Tuesday, October 4, 2016

EPISTEMOLOGI POSITIVISTIK, HUMANISTIK DAN SOSIAL KRITIS

EPISTEMOLOGI POSITIVISTIK, HUMANISTIK DAN SOSIAL KRITIS

BAB I
PENDAHULUAN


Manusia sebagai mahluk rasional sebenarnya sudsh di bekali dengan rasa ingin tahu. Keingin tahuan manusia ini sudah dapat di saksikan sejak seseorang masih kanak - kanak dan akan terus berkembang secara dinamis mengikuti fase - fase perkembangan kejiwaan orang tersebut. Keingintahuan manusia akan terpuaskan bila ia sudah memperoleh pengetahuan mengenai apa yang di pertanyakan.

Dengan demikian dapat di katakan bahwa manusia tidak akan pernah mencapai kepuasan mutlak untuk menerima realita untuk dihadapinya sebagai titik terminasi yang mantap. Untuk mendukung dan menyalurkan keingintahuan tersebut,maka di lakukanlah penelitian dengan metode – metode yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.   Epistemologi Positivistik
Epistimologi derivasinya dari bahasa yunani yang berarti teor iilmu pengetahuan.Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan dan logas, teori.[1]
Objek telaah epistomologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu dating dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang suatu hal. Landasan epistemology adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaiman cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya.[2]
Positivistik adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif.[3]
Pendekatan ini lahir dari cara pandang ilmu alam dalam melihat objek pengamatannya. Menurut pendekatan ini, ilmu alam dan ilmu social adalah sama, perbedaan di antara keduanya hanya terletak pada objek kajiannya. Ilmu alam mengkaji gejala fisik yang ada memiliki karak teristik yang sama di semuatempat. Misalnya adalah hewan, tumbuhan dan benda-benda di alam bebas.Ilmu social memiliki objek pengamatan yaitu manusia.Sosok manusia adalah pendekatan ini, juga diposisikan sama seperti benda-benda lain yang ada di alam. Manusia bersifat pasif dan memiliki karakter yang sama disemua tempat. Pendekatan  positivistic menggunakan logika berfikir deduktif, menganggap semua realitasakan berlaku umum dan bersifat sama disemua tempat. Setiap gejala social selalu merupakan akibat dari gejala social yang lain.[4]
           
Asumsi Dasar Epistemologi Positivistik
         Perdebatan epistemologi positivistik dengan epistemologi humanistik dimulai filosof Wilhelm Dilthey (1833) dengan Windeband: tentang ilmu ideografis dan nomotetis.
         Dipopulerkan oleh August Comte (1798-1875): Emile Durkheim (1858-1917), Karl Popper (1906-1994) The Logic of Scientific (1959) dan Objective Knowledge (197Comte (metafisis, teologis, positivistik); Durkheim (eksternal, objektif, memaksa); Popper (verifikasi, falsifikasi).
         Popper: Pertama, sebagai metode untuk testing hanya bisa digunakan metode deduksi: Kedua, kekuatan teori tidak diukur berdasarkan verifikasi, melainkan hanya mungkin berdasarkan falsifikasi.Ketiga, pengetahuan tidak dapat dicari dasarnya pada observasi, melainkan hanya mungkin pada teori yang diajukan sebagai ikhtisar. 
Ciri-ciri positivistic, dapat dilahat dari tiga pilar keilmuan, yaitu :
a.       Aspekontologis, positivistic menghendaki bahwa realitas budaya dapat dipelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari objeklain, dandapatdikontrol.
b.      Secara epistemologos yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap fenomena budaya.
c.       Secaraaksiologis, menghendaki agar proses penelitian budaya bebas nilai. Artinya, peneliti mengejar objektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat.[5]
Tokoh utama aliaran positivism ini adalah August Comte (1798-1857 M).Ia berpendapat bahwa inderituamat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Berkaitan dengan perkembangan pemikiran manusia, menurut Comte perkembangan tersebut melalui tiga zaman atau tahap yaitu :
1.      Tahap teologis, suatu tahap atau zaman dimana manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Tahap ini dibagi atas tiga periode, pertama dimana benda-benda dianggap berjiwa (animisme), kedua politeisme yaitu manusia percaya pada dewa-dewa, ketiga monoteisme yaitu manusia percaya pada satu Allah sebagai Yang Maha Kuasa.
2.      Tahap metafisis, suatu tahap dimana kekuatana dikodrati diganti dengan ketentuan-ketentuan abstrak.
3.      Tahap positif yaitu suatu tahap dimana orang tidak lagi mencaai pengetahuan tentang yang mutlak baik teologis maupun metafisis.[6]
Dalam garis besarnya positivistic dapat dikatakan bahwa :
a.       Positivisik mempelajari “permukaan” masalah atau bagian luarnya, sedangkan post-positivistik mencobam emperoleh gambaran yang lebih mendalam.
b.      Positivistic bersifat atomistic, memecah kenyataan dalambagian-bagian mencari hubungan antara variabel yang terbatas, sedangkan post-positivistik memandang peristiwa secara keseluruhan dalam konteksnya dan mencoba memperoleh pemahaman yang holistic.
c.       Tujuan utama penelitian positivistic ialah mencapai generalisasi yang dapat digunakan untuk meramalkan atau memprediksi, sedang kantujuan utama post-positivistik ialah memahami makna atau “Verstehan”.
d.      Positivistik bersifat deterministic tertuju kepada kepastian dengan menguji hipotesis, sedang kanpos-positivistik memandang hasil penelitian sebagai spekulatif.[7]
B.   Humanistik
Pengertian Humanistik adalah lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia.Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.Kemampuan bertindak positifini yang disebut sebagi potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanism biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positifini.Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosipositif yang terdapat dalam domain afektif.Emosi adalah kerakteristik yang sangat kuat yang Nampak dari para pendidik beraliran humanisme.[8]
            Pendekatan Humanistik berupaya untuk memahami gejala social dengan memosisikan inidividu sebagai makhluk yang aktif .Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan  positivistic .Menurut pendekatan ini, manusia menciptakan dunianyasen diri melalui proses pemaknaan atas gejala social disekitarnya. Pada dasarnya realitas social dibentuk oleh hasil pemaknaan manusia atas realitas social tersebut, sehingga tidak ada realitas social yang bersifat pasti.Relitas social sangat bergantung pada bagaimana manusia memakai realitas social tersebut.[9]
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan.[10]
Asumsi Dasar Epistemologi Humanistik
         Ilmu tidak pernah netral (bebas nilai) dan ilmuwan punya tanggungjawab sosial (ideologis) terhadap yang dilakukan.
         Menganggap adanya peran sentral terhadap aktor dalam mengontruksikan realitas, Sifat ilmu sosial bersifat ideografis yang bersifat “hermeneutic” yang memberikan pemahaman yang bersifat menyeluruh dan mendalam.
         Setiap situasi sosial selalu didukung oleh jaringan makna yang dimuat oleh aktor.
         Motivasi menjadi dasar pemahaman karena: tingkah laku manusia sangat sulit untuk dipahami;  tingkah laku manusia hanya dapat dipahami melalui manusia lain; manusia sebagai subyek ramalan ilmiah seringkali mempunyai kemampuan membalik ramalan-ramalan itu.
          karenannya salah satu metode yang paling tepat adalah “verstehen

            Adapun program-program pembangunan yang bersumber dari teori pembangunan humanistic antara lain disebutkan sebagai berikut :
a.       Program pembangunan masyarakat (CD = Community Development) di India danger akan Animation Rurale (penggairahan pedesaan) di Senegal, keduanya merupakan kegiatan nasional semesta dengan disponsori pemerintah yang bertujuan membangkitkan semangat serta hasrat pembangunan dikalangan penduduk pedesaan.
b.      Gerakan perkampunagn pedesaan Fhilipina (PRRM = Philippine Rural Recontruction Movement). Gerakan ini mencerminkan suatu pola baru dalam dunia modern, khususnya melalui usaha pendidikan.
c.       Proyek “Comilla” di Bangladesh, gerakan kebudayaan rakyat (ACPO = Action Cultural Popular) di Colombia merupakan badan pendidikan nasional / swasta yang didukung oleh gereja tujuan yang mendidik kaum “Campesino” terlantar dan miskin agar dapat menjelma sebagai manusia Amerika Latin gaya baru yang diberi semangat dan sarana untuk memperbaiki nasibatas kemampuan sendiri.[11]
C.   Sosial Kritis
Pendekatan kritis memberikan kritis terhadap dua pendekatan sebelumnya.Menurut pendekatan kritis, pendekatan positivistic merupakan pendekatan yang tidak manusiawi, karena melihat manusia sebagai objek yang pasif, tidak memiliki kemampuan untuk membangun realitas social serta menganggap bahwa realitas social di mana pun memiliki karakter yang sama. Sementara bagi pendekatan kritis, pendekatan humanistic terlalu mementingkan ide dangagasan individu di atas segalanya.Ide mengalahkan kondisi riil dalam kehidupan manusia itu sendiri. Pendekatan humanistic adalah pendekatan yang bersifat subjektif dan relatif.Pendekatan kritis berupaya mengungkap makna di balik realitas yang tidak terlihat.Pendekatan ini juga berupaya melakukan perubahan kondisi dan membangun realitas yang lebih baik.[12]
         Teori kritis sering juga dilihat sebagai kritik ideologi. Dalam bidang epistemologi, kritik itu diupayakan agar membuka selubung ideologi dari positivisme ilmiah. Teori ini muncul akibat keprihatinan yang timbul sekitar realitas sosial maupun pengetahuan tentang realitas itu.
Menurut Horkeimer pemisahan antara “facts” and “values” pada kenyataannya merupakan produk masyarakat (ilmiah) tertentu. Tokoh-tokoh mazhab Frankfurt sependapat bahwa teori tidak dapat dipisahkan dari paktis dan tidak ada ilmu yang bebas nilai

Teori yang disebut sebagai sosial kritis harus memiliki ciri sebagai berikut :
1.      Teori sosial kritis berlawanan dengan positivisme. Dia beranggapan bahwa pengetahuan bukan semata-mata refleksi atas dunia statis “di luar sana”.teori sosial kritis berlawanan dengan pandangan positivis yang menyatakn bahwa sains harus menjelaskan hukum alam masyarakat. Sebaliknya, teori sosial kritis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh historis (terus mengalami perubahan).
2.      Teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai oleh dominasi, eksploitasi dan penindasan. Dalam hal ini, teori sosial kritis mendorong kemungkinan kemajuan masyarakat. Peran teori sosial kritis bersifat politis karena dia berpartisipasi dalam mendorong perubahan sosial.
3.      Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja. Dalam hal ini sosial kritis menghindari determinisme dan mendukung voluntarisme.[13]
Kritik sosial kritis atas positivisme adalah optimisme yang menekankan kebebasan eksistensial mendasar manusia dan pada peluang mobilisasi sosial. Kritik positivisme bukanlah idealistis maupun realistis. Hanya saja, teori ini mengakui bahwa pilihan yang kita buat terhambat oleh masa lalu dan masa kini, yaitu kelas sosial kita, jender, ras, agama dan asal usul kebangsaan, yaitu semua hal yang mengindikasikan biografi pribadi kita.[14]
         Tugas teori sosial kritis adalah membawa praktik pembebasan. Tugas seperti ini bisa ditempuh dengan berbagai jalan:pertama, teori sosial harus mampu menjalankan tentang bagaimana keadaan dan sistem sosial yang ada, telah menciptakan bentuk pemahaman dan “kesadaran palsu”  tentang realitas sosial yang harus diterima masyarakat demi melanggengkan sistem tersebut. Ini berarti bahwa ilmu sosial kritis berkepentingan terhadap bangkitnya kesadaran kritis masyarakat terhadap realitas sosial yang mereka hadapi.
         Kedua, teori sosial juga harus memfasilitasi timbulnya visi alternatif tentang relasi sosial yang bebas dari bentuk penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan.

Fungsi ilmu social kritis adalah meningkatkan kesadaran para pelaku perubahan dari realitas yang diputar balikkan oleh kalangan tertentu dan disembunyikan dari pemahaman sehari-hari. Fungsi ilmu social kritis yang demikian didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia, baik laki-laki atau perempuan secara potensial adalah agen aktif dalam pembangunan dunia social dan kehidupan personal. Rakyat adalah subyek dalam menciptakan proses sejarah, bukan obyek. Teori kritis secara sadar berkeinginan untuk membebaskan manusia dari konsep-konsep yang secara ideologis beku dari kenyataan dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan.
Ilmu social kritismen empatkan manusia sebagai sekumpulan subyek yang aktif dalam membentuk dunia mereka sendiri yang didasarkan pada dialog antar subyek (analisis/peneliti dengan pelaku), bukan sekedar observasi dan eksperimen yang menipu rakyat. Ilmu-ilmu social kritis karena itu harus secaral angsung menjadikan rakyat mengerti dunia mereka sendiri dan mampu melakukan aksi-aksi revolusioner dengan cara melibatkan mereka dalam proses analisa/penelitian. Dengan begini ilmu alam menja disebuah metode untuk aksi penyadaran, bukan ideology dominasi teknokrat terhadap rakyat yang dianggap pasif.[15]
Akhirnya, peneliti sosial kritis mungkin tidak memasukkan diri mereka dalam afiliasi teoritis yang telah mapan karena mereka mengakui bahwa terdapat pembagian kerja antara penelitian dan teori. Tidak seperti penelitian positivis, peneliti sosial kritis tampaknya lebih melihat karya teoritis sebagai sesuatu yang sah dan perlu, dengan melukiskan satu gambar besar yang mengkerangkakan penelitian dan juga mengembangkan “narasi” tentang kemungkinan perubahan sosial, dengan menunjukkan bagaimana illuminasi empirik dominasi menyarankan perlunya satu strategi untuk mengatasi dominasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.[16]
Peneliti juga harus mendekonstruksi sebuah kebenaran yang sudah banyak diyakini oleh orang lain. Pendekatan kritis memaknai proses penelitian sebagai proses kritik yang berupaya mengungkap kebenaran tersembunyi di dalam struktur yang nyata yang bertujuan untuk membantu manusia mengubah kondisi dan membangun dunia yang lebih baik.
Berikut ini dijelaskan beberapa perbedaan pandangan dari ketiga pendekatan tersebut :
Positivistik
Humanistik
Kritis
1.      Mengapa seorang harus melakukan penelitian sosial?


·         Untuk mendapatkan penjelasan ilmiah
·         Untuk menemukan dan mendomentasikan hukum yang bersifat universal mengenai perilaku manusia.
·         Untuk mempelajari tindakan sosial yang bermakna, bukan hanya tindakan yang eksternal atau perilaku yang dapat diamati orang.
·         Berorientasi pada tindakan.
·         Untuk mengubah dunia, melakukan kritik dan mentransformasikan hubungan sosial.
2.      Apa sifat dasar realitas sosial?


·         Realitas itu nyata; realitas berada diluar sana, menjadi objek yang dapat ditemukan.
·         Realitas sosial tidak acak, melainkan berpola dan tertib.
·         Kehidupan sosial manusia tidak pernah selesai (selalu berubah).
·         Manusia menciptakan tindakan yang bertujuan untuk berinteraksi dengan makhluk sosial.
·         Mengapdosi posisi realis (yaitu , realitas sosial adalah “di luar sana” untuk ditemukan).
·         Realitas sosial selalu berubah, dan perubahan berakar pada konflik atau kontradiksi dari hubungan sosial atau lembaga.
3.      Apa dasar keberadaan manusia?


·         Manusia diasumsikan memiliki kepentingan pribadi, mencari kesenangan dan rasional.
·         Kita dapat belajar mengenai orang-orang dengan mengamati.
·         Orang-orang terlibat dalam proses menciptakan sistem melalui pemaknaan yang sifatnya fleksibel melalui interaksi sosial.
·         Orang memiliki banyak potensi yang belum direalisasi.
·         Orang-orang kreatif, dapat diubah dan adaptif (mudah menyesuaikan diri).
4.      Bagaimana penjelasan atau teori realitas sosial?


·         Ilmu pengetahuan menjelaskan terjadinya kehidupan sosial dengan cara menemukan hukum-hukum kausal (sebab-akibat)
·         Bersifat logis, deduktif mendefinisikan sistem, aksioma dan hukum yang saling berhubungan
·         Seseorang memiliki kehendak dan kebebasan untuk menciptakan makna sosial.
·         Menjelaskan dan menafsirkan bagaimana orang melakukan kehidupan mereka sehari-hari.
·         Sebagian deterministik (ada yang menentukan) dan sebagian voluntarisme (dapat diciptakan sendiri).
5.      Bagaimana memberikan bukti yang baik atau informasi faktual?


·         Bukti dan informasi didasarkan pada pengamatan yang tepat yang dapat diulangi oleh orang lain.
·         Tertanam dalam konteks interaksi sosial yang mencair.
·         Apakah informasi yang disampaikan melalui teori dapat mengungkapkan makna dibalik ilusi.
6.      Kapan nilai-nilai sosial politik masuk ke dalam ilmu pengetahuan?


·         Nilai-nilai tidak memiliki tempat kecuali ketika memilih suatu topik.
Nilai merupakan bagian intregal dari kehidupan sosial, tidak ada nilai-nilai kelompok yang salah, hanya berbeda.
·         Semua ilmu pengetahuan harus dimulai dengan posisi; beberapa posisi ada yang benar, ada yang salah.[17]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam epistemology, secara lebih rinci terdapat perbincangan mengenai dasar, batas, dan obyek pengetahuan.Oleh sebagian orang, epistemology disebut filsafatilmu.Secara umum, epistemology mempersoalkan kebenaran pengetahuan.Hal yang dibicarakan adalah pengetahuan dan susunannya (system).Ilmu atau science adalah gejala gejala yang dapat diamati berulang-ulang melalui eksperimen sehinga dapat diamati secara berulang-ulang oleh orang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda.
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya kejalan keluarumum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia.Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperlua sehingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnister tentu.


DAFTAR PUSTAKA

Adib ,Muhammad.Filsafat ilmu,Yogyakarta : Puataka Pelajar, 2011.

http://anshorysyakoer.blogspot.com/2013/03/filsafat_26.html

Waris. Filsafat Umum, Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009.

Martono,Nanang. Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta: RajaGrafindo Persada 2011.

Tamburaka,Rustam E. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek, Jakarta: PT RINEKA CIPTA 2002.

Agger,Ben. Teori Sosial Kritis, Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta 2006.

Nasution. Metode Penelitian Naturalistik – Kualitatif, Bandung: Tarsito 1996.

Anggota IKPI.Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2006.








[1]Muhammad Adib, Filsafat ilmu, (Yogyakarta : Puataka Pelajar 2011), 75.
[2]http://anshorysyakoer.blogspot.com/2013/03/filsafat_26.html
[3]Waris, Filsafat Umum, (Ponorogo: STAIN Po PRESS 2009), 54.
[4]Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2011), 11.
[5]Anggota IKPI, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2006), 38-39.
[6]Waris, Filsafat Umum, 55.
[7]Nasution, Metode Penelitian Naturalistik – Kualitatif, (Bandung: Tarsito 1996), 7.
[9]Nanang, Metode Penelitian Kuantitatif, 11-12.
[11]Rustam E Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA 2002), 118.
[12]Nanang, Metode Penelitian Kuantitatif, 12-13.
[13]Ben Agger, Teori Sosial Kritis, (Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta 2006), 7-9.
[14]Ibid, 15.
[15]http://pelajarberkemajuan.blogspot.com/2013/05/konsepsi-sosial-kritis.html
[16] Agger,Sosial Kritis, 343-344.
[17]Nanang, Metode Penelitian Kuantitatif, 13-15.

No comments:

Post a Comment