Wednesday, October 12, 2016

Objek Akad Dalam Perikatan (makalah Ekonomi Syariah)

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam hukum perjanjian Islam rukun ketiga akad adalah adanya objek akad (mahallul-'aqd). Hal ini, seperti dalam semua sistem hukum, adalah wajar sekali karena objek tersebut yang menjadi sasaran yang hendak dicapai oleh para pihak melalui penutupan akad. Apabila tidak ada objek, tentu akadnya menjadi sia-sia dan percuma. Tidak mungkin para pihak dapat melaksanakan presta­sinya bilamana prestasi itu tidak ada dan tidak jelas.
Dalam hukum perjanjian Islam objek akad dimaksudkan sebagai suatu hal yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibat- akibat hukum akad. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau suatu yang lain yang tidak bertentangan dengan Syariah.[1] Benda meliputi benda bergerak dan tidak bergerak maupun benda berbadan dan benda tak berbadan.
Misalnya akad jual beli rumah objeknya adalah benda, yaitu liciupa rumah dan uang harga penjualannya yang juga merupakan liriula. Akad sewa-menyewa objeknya adalah manfaat barang yang ili-.cwa, akad pengangkutan objeknya adalah jasa pengangkutan. Imbalannya, yang bisa berupa benda (termasuk uang), manlaat atau lusa, juga merupakan objek akad. Jadi dalam akad jual beli rumah, misalnya, menurut hukum Islam bukan hanya rumahnya saja yang merupakan objek akad, tetapi imbalannya yang berupa uang atau berupa lainnya juga merupakan objek akad jual beli.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai syarat pada objek akad. Para ahli hukum Islam mensyaratkan beberapa syarat pada 6b|ck akad, yaitu:
1.  objek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan;
2.  objek akad harus tertentu atau dapat ditentukan; dan
3. objek akad dapat ditransaksikan menurut syarak.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Objek Akad Dapat Diserahkan atau Dapat Dilaksanakan
Objek akad disyaratkan harus dapat diserahkan apabila objek tersebut berupa barang seperti dalam akad jual beli, atau dapat dinikmati atau diambil manfaatnya apabila objek itu berupa manfaat benda seperti dalam sewa-menyewa benda (ijarah al-manafi').[2] Apabila objek akad berupa suatu perbuatan seperti mengajar, melukis, mengerjakan suatu pekerjaan, maka pekerjaan itu harus mungkin dan dapat dilaksanakan. Dasar ketentuan ini disimpulkan dari beberapa hadis Nabi Saw., antara lain adalah:
1.      Hadis Hakim Ibn Hizam yang menyatakan bahwa Nabi Saw. bersabda: Jangan engkau menjual barangyang tidak ada padamu. [HR an-Nasa'i].
2.      Hadis Abu Hurairah yang mengatakan: Rasulullah Saw. melarang jual beli lempar krikil dan jual beli garar. [HR Muslim].
Larangan menjual barang yang tidak ada pada seseorang dalam hadis pertama causa legis-nya adalah karena Nabi Saw. mempertim­bangkan bahwa barang itu tidak dapat dipastikan apakah akan dapat diserahkan oleh penjual atau tidak. Atas dasar itu disimpulkan suatu aturan umum mengenai objek akad, yaitu bahwa objek tersebut harus merupakan barang yang dapat dipastikan bisa diserahkan. Hadis kedua melarang jual beli jual beli lempar kerikil dan jual beli garar. Yang dimaksud garar di sini adalah suatu objek yang  tidak dapat dipastikan apakah akan bisa diserahkan atau tidak.[3]
Dari larangan dalam kedua hadis di atas dan banyak hadis lain serupa diabstraksikan aturan umum bahwa objek akad harus dapat dipastikan bisa diserahkan atau dilaksanakan.
objek akad harus ada pada waktu ditutupnya perjanjian apabila para pihak memang bermaksud melakukan akad terhadap objek yang sudah ada, sehingga apabila kemudian ternyata barangnya tidak ada, maka perjanjiannya batal demi hukum. Akan tetapi, apabila para pihak bermaksud untuk melakukan akad terhadap objek yang tidak harus ada pada waktu dibuatnya perjanjian, melainkan dapat diserahkan kemudian, maka objek itu tidak harus ada pada waktu penutupan perjanjian, namun dapat dipastikan bisa diserahkan pada tanggal yang ditentukan.
Hukum Islam kontemporer seperti tercermin dalam ketentuan pasal beberapa KUH Perdata yang bersumber prinsip Syariah meng­adopsi pandangan Ibn al-Qayyim dan menegaskan,[4] "Boleh menjadi objek akad atas beban suatu benda yang baru akan ada di masa di kemudian hari apabila tidak mengandung garar."
Dalam hal objek akad merupakan suatu perbuatan seperti mengajar, melakukan pengangkutan, atau melakukan suatu peker- |aan tertentu, maka syaratnya adalah bahwa perbuataan atau pekerjaan tersebut mungkin dilaksanakan. Tidak boleh merupakan hal yang tidak dapat dipastikan apakah dapat atau tidak dapat dilaksanakan. Apabila objek merupakan hal yang tidak dapat dipastikan bisa atau tidaknya dilaksanakan berarti terdapat unsur garar yang dilarang dalam hadis Nabi Saw. yang telah dikutip di muka.
B.     Objek Akad Tertentu
1.      Pengertian akad tertentu
Objek akad itu tertentu artinya diketahui dengan jelas oleh para pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa. Apabila objek tidak jelas secara mencolok sehingga dapat menimbul­kan persengketaan, maka akadnya tidak sah. Ketidakjelasan kecil (sedikit) yang tidak membawa kepada persengketaan tidak
membatalkan akad. Ahli-ahli hukum Hanafi menjadikan adat ke­biasaan dalam masyarakat sebagai ukuran menentukan menyolok mau tidaknya suatu ketidakjelasan.[5]
2.      Objek Akad Berupa Benda
Apabila objek akad berupa benda, maka kejelasan objek tersebut terkait pada apakah objek tersebut hadir (ada) di majelis (kad (tempat ditutupnya perjanjian) atau tidak. Bilamana objek dimaksud ada (hadir) pada majlis akad, maka kejelasan objek lersebut, menurut ahli-ahli hukum Hanafi dan Hambali, cukup dengan menunjukkannya kepada mitra janji sekalipun objek tersebut berada di dalam tempat tertutup, seperti gandum atau gula dalam karung. Menurut ahli-ahli hukum Maliki, penunjukan tidak cukup, melainkan harus dilihat secara langsung jika hal itu memang dimungkinkan. Jika tidak mungkin dilihat, cukup dideskripsikan. Ahli-ahli hukum Syafi'i mengharuskan melihat secara langsung terhadap objek, baik objek itu hadir atau tidak di tempat dilakukannya akad.22
Objek akad yang tidak berada di majlis akad (tempat dilaku­kannya akad) dapat dideskripsikan dengan suatu keterangan yang dapat memberikan gambaran yang jelas dan menghilangkan ketidak­jelasan yang mencolok mengenai objek. Bilamana objek tersebut berupa benda individu, maka dideskripsikan sedemikian rupa sehingga menjadi jelas dan bilamana berupa benda yang memiliki satuan yang banyak dan serupa seperti barang produk pabrik yang sama jenisnya, maka dijelaskan dengan menyebutkan jenis, kualitas dan jumlahnya.
3.      Objek Akad Berupa Perbuatan
Apabila objek berupa perbuatan, maka seperti halnya objek yang berupa benda, objek tersebut harus tertentu atau dapat ditentukan, dalam pengertian jelas dan diketahui oleh para pihak. Dalam akad melakukan suatu pekerjaan, pekerjaan itu harus dijelaskan sedemikian rupa sehingga meniadakan ketidakjelasan yang mencolok. Dalam kitab al-Bada'i' dikatakan,
Di antara syarat perjanjian melakukan pekerjaan dengan para tukang atau pekerja adalah menjelaskan pekerja­annya, karena ketidakjelasan pekerjaan dalam perjanjian melakukan perkerjaan merupakan ketidakjelasan yang dapat menimbulkan persengketaan dan oleh karena itu akadnya fasid.

C.    Objek Akad Dapat Ditransaksikan
Suatu objek dapat ditransaksikan dalam hukum Islam apabila memenuhi kriteria-kriteria berikut:
1.      Tujuan objek tersebut tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila transaksi tersebut bertentangan dengan tujuan yang ditentukan untuk sesuatu tersebut;
2.      Sifat atau hakikat dari objek itu tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan transaksi;
3.      Objek tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum[6]


BAB III
KESIMPULAN

A.    Objek Akad Dapat Diserahkan atau Dapat Dilaksanakan
Dalam hal objek akad merupakan suatu perbuatan seperti mengajar, melakukan pengangkutan, atau melakukan suatu pekerjaan tertentu, maka syaratnya adalah bahwa perbuataan atau pekerjaan tersebut mungkin dilaksanakan. Tidak boleh merupakan hal yang tidak dapat dipastikan apakah dapat atau tidak dapat dilaksanakan. Apabila objek merupakan hal yang tidak dapat dipastikan bisa atau tidaknya dilaksanakan berarti terdapat unsur garar yang dilarang dalam hadis Nabi Saw. yang telah dikutip di muka.
B.     Objek Akad Tertentu
Apabila objek akad berupa benda, maka kejelasan objek tersebut terkait pada apakah objek tersebut hadir (ada) di majelis (kad (tempat ditutupnya perjanjian) atau tidak. Apabila objek berupa perbuatan, maka seperti halnya objek yang berupa benda, objek tersebut harus tertentu atau dapat ditentukan, dalam pengertian jelas dan diketahui oleh para pihak.
C.    Objek Akad Dapat Ditransaksikan
Suatu objek dapat ditransaksikan dalam hukum Islam apabila memenuhi kriteria-kriteria: Tujuan objek tersebut tidak bertentangan dengan transaksi, Sifat atau hakikat dari objek itu tidak bertentangan dengan transaksi, Objek tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum.



Daftar pustaka

Madkur, al-Fiqh al-Islami: al-Madkhal wa al-Amwal wa al-Huquq wa al- Milkiyyah wa al-'Aqd, Kairo: Maktabah 'Abdullah Wahbah, 1955.
Al-Kasani, Bada'i' ash-shana'i' fi Tartib asy-Syarakhi’ , Beirut: Dar Ihya’at- Turats al-'Arabi, 1998.
Asy-Syirazi, al-Muliadzdzcibfi Fiqh al-Imam asy-Syafi'i, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Pasal 160 KUH Perdata Yordania, pasal KUH Muamalat UEA Pasal 202 (1), dan KUH Perdata Irak 129
Madkur, al-Fiqh  al-Islami: al-Madkhal wa al-Annval wa al-Huquq wa al- Milkiyyah wa al-'Aqd, Kairo: Maktabah Wahbah, 1955.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2010.





                [1]  Madkur, al-Fiqh al-Islami: al-Madkhal wa al-Amwal wa al-Huquq wa al- Milkiyyah wa al-'Aqd, (Kairo: Maktabah 'Abdullah Wahbah, 1955), 426.
                [2]  Al-Kasani, Bada'i' ash-shana'i' fi Tartib asy-Syarakhi’  (Beirut: Dar Ihya’at- Turats al-'Arabi, 1998), 326.
                [3] Asy-Syirazi, al-Muliadzdzcibfi Fiqh al-Imam asy-Syafi'i (Beirut: Dar al-Fikr, 1994),365.
                [4] Pasal 160 KUH Perdata Yordania, pasal KUH Muamalat UEA Pasal 202 (1), dan KUH Perdata Irak 129 ).
                [5]  Madkur, al-Fiqh  al-Islami: al-Madkhal wa al-Annval wa al-Huquq wa al- Milkiyyah wa al-'Aqd, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1955), 431.
                [6]  Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah(Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 216.

No comments:

Post a Comment