Friday, October 7, 2016

PERADILAN ISLAM PASCA KEMERDEKAAN (Tarikh Tasyri')

PEMBAHASAN

A.      Periode 1945-1970

Fenomena peradilan Islam pasca kemerdekaan dapat dikatakan muncul setelah dikeluarkannya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Terdapat satu bait yang menjadi polemik dikalangan para pendiri bangsa. Yang mana bait tersebut berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya”. Sehingga perjuangan bagi tegaknya Syari’at Islam sedikit meredup pada Agustus 1945. Dengan hilangnya bagian dari isi piagam tersebut membuat sulit bagi siapapun yang ingin melegalkan hukum islam agar diberlakukan di negara Indonesia.[1]
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul Menteri Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasan Departemen Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan ketetapan pemerintah nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946. Pada masa pra kemerdekaan, pengadilan agama dan hakim tidak mendapatkan gaji tetap maupun honorarium dari pemerintah, maka setelah merdeka anggaran belanja pengadilan agama disediakan oleh pemerintah.
Sejalan dengan pasal II aturan Peralihan UUD 1945 dasar dan wewenang kekuasaan peradilan agama masih tetap berlaku sebelum proklamasi, baik di Jawa dan Madura, di Kalimantan dan daerah-daerah lainnya.[2]
Selama masa Revolusi pada umumnya tidak ada perubahan tentang dasar peraturan peradilan agama secara prinsipal, selain usaha-usaha pelestarian peradilan agama itu sendiri. Selama masa Revolusi yang patut dicermati adalah:
1.    Keluarnya UU nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk menggantikan peraturan yang dahulu. Karena dalam peraturan dahulu tidak lagi sesuai dengan keadaan. Dengan keluarnya UU NTR ini, maka segera diambil tindakan dengan jalan memisahkan urusan pendaftaran NTR dari pengadilan agama. Penghulu Kepala yang tadinya merangkap Ketua Pengadilan Agama, tidak lagi mencampuri urusan pengadilan, dan oleh sebab itu terbentuklah  penghulu kabupaten yang diserahi urusan kepenghuluan disamping Penghulu Hakim dengan mendapat gaji dan tingkat serta kedudukan sabagai Penghulu Kepala.
2.    Keluarnya penetapan Menteri Agama Nomor 6 tahun 1947 tentang penetapan formasi pengadilan agama terpisah dari penghulu kabupaten, dengan kata lain pemisahan tugas antara Penghulu Kabupaten sebagai kepala Pencatat Nikah dan urusan kepenghuluan lainnya, dengan penghulu hakim sebagai ketua pengadilan juga sebagai Qadi hakim syar’i.
3.    Keluarnya UU Nomor 19 tahun 1948 yang tidak pernah dinyatakan berlaku, isinya antara lain dihapuskannya susunan pengadilan agama yang telah ada selama ini, tetapi materi hukum yang menjadi wewenangnya ditampung dan dimasukkan di pengadilan negeri yang secara istimewa diputusoleh dua orang hakim ahli agama disamping hakim yang beragama Islam sebagai ketua. Kewenangan Pengadilan Agama yang dimasukkan dalam Pengadilan Umum secara istimewa yang diatur dalam pasal 35 ayat (2), pasal 75 dan pasal 33. Undang-undang ini sangat penting tentang peradilan dalam masa pemerintahan RI di Yogyakarta. Undang-undang ini bermaksud mengatur mengenai peradilan dan sekaligus mencabut serta menyempurnakan isi UU Nomor 7 tahun 1947 tentang susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung.
4.    Keputusan Recomba Jawa Barat No. Rec. Wj 229/72 tanggal 2 April 1948 dan peraturan yang tercantum dalam Javaasche Courant 1946 No. 32 dan 39 tahun 1948 nomor 25, dan 1949 No. 29 dan 65 menentukan bahwa di daerah-daerah yang dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang dinamakan Priesterraad diubah menjadi Penghulu Gerecht.  Majelis Ulama bertindak sebagai  pengadilan bandingan mengimbangi Mahkamah Islam Tinggi yang pada saat itu telaah pindah ke Surakarta. Sebelum agresi Militer 1 telah terdapat 80 pengadilan agama di Jawa dan Madura, setelah perjanjian Renville jumlah pengadilan agama bertambah 41 buah.[3]
Pada tahun 1948 susunan Pengadilan Agama yang sekarang masih berlaku dihapus dan materi hukumnya menjadi wewenang Pengadilan Negeri secara istimewa. Pada tahun 1949 pemerintah melakukan usaha ke arah kesatuan  dalam bidang peradilan secara menyeluruh dengan dikeluarkannya UU Darurat Nomor 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pada pengadilan sipil.
Dalam pasal 1 ayat (20 dan 94) dinyatakan bahwa Peradilan Agama berada dalam linkungan Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Darurat tersebut, secara berangsur-angsur Departemen Kehakiman menghapus Peradilan Adat dan Peradilan Swapraja di seluruh wilayah RI. Sedangkan Peradilan Agama oleh pemerintah daerah setempat diserahkan pengurusnya kepada Departemen Agama.
Usaha Departemen Agama mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Kemudian Departemen Agama mengajukan usulan pembentukan Peradilan Agama diluar Jawa, Madura, Kalimantan Selatan dan Aceh. Usulan tersebut dibahas dalam sidang kabinet pada tanggal 29 Agustus 1957 dan mendapat persetujuan pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor  45 tahun 1957 tanggal 5 Oktober 1957. Kemudian lahirnya UU Nomor 19 tahun 1964, LN 1964-107, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14 tahun 1970, LN 1970-1071 Peradilan Agama diakui sebagai salah satu dari empat lingkungan negara yang sah.[4]
Usaha selanjutnya ialah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 telah memberi tempat kepada Peradilan Islam yang secara resmi. Bahwa Peradilan Agama sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan Indonesia yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan sendirinya hal itu mendorong usaha peningkatan jumlah serta kualitas dan aparatur pengadilan , khususnya hakim , untuk menyelesaikan tugas-tugas peradilan tersebut.[5]
B.       Periode 1970-1999

UUD Tahun 1945 Pasal 24 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung RI dan lain-lain badan peradilan menurut UU. Sebagai realisasinya maka ditetapkan UU Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
UU Nomor 14 tahun 1970 ini telah menempatkan Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang mandiri dan sederajat dengan peradilan yang lainnya. Wewenang peradilan agama ialah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara tertentu bagi kelompok tertentu, yaitu perselisihan di antara masyarakat yang beragama Islam. Ditetapkan pula bahwa pembinaan dan pengawasan fungsi Pengadilan Agama dilaksanakan oleh Mahkamah Agung RI, sedangkan organisasi, administrasi, finansial berada di bawah Departemen Agama RI.[6]
Pada tahun 1974 dikeluarkan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang juga mengatur yurisdiksi pengadilan agama, seluruh keputusan pengadilan agama tetap harus mendapatkan atau meminta pengukuhan eksekusi dari pengadilan negeri. Hal ini dapat dinyatakan pengadilan agama berada dibawah keputusan pengadilan negeri. Pada tahun 1977 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang memperkuat bagi kedudukan Pengadilan Agama, yaitu dengan diberikannya hak bagi Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.[7]
Meskipun dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut secara jelas dikemukakan bahwa hal-hal yang menjadi wewnang Pengadilan Agama, tetapi kenyataannya yurisdiksi Peradilan Agama masih dibatasi.
Meski kondisi Peradilan Agama masa ini seperti tersebut diatas, tetapi dengan lahirnya UU No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 beban kerja Pengadilan  Agama menjadi bertambah. Sehingga penyelesaian perkara dibantu oleh hakim honorer dari  para kiai dan para tokoh masyarakat yang ahli di bidang hukum Islam.
Dengan diangkatnya Hakim Agama Honorer pada Pengadilan Agama, maka pada saat itu ada dua macam status hakim pada Pengadilan Agama, yaitu (1) Hakim Agama tetap yang diangkat dari lulusan fakultas syari’ah, yang diangkat langsung oleh Menteri Agama RI; (2) Hakim Agama Honorer, yaitu hakim yang direkrut dari para Alim Ulama atau orang yang dipandang mampu dalam bidang hukum Islam.[8]
Sejak tahun 1975 Departemen Agama mulai merekrut para sarjana syari’ah untuk diangkat untuk diangkat sebagai hakim pada Pengadilan Agama. Sehubungan dengan hal ini banyak juga para sarjana wanita mengajukan permohonan untuk diangkat menjadi hakim pada Pengadilan Agama. Terhadap hal ini terjadi pro-kontra, sehingga Menteri Agama  menyarankan untuk membicarakan di dalam sidang Alim Ulama Terbatas pada tanggal 14-17 Juli 1975 di Jakarta. Dalam musyawarah tersebut disimpulkan antara lain: (1) Hakim wanita dalam pengadilan adalah masalah perselisihan kalangan mujtahidin; (2) Ada wanita yang telah menjadi hakim pada Pengadilan Agama beberapa waktu adalah sesuai dengan kemashlahatan umum; (3) Oleh karena itu pengangkatan wanita pada jabatan hakim Pengadilan Agama dapat dibenarkan. Atas dasar keputusan Musyawarah Alim Ulama Terbatas itu Menteri Agama RI mengangkat wanita menjadi hakim pada pengadilan agama. Bahkan sekarang ada wanita hakim yang menjabat Ketua Pengadilan Agama.[9]
Pada tahun 1980 lahir pula keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980 tentang penyeragaman nama lembaga menjadi sebutan Pengadilan Agama. Kerapatan Qadli di Kalimantan Selatan dan Mahkamah Syari’ah propinsi di luar Jawa dan Madura sebagai pengadilan banding, disebut Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Tinggi Agama berpuncak pada Mahkamah Agung yang mengawasi penyelenggaraan peradilan di tanah air.[10]
 Pada tanggal 29 Mei 1981 Depag dan MA mengadakan rapat bersama yang diikuti oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia dan pejabat teras dari kedua instansi tersebut yang menghasilkan beberpa keputusan penting yaitu: (1) Pelaksanaan kasasi akan sepenuhnya dilaksanakan oleh Hakim Agung yang asli dalam bidang hukum Islam; (2) perlu segera disusun Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan dan Acara Peradilan Agama; (3) pengawasan terhadap jalannya peradilan diserahkan kepada Pengadilan Tinggi Agama di daerah masing-masing ; (4) dalam hal pelaksanaan UU Perkawinan, masih memerlukan aturan lain lebih lanjut perlu segera dikeluarkan petunjuk pelaksanaannya; (5) diharapkan pula agar rapat kerja bersama diadakan secara periodik. Usaha yang telah dilakukan oleh kedua lembaga negara ini berpengaruh besar terhadap badan Peradilan Agama. Realisasi terhadap keputusan kerja tersebut adalah, (1) penandatanganan empat buah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara ketua MA dan Menteri Agama RI pada Januari 1983. Salah satunya mengenai pengawasan terhadap hakim Peradilan Agama dalam rangka meningkatkan disiplin hakim; (2) pembentukan tim inti pembahasan dan penyusunan RUU tentang Acara Peradilan Agama.
Langkah strategis lainuntuk menndak lanjuti hasil raker adalah pembentukan hukum materiil yang akan dijadikan pegangan bagi hakim Pengadilan Agama. Ide pembentukan hukum materiil dalam wujud Kompilasi Hukum Islam (KHI) timbul setelah beberapa tahun setelah Mahkamah Agung membina teknis yustisial Peradilan Agama. MA menyarankan bahwa dalam penerapan keputusan peradilan terdapat beberapa kelemahan antara lain soal hukum Islam yang ditetapkan dilingkungan Peradilan Agama cenderung beragam disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam hampir disetiap perkara. Untuk itu diperlukan suatu buku pegangan yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim Pengadilan Agama dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin kesatuan hukum.
Setelah mengalami proses kerja yang seksama dan memakan waktu yang cukup panjang, maka rancangan KHI tersusun dan diterima baik dalam lokakarya yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 2-5 Februari 1988. Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buah buku yaitu buku pertama Hukum Perkawinan, buku kedua Hukum Kewarisan, buku ketiga memuat Hukum Perwakafan.[11]
Untuk memperbaiki kekurangan pengadilan agama serta untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, 8 Desember 1988 Presiden RI menyampaikan RUUPA kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui menjadi UU menggantikan semua peraturan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan UUPK No. 14 tahun 1970. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang 29 Desember 1989 RUUPA disetujui menjadi UU, yang kemudian dikenal dengan UU No. 7 tahun 1989. Dengan disetujuinya UU ini semakin mantap dan berwibawa kedudukan Pengadilan Agama sebagai suatu badan pelaksana kekuasaan kehakiman.[12]
Pada tahun berikutnya ditahun 1991 dikeluarkan Inpres No. 1 tahun 1991 yang berisi sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain beberapa keputusan yang telah disebutkan diatas, masih terdapat beberapa keputusan perundang-undangan lain yang memuat dan mendukung terlaksananya hukum Islam di Indonesia, diantaranya UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan UU No. 17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji.[13]




DAFTAR PUSTAKA

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung. Remaja Rosdakarya. 1997.

Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta. LkiS. 2005.

Halim, Abdul, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia. Jakarta. RajaGrafindo Persada. 2000.

Manan, Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradiln: Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. 2007.




[1] Mansun Fuad, Hukum Islam Indonesia (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Indonesia, 2005), 55.
[2] Abdul Halim, Peradilan agama dalam politik hukum di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 69-70
[3] Ibid; 70-73.
[4] Mansur, Hukum Islam, 168-169
[5] Cik Hasan Basri, Peradilan Islam dalam tatanan masyarakat Indonesia (Bandung:  Remaja Rosdakarya, 1997),  116
[6] Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Jakarta: Kencana, 2007), 171
[7] Halim, Peradilan Islam, 76-77.
[8] Manan, Etika Hakim, 172.
[9] Ibid; 173.
[10] Halim, Peradilan Islam, 77.
[11] Manan, Etika Hakim, 175.
[12] Halim, Peradilan Islam, 78.
[13] Mahsun, Hukum Islam, 57.

3 comments:

  1. Dapatkan Penghasilan Tambahan Disini..
    Donaco Poker.. Agen Terpercaya dan Teraman..
    Kemenangan besar bisa di dapatkan...

    Cukup Deposit 10rb anda bisa dapatkan semuanya...

    Hubungi Kami Secepatnya Di :
    WHATSAPP : +6281333555662

    ReplyDelete
  2. PROMO TIAP HARI BOS

    Agen Poker pulsa Terpercaya Di Indonesia, susunan agen Poker Online menggunakan pulsa ialah sebangun gembong judi yang mencalonkan tontonan poker online pada masa ini sudah banget ringan degnan munculnya pergelaran ini judi online deposit via pulsa akomodasi antep bersikap disebuah permainan judi online yang pandai kita jumpai waktu ini emang buah berasal makin meningkatnya masa dan teknologi saat ini didalam atraksi tandon online. Atas hanya menyimpan pulsa bagaikan aset endapan pementasan di poker via pulsa online, anggota sudah menjangkau putaran yang super bermain beserta membela permainan.

    Sok menggunakan pulsa didalam pertunjukan judi online mestinya sebenarnya hendak makin mengecilkan pegawai masa agan mengerjakan atraksi tandon online. Menurut datangnya endapan lewat pulsa alkisah anakbuah akan bisa berlandaskan sepele berat bergaya dan menjabat jawara didalam sepadan permainan poker. Permainan poker online sedimen via pulsa jelasnya tentu capai beberapa nilai berlagak yang kuasa berupa pulsa jua atau berbentuk uang benar didalam sepadan atraksi judi online.

    BACA JUGA:

    judi sabung ayam via pulsa
    situs judi online deposit pulsa
    judi poker deposit pulsa


    Ayo daftar sekarang hanya di ZeusBola

    ReplyDelete
  3. 50 rb jadi jutawan tunngu apala lagi
    silahan regis dan buktikan sendri ^^
    sudah banyak member2 yg merasakan nya
    New member 10%
    sialhkan hub : WA : +62812-1495-2061

    ReplyDelete