasan yang berlaku.
Islam sangat menjunjung tinggi asas keadilan dalam pembagian warisan. Sehingga dalam pembagian warisan, semua pihak tidak ada yang merasa dirugikan.Dan mendapatkan porsi sesuai kebutuhan dirinya dan tanggungannya.



PEMBAHASAN


Dalam Hukum Kewarisan Islam atau yang lazim disebut ilmu faraidh, segala hal yang menyangkut ahli waris maupun harta peninggalan mawaris. Dan permasalahan pealihan harta kekayaan mawaris semuanya diatur secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sebagai hukum agama yang berasal dari Allah swt. hukum pembagian warisan mengandung beberapa asas yang berlaku bagi ahli waris.
Adapun asas-asas yang berlaku dalam Hukum Kewarisan Islam adalah sebagai berikut :

A.          Asas Ketauhidan
Asas pertama yang menjadi dasar pembagian harta warisan adalah asas ketauhidan atau prinsip ketuhanan. Prinsip ini didasarkan pada pandangan bahwa, pembagian harta warisan harus didasarkan pada keimanan yang kuat kepada Allah swt. jika tidak demikian, tidak akan ada seorangpun yang akan bersedia melaksanakan sesuai dengan aturan yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.  Beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan umat islam harus taat kepada Allah dan Rasulnya sebagai berikut :
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# ¼ã&s!qßuur Ÿwur (#öq©9uqs? çm÷Ytã óOçFRr&ur tbqãèyJó¡n@ ÇËÉÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan  janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfaal: 20)
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
Artinya:  “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS:Al-Anfaal: 7)
Dan masih banyak ayat Al-Qur’an yang menekankan bahwa asas tauhid mesti didahulukan sebelum pembagian harta warisan.
Ayat-ayat diatas menetapkan bahwa mentaati Allah mesti dibarengi dengan mentaati Rasulullah. Sunnah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah merupakan contoh teladan yang telah sesuai dengan Al-Qur’an, sehingga tidak mungkin ditemukan kecacatan yang menyebabkan tidak relevannya antara Sunnah dan Al-Qur’an.[1]
B.          Asas Ijbari
Dalam hukum peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa ada paksaan dari yang akan meninggal maupun yang akan menerima. Makna “Ijbari” memiliki arti bahwa semua perbuatan seorang hamba, bukanlah kehendak hamba tersebut melainkan kehendak dan kekuasaan Allah. [2]
Peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada ahli waris berlaku dengan sendirinya, tidak ada individu maupun lembaga yang mengatur yang dapat menangguhkan pemindahan tersebut. Peralihan harta tersebut semata-mata karena kematian orang yang memiliki harta. Dengan kata lain asas berlaku selagi orang tersebut telah meninggal dunia, dan tidak berlaku bila yang memiliki masih hidup.

C.          Asas Bilateral-Individual
Mengenai asas bilateral ini membicarakan peralihan kemana harta itu dikalangan ahli waris. Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti orang yang menerima hak kewarisan dari kedua pihak kerabat, yaitu dari pihak ayah maupun pihak ibu.
Pengertian individual dalam asas ini memliki makna bahwa harta peninggalan pewaris dapat dimiliki perorangan oleh ahli warisnya, bukan dimiliki secara kolektif.
Dengan demikian pengertian bilateral individual adalah asas bahwa setiap laki-laki dan perempuan dapat menerima hak kewarisan dari pihak ayah maupun pihak ibu. Harta bagian dapat dimiliki secara individual sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan.[3]


D.          Asas Keadilan Berimbang

Dalam hal masalah kewarisan prinsip ini memiliki makna bahwa antara pihak laki-laki maupun perempuan memiliki persamaan hak mendapatkan harata warisan yang sama kuat. Namun, keadilan disini tidak meiliki arti bahwa laki-laki dan perempuan mendapatkan porsi yang sama dalam pembagian harta warisan. Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang tidak memiliki kesamaan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang diterima tetapi juga dikaitkan dengan kebutuhan dan kegunaan.
Secara umum, dapat dikatakan laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan pria (dalam ajaran Islam) memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya. Sebagaiman tercantum dalam surat an-Nisaa’:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr&
Artinya : “.  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)” (QS:An-Nisaa’: 34)

E.           ASAS KEMATIAN

Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.[4]


F.           Asas Persamaan Hak dan Perbedaan Bagian

Asas persamaan dalam hukum Islam adalah persamaan hak mewarisi harta ibu bapak dan kerabatnya, persamaan ini dapat dilihat dari jenis kelamin dan usia tiap-tiap ahli waris. Antara laki-laki dan perempuan sama-ama berhak untuk mewarisi harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, begitu juga antara orang dewasa dan anak-anak.
Perbedaan  antara waris terletak pada porsi bagian yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Perbedaan ini disesuaikan dengan perbedaan beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga. Laki-laki mendapatkan porsi yang lebih besar dari perempuan, sebab laki-laki memikul beban tanggungan bagi dirinya dan juga keluarganya. Sedangkan anak mendapatkan bagian lebih banyak daripada orang tua, sebab anak memikul kewajiban pelanjut orang tua untuk meneruskankehendak, kebutuhan, cita-cita dan eksistensi keluarga.[5]




KESIMPULAN

Asas-asas yang menjadi landasan hukum dibagikanny warisan terdapat enam bentuk :

1.     Asas Ketauhidan
2.     Asas Ijbari
3.     Asas Bilateral-Individual
4.     Asas Keadilan Berimbang
5.     Asas Kematian
6.     Asas Persamaan Hak dan Perbedaan Bagian
Keenam bentuk asas hukum kewarisan diatas memiliki keterkaitan yang saling melengkapi antara satu dan juga yang lainnya.




Daftar Pustaka

Anshori, Abdul Ghofur.  Filsafat  Hukum Kewarisan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004.






[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris (Bandung: Pustaka Setia,  2009), 19
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 17
[3] Akh. Minhaji, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (yogyakarta: UII Press, 2005), 34
[5] Minhaji, Kewarisan Islam, 35-36

No comments:

Post a Comment