Wednesday, October 5, 2016

PENDAPATAN NASIONAL (Dasar-Dasar Ekonomi)

PENDAHULUAN
 
Dalam analisis makro ekonomi terdapat istilah pendapatan nasional atau national income. Istilah ini menunjukkan untuk menyatakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu negara. Mengenai arus barang dan jasa yang diproduksi oleh penduduk suatu negara. Dengan demikian pendapatan nasional mewakili arti produk domestic bruto atau produk nasional bruto. Arti lain yang menunjukkan pendapatan nasional ialah jumlah barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara dalam kurun waktu tertentu, yang biasanya dihitung pertahun. Dengan demikian perhitungan pendapatan nasional dapat dihitung secara berkala.
Pendapatan nasional dalam pandangan islam berbeda dengan pendapatan nasional yang berlaku pada sistem ekonomi kenvensional. Dalam pengertiannya, pendapatan nasional dalam pandangan islam lebih diutamakan pemerataan kesejahteraan masyarakat, bukan sebatas statistik angka yang telah diperhitungkan diatas kertas.
Pendapatan secara konvensional berarti jumlah seluruh produksi barang dan jasa yang kemudian dibagi oleh besarnya jumlah penduduk yang mendiami negara tersebut. Perhitungan ini tidak memperhitungkan aspek lain. Berbeda dengan pemahaman yang dianut kalangan konvensional, pandangan islam mengenai pendapatan nasional berarti memperhitungkan pendapatan nasional yang benar-benar memperhatikan tingkat kesejahteraan penduduk, baik yang didesa hingga pemerataan zakat dan sedekah.
Perbedaan besar antara pendapatan nasinal yang berlaku antara kalangan konvensional dan islam, terletak pada sistem al-falah yang berupa konsep dimana suatu pendapatan nasional tidak hanya berbentuk berupa harta atau angka statistik, melainkan menyentuh aspek-aspek rohaniyah. Sehingga pendapatan nasioanl tidak hanya berupa tuntutan jasadiyah, melainkan bagaimana pendapatan nasional dapat memperkaya penduduknya baik berupa materi hingga kekayaan rohani.




PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Pendapatan Nasional
1.      Pendapatan nasional adalah nilai dari semua barang dan jasa yang diproduksi oleh faktor-faktor produksi dalam negeri dalam satu periode waktu tertentu.[1]
2.      Pendapatan nasional adalah nilai (dalam uang) barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh satu negara (perekonomian) selama satu periode tertentu, biasanya satu tahun.[2]
3.      Pendapatan nasional adalah nama yang diberikan kepada total nilai nominal barang-barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara selama satu tahun tertentu.[3]
Secara sederhana pendapatan nasional dapat diartikan seperti pengertian tersebut. Namun ada istilah yang terkait dengan pendapatan nasional yang beragam, yaitu:
1.      Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/ GDP).
2.      Produk Nasional Bruto (Gross National Product/ GNP).
3.      Produk Nasional Netto (Net National Product/ NNP).
Perhitungan pendapatan nasional akan memberikan perkiraan GDP secara teratur yang merupakan ukuran dasar dari performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Selain itu perhitungan pendapatan nasional juga berguna untuk menerangkan kerangka kerja hubungan antara variable makroekonomi, yaitu output, pendapatan, dan pengeluaran, seperti terlihat pada skema berikut.


1.      Jasa-jasa dari faktor produksi.

4. Barang-barang dan jasa-jasa.


Rumah Tangga Konsumen/ Households

Rumah Tangga Produsen/ Firms

3.      Pengeluaran

2.          Pendapatan

Arus Pendapatan dan Pengeluaran
Gambar diatas menjelaskan tentang adanya dua arus (flow), yaitu:
1.      Arus barang berupa penyerahan faktor produksi dari rumah tangga konsumen ke rumah tangga produsen (1) dan penyerahan barang-barang dan jasa dari rumah tangga produsen ke rumah tangga konsumen (4).
2.      Sedangkan arus (flow) uang terjadi penerimaan pendapatan yang diperoleh rumah tangga konsumen dari rumah tangga produsen (2) dan pengeluaran yang dilakukan rumah tangga konsumen pada rumah tangga produsen (3).
Pendapatan nasional dapat dihitung dengan 3 pendekatan, yaitu:
1.      Pendekatan produksi (production approach).
2.      Pendekatan pendapatan (income approach).
3.      Pendekatan pengeluaran (expenditure approach).[4]

B.     Pendapatan Nasional dengan Pendekatan Produksi (Gross Domestic Product/ GDP)
Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan produksi diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto (gross value added) dari semua sektor produksi. Penggunaan konsep nilai tambah dilakukan guna menghindari terjadinya perhitungan ganda (double-count). Sebagai contoh kita tidak akan memasukan seluruh harga sebuah pakaian ke dalam perhitungan pendapatan nasional dan kemudian juga memasukan kain, benang, ataupun kapas sebagai bagian dari perhitungan pendapatan nasional. Komponen-komponen pakaian, seperti kain, benang, ataupun kapas merupakan barang antara (intermediary goods) yang tidak dimasukan dalam komponen perhitungan pendapatan nasional. Jadi, yang dimasukan ke dalam perhitungan pendapatan nasional hanya barang jadi atau barang-barang siap pakai (final goods).
Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan produksi di Indonesia dilakukan dengan menjumlahkan semua sektor industri yang ada, sektor industri tersebut dikelompokan menjadi 11 sektor atas dasar ISIC (International Standard Industrial Classification) yang meliputi:
1.      Sektor produksi pertanian.
2.      Sektor produksi pertambangan dan penggalian.
3.      Sektor industri manufaktur.
4.      Sektor produksi listrik, gas, dan air minum.
5.      Sektor produksi bangunan.
6.      Sektor produksi perdagangan, hotel, dan restoran.
7.      Sektor produksi transportasi dan komunikasi.
8.      Sektor produksi bank dan lembaga keuangan lainnya.
9.      Sektor produksi sewa rumah.
10.  Sektor produksi pemerintahan dan pertahanan.
11.  Sektor produksi jasa lainnya.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya perhitungan dengan pendekatan produksi di Indonesia menggunakan 9 sektor. Sebagai contoh bentuk perhitungan pendapatan nasional selama periode tahun 2012, sebagai berikut:
PDB Menurut Lapangan Usaha
Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000 (triliun rupiah)

Lapangan Usaha
Harga Berlaku
Haga Konstan 2000
Triwulan I-2012
Triwulan II-2012
Triwulan I-2012
Triwulan II-2012

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1.
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
301,4
303,0
82,4
84,4
2.
Pertambangan dan Penggalian
253,5
248,6
48,2
47,9
3.
Industri Pengolahan
466,9
482,6
160,7
165,1
4.
Listrik, Gas, dan Air Bersih
14,6
15,5
4,8
5,0
5.
Konstruksi
199,1
211,0
40,5
42,3
6.
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
266,5
283,2
111,8
117,6
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
130,2
132,8
63,8
65,0
8.
Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan
143,5
146,8
61,5
62,6
9.
Jasa-jasa
202,0
226,6
59,1
60,7

PDB
1 977,7
2 050,1
632,8
650,6
PDB Tanpa Migas
1 811,3
1 887,8
597,8
616,2

Sumber: www.bps.go.id
C.     Pendapatan Nasional dengan Pendekatan Pengeluaran (Gross National Product/ GNP)
Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran dilakukan dengan menjumlahkan permintaan akhir unit-unit ekonomi, yaitu:
1.      Rumah tangga berupa konsumsi (consumption/ C).
2.      Perusahaan berupa investasi (investment/ I).
3.      Pengeluaran pemerintah (government/ G).
4.      Pengeluaran ekspor dan impor (export-import/ X-M).[6]
Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan ini biasa dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
1.      Y = C + I, untuk perekonomian tertutup tanpa peranan pemerintah.
2.      Y = C + I + G, untuk perekonomian tertutup dengan peranan pemerintah.
3.      Y = C + I + G + (X-M), untuk perekonomian terbuka.
Secara sederhana dapat dinyatakan GDP adalah nilai barang jadi yang diproduksi di dalam negeri. Sedangkan di dalam GNP ada bagian barang atau jasa yang diperoleh dari luar negeri. Misalnya, pendapatan dari seorang warga negara Indonesia yang bekerja di Amerika adalah bagian dari GNP Indonesia tetapi bukan bagian dari GDP Indonesia karena pendapatan itu tidak dihasilkan di Indonesia. Contoh lain, keuntungan perusahaan Astra International (Perusahaan Jepang) yang operasi pabriknya ada di Indonesia adalah bagian dari GNP Jepang bukan GNP Indonesia.
Dari Penjelasan perbedaan GDP dengan GNP tersebut, maka ada 3 kondisi yang mungkin terjadi pada suatu negara, yaitu:
1.      Nilai GDP lebih besar dari GNP (GDP > GNP)
Hal ini berarti penghasilan penduduk suatu negara yang bekerja di luar negeri akan lebih sedikit bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara itu.
2.      Nilai GDP lebih kecil dari GNP (GDP < GNP)
Hal ini berarti penghasilan penduduk suau negara yang bekerja di luar negeri akan lebih besar bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara itu.
3.      Nilai GDP sama dengan GNP (GDP = GNP)
Hal ini berarti penghasilan penduduk suatu negara yang bekerja di luar negeri akan sama besar bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara itu.[7]
Berikut adalah skema yang berkaitan dengan GNP:
PDB Menurut Pengeluaran
Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000 (triliun rupiah)


Jenis Pengeluaran
Harga Berlaku
Harga Konstan 2000
Triwulan I-2012
Triwulan II-2012
Triwulan I-2012
Triwulan II-2012

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1.
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
1 072,1
1 097,1
351,1
355,9
2.
Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
137,4
184,0
38,4
48,9
3.
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)
629,4
673,2
154,4
164,1
4.
a.
Perubahan Inventori
50,5
72,3
19,1
26,5

b.
Diskrepansi Statistik
86,2
70,4
4,2
7,6
5.
Ekspor Barang dan Jasa
489,5
498,5
302,0
305,9
6.
Dikurangi Impor Barang dan Jasa
487,4
545,4
236,4
258,3

PDB
1 977,7
2 050,1
632,8
650,6

Sumber: www.bps.go.id
D.    Pendapatan Nasional dengan Pendekatan Pendapatan (Net National Product/ NNP)
Berbeda dengan GNP, maka NNP merupakan GNP dikurangi penyusutan dari stok modal yang ada selama periode tertentu. Penyusutan merupakan ukuran dari bagian GNP yang harus disisihkan untuk menjaga kapasitas produksi dari perekonomian (contoh: pajak tidak langsung, pajak penjualan, dsb). Biasanya data GNP lebih banyak digunakan dibandingkan NNP karena persoalan estimasi penyusutan mungkin tidak teliti dan juga tidak tersedia denan cepat sedangkan perkiraan GNP tersedia dalam bentuk sementara.[8]

E.     GDP Riil (Real GDP) dan GDP Nominal (Nominal GDP)
GDP nominal mengukur nilai output atau pendapatan nasional dalam suatu periode tertentu menurut harga pasar yang berlaku pada periode tersebut atau dikenal dengan istilah current price. Sedangkan yang dimaksud dengan GDP riil mengukur nilai output atau pendapatan nasional pada periode tertentu menurut harga yang ditentukan (harga pada tahun dasar atau dikenal dengan istilah harga konstan/ constant price). Sebagai ilustrasi dapat dijelaskan dengan menggunakan data sebagai berikut:

Tahun
Harga Beras
Kuantitas Beras
Harga Roti
Kuantitas Roti
2010
4.000
150
1.500
200
2011
5.000
300
2.000
250
2012
6.000
400
2.300
300

Berdasarkan data diatas (dimisalkan perekonomian hanya menghasilkan 2 jenis barang), maka dapat dihitung GDP nominal dan GDP riil sebagai berikut:[9]
1.      GDP nominal
a.       Tahun 2010 = (4.000 x 150) + (1.500 x 200) = 900.000
b.      Tahun 2011 = (5.000 x 300) + (2.000 x 250) = 2.000.000
c.       Tahun 2012 = (6.000 x 400) + (2.300 x 300) = 3.090.000
2.      GDP riil (diamsusikan tahun dasar 2010)
a.       Tahun 2010 = (4.000 x 150) + (1.500 x 200) = 900.000
b.      Tahun 2011 = (5.000 x 150) + (2.000 x 200) = 1.150.000
c.       Tahun 2012 = (6.000 x 150) + (2.300 x 200) = 1.360.000
Dari hasil perhitungan terlihat bahwa nilai GDP nominal tahun 2011 dan 2012 jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai GDP riil tahun yang sama. Kenaikan GDP nominal jangan selalu dipandang sebagai kenaikan/ prestasi perekonomian dalam menghasilkan barang dan jasa. Karena bisa terjadi kenaikan GDP nominal disebabkan kenaikan harga yang cukup tinggi.
Jadi kita mengacu kepada GDP riil dan bukannya nominal untuk membandingkan output pada tahun yang berbeda.
Berdasarkan perhitungan GDP nominal dan GDP riil, maka kita dapat juga menghitung GDP deflator (mengukur tingkat inflasi) yang merupakan perbandingan antara GDP nominal dengan GDP riil.[10]
F.      Pendapatan Nasional dalam Perspektif Ekonomi Islam
Prof. Willian Nordhans dan James Tobin, bersama-sama dalam tahun 1971 mengajukan konsep MEW (Measure of Economic Welfare), tetapi sayang konsep ini tidak berkembang dan sampai saat ini cenderung penggunaan GDP/ GNP riil sebagai ukuran kesejahteraan suatu negara masih digunakan. Beberapa keberatan penggunaan GDP/ GNP riil sebagai indikator kesejahteraan suatu negara sebagai berikut:
1.      Umumnya hanya produksi yang masuk pasar yang dihitung dalam GNP.
2.      GNP juga tidak menhitung nilai waktu istirahat (leisure time), padahal ini sangat besar pengaruhnya dalam kesejahteraan.
3.      Kejadian buruk seperti bencana alam tidak dihitung dalam GNP, padahal kejadian tersebut jelas mengurangi kesejahteraan.
4.      Masalah polusi juga sering tidak dihitung dalam GNP.[11]
Satu hal yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah penggunaan parameter falah. Falah adalah kesejahteraan hakiki, kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dimana komponen-komponen rohaniah masuk ke dalam pengertian falah ini. Ekonomi Islam dalam arti sebuah sistem ekonomi (nidhom al-iqtishad) merupakan sebuah sistem yang dapat mengantarkan umat manusia kepada real welfare (falah), kesejahteraan yang sebenarnya. Memang benar bahwa semua sistem ekonomi baik yang sudah tidak eksis lagi dan telah terkubur oleh sejarah maupun yang saat ini sedang berada di puncak kejayaannya, bertujuan untuk mengantarkan kesejahteraan kepada para pemeluknya. Namun lebih sering kesejahteraan itu diwujudkan pada peningkatan GNP yang tinggi, yang kalau dibagi dengan jumlah penduduk akan menghasilkan per capita income yang tinggi. Jika hanya itu ukurannya, maka kapitalis modern akan mendapat angka maksimal. Akan tetapi pendapatan perkapita yang tinggi bukan satu-satunya komponen pokok yang menyusun kesejahteraan. Ia hanya merupakan necessary condition dalam isu kesejahteraan dan bukan sufficient condition. Al-falah dalam pengertian Islam mengacu kepada konsep Islam tentang manusia itu sendiri. Dalam Islam, esensi manusia ada pada kerohaniannya. Karena itu seluruh kegiatan duniawi termasuk dalam aspek ekonomi diarahkan tidak saja untuk memenuhi tuntutan fisik jasadiyah melainkan juga memenuhi kebutuhan rohani dimana roh merupakan esensi manusia (Mannan, 1984).[12]
Maka dari itu, selain harus memasukan unsur falah dalam menganalisis kesejahteraan, penghitungan pendapatan nasional berdasarkan Islam juga harus mampu mengenali bagaimana interaksi instrumrn-instrumen wakaf, zakat, dan sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan umat.
Pada intinya, ekonomi Islam harus mampu menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sosial Islam (Mannan, 1984). Setidaknya ada 4 hal yang semestinya bisa diukur dengan pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi Islam, sehingga tingkat kesejahteraan bisa dilihat secara lebih jernih dan tidak bias. 4 hal tersebut adalah:
1.      Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Penyebaran Pendapatan Individu Rumah Tangga.
Kendati GNP dikatakan dapat mengukur kinerja kegiatan ekonomi yang terjadi di pasar, GNP tidak dapat menjelaskan komposisi dan distribusi nyata dari output perkapita. Semestinya, penghitungan pendapatan nasional Islami harus dapat mengenali penyebaran alamiah dari output perkapita tersebut, karena dari sinilah nilai-nilai sosial dan ekonomi Islami bisa masuk. Jika penyebaran pendapatan individu secara nasional biasa dideteksi secara akurat, maka akan dengan mudah dikenali seberapa besar rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.[13]
2.      Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Produksi di Sektor Pedesaan.
Sangatlah disadari bahwa tidaklah mudah mengukur secara akurat produksi komoditas subsisten, namun bagaimanapun juga perlu satu kesepakatan untuk memasukan angka produksi komoditas yang dikelola secara subsisten ke dalam penghitungan GNP. Paling tidak, dugaan kasar dari hasil produksi subsisten tersebut harus masuk ke dalam penghitungan pendapatan nasional. Komoditas subsisten ini, khususnya pangan, sangatlah penting di negara-negara muslim yang baru dalam beberapa dekade ini masuk dalam percaturan perekonomian dunia.
3.      Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Kesejahteraan Ekonomi Islami.
Kita sudah melihat bahwa angka rata-rata perkapita tidak menyediakan kepada kita informasi yang cukup untuk mengukur kesejahteraan yang sesungguhnya. Adalah sangat penting untuk mengekspresikan kebutuhan efektif atau kebutuhan dasar akan barang dan jasa, sebagai persentase total konsumsi. Hal itu perlu dilakukan karena, kemampuan untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, rekreasi dan pelayanan publik lainnya, sesungguhnya bisa menjadi ukuran bagaimana tingkat kesejahteraan dari suatu negara atau bangsa.[14]
4.      Penghitungan Pendapatan Nasional Sebagai Ukuran Dari Kesejahteraan Sosial Islami Melalui Pendugaan Nilai Santunan Antarsaudara dan Sedekah.
Kita tahu bahwa GNP adalah ukuran moneter dan tidak memasukan transfer payments seperti sedekah. Namun haruslah disadari, sedekah memiliki peran yang signifikan di dalam masyarakat Islam, dan ini bukan sekedar pemberian secara sukarela pada orang lain namun merupakan bagian dari kepatuhan dalam menjalankan kehidupan beragama. Di dalam masyarakat Islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak gampang memperoleh datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan dana semacam ini dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya sistem keamanan sosial yang mengakar di masyarakat Islam.[15]

KESIMPULAN
1.      Pendapatan nasional adalah nilai dari semua barang dan jasa yang diproduksi oleh faktor-faktor produksi dalam negeri dalam satu periode waktu tertentu.
2.      Pendapatan nasional dapat dihitung dengan 3 pendekatan, yaitu:
a.       Pendekatan produksi (production approach)/ GDP.
b.      Pendekatan pendapatan (income approach)/ GNP.
c.       Pendekatan pengeluaran (expenditure approach)/ NNP.
3.      GDP nominal mengukur nilai output atau pendapatan nasional dalam suatu periode tertentu menurut harga pasar yang berlaku pada periode tersebut atau dikenal dengan istilah current price. Sedangkan yang dimaksud dengan GDP riil mengukur nilai output atau pendapatan nasional pada periode tertentu menurut harga yang ditentukan (harga pada tahun dasar atau dikenal dengan istilah harga konstan/ constant price). Berdasarkan perhitungan GDP nominal dan GDP riil, maka kita dapat juga menghitung GDP deflator (mengukur tingkat inflasi) yang merupakan perbandingan antara GDP nominal dengan GDP riil.
4.      Beberapa keberatan penggunaan GDP/ GNP riil sebagai indikator kesejahteraan suatu negara sebagai berikut:
a.       Umumnya hanya produksi yang masuk pasar yang dihitung dalam GNP.
b.      GNP juga tidak menhitung nilai waktu istirahat (leisure time), padahal ini sangat besar pengaruhnya dalam kesejahteraan.
c.       Kejadian buruk seperti bencana alam tidak dihitung dalam GNP, padahal kejadian tersebut jelas mengurangi kesejahteraan.
d.      Masalah polusi juga sering tidak dihitung dalam GNP.
5.      Satu hal yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah penggunaan parameter falah. Falah adalah kesejahteraan hakiki, dimana komponen-komponen rohaniah masuk ke dalam pengertian falah ini. Setidaknya ada 4 hal yang semestinya bisa diukur dengan pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi Islam, yaitu:
a.       Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Penyebaran Pendapatan Individu Rumah Tangga.
b.      Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Produksi di Sektor Pedesaan.
c.       Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Kesejahteraan Ekonomi Islami.
d.      Penghitungan Pendapatan Nasional Sebagai Ukuran Dari Kesejahteraan Sosial Islami Melalui Pendugaan Nilai Santunan Antarsaudara dan Sedekah.


DAFTAR PUSTAKA

Dornbusch, Rudiger. Macroeconomics. Terj. Sahat Simamora. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.
Huda, Nurul. Ekonomi Makro Islam (Pendekatan Teoritis). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Nasution, Mustafa Edwin. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Nopirin. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1997.

Samuelson, Paul A. Macroeconomics. Terj. Haris Munandar. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 1992.
                                           


[1] Rudiger Dornbusch, Macroeconomics, Terj. Sahat Simamora (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), 41.
[2] Nopirin, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1997), 63.
[3] Paul A. Samuelson, Macroeconomics, Terj. Haris Munandar (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 1992), 101.
[4] Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam (Pendekatan Teoritis) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 21.
[5] Ibid., 22.
[6] Ibid., 24.
[7] Ibid., 25.
[8] Nopirin, Pengantar, 71.
[9] Huda, Ekonomi, 26.
[10] Ibid., 27.
[11] Ibid., 28.
[12] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 195.
[13] Ibid., 197.
[14] Ibid., 200.
[15] Ibid., 201.

1 comment: