Monday, October 17, 2016

Peran Ra’y dan Macam Metode Penalaran dalam Hukum Islam (Makalah Ekonomi Syariah)

Peran Ra’y danMacam MetodePenalaran dalam Hukum Islam

Revisi makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Us}ul al-Fiqh


Dosen Pengampu:
Dr. H.Abdul Mun’im Saleh, M.Ag.




Description: STAIN%20WARNA

Disusun Oleh:
Hanafi Hadi Susanto

PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2016



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Ra’y dan Ilmu Pengetahuan  merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Karena ra’y digunakan oleh manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dalam mengembangkan ilmu hukum, ilmu sosial  maupun ilmu lainnya.
Sesungguhnya pengembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam sesuai dengan perintah al-Qur’an untuk mengamati alam dan mengunakan akal, yang merupakan dua dasar metodologi sains. Perintah penggunaan ra’y sebagai dasar kerasionalan ilmu dengan perintah mengamati alam sebagai dasar ilmu selalu berjalan seiring, dan firman Allah juga selalu disertai pertanyaan “afala ta’qilu>n (mengapa tidak kamu gunakan akalmu)” dan “afala tatafakkaru>n (mengapa tidak kamu pikirkan).[1]
Dengan menggunakan ra’y, manusia mampu memahami al-Qur’an yang diturunkan sebagai wahyu oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan ra’y pula, manusia mampu menelaah sejarah Islam dari masa ke masa dari masa lampau. Ra’y juga digunakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa ra’y mempunyai kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini, menentukan dan menjelaskan batasan-batasan ra’y, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum Muslim berupaya dan berusaha mengambil manfaat ra’y dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.
Bila pada hukum yang berdasarkan nas}s (tersurat) Allah sendiri yang menetapkan hukum dan pada hukum yang tidak berdasarkan nas}s hukum Allah ditetapkan berdasarkan ra’y maka kekuatan hukum yang berdasarkan nas}s tidak sama dengan kekuatan hukum yang berdasaran ra’y. Untuk mengetahui seberapa jauh akal/ra’y berperan dalam hukum Islam, maka dalam makalah ini akan dibahas sesuai dengan rumusan masalah di bawah ini.

B.   Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ra’y?
2.      Bagaimana peran ra’y dalam hukum Islam?
3.      Bagaimana kedudukan kedudukan ra’y dalam hukum Islam?
4.      Apa sajakah macam-macam dan prosedur metode penalaran hukum ekstra tekstual?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Ra’y dalam Hukum Islam
Kata ra’y secara etimologi artinya melihat. Kata ra’y atau yang seakar dengan itu terdpat dalam 328 ayat yang tersebar dalam al-Qur’an.[2] Tentang apa yang dimaksud kata al-ra’y itu dalam al-Qur’an, tergantung kepada apa yang menjadi objek dari perbuatan “melihat” itu. Objek yang dikenai oleh kata al-ra’y dalam al-Qur’an secara garis besar dapat dibagi dua macam, yaitu objek yang konkrit (berupa) dan objek yang abstrak (tidak berupa).[3]
Untuk artian berfikir, dalam al-Qur’an juga digunakan kata “fakara” atau kata lain yang berakar kepada kata itu. Kata fakara ini terdapat dalam 18 ayat al-Qur’an yang pada umumnya bersamaan artinya dengan kata al-ra’y tersebut. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Rum ayat 8:[4]
öNs9urr& (#r㍩3xÿtGtƒ þÎû NÍkŦàÿRr& 3 $¨B t,n=y{ ª!$# ÏNºuq»uK¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur !$yJåks]øŠt/ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 9@y_r&ur wK|¡B 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# Ç!$s)Î=Î/ öNÎgÎn/u tbrãÏÿ»s3s9 ÇÑÈ
 
Artinya: Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.
Kata fikir mempunyai kaitan yamg erat dengan ra’y. Karena Allah SWT menggunaan kata berakal dalam artian yang sama dengan berfikir. Kata “’aqala” (عقل)  dan kata yang berakar kepadanya muncul dalam 49 ayat al-Qur’an. Umpamanya firmal Allah dalam surat al-Nah}l ayat 12:
t¤yur ãNà6s9 Ÿ@ø©9$# u$yg¨Y9$#ur }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur ( ãPqàfZ9$#ur 7Nºt¤|¡ãB ÿ¾Ín̍øBr'Î/ 3 žcÎ) Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqè=É)÷ètƒ ÇÊËÈ 

Artinya: Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya),[5]

Kata lain yang digunakan Allah SWT dalam al-Qur’an yang artinya berfikir adalah نظر. Terjemahan kata ini dalam bahasa Indonesia menjadi nalar. Walaupun kata ini secara lughawi berarti memperlihatkan atau melihat, namun bila digunakan untuk objek yang abstrak artinya menjadi memikirkan. Kata ini dalam arti berfikir terdapat dalam al-Qur’an lebih dari 30 kali. Umpanya dalam surat al-Ankabu>t ayat 20:
ö@è% (#r玍ŠÎû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#øŸ2 r&yt/ t,ù=yÜø9$# 4 ¢OèO ª!$# à×Å´Yムnor'ô±¨Y9$# notÅzFy$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇËÉÈ 

Artinya: Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kalau dianalisa semua ayat al-Qur’an yang berarti berfikir baik yang berakar pada kata رأي  فكر dan, نظرterlihat keseluruhannya mendorong umat untuk menggunakan pikirannya, baik dengan menggunakan ungkapan berfikir, atau kenapa tidak kamu fikirkan?[6]
Berdasarkan berbagai ulasan di atas penulis mengumpulkan dan mencaba mendefinisikan bahwa ra’y adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah melalui pemikiran dan perenungan dalam rangka mengethui kebenaran berdasarkan tanda-taanda dan atau isyarat.

B.   Peran Ra’y
Dalam surat al-An’a>m ayat 38, ditegaskan bahwa tidak ada satu pun yang luput dalam kitab Allah. Dalam ayat lain ditegaskan lagi bahwa al-Qur’an itu telah sempurna dan tidak perlu ditambah lagi.[7]
Dalam penjelasan tersebut tentang al-Qur’an diuraikan bahwa di antara ayat hukum dalam al-Qur’an itu ada ayat yang mengungkapkan ketentuan hukum secara jelas dan rinci sehingga tidak memungkinkan adanya pemahaman lain. Ayat semacam ini terbatas jumlahnya. Persentasenya sangat kecil dibandingan dengan persoalan hukum dalam kehidupan manusia yang memerlukan pengaturan hukum.[8]
Di samping itu, yang lebih banyak terdapat dalam al-Qur’an adalah peraturan hukum yang diungkapkan secara garis besar, sehingga memerlukan penjelasan Nabi. Dalam uraian tentang Sunah, terutama tentang fungsi Sunah sebagai penjelas terhadap al-Qur’an, dikemukakan bahwa sebagian dari aturan dalam al-Qur’an yang bersifat global atau garis-garis besar itu telah dijelaskan secara harfiah oleh Nabi. Juga masih banyak dari penjelasan Nabi itu yang membutuhkan penalaran.[9]
Selain itu, kerena penjelasan Nabi itu bersifat sederhana, maka tidak mampu menjangkau seluruh kejadian dan peristiwa yang bermunculan kemudian seiring dengan perkembangan dan perubahan dalam kehidupan umat Islam. Dalam kenyataan, banyak sekali kejadian yang telah dan yang akan muncul tidak ditemui jawaban secara harfiah, baik dalam al-Qur’an maupun Sunah.[10]
Kita tidak dapat mengatakan bahwa kejadian baru yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an dan Sunah itu berada di luar jangkauan syara’ atau bebas hukum, karena kita yakin bahwa tindak tanduk manusia ada aturannya dari Allah. Dengan demikian, harus diyakini bahwa semua persoalan dalam kehidupan di dunia ini pasti ada aturannya dari Allah. Aturan Allah itu dapat ditentukan secara harfiah dalam al-Qur’an atau dibalik yang harfiah itu. Dari segi ini, hukum Allah dapat ditemukan dalam tiga kemungkinan sebagai berikut:[11]
1.         Hukum Allah dapat ditemukan dalam ibarat lafad al-Qur’an menurut yang disebutkan secara harfiah. Bentuk ini disebut hukum yang tersurat dalam al-Qur’an.
2.         Hukum Allah tidak dapat ditemukan secara harfiah dalam lafad al-Qur’an maupun Sunah, tetapi dapat ditemukan melalui isyrat atau petunjuk dan lafad yang disebutkan dalam al-Qur’an. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum yang tersirat dibalik lafad al-Qur’an.
3.         Hukum allah tidak dapat ditemukan dari harfiah lafad dan tidak pula dari isyarat suatu lafad yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sun>ah tetapi dapat ditemukan dalam jiwa dari keseluruhan maksud Allah dalam menetapkan hukum. Hukum Allah dalam bentuk ini disebut hukum yang tersuruk (tersembunyi) di balik al-Qur’an.
Untuk mengetahui hukum Allah dalam bentuk pertama kita dapat mengandalkan dari apa yang tersurat dalam al-Qur’an, dan penjelasannya dari Nabi (atau dari dalil nas}s). Peranan ra’y dalam hal ini hampir tidak berarti. Titapi untuk memahami hukum dalam bentuk kedua dan apalagi dalam bentuk ketiga sangat diperlukan peranan ra’y atau ijtihad.[12]
Untuk mengetahui hukum yang tersirat di balik yang tersurat dari suatu lafad, dibutuhkan suatu pengkajian dengan menggunaan ra’y. Di sini diperlukan daya ra’y yang tinggi untuk mengetahui hakikat dan tujuan suatu lafad dalam al-Qur’an, sehingga memungkinkan untuk merentangkan hukum yang ditentukan dalam lafad tersebut kepada kejadian lain yang bermunculan dibalik lafad itu. Usaha suatu perentangan lafad ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:[13]
a.         Perentangan suatu lafad kepada maksud lain dapat dilakukan dengan pemahaman lafad semata. Dalam us}u>l al-fiqh cara seperti ini disebut kaidah mafhum. Umpamanya keharaman memukul orang tua dipahami dari keharaman mengucapkan kata-kata kasar kepada mereka yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Isra’ : 17, dan hukum haramnya merusak harta anak yatim, yang ketentuan hukumnya tidak tersebut dalam al-Qur’an. Dapat dipahami dari memakan harta anak yatim secara d}alim yang ketentuan hukumnya terdapat dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 10.
b.         Perentangan suatu lafad kepada maksud lain tidak dengan pemahaman lafad semata, tetapi tergantung pada pemahaman alasan hukum atau ‘illat. Cara perentangan lafad dalam bentuk ini disebut menggunakan kaidah al-qiyas. Di kalangan ulama us}u>l al-fiqh al-qiyas diartikan menghubungkan kejadian yang tidak ada nas}s} atau teks hukumnya kepada kejadian lain yang ada nas}nya karena ‘illat kedua kejadian itu sama. Umpaanya minum alkohol yang tidak jelas hukumnya dalam al-Qur’an di-qiyaskan kepada larangan minum khamr yang terdapat dalam al-Qur’an (al-Maidah :90), karena meminum alkohol dan khamr itu memiliki kesamaan ‘illat, yaitu memabukkan.
Karena penemuan hukum dalam bentuk kedua ini ada kaitannya secara langsung dengan teks hukum yang ada, maka cara penemuan hukum di sini dapat diterima dan dibenarkan oleh jumhur ulama dan ditempatkan sebagai salah satu dalil atau sumber dalam perumusan al-fiqh dan mendapat landasan yang kuat dalam firman Allah pada surat al-Nisa’ ayat 59.
Dalam mengetahui hukum yang tersuru>k memang sangat diperlukan daya dan kemampuan ra’y yang tinggi. Bila dalam mengetahui hukum yang tersirat ada pedoman yang digunakan dalam menetapkan hukumnya yaitu kaitannya dengan nas}s}, maka dalam mengetahui hukum yang tersuruk tidak ada yang dapat dijadikan pedoman yang kuat. Untuk maksud itu sangat diperlukan kemampuan menggali hakikat dari tujuan Allah dalam menetapkan hukum atas suatu kejadian.[14]
Bila hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an dianalisa, maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya Allah menetapkan hukum itu adalah untuk mendatangkan kemaslahaan bagi manusia, baik dalam bentuk memberikan manfaat untuk manusia atau manghindarkan madharat (kerusakan) dari manusia. Karena itu hakikat dari tujuan hukum itu dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum fiqh.[15]
Dengan demikian, bila dalam suatu kejadian terdapat kemaslahatan yang bersifat umum dan tidak ada dalil nas}s} yang berbenturan dengannya, maka pada kejadian itu seseorang mujtahid dapat melahirkan ketentuan hukum.[16]
Umpamanya pencangkokan kornea mata dari yang yang sudah mati kepada seseorang yang memerlukan pengobatan. Masalah ini tentu tidak akan terdapat jawaban hukumnya secara harfiah dalam al-Qur’an, begitu pula dalam Sunah karena belum pernah terjadi di zaman Nabi. Juga tidak mungkin ditemukan kaitannya dengan salah satu lafad yang ada dalam nas}s. Manfaat dari perbuatan pencangkokan mata ini jelas besar, yaitu orang buta dapat memanfaatkan penglihatan dan tidak ada kepentingan orang lain yang terlanggar.[17]
Dengan demikian, mujtahid dapat menyatakan kebolehan pencangkokan kornea mata itu. Demikian juga dengan masalah bayi tabung, bedah plastik dan kejadian lain yang baru, para mujtahid dapat menemukan hukumnya.
Dalam kasus diatas dua hal yang dijadikan pedoman, yaitu maslahat dan tidak menyalahi nas}s yang ada. Dengan berpedoman dengan dua hal ini mujtahid dapat menghadapi segala kejadian yang bermunculan.[18]
Dari berbagai ulasan di atas, maka menurut hemat penulis bahwa  penetapan hukum tidak lain hanyalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, untuk mencapai kemaslahatan ini maka peranan ra’y sangat diperlukan. Sehingga menurut penulis dalam mencapai kemaslahatan harus menggali di dalam nas}s dan sunah dengan menggunakan ra’y, karena tidak semua permasalahan-permasalahan hukum tercantum secara jelas (tersurat) maupun tidak tercantum sama sekali (tersirat) di dalam nas}s.

C.   Kedudukan Ra’y
Hukum islam itu adalah hukum Allah, maka apapun yang dicapai oleh mujtahid dengan ra’y itu adalah hukum Allah. Walaupun mujtahid dengan ra’ynya dapat menghasilkan hukum, maka apa yang dihasilkannya itu bukanlah hukum mujtahid. Mujtahid tidak dapat dan tidak berhak menetapkan hukum. Ia hanya sekedar menggali, menemukan dan melahirkan hukum Allah yang tersuruk hingga nyata.[19]
Bila pada hukum yang berdasarkan nas}s (tersurat) Allah sendiri yang menetapkan hukum dan pada hukum yang tidak berdasarkan nas}s hukum Allah ditetapkan berdasarkan ra’y maka kekuatan hukum yang berdasarkan nas}s tidak sama dengan kekuatan hukum yang berdasaran ra’y.
Hukum yang ditetapkan mujtahid dengan ra’y berdasarkan hasilnya adalah dugaan kuat semata dari mujtahid. Tidak dapat dipastikan oleh mujtahid itu sendiri bahwa itu sebenarnya hukum Allah, karena Allah tidak pernah menjelaskannya demikian. Oleh karena itu hasil ra’y kekuatannya bersifat dzanni. Ketidak pastian itu disebabkan oleh adanya kemungkinan kesalahan pada penemuannya sedangkan hukum Allah itu tidak mungkin salah.[20]
Tetapi semua orang yang mampu menggunakan ra’y melakukan pengkajian dengn memenuhi ketentuan yang berlaku, tentang suatu peristiwa hukum dan ternyata hasil penemuan mereka adalah sama, maka kemungkinan salah dapat dihindarkan.[21]
Berdasarkan keterangan ini penulis sependapat bahwa kekuatan hukum berdasarkan ra’y tidak sama dengan kekuatan hukum yang berdasarkan nas}s karena hukum yang ditetapkan ra’y bersifat z}ann dan akan bergeser atau berubah sesuai dengan perkembangan yang ada di masyarakat. Akan tetapi, kerena hukum yang ditetapkan ra’y hanya bersifat menggali dan menemukan hukum, maka hukum itu harus tidak bertentangan dengan nas}s. Sehingga untuk menemukan hukum yang baru mujtahid harus memenuhi berbagai macam persyaratan untuk hasil menghindari kesalahan.

D.  Macam-Macam dan Prosedur Metode Penalaran Hukum Ekstra Tekstual
1.      Al-Qiyas
Qiyas secara bahaasa berarti mengukur sesuatu dengan sesuatu.[22] Menurut Hasyim Kamali qiyas bermakna mengukur atau memastikan panjang, berat atau kualitas sesuatu.[23] Yang dimaksud qiyas menurut para ahli us}u>lal al-fiqh adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nas}shnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan ‘illat ukumnya dari kedua peristiwa itu.[24]
a.       Rukun-rukun al-qiyas:
1)      Ashal (pokok) yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadilan tempat mengal-qiyaskan.
2)      Far’u yaitu (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya.
3)      Hukum ashal yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nas} dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
4)      ‘illat ialah suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal. Yang karena adanya sifat itu, maka peristiwa ashal itu terdapat pula pada cabang, sehingga disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa.[25]
b.      Syarat pelaku al-qiyas
Imam Syafi’I mengharuskan bagi pelaku al-qiyas memenuhi persyaratan-persyaratan berikut:[26]
1)      Mengetahui bahasa arab. Karena agama Islam ini datang dengan bahasa Arab, setiap mujtahid haruslah mengetahui bahasa ini.
2)      Mengetahui ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an, kewajiban-kewajiban dan disiplin etisnya, ayat-ayat yang mensikhkan dan yang dimansukhkan, yang umum dan yang khusus, tujuan ditetapkannya suatu hukum, dan sebagaiya. Ayat-ayat yang mempunyai banyak arti, hendaklah ditafsirkan dengan hadis, jika tidak ditemukan al-hadis, hendaklah dengan ijma’ dan jika tidak dimungkinkan hendaklah dengan al-qiyas. Oleh karena itu, ia harus: [27]
a)      Mengetahui al-hadis, pendapat sahabat, ijma’ ulama, perbedaan pendapat mereka dan al-qiyas.
b)      Memiliki akal sehat dan pikiran baik, mampu membedakan bukti-bukti yang hamper sama dan tidak terburu-buru dalam mengemukakan pendapat.
c)      Bersikap terbuka sehingga bersedia mendengarkan pendapat orang lain yang yang berbeda dengan pendapatnya. Dalam hubungan ini ia harus mengarahkan segala kemampuannya dan waspada terhadap suara nuraninya, sehingga ia mengetahui pendapat mana yang harus dipegang dan mana yang harus ditinggalkannya, tidak berkeras kepala dengan pendapatnya sendiri.
Ulama muta’ah~{{{{}irin menambahkan satu syarat yang dianggapnya sangat penting, yaitu: mengetahui aspek sosial budaya masyarakat dan kebiasaan mereka.
Memperhatikan sulitnya persyaratan tersebut tepenuhi dengan seseorang secara pribadi disatu sisi dan perlunya ijtihat disisi lain, maka timbul konsep baru mengenai pola berijtihat yang dikemukakan pakar usul fiqh antara lain Abed al-Wahab Khalaf, yaitu ijtihat jama’i, dimana kumpul para ahli dari berbagai disiplin ilmu membahas suatu kejadian atau peristiwa yang dihadapi kaum muslimin. Pola ini cukup realistis dan tampaknya dipraktekkan di Indonesia dalam bentuk lembaga-lembaga permanen atau situasional. Badan pembinaan Hukum Nasional, merupakan lembaga ijtihad jama’i yang strategis dalam upaya pembaharuan hukum Islam di Indonesia.
Contohnya: keharaman membakar harta anak yatim diqiyaskan pada memakan harta anak yatim.
2.      Istih}san
Istih}san ialah membagi al-qiyas atau meninggalkan al-qiyas dan menetapkan apa yang lebih bermanfaat bagi manusia.[28] Dalam buku lain Istih}san adalah mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahah} orang banyak.
Imam Syafi’i dengan tegas menolak istih}san karena dipandangnya sebagai penetapan hukum berdasarkan keinginan dan mencari yang enak, tanpa rujukan pada nas atau keluar dari nas}s.[29] Ulama-ulama yang berpegang kepada istih}san sebagai sumber hukum, yang kebanyakan nereka adalah fuqaha-fuqaha aliran Hanafiyah dan Malikiyah. Baik fuqaha Hanafiyah maupun Malikiyah baru memakai istih}san manakala penetapan hukum berdasarkan qiyas itu akan mengakibatkan suatu kejanggalan dan ketidakadilan.
Dalam menetapkan dalil dengan istih}san sebenarnya adalah menetapkan dalil dengan qiyas khafi dengan mengalahkan qiyas jail atau mentarjihkan suatu qiyas terhadap qiyas yang menentangnya dengan suatu dalil yang dapat dipakai untuk mentarjihkan atau menetapkan dalil dengan maslahah} untuk mengecualikan suatu hukum dari hukum kulli. Masing-masing penetapan hukum disebut penetapan hukum yang sahih.[30]
Contoh istih}san istis}na (memesan untuk dibuatkan sesuatu atau jual beli secara inden). Istithna adalah perikatan dalam lalu lintas perdagangan tetapi barang yang diperdagangkan belum berwujud pada saat perjanjian dibuat. Hukum kulli dalam contoh ini ialah tidak sah memperjualbelikan barang yang belum berwujud pada saat perikatan terjadi. Tetapi karena perikatan itu sangat dibutuhkan dan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, maka kegiatan seperti ini  dikecualikan. Dengan kata lain segi istih}sannya adalah kebutuhan dan kebiasaan dalam masyarakat.[31]
3.      Istishab
Yang disebut istishab menurut us}u>liyun adalah menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang merubahnya. Dengan ungkapan lain istishab ialah menjadikan hukum suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu. Macam-macam istishab ada dua macam yakni:[32]
a.       Istishab kepada hukum akal dalam predikat ibahah (mubah) atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya).
Misalnya: jika si Ahmad mengaku mempiutangkan kepada Badri, padahal si Ahmad tidak mempunyai bukti atas pengakuannya itu, maka si Badri bebas dari kewajiban membayar berdasarkan baraatul ashliyah. Karena demikianlah menurut hukum aslinya, sampai si Ahmad membuktikan pengakuannya.
b.      Istishab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada satu dalil pun yang merubahnya. Misalnya seorang berwudhu, kemudian ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka dia dihukumi sebagai orang yang masih dalam keadaan wudu, berdasarkan istishab terhadap hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya secara yakin.[33]
4.      Maslahah} Murs>alah
Menurut istilah us}u>l al-fiqh Maslahah}} mursalah ialah menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan sama sekali di dalam al-Qur’an dan Sun>ah atas pertimbangan menarik kebaikan dan menolak kerusakan dalam kehidupan masyarakat.[34]
Prosedur yang harus dilalui dalam menggunakan Maslahah}} mursalah harus memenuhi tiga syarat, yakni:
a.       Maslahah} yang dicapai itu benar-benar nyata, bukan sekedar dugaan yang tidak meyakinkan adanya.
b.      Maslahah} harus bersifat umum, bukan Maslahah} perorangan atau kelompok tertentu saja.
c.       Maslahah} harus tidak bertentangan dengan ketentuan hukum atau prinsip agama yang telah ditetapkan oleh agama dengan nas} atau ijma’.[35]
Contoh: perkawinan anak di bawah umur tidak dilarang oleh agama dan sah jika dilakukan oleh walinya yang berwenang. Namun, data-data statistik menunjukkan perkawinan anak di bawah umur membawa akibat perceraian, karena anak-anak belum siap fisik dan mentalnya untuk menghadapi tugas-tugas sebagai suami istri. Dan perceraian tidak sesuai dengan tujuan perkawinan,. Maka atas dasar Maslahah} mursalah pemerintah dibenarkan melarang perkawinan anak-anak, dan membuat peraturan tentang batas umur bagi calon suami istri.[36]
5.      Sadzudh Dhariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Menurut kebanyakan ulama us}u>l   al-fiqh diartikan sebagai perantara atau jalan yang membawa kepada kejelekan/kerusakan saja.
Contohnya adalah: melihat aurat wanita bukan mahram dan bukan pula istrinya adalah haram, karena perbuatan itu bisa membawa kepada perbuatan keji/zina.[37]
6.      ‘Urf
Urf adalah apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus-menerus berupa perkataan maupun perbuatan.[38] Menurut al-Ghazali prosedur ‘urf yang sehat/baik ialah ‘urf yang telah dikenal oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang diharamkan, dan tidak membatalkan semua kewajiban.[39] Contoh: jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab-qabul , karena harga barang tersebut sudah dima’lumi bersama.[40]
BAB III
KESIMPULAN
1.      Pengertian Ra’y
Kata ra’y secara etimologi artinya melihat. Kata ra’y atau yang seakar dengan itu terdpat dalam 328 ayat yang tersebar dalam al-Qur’an
2.      Peran Ra’y dalam Hukum Islam
Perentangan suatu lafad kepada maksud lain dapat dilakukan dengan pemahaman lafad semata. Perentangan suatu lafad kepada maksud lain tidak dengan pemahaman lafad semata, tetapi tergantung pada pemahaman alasan hukum atau ‘illa. Dengan demikian, bila dalam suatu kejadian terdapat kemaslahatan yang bersifat umum dan tidak ada dalil nas}s yang berbenturan dengannya, maka pada kejadian itu seseorang mujtahid dapat melahirkan ketentuan hukum.
3.      Kedudukan Ra’y dalam Hukum Islam
Hukum yang ditetapkan mujtahid dengan ra’y berdasarkan hasilnya adalah dugaan kuat semata dari mujtahid. Tidak dapat dipastikan oleh mujtahid itu sendiri bahwa itu sebenarnya hukum Allah, karena Allah tidak pernah menjelaskannya demikian. Oleh karena itu hasil ra’y kekuatannya bersifat z}anni.
4.      Macam-Macam Metode Penalaran Hukum Ekstra Tekstual
Al-Qiyas, Istih}san, Istishab, Maslahah}} Murs>alah, Sadzudh dhariah, ‘Urf.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.

Ash Shiddieqy, Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1975.

Dahlan, Muhammad. Us}ul Fiqh, Yogyakarta: Teras, 2012.

Dahlan, Zaini. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PTAI, 1987.

Effendi, Satria. Us}ul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005.

Hasan, Ahmad. Qiyas Penalaran Analogis Di Dalam Hukum Islam. Bandung: Pustaka, 2001.

Kamali, Muhammad Hashim. Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Perlajar, 1996.

Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Us}uL al-Fiqh. Maktabah Al-Dakwah Al Islamiyah, Cet. VIII, 1991.

Syaarifuddin ,Amir. Us}u>l   Fiqh. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997.

Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung: PT.al-Ma’arif, 1993.

Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta: CV Haji Masagung, 1987.

Zahra, Muhammad Abu. Us}ul al-Fiqh, Jakarta: Kota Firdaus, 2008.





[1]
[2]  Zaini Dahlan, Filsafat Hukum Islam(Jakarta, PTAI, 1987), 40.
[3]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta, PT Logos Wacana Ilmu, 1997),102.
[4]  Ibid., 103.
[5]  Ibid.
[6]  Ibid., 104.
[7]  Ibid., 105.
[8]  
 [9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12]  Ibid.
[13] Ibid.
[14]  Ibid.
[15]  Ibid.
[16]  Ibid.
[17]  Ibid.
[18]  Ibid, 107.
[19]  Zaini Dahlan, Filsafat Hukum Islam, 49.
[20]  Satria,Effendi, Us}ul Fiqh (Jakarta, Kencana, 2005), 246.
[21]  Zaini Dahlan, Filsafat Hukum Islam, 50.
[22] Ahmad Hasan, Qiyas Penalaran Analogis Di Dalam Hukum Islam (Bandung, Pustaka, 2001), 112.
[23] Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Yogyakarta, Pustaka Perlajar, 1996), 255.
[24] Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Bandung, PT.al-Ma’arif, 1993),66.
[25]   Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan , 78.
[26]   Sulaiman Abdullah Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1996), 160.
[27]  Ibid, 161.
[28]  Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1975), 301.
[29]  Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas, 184.
[30] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Us}uL al-Fiqh (Maktabah Al-Dakwah Al Islamiyah, Cet. VIII, 1991), 79.
[31]Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan, 103.
[32] Ibid.
[33]  Ibid, 113.
[34] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah (Jakarta, CV Haji Masagung, 1987), 83.
[35] Ibid., 84.
[36]  Ibid.
[37]  Ibid, 97.
[38] Muhammad Dahlan, Us}ul Fiqh (Yogyakarta, Teras, 2012), 148.
[39] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, 86.
[40]  Muhammad Abu Zahra, Us}ul al-Fiqh (Jakarta, Kota Firdaus, 2008), 421.

3 comments: