Friday, October 14, 2016

Ila’ Dan Sumpah Li’an (makalah ekonomi syariah)

BAB I
PENDAHULUAN 

A.       Latar Belakang
Kebahagiaan dalam keluarga merupakan keinginan yang diharapkan semua manusia, dan semua itu akan terasa disaat sebuah keluarga menjalankan apa yang menjadi kewajiban dan hak masing – masing baik suami ataupun istri dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, segala tingkah laku, gerak langkah, selalu berorientasi kearah itu walaupun dalam aplikasi memakai cara yang berlawanan dengan tujuan tadi.
Pernikahan merupakan suatu akad yang menjadikan Hukum yang asalnya haram menjadi halal, yaitu kebolehannya bergaul antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dan saling tolong menolong diantara keduanya serta menentukan batas hak dan kewajiban di antara keduanya. Namun pada kenyataannya tidak sedikit dalam sebuah keluarga tidak selalu tenang dan menyenangkan. Ada kalanya kehidupannya begitu ruwet dan memusingkan. Hal tersebut terjadi karena peran dan fungsi mereka khususnya bagi suami ataupun istri sudah tidak melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab mereka masing-masing. Terlepas dari kewajiban dan hak seorang istri terhadap suami atau sebaliknya.[1]
     Selama dalam ikatan pernikahan antara suami dan isteri banyak hukum yang  menghalangi suami untuk tidak menggauli isterinya, bahkan akan terjadi talaq seperti dalam Ílla (Sumpah), dan Li’an Semua itu merupakan penghalang bagi suami untuk menggauli isterinya tersebut.
     Penyusun pada kesempatan kali ini tidak akan membahas mengenai kewajiban dan hak tersebut akan tetapi akan membahas mengenai ila dan li’an. Kedua masalah diatas akan terjadi disaat suami atau istri tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dan hak mereka masing - masing dalam sebuah keluarga. Maka menjadi penting dan sangat menarik untuk kita kaji dan pelajari tentang tersebut maka untuk lebih jelasnya masalah ílla (Sumpah), dan Li’an akan kami paparkan dalam makalah ini.[2]

B.       Rumusan Masalah.
     Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
1.      Bagaimana pengertian Illa’dan Li’an?
2.      Bagaimana dalil, hukum dan akibat hukum serta hikmahnya?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Illa’
1.      Pengertian Illa’
Secara etimologis (bahasa), kata illa’ bearti melarang diri dengan menggunakan sumpah. Sedangkan menurut istilah (terminologis), kata illa’ bearti sumpah untuk tidak mencampuri lagi istri dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.[3]
Illa’ ialah sumpah seorang suami yang dapat melakukan persetubuhan untuk tidak menyetubuhi istrinya tanpa batas waktu atau selama empat bulan lebih.[4]
Orang jahiliyah biasa melakukan illa’. Dan kebiasaan itu berlangsung terus sampai pada permulaan Islam. Karena illa’ ini menyebabkan kesengsaraan istri, dimana istri tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan, maka Allah menurunkan firman-Nya Q.S. al-Baqarah: ayat 226 dan 227:
tûïÏ%©#Ïj9 tbqä9÷sム`ÏB öNÎgͬ!$|¡ÎpS ßÈšts? Ïpyètör& 9åkô­r& ( bÎ*sù râä!$sù ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ OŠÎ=tæ . ÷bÎ)ur (#qãBttãt,»n=©Ü9$# ¨bÎ*sù ©!$# ììÏÿxœ ÒOŠÎ=tæ
Artinya:’’ kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.’’

Menurut Rijal illa’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan. Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam illa adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.[5]
Dari Asy-Sya’bi dari Masruq dari Aisyah, ia berkata,” Rasulullah SAW melakukan Illa’ terhadap istri-istrinya dan mengharamkan Maka yang haram dijadikan halal dan dibayarkan kafarat untuk sumpah itu” [6]

Meng-illa' isteri Maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri. Maka suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi isterinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.
Jika suami bersumpah (melakukan illa’) tidak akan bercampur dengan istrinya hanya empat bulan atau kurang dari itu, kemudian ia bercampur sebelum waktu tersebut, wajiblah ia membayar kafarat, yaitu dengan memerdekakan budak atau memberi makan dua belas fakir miskin, atau berpuasa selama tiga hari.[7]
2.      Dalil Hukum Illa’ 
Ayat Tersebut diatas diturunkan untuk menghapuskan apa yang sudah berlangsung di masyarakat Jahiliyah, berupa pemanjangan illa’, yaitu sampai satu hingga dua tahun Maksudnya, Oleh karana itu, Allah menghapus kebiasaan tersebut, dan dia tetapkan jangka waktu maksimal ila, yaitu empat bulan. Maksudnya, si suami diberi tangguh selama empat bulan dari sejak sumpah itu diucapkan. Dan jika telah jatuh tempo, ia diminta untuk mencampuri istrinya atau menceraikan istrinya. Oleh karena itu, Alloa berfirman, ‘’Kembali” disini merupakan kiasan dari jima’. Demikian dikatakan Ibnu Abbas, Masruq, dan Ulama lainya
Jika seseorang bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya dalam waktu tertentu, baik kurang atau lebih dari empat bulan. Jika kurang dari empat bulan, maka ia harus menunggu berakhirnya masa yang telah ditentukan. Setelah itu ia dibolehkan mencampuri istrinya kembali. Bagi si istri agar bersabar, dan ia tidak berhak menuntutnya untuk rujuk pada masa itu. Demikian itulah yang ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah bahwa Rosulullah SAW pernah meng-Illa’ (bersumpah untuk tidak mencampuri) istrinya selama satu bulan. Kemudian beliau turun (dari biliknya pada hari kedua puluh sembilan). Dan beliau bersabda.”Satu bulan itu adalah dua puluh Sembilan hari”
Menurut Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Umar bin Khattab juga mengenai hal yang sama. Tetapi jika lebih dari empat bulan, maka bagi sang istri boleh mennutut suaminya mencampurinya setelah masa empat bulan itu selesai atau menceraikanya. Dan untuk itu, Hakim boleh memaksa suami untuk ini agar ia tidak memudharatkan istrinya. Oleh karena itu, Alaah SWT berfirman, “Kepada orang-orang yang meng’illa’ istri-istrinya” Artinya, bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya.
Yang demikian itu mennujukkan bahwa illa’ itu hanya dikhususkan oleh terhadap isrti dan tidak terhadap para hamba sahaya. Sebagaimana yang menjadi pendapat jumhur ‘Ulama. [8]
3.        Akibat Hukum Illa’
Adapun akibat hukum yang di timbulkan apabia pasangan suami istri melakukan illa’, karena yang bertindak sebagai eksekutor atau yang bersumpah untuk tidak meniduri istri adalah suami, maka akibat hukumannya adalah yang pertama tersiksanya seorang istri karena tidak ditiduri dan tidak pula diceraikan, kemudian yang kedua adalah selama 4 bulan suami tidak boleh meniduri istri atau membayar kafarat sumpah atau dengan menceraikannya sang istri.[9]
4.       Syarat-Syarat Illa’
Ada beberapa syarat illa’ yaitu:
a.       Orang yang meng-illa’ itu harus bersumpah dengan menyebut nama Allah atau salah satu sifat-Nya.
b.      Bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya lebih dari empat bulan.
c.       Yang menjadi objek sumpah itu adalah istrinya.[10]

B.     Li’an
1.      Pengertian Li’an.
Li’an adalah mashdar dari kata kerja la’ana, yulaa’inu, li’aanan terambil dari kata alla’nu yang berarti kutukan atau laknat.[11] Suami istri yang saling berli’an akan berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya. Li’an mengakibatkan perceraian antara suami istri selama-lamanya. Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan istrinya sebagai anaknya, sedangkan istrinya menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut.[12]
2.      Dalil Hukum Li’an
Dalil Li’an Q.S An-Nur 6-9
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìtör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ   èp|¡ÏJ»sƒø:$#ur ¨br& |MuZ÷ès9 «!$# Ïmøn=tã bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÎÉ»s3ø9$# ÇÐÈ   (#ätuôtƒur $pk÷]tã z>#xyèø9$# br& ypkôs? yìtör& ¤Nºy»pky­ «!$$Î   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÎÉ»s3ø9$# ÇÑÈ   sp|¡ÏJ»sƒø:$#ur ¨br& |=ŸÒxî «!$# !$pköŽn=tæ bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÒÈ  
Artinya:’’ Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta.  Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.’’


3.      Akibat Hukum Li’an
Ada lima akibat hukum yang akan terjadi setelah terjadinya li’an yaitu :
a.       Suami terlepas dari had
b.      Kewajiban had bagi istri
c.       Lepasnya ikatan perkawinan untuk selama-lamanya
d.      Lepasnya hubungan nasab di antara anak dengan bapaknya
e.       Haram bagi mantan suami menikah lagi dengan mantan istrinya.
Menurut H. Muhammad Anwar dijelaskan bahwa adakalanya tuduhan zina itu disertai dengan anak yang baru lahir  dari istrinya dengan alasan seperti, si suami yang belum pernah menjima’ istrinya tiba-tiba melahirkan anak, atau lahirnya bayi itu kurang dari waktu enam bulan sejak menjima’ istrinya sedang bayinya seperti bayi yang cukup umur, atau bisa juga lahirnya bayi itu sesudah lebih dari empat tahun tidak jima’.
Tuduhan suami tersebut harus disertai dengan 4 orang saksi yang membenarkan adanya suatu perzinaan, tetapi jika tidak bisa mendapatkannya maka suami harus mengadakan tuduhan di depan hakim yang menyatakan bahwa istrinya telah berzina dan tuduhannya adalah benar yang kemudian diikuti dengan sumpah Demi Allah(Wallahi)[13].
Dan bagi si istri masih ada cara untuk membela diri agar bisa terhindar dari had yaitu dengan cara melakukan li’an juga. Sedangkan tata caranya seperti halnya di atas, Cuma kalimat yang harus diucapkan yang berbeda. Adapun kalimat yang diucapkan sebagai berikut : “Demi Allah suami saya itu berdusta”. Dan kemudian berkata “Demi Allah kemurkaan Allah akan menimpa saya jika suami saya itu benar”. Namun hanya saja dalam pernyataan ini tidak ada yang namanya nafyul walad karena anak tersebut jelas-jelas keluar dari rahimnya sendiri.
Ketentuan had bagi suami itu apabila istri yang dituduh zina bukan tergolong anak-anak dan perawan yang sama masih belum dijima’, apabila tergolong, maka konsekuensinya bukan bernama had akan tetapi ta’zir. Suami tetap di had, walaupun pada saat menuduh zina dalam keadaan hilang ingatan, apabila hal tersebut memang disengaja seperti mabuk-mabukan.
Sedangkan had bagi orang tersebut yaitu 80 cambukan jika berstatus merdeka dan 40 cambukan jika berstatus budak. Sedangkan masalah ta’zir itu tidak ada batasan yang seperti : dalam arti tergantung situasi dan kondisi yang ada.[14]
4.      Hikmah Li’an.
a.       Tidak boleh menuduh istri yang berlebi-lebihan
b.      Tidak boleh penuduhan yang tidak ada saksinya dan bisa dipertanggung   jawabkan[15]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari beberapa sample penjelasan yang terdapat dalam kajian teori tentang ila dan lian. Maka akan diperoleh suatu temuan yang telah dipaparkan dalam pembahasan diatas mengenai ila dan lian. Nusyuz merupakan pelanggaran yang dilakukan istri terhadap perintah suami. Dalam hal ini perintah suami yang di anggap menyalahi dikategorikan dalam hal khusus (perintah dalam lingkup keluarga atau suami istri), bukan hal umum (perintah dalam lingkungan masyarakat). Illa’ merupakan sumpah suami yang tidak akan mencampuri istrinya untuk beberapa bulan dan dalam ila, seorang suami dapat rujuk kembali dengan istrinya. Sedangkan lian adalah tuduhan suami bahwa istrinya selingkuh dengan laki-laki lain tetapi harus di imbangi dengan bukti yang kuat.

B.     Saran dan Kritik
Demikian makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan penyusunan makalah yang baik. Semoga makalah ini bermanfaat. Amin.



DAFTAR PUSTAKA

Al Fanani, Zainuddi bin Abdul Aziz al Malibari. Tarjamah Fathul Mu’in Jilid II, Jakarta: Sinar Baru al Gesindo,1985.

Al Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqhul Mar’ati Muslimah. Jakarta: Amani, 1999 

Al Mundzir, Hafizh. At Taghrib Wat Tarhib. Jakarta: Pustaka Amani, 1995.

Diibulbigha, Mustofa. Fiqh Syafi’i terj. At Tahdzib. Rembang: CV Bintang Pelajar, 1995.

Hasan, Ayyub Syaikh. Fikih Keluarga Penerjemah Abdul Gofar EM. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001.




http://muvid.wordpress.com/2008/07/01/sumpah-lian-dan-konsekwensi-hukumnya-dalam-al-quran-uu-perkawinan-dan-khi/, Tanggal unduh 27-11-2015 pukul 10.13 WIB

Mathlub, Abdul Majid Mahmud. Panduan Hukum Keluarga Sakinah. Solo: Era Intermedia, 2005.

Nur, Djamaan.  Fiqih Munakahat. Semarang : Dina Utama, 1993.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah Jilid 4. Jakarta: Cakrawala, 2009.





[2]  Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4 (Jakarta: Cakrawala, 2009), 104.
[3] Ayyub Syaikh Hasan, Fikih Keluarga Penerjemah Abdul Gofar EM (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001), 337.
[4] Zainuddi bin Abdul Aziz al Malibari al Fanani, Tarjamah Fathul Mu’in Jilid II (Jakarta: Sinar Baru al Gesindo,1985), 1397.
[5] http://desbayy.blogspot.com/2015/05/makalah-ila-fasakh-lian-dan-dzihar.html
[6] Ibrahim Muhammad Al Jamal, Fiqhul Mar’ati Muslimah (Jakarta, Amani, 1999),  325.
[7] Hafizh al Mundzir, At Taghrib Wat Tarhib, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), 172.
[8] Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, 337.
[9]   http://desbayy.blogspot.com/2015/05/makalah-ila-fasakh-lian-dan-dzihar.html
[10]  Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, 342.
[11]  Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah (Solo: Era Intermedia, 2005), 425.
[12] Djamaan Nur,  Fiqih Munakahat (Semarang : Dina Utama, 1993), 163.
[13] Mustofa Diibulbigha, Fiqh Syafi’i terj. At Tahdzib (Rembang: CV Bintang Pelajar, 1995), 403.
[14]http://muvid.wordpress.com/2008/07/01/sumpah-lian-dan-konsekwensi-hukumnya-dalam-al-quran-uu-perkawinan-dan-khi/, Tanggal unduh 27-11-2015 pukul 10.13 WIB

No comments:

Post a Comment