Friday, October 14, 2016

Pengetahuan Menurut Karl R. Popper (tugas ekonomissyariah)

Pengetahuan Menurut Karl R. Popper


PENDAHULUAN


Sejarah tentang perkembangan ilmu merupakan suatu kisah kesuksesan dan kemenangan pengetahuan dalam mengalahkan kebodohan. Salah satu pendorong keberhasilan tersebut ialah adanya natural curiosity (rasa ingin tahu secara alamiah) yang amat besar pada diri manusia dan anugrah kemampuan akal yang dapat mengelola dan merekam setiap pengetahuan yang diperolehnya. Perkembangan ilmu seperti sekarang ini tidak berlangsung secara mendadak melainkan melalui proses panjang secara bertahap dan melintasi rute perjalanan, separti halnya dalam metode penelitan butuh waktu untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Penelitian adalah terjemah dari bahasa inggris: reseach yang berarti usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode  tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.

Metode penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan. Dimana penelitian dikenal adanya beberapa macam teori untuk menerapkan salah satu metode yang relevan terhadap permasalahan tertentu, untuk itu dalam makalah ini akan dibahas secara khusus tentang pengetahuan menurut karl poper.

            Dalam makalah ini kami memfokuskan perhatian pada: Riwayat Hidup Karl Popper, Karya-karya Karl Popper, Testing Pemikiran Karl Popper, Kritik Terhadap Pemikiran Karl Popper.



PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup dan karya Karl Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr. Simon S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah social. Masa remajanya di kota Wina merupakan masa yang cukup menentukan arah perkembangan pribadi dan intelektualnya. Masa pendidikan dilalui selama periode tahun 1920-an di kota tersebut. Popper memulai pendidikan ilmiah formalnya sebagai murid privat. Bidang-bidang pelajarannya cukup luas, namun Popper lebih memfokuskan perhatiannya pada bidang matematika dan fisika teoretis. Pada tahun 1925, Popper mengikuti kursus lanjutan di Institut Pedagogi, cabang dari Universitas Wina dan pada masa itu pula ia bertemu dengan calon istrinya.
Pada tahun 1928, Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi : Masalah Psikologi dalam Psikologi Pemikiran. Popper merasa tidak puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari bidang epistemologi yang dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan. Usahanya ini semakin intentif ketika ia berjumpa dengan positivisme logis dari lingkaran Wina. Popper bukan termasuk dalam lingkaran Wina, sebab dia merupakan kritikus paling tajam terhadap gagasan-gagasan lingkaran Wina.
Popper yang berdarah Yahudi, harus meninggalkan tempat kelahirannya sebab pada waktu itu Jerman di bawa penguasanya Hitler telah menduduki tempat itu. Popper pindah ke Selandia Baru dan mengajar di Universitas Christchurch. Ia pun tidak menetap di sana, sebab pada tahun1945, ia pindah ke Inggris dan mengajar di London School of Economics. Karl Popper menginggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di London Selatan akhibat penyakit jantung. Adapun beberapa karya tulisnya yang terbesar antara lain sebagai berikut: The Poverty of Historicism (1945); The Logic of Scientific Discovery (1959); Conjectures and Refutations: The Growt of  Scientific Knowledge (1963).[1]



B.     Karya-karya Karl Popper
1.       Logik der Forschung. Julius Springer Verlag, Vienna, 1935
2.      .The Open Society and Its Enemies. (2 Vols). Routledge, London, 1945.
3.      The Logic of Scientific Discovery. (translation of Logik der Forschung). Hutchinson, London, 1959.
4.      Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge. Routledge, London, 1963.
5.      The Poverty of Historicism (2nd. ed). Routledge, London, 1961.
6.      Objective Knowledge: An Evolutionary Approach. Clarendon Press, Oxford, 1972.
7.      Unended Quest; An Intellectual Autobiography. Fontana, London, 1976.
8.      ‘A Note on Verisimilitude’, The British Journal for the Philosophy of Science 27, 1976, 147-159.
9.      The Self and Its Brain: An Argument for Interactionism (with J.C. Eccles). Springer International, London, 1977.
10.  The Open Universe: An Argument for Indeterminism. (ed. W.W. Bartley 111). Hutchinson, London, 1982.
11.  Realism and the Aim of Science. (ed. W.W. Bartley III). London, Hutchinson, 1983.
12.  The Myth of the Framework: In Defence of Science and Rationality. Routledge, London, 1994.
13.  Knowledge and the Mind-Body Problem: In Defence of Interactionism. (ed. M.A. Notturno). Routledge, London, 1994.[2]

C.     Testing Pemikiran Menurut Karl Popper
Meski Karl Raimund Popper, selanjutnya disebut Popper banyak mengenal anggota Lingkaran Wina (Vienna Cirle) yang cenderung pada positivisme logis, dan sering melakukan kontak (misalnya dengan Viktor Karft dan Herbert Feigl), namun ia tidak pernah menjadi anggota kelompok tersebut, bahkan ia tidak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan tersebut. Ia sendiri melontarkan pemikirannya disebabkan penolakannya terhadap pemikiran-pemikiran kelompok tersebut, dan ia menyebut dirinya sebagai kritikus paling tajam terhadap mereka pemikiran filosof Popperr meliputi antara lain persoalan induksi, verifikasi, konjektur, demarkasi, falsifikasi, dan dunia tiga.[3]
     Popper mengemukakan bahwa sistem ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokkan kedalam tiga dunia (Word), yaitu Dunia 1, Dunia 2, Dunia 3. Popper manyatakan bahwa Dunia 1 merupakan kenyatakan fisis dunia, sedangkan Dunia 2 adalah kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan Dunia 3 yaitu hipotesa, hukum. Teori ciptaan manusia dan hasil kerjasama antara Dunia 1 dan Dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik, agama, dan lain sebagainya. Menurut Popper Dunia 3 itu hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsungan, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri paea seniman, dan penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung “mengendap” dalam bentuk fisik alat-alat ilmiah, buku-buku, karya seni, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari Dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan sisa dunia 3 dalam dunia 1 itu. Maka Dunia 2-lah yang membuat manusia bisa membangkitkan kembali dam mengembangkan Dunia 3 tersebut. Menurut Popper Dunia 3 itu mempunyai kedudukannya sendiri. Dunia 3 berdaulat (autonomous), artinya tidak semata-mata begitu saja terikat pada Dunia 1, tetapi sekaligus tidak terikat juga pada subjek tertentu. Maksudnya Dunia 3 tidak terikat pada Dunia 2, yaitu pada orang tertentu, pada suatu lingkungan masyarakat maupun pada periode sejarah tertentu. Dunia 3 inilah yang merupakan dunia ilmiah yang harus mendapat perhatian para ilmuwan dan filsuf. Kalau diskematisasikan, maka hubungan antara ketiga dunia tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.[4]








Kenyataan fisis Dunia
                           Dunia 1                                                            Dunia 2

Kenyataan psikis dalam diri manusia
 



Hipotesa Hukum, Teori (ciptaan manusia)
                                                        Dunia 3[5]




Studi Ilmiah

Karya Ilmiah

Penelitian Ilmiah
 






v  PERKEMBANGAN PENGETAHUAN MANUSIA
Oleh popper perkembangan pengetahuann manusia berasal dari permasalahan manusia dan usaha untuk memecahkan permasalahan tersebut. Usaha ini dimulai dengan perumusan teori jika tidak ada teori maka dicari pengetahuan lain dimana dibutuhkan imajinasi yang kreatif dan mandiri dalam perumusan teori.
Dan oleh Popper pusat dari permasalaan ilmu pengetahuan tertinggi adalah mengenali ilmuan sebagai pemecah masalah. Sejak ilmuwan dengan permasalahan bukan dengan pengamatan. Popper membantah satu-satunya teknik logis adalah bagian integral metode kritikan yaitu mengurangi uji coba teori sehingga disampaikan hipotesa yang bersifat sementara. Kesimpulan sementara ini apakah dipalsukan atau menguatkan. Mengapa ? Karena hanya suatu minat, harapan dan berbagai keinginan
Bagaimana bekerja menggunakan prosedur ?                      
a. Secara formal Jika bertentangan uji coba konsistensi internal dari sistem teori,
b. Semiformal. Aksioma teori untuk membedakan yang empiris dan unsur logis maka dibuat format logis dari teori. Kegagalan format logis, mengarahkan pencarian kedata empiris yang sebenarnya tidak ada, sehingga dicari teori yang bersifat analitik ( berdasarkan purbasangka dan unsur buatan untuk membedahkan keduanya )
c. Membandingakn teori baru dengan yang sudah ada. Apakah suatu kemajuan. Jika tidak, jangan diadopsi. Jika “ya” merupakan suatu kemajuan dari teori yang telah ada ( diadopsi ).
Popper menekankan jika suatu teori lebih baik dibanding denan teori lain hanya bisa diuji secara deduktif bukan secara induktif. Karena deduktif tidak dipalsukan mempunyai isi empiris dan prediktif yang lebih besar.
Contoh teori newton grafitasi universal diganti teori relatifitas Einsteins. Popper melihat ini, merupakan sifat alami pengetahuan, disetiap waktu ada yang berlawanan, dilain waktu menyelaraskan lebih teori sebelumnya, Kalau tidak ada pembandingnya, teori terakhir untuk sementara diadopsi.
Singkatnya Teori X menjadi lebih baik dibanding teori (a) menyaingi teori Y, jika X mempunyai isi empiris lebih benar dan karenanya kuasa bersifat prediksi lebih besar dibanding Y.
Maka ilmuwan akan mengambil teori yang tidak bisa diturunkan lagi atau mengambil yang sementara diperdebatkan, jika ramalan baru membuktikan maka teori baru dibenarkan diadopsi secara aktif jika ramalan tidak membuktikan mereka memalsukan teori. Perkembangan selanjutnya filosofi ilmu pengetahuan oleh Popper yang juga ditunjukan oleh Humes adalah semua pengetahuan diperoleh dari pengalaman yang universal.
Penekanan popper tentang pentingnya roh yang kritis ke ilmu pengetahuan merupakan inti sari dari rasionalita sebab pemikiran kritis dapat menghapuskan teori sumbang/palsu dan menetapkan teori yang terbaik dari yang tersedia. Karena bersifat menjelaskan dan bersifat prediksi
Mengenai masalah falsifikasi, Popperlah yang memperkenalkan sebagai pelengkap epistemologi positivistik. Dengan batasan yang sangat ketat antara pengetahuan ilmiah dan bukan ilmiah, yaitu testabilitas, refutubilitas, verifikasi dan falsifikasi, maka epistemologi positivistik menjadi kokoh. Popper tidak puas atas tuntutan empiris yang hanya melalui verifikasi tanpa falsifikasi. Sebab, hukum ilmiah pada dasarnya merupakan hipotesis atau merupakan dugaan belaka, yang perlu pengujian dengan metode “trial and error”. Semakin sering dan semakin berhasil suatu hipotesa itu diuji (mendapatkan konfirmasi) maka semakin besar kebenarannya.
Hal itulah yang sering dianggap sebagai pemecah kemacetan pendekatan induksi yang menjadi dasar metode kualitatif. Induksi yang selalu terbatas pada sejumlah hal yang terhingga, tidak mungkin dijabarkan dalam pernyataan umum. Sebaliknya, pernyataan umum tidak dapat diverifikasikan oleh suatu proses verifikasi yang terhingga. Popper, tidak percaya akan metode “generalisasi” yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan berasal dari observasi dan dari observasi itu diturunkan teori-teori melalui cara induksi atau generalisasi (Vredenbregt, 1985: 3). Dengan demikian cara induksi dianggap tidak berperan dalam epistemologi atau metode ilmiah.
Dengan falsifikasi, seseorang teorisi selalu akan memilih teori yang akan ditolak, dengan pengertian bahwa ia akan menerima unsur-unsur teori lama itu yang ternyata dapat bertahan melalui pengujian dan sekaligus menjelaskan di mana teori lama itu gagal dan sekaligus di mana teori itu berhasil. Teori baru itu akan tetap dipegang selama ternyata dapat bertahan terhadap pengujian, dan akan digugurkan apabila ternyata tidak cocok.
Pemikiran Popper memiliki tiga unsur. Pertama, sebagai metode untuk testing hanya bisa digunakan metode deduksi. Kedua, kekuatan teori tidak dapat diukur berdasarkan verifikasi, melainkan hanya mungkin berdasarkan falsifikasi. Ketiga, pengetahuan tidak dapat dicari dasarnya pada observasi, melainkan hanya mungkin pada teori yang diajukan sebagai ikhtisar pemecahan masalah.[6]
Rasionalisme kritis merupakan kecenderungan dalam filsafat eropa dan amerika yang prinsip utamanya dirumuskan oleh Popper (dia mencetuskan istilah Rasionalisme Kritis). Sistem ini sering disebut dengan falsifikasional[7]. Jika situasi ini benar dalam tahap paling awal dalam penemuan maka kurang benar dalam kasus pembeneran (justification) itu sendiri. Disini lagi, tahun 1920 sampai seterusnya, perdebatan dalam filsafat ilmu sangat terfokus pada dua posisiyang bertentagan secara tajam dan jika ditinjau dari belakang keduanya tampak terlalu sempit.[8]Popper seorang filsuf kontemporer yang melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi berupa sifat pembeneran (justification) terhadap teori yang telah ada. Ia mengajukan prinsip falsifikasi yang dapat diurai sebagai berikut.
Pertama, Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi, sebagaimana yang dianut oleh kaum positivistic. Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis (dugaan sementara), tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih cepat.
Kedua, cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi) secara teliti gejala yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang-ulang itu akan memperlihatkan adanya cirri-ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesa yang berhasil dibenarkan akan berubah menjadi hokum. Popper menolak cara kerja diatas, terutama pada asas verifisbilitas, bahwa sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti pengamatan empiris.
Ketiga, Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya, sebuah hipotesa, hokum, ataukah teori kebenarannya hanya bersifat sementara, sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada didalamnya. Jika ada pernyataan semua angsa itu berbulu putih” melalui prinsip  falsifiabilitas itu cukup ditemukan seekor angsa yang berbulu selain putih (entah hitam, kuning, hijau, dan lain-lain), maka runtuhlah pernyataan semula. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju manakala suatu hipotesa telah terbukti salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesa baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur baru yang lain, sehingga hipotesa telah disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh.   [9]




PENUTUP

Popper mengemukakan bahwa system ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokkan kedalam tiga dunia (Word), yaitu Dunia 1, Dunia 2, Dunia 3. Popper manyatakan bahwa Dunia 1 merupakan kenyatakan fisis dunia, sedangkan Dunia 2 adalah kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan Dunia 3 yaitu hipotesa, hukum.
Mengenai masalah falsifikasi, Popperlah yang memperkenalkan sebagai pelengkap epistemologi positivistik. Dengan batasan yang sangat ketat antara pengetahuan ilmiah dan bukan ilmiah, yaitu testabilitas, refutubilitas, verifikasi dan falsifikasi, maka epistemologi positivistik menjadi kokoh. Popper tidak puas atas tuntutan empiris yang hanya melalui verifikasi tanpa falsifikasi. Sebab, hukum ilmiah pada dasarnya merupakan hipotesis atau merupakan dugaan belaka, yang perlu pengujian dengan metode “trial and error”. Semakin sering dan semakin berhasil suatu hipotesa itu diuji (mendapatkan konfirmasi) maka semakin besar kebenarannya.
Dengan falsifikasi, seseorang teorisi selalu akan memilih teori yang akan ditolak, dengan pengertian bahwa ia akan menerima unsur-unsur teori lama itu yang ternyata dapat bertahan melalui pengujian dan sekaligus menjelaskan di mana teori lama itu gagal dan sekaligus di mana teori itu berhasil. Teori baru itu akan tetap dipegang selama ternyata dapat bertahan terhadap pengujian, dan akan digugurkan apabila ternyata tidak cocok.









DAFTAR PUSTAKA

Choiru Rofi, ahmad, “Signifikansi Teori-teori Popper, Khun, dan Lakatos Terhadap Perkambangan Ilmu-ilmu Keislaman”,dalam Ulumunal Jurnal Keislaman, Vol XIII  No 2, 2009.

Suraji, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), 69

Mustansyir, Rizal M. Hum, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 153

http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/11/pemikiran-epistemologis-karl-raimund-popper/ tgl 19 sept 2012 jam 19:03

S Machfudz, Anas, Makalah-makalah Metodhologi Penelitian, (Jakarta: Lipi), 21


Jerome R. Ravert, Filsafat Ilmu Sjarah dan Ruang Lingkup Bahasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, maret 2004).

Ahmad  Faruk, M.Fil.I, Filsafat Umum Sebuah Penelusuran Tematis, Stain Ponorogo Press, Oktober 2009,






[2] http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/11/pemikiran-epistemologis-karl-raimund-popper/ Tanggal 19 september 2012 jam 19:03

[3] Ahmad Choiru Rofiq, “Signifikansi Teori-teori Popper, Khun, dan Lakatos Terhadap Perkambangan Ilmu-ilmu Keislaman”,dalam Ulumunal Jurnal Keislaman, Vol XIII  No 2, 2009, 182
[4] Drs. Suraji, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), 69
[5] Drs. Rizal Mustansyir M. Hum, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 153
[6] Anas S Machfudz, Makalah-makalah Metodhologi Penelitian, (Jakarta: Lipi), 21
[7] Ahmad  Faruk, Filsafat Umum Sebuah Penelusuran Tematis, Stain Ponorogo Press, Oktober 2009, 37
[8] Jerome R. Ravert, Filsafat Ilmu Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, maret 2004), 169
[9] Ibid Rizal Mustansyir, 117

No comments:

Post a Comment