Friday, October 14, 2016

Nalar Epistimologi Amin Abdullah (Jarring Laba-Laba) (materi kuliah ekonomi syariah)

Nalar Epistimologi Amin Abdullah (Jarring Laba-Laba)

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Islamic Wordview


Dosen Pengampu:
Dr. Aksin Wijaya




Description: STAIN%20WARNA

Disusun Oleh:
               Hanafi Hadi Susanto

PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Amin Abdullah menegaskan bahwa persoalan utama saat ini adalah terkait dengan syarat dan cara untuk memperoleh pengetahuan. Karena tugas dari epistimologi sendiri adalah keluar dan terhindar dari keraguan, ketidak tahuan, bisa membedakan kepercyaan yang sehat dan tidak sehat, pengembangan ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
Amin ingin menggiring pembahasan epistimologinya dari pembahasan yang bertolak pada sebuah pertanyaan mendasar mungkinkah manusia mengetahui? Kepada epistimologi yang bertolah pada sebuah pertanyaan bagaimana manusia mengetahui?
Epistimologi menurut Amin terbagi menjadi tiga aliran yakni pertaa rasionalisme yng menjadi kapling keilmuan kalam dan filsafat, yang kedua kasf yang menjadi kapling keilmuan tasawuf dan yang ketiga adalah empirisme yang mempunyai sedikit penganut.
Sejalan dengan itu Amin mengusulkan agar kita menekankan empirisme dalam kajian epistimologi islam kontemporer, apalagi al-Qur’an juga membicarakan ayat-ayat yang bersifat umum. Menurut Amin kajian terhadap pesan-pesan spiritual dan moral al-Qur’an harus dikaji secara empiris-interdisipliner. Kajian terhadap pesan spiritual dan moral harus dikaitkan dengan ayat kauniyyah baik melalui ilmu kealaman, maupun humaniora. Kemudian Amin menwarkan pendekatan keilmuan yang bercorak integralistik-intierkonektif yang dikenal dengan istilah jarring laba-laba keilmuan. Berdasarkan hal ini maka makalah ini akan membahas mengenai Nalar Epistemologi Integrasi Jarring Laba-Laba Keilmuan menurut Amin Abdullah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa amin abdullah?
2.      Bagaimana Epistemologi Integrasi Jarring Laba-Laba Keilmuan Amin Abdullah?

C.    Tujuan Mempelajari
1.      Mengetahui dan memahami Siapa amin abdullah.
2.      Mengetahui dan memahami Bagaimana Epistemologi Integrasi Jarring Laba-Laba Keilmuan Amin Abdullah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mengenal Amin Abdullah
Nama: Amin Abdullah
Tempat, tanggal lahir: pati, 28 jili 1953
Riwayat pendidikan: dimulai dari Pondok Modern Gontor Ponorogo, di Kulliyat Al-Mualimin al-Islamiyah (KMI) (1972), sarjana muda di tempat yang sama (1977), sarjana lengkap di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Kalijaga (1982), Ph.D di Ankara turki (1985-1990)
Karya: falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Studi Agama: Nomativitas ataukah Historisitas, Dinamika Islam Cultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer dan seterusnya.

B.     Nalar Epistemologi Integrasi Jarring Laba-Laba Keilmuan[1]
Anaisis Amin Abdullah dimulai dari mengkritik tradisi keilmuan islam yang dikembangkan pada lembaga pendidikan islam selama ini. Menurut Amin pendidikan saat ini menganut  paradigma dikotomis-atomistik.tradisi erfikir dikotomi-atomistik bukan hanya ilmu umum berhadapan dengan ilmu keislaman, tetapi melibatkan paradigma sesame kluster disiplin keilmuan islam dengan cara memisahkan bahkan mempertentangkan antara paradigma epistimologi bayani, irfani, dan burhani.
Pola berfikir dikotomi-atomistik yang berkembang selama ini menrut Amin akan menjadikan manusia terasing dari nilai-nilai spiritual-moralitas, terasing dari dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, lingkungan dan sekitarnya. Selain itu menurut Amin pandangan dikotomi-atomistik dinilai sebagai keceakaan sejarah dan tidak sesuai dengan pandangan integralistik ilmu pengetahuan pada masa awal-awal islam.
Berdasarkan hal-hal diatas kemudian Amin mengusulkan paradigma  baru pengembangan epistimologi keilmuan islam kontemporer dengan cara mengintegrasikan kedua kategori keilmuan umum dan agama, meskipun sebenarnya upanya integrasi keilmuan telah banyak dilakukan pakar.
Integrasi ini menurut Amin tidak sekedar mencocokan, tetapi dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan korelasi dan saing berhubungan antara disiplin keilmuan. Integrasi yang diusung mengambilbentuk kemudian memadukan antara keilmuan umum dan agama tanpa haarus menghilangkan keunikan antara masing-masing ilmu pengetahuan.
Sejalan dengan hal itu Amin juga menawarkan visi baru terkait dengan program reintegrasi apistimologi keilmuan dalam integrasi interkoneksi dimana Amin mengakui bahwa ia meneruskan konsep yang pernah diusung oleh Kuntowijoyo dan haberman (filosof barat). Visi baru Amin Abdullah diilusrasikan dalam sebuah bagan yang sering disebut dengan jarring laba-laba keilmuan teoantroposentris-integralistikdan skema keilmuan UIN Sunan Kalijaga: pendekatan integratif-disiplinary.
Dalam buku Satu Islam Ragam Epistimologi ini, dijelaskan bahwa Amin merangkum disiplin ilmu yang pernah dimiliki manusia dibawah payung jaring laba-labanya, dan didalamnya mencerminkan adanya integrasi interkoneksi antara masing-masing ilmu seperti ilmu-ilmu sosial, ilmu kealaman, dan humaniora dengan ilmu agama islam. Sehingga antara masing-masing ilmu saling berkesinambungan, tidak saling menolak atau saling memisahkan.
Dengan visi barunya itu Amin menilai perguruan tinggi agama (STAIN dan IAIN) berfokus pada lingkaran lapis 1, dan lapis ke 2 (kalam, falsafah, tasawuf, hadits, tarikh, fiqh, dst). Dengan adanya hal ini maka mengakibatkan batas atau jurang yang tidak bisa dijembatani oleh ilmu keislaman klasik dengan ilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer. Diantara tokoh yang memanfaatkan ilmu itu kedalam kajian islam adalah Muhammed Arkoun, muhammed abid al-jabiri, sayyed Husain nasr dll.
Amin mengakui bahwa seluh bangunan keilmuan agama islam masih encerminkan episteme klasik-skolastik yang dikotomi-atomistik lantaran hamper semua disusun dengan meminjam analisis arkoun. Karena hal itu iqbal menilai pemikiran islam hapir tidak bergerak selama 500 tahun.
Disisi lain Amin menolak filsafat ilmu barat, dengan alasan perdebatan, pergumulan dan perhatian epistimologi keilmuan barat terletk pada wilayah natural science, sebagian wilayah humanities, dan social science. Sedangkan Islamic studies dan ulumuddin khususnya syariah, akidah, tasawuf, ilmu al-qur’an, dan hadis terletak pada wilayah classical humanities.  Namun disaat ini telah terjaadi pergeseran paradigma metodologi studi sosial keislaman: dari studi yang terlepas dari konteks ke teks yang terkait dengan konteks. Melihat dua kondisi itui Amin menawarkan penggunaan epistimologo yang khas pemikiran islam yang dia pinjam dari jabiri, untuk melihat dan menggabungkan epistimologi islam ke depan, hal ini disebut dengan al-takwil al-ilmi.
Pendekatan al-takwil al-ilmi yang dijadikan model tafsir alternatif selain tafsir dan takwil yang umum digunakan para mufasir selama ini untuk menggunakan jalur lingkar hermeneutis yang mendialogkan antara paradigma epistimologi bayani, burhani dan irfani. Dalam pendekatan al-takwil al-ilmi Amin merumuskan tiga pola relasi, yakni pola relasi parallel, linier dan sirkuler.
Pola relasi paralel mengindikasikan bahwa masing-masing corak epistimologi berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara yang satu dengan yang lainnya dalam diri ilmuwan, da’I maupun ulama. Pola relasi linier yaitu memnempatkan salah satu dari keduanya sebagai primadona sehingga mengakibatkan penilaian yang berat sebelah. Pola relasi sekuler yang ditawarkan oleh Amin yaitu mengharuskan masing-masing disiplin keilmuan untuk memahami keterbatasannya sendiri, sembari bersedia mengambil manfaat dari temuan yang ditawarkan, dan memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya sendiri.
Dalam pendekatan al-takwil al-ilmi mengusulkan agar ketiganya saling mengontrol, mengkritik, memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan yang melekat dari masing-masing epistimologi
Proyek itegrasi-interkoneksi keilmuan Amin ini tidak sekedar menjadi sebuah wacana saja, namun juga sebagai penggagas yang sekaligus pemimpin perguruan tinggi yang akan beralih status menjadi UIN. Amin menyatakan momentum perubahan ini digunakan untuk memperbaiki dan menyembuhkan luka dikotomi keilmuan umum dan agama yang makin hari makin menyakitkan.
Oleh karena itu Amin menilai bahwa tidak boleh masing-masing fakultas menolak disiplin ilmu kealaman maupun humaniora untuk diajarkan dan dimasukkan ke dalam kurikulumnya. Dalam mengimplementasikan kurikulum dengan semangat reintegritas keilmuan Amin mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut: peradaban teks (hadarah al-ilmi), yakni ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan sains dan teknologi, dan peradaban filsafat.  Hadarah ilmi dibangun atas fondasi tata kerja nalar burhani, hadarah al-nash (fiqh) dibangun di atas otoritas teks dan otoritas salaf dengan qiyas sebagai metode kerja yang utama, sedangkan hadarah al-falsafah dibangun di atas koherensi argumen-argumen logika.
Karaena ketiganya harus berjalan bersama-sama maka Amin mengusulkan untuk mendesain mata kuliah dengan cara menghindari pifall dan jebakan keangkuhan disiplin ilmu yang merasa pasti dalam wilayahnya sendiri-sendiri.Amin kemudian mengusulkan menggunakan skema interkonektid.
Skema interkonektid memperlihatkan bahwa  Integrasi menurut Amin dimaknai dengan kerja sama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling berhubungan antara berbagai disiplin ilmu dalam bentuk sirkuler, dan mengambil bentuk interkoneksi dalam konteks membangun hubungan antara berbagai disiplin ilmu baik umum maupun agama. Karena Amin melakukan interkoneksi antara ilmu agama dengan ilmu umum maka lahir epistimologi integrasi-interkoneksi.




BAB III
KESIMPULAN

Menurut Amin Abdullah semua ilmu itu tiidak dapat dipisahkan, karena masing-masing ilmu saling membutuhkan saling mengoresi dan saling berhubungan. Menurut Amin mememisahkan masing-masing ilmu adalah sebuah kecelakaan dan tidak sesuai dengan pandangan integralistik ilmu pengetahuan pada masa awal-awal islam.


DAFTAR PUSTAKA

Wijaya, Aksin. Satu Islam Ragam Epistimologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.




                [1]  Aksin Wijaya, Satu Islam Ragam Epistimologi (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,)2014, 282.

No comments:

Post a Comment