Friday, October 14, 2016

PENGANGKATAN HAKIM (Peradilan Islam di Indonesia)

PEMBAHASAN

A.           Kriteria Pengangkatan Hakim

Hakim dalam berbagai kajian makna, sangat variatif dan filosofis. Kata “hakim Al-Hakim sejatinya bermakna yang membuat hukum yakni Allah. Kata ini sering ditemukan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh atau filsafat hukum Islam. Akan tetapi, makna hakim seiring dengan dinamika bahasa, dimaknai sebagai jabatan di pengadilan. Orang yang memutuskan dan menetapkan masalah di pengadilan saat ini disebut hakim. Jabatan tertinggi dan terhormat tentunya sarat dengan kriteria dan kualifikasi yang harus dipenuhi sebagai hakim.[1]
Dalam UU No. 1 Tahun 1974, dijelaskan kriteria menjadi Hakim adalah sebagai berikut:
a)      Jujur,
b)      Merdeka,
c)      Berani mengambil keputusan,
d)      Bebas pengaruh baik dari dalam maupun dari luar.[2]
Melihat unsur yang dijelaskan diatas, dalam analisis Alie Yafie, paling tidak terdapat tiga syarat utama yang harus dipenuhi untuk menjadi Hakim: persyaratan jasmani, persyaratan rohani, dan persyaratan ilmiah.[3]
B.            Syarat Pengangkatan Hakim
Hakim sebagai pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman, mempunyai tugas yang amat berat. Untuk itu tidak sembarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat diangkat untuk menduduki jabatan Hakim, melainkan harus menjalani tes penyaringan yang cukup ketat dan berat. Syarat-syarat seseorang untuk dapat mengikuti tes penyaringan, selain harus berpengalaman sebagai PNS yang cukup lama, dan pernah menduduki jabatan fungsional di kepaniteraan serta berpangkat cukup tinggi[4], Pasal 13 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 mensyaratkan sebagai berikut:
a)        Warga Negara Indonesia.
b)        Beragama Islam.
c)        Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
d)        Setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
e)        Bukan bekas anggota terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi masanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G.30 S/PKI”, atau organisasi terlarang yang lain.
f)         Pegawai Negeri. Dalam hal ini telah memiliki pengalaman jabatan fungsional di Kepaniteraan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Tinggi Agama.
g)        Sarjana Syari’ah atau Sarjana Hukum yang menguasai Hukum Islam.
h)        Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima tahun) tahun.
i)         Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tediak tercela.[5]
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama, menurut Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 1989, selain ia memenuhi syarat diatas, ia juga harus:
a)        Berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun.
b)        Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Agama.
c)        Lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.[6]
d)        Untuk diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama harus berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim Pengadilan tinggi Agama atau 3 (tiga) tahun bagi hakim Pengadilan Agama yang pernah menjabat ketua Pengadilan Agama.

Sebelum melaksanakan tugas sebagai Ketua, Wakil Ketua, Hakim wajib mengucapkan sumpah jabatan menurut Agama Islam yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 17 Tahun 1989 yang berbunyi:

“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.”
“Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.”
“Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-Undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.”
“Saya bersumpah bahwa saya senantiasa menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang hakim Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan.” [7]
Adapun pejabat yang berwenang mengambil sumpah jabatan ini diatur dalam Pasal 44 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Pengambilan sumpah Hakim pada lingkungan Peradilan Agama terbagi menjadi:
a)        Pengambilan sumpah jabatan Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama.
b)        Pengambilan sumpah jabatan Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama.
c)        Pengambilan sumpah jabatan Ketua Pengadilan Tinggi Agama dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.[8]

C.            Kode Etik Hakim

Setiap jabatan termasuk hakim memiliki kode etik dalam menjalankan tugasnya baik yang bersangkutan dengan jabatannya sebagai Hakim maupun dalam perannya sebagai anggota masyarakat. Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial disepakati secara bersama kode etik Hakim terdiri dari 10. Adapun prinsip kode etik bagi Hakim diimplementasikan dalam poin berikut:
a)      Berperilaku adil
b)      Berperilaku jujur dan mendengarkan kedua belah pihak
c)      Menunjukkan sikap yang arif dan bijaksana, yaitu kemampuan untuk bertindak sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, baik norma hukum, norma agama, adat atau etika, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi
d)     Bersikap mandiri
e)      Mempertahankan dan menunjukkan integritas yang tinggi
f)       Bertanggung jawab, yaitu menerima konsekuensi tindakan yang diambil dalam kinerja maupun pelaksanaan kewenangannya
g)      Menjunjung tinggi harga diri
h)      Berdisiplin tinggi
i)        Berprilaku rendah hati
j)        Bersikap profesional.[9]
Dalam aturan yang tertuang dalam Pasal 17, seorang Hakim dilarang merangkap jabatan menjadi:
a)      Pelaksana putusan Pengadilan,
b)      Wali pengampu, dalam hal ini yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa olehnya,
c)      Pengusaha,
d)     Penasihat Hukum.[10]
D.           Hak Imunitas Hakim
Salah atau benar putusan yang dijatuhkan Hakim harus dianggap benar dan adil, apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjsde).
Hakim tidak dapat dituntut dan dipersalahkan atas pelaksanaan menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan meskipun melampauai batas kewenangan (ultra vires), keliru menerapkan hukum (malpractice), melanggar proses beracara (procedural error).[11]
E.            Pemberhentian Hakim

Pemberhentian dengan hormat diatur dalam Pasal 18 UU No. 3 Tahun 2006[12] yang sama bunyinya dengan Pasal 18 UU No. 7 Tahun 1989, Pasal 19 UU No. 2 Tahun 1986, dan Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1986. Dengan demikian alasan yang mendasari pemberhentian Hakim untuk lingkungan Peradilan Agama serupa dengan alasan yang ditentukan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.[13]

·                Dengan Hormat
Adapun pemberhentian dengan hormat jabatan Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama dilakukan atas dasar:
a)      Permintaan sendiri.
b)      Sakit jasmani dan rohani terus-menerus
c)      Telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama, dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama
d)      Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya
e)      Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.[14]

·                Dengan Tidak Hormat

Meskipun Hakim merupakan seorang pejabat hukum bukan berarti manusia kebal hukum. Oleh karena itu, apabila seorang Hakim melakukan tindak pidana, kepadanya dapat dilakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 dan 21 KUHAP. Hanya prosedur yang agak berbeda dengan upaya paksa yang dilakukan terhadap orang lain. Menurut Pasal 25, pada prinsipnya penangkapan atau penahanan seorang hakim memerlukan formalitas khusus atau persyaratan khusus berupa:
o   Harus berdasar perintah Jaksa Agung,
o   Setelah lebih dulu mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama.[15]
Itulah prinsip umum prosedur penangkapan atau penahanan seorang Hakim, kecuali dalam hal-hal tertentu. Dalam hal-hal tertentu prinsip tersebut tidak berlaku. Yang berlaku ialah tata cara upaya paksa biasa sebagaimana yang berlaku untuk setiap orang. Berarti dalam hal-hal tertentu penangkapan atau penahanan dapat dilakukan berdasarkan perintah pejabat penyidik Polri tanpa persetujuan Mahkamah Agung dan Menteri Agama, apabila Hakim yang bersangkutan:
o   Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan,
o   Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati,
o   Disangka telah melakukan tindak kejahatan terhadap keamanan Negara.[16]
Apabila Hakim yang bersangkutan jelas-jelas terbukti melakukan tindak pidana maupun melanggar sumpah jabatan sebelumnya, maka pemberhentian dengan tidak hormat dapat berlaku pada Hakim tersebut. Adapun mengenai aturan yang mengatur pemberhentian jabatan dengan tidak hormat diatur dalam Pasal 19 UU No. 7 Tahun 1989 yaitu sebagaimana berikut:
a)      Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, yakni pidana penjara sekurang-kurangnya 3 bulan,
b)      Melakukan perbuatan tercela,
c)      Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya,
d)      Melanggar sumpah jabatan,
e)      Melanggar larangan rangkap jabatan yang diatur dalam pasal 17.
Dalam penjelasan sebelumnya, seorang Hakim adalah jabatan yang memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri. Apabila pemberhentian dengan tidak hormat telah berlaku pada Hakim tersebut, tidak serta merta juga melenyapkan kedudukannya sebagai pegawai negeri. Melainkan dengan tahapan. Jabatan Hakimnya dulu dicabut dan diberhentikan. Setelah itu baru boleh dilakukan pemberhentian sebagai pegawai negeri. Atau jabatan Hakimnya diberhentikan, namun kedudukannya sebagai pegawai negeri tetap berlanjut.[17]


KESIMPULAN

1.      Kriteria Hakim diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974.
2.      Syarat pengangkatan Hakim pada lingkungan Pengadilan Agma diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 1989 pada lingkungan Pengadilan Tinggi Agama.
3.      Kode etik Hakim pada lingkungan Pengadilan Agama disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial yang ditandatangani pada tanggal 08 April 2009 di Jakarta.
4.      Larangan rangkap jabatan seorang Hakim, diatur dalam Pasal 17.
5.      Hak imunitas Hakim ialah sebuah kekuatan hukum yang apabila Hakim telah membuat keputusan baik itu benar atau salah, maka keputusan Hakim harus dianggap benar, apabila keputusan tersebut telah memiliki kuatan hukum yang tetap (in kracht van gewisjsde) .
6.      Pemberhentian secara hormat yang Hakim yang bersangkutan diatur sepenuhnya dalam Pasal 18 UU No. 3 Tahun 2006 dengan memperhatikan berbagai pertimbangan dari pejabat terkait.
7.      Apabila Hakim terbukti bersalah melakukan tindak pidana dan melanggar sumpah jabatan, maka pemberhentiannya diatur dalam 19 UU No. 7 Tahun 1989.
DAFTAR PUSTAKA

Hamami, Taufiq, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, PT. Alumni: Bandung, 2003.
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika: Jakarta, 2003.
Supriyadi, Dedi, Perbandingan Fiqh Siyasah, Pustaka Setia: Bandung, 2007.
Tri Wahyudi, Abdullah, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004.


[1] Dedi Supriyadi, Perbandingan Fiqh Siyasah, (Pustaka Setia: Bandung, 2007), 199.
[2] Ibid, 200.
[3] Ibid, 201.
[4] Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia,  (PT. Alumni: Bandung, 2003), 57.
[5] Ibid.
[6] Ibid, 58.
[7] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Sinar Grafika: Jakarta, 2003), 122-123.
[8] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004) 71.
[10] Harahap, 123.
[11] https://www.facebook.com/messages/arisa.hiranuma.9, Akses tanggal 12 Mei 2013 08:10.
[12] Supriyadi, Fiqh Siyasah, 207.
[13] Harahap, Peradilan Agama, 119.
[14] Supriyadi, 207-208.
[15] Harahap, 123.
[16] Ibid.
[17] Harahap, 122.

No comments:

Post a Comment