Wednesday, October 5, 2016

PENYERAHAN HARTA AL-MAHJUR (TAFSIR AHKAM II)

PENDAHULUAN

Setelah melarang perzinahan dan pembunuhan, maka kini dilarangnya melakukan pelanggaran terhadap apa yang berkaitan erat dengan jiwa dan kehormatan manusia yakni harta. Ayat ini menegaskan bahwa: Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang paling baik yakni dengan mengembangkan dan menginvestasikannya. Lakukan hal itu sampai ia dewasa. Dan bila mereka telah dewasa dan mampu, maka serahkanlah harta mereka dan penuhilah janji terhadap siapapun kamu berjanji, baik kepada Allah, maupun kepada kandungan janji, baik tempat, waktu dan substansi yang dijanjikan; sesungguhnya janji yang kamu janjikan pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt. kelak dihari Kemudian, atau diminta kepada yang berjanji untuk memenuhi janjinya.
Dalam al-Nisa’: 5 antara lain terdapat tuntunan kepada para wali untuk memelihara dan mengembangkan harta yang dimiliki oleh kaum lemah seperti anak yatim, dan tidak mengabaikan kebutuhan yang wajar dari pemilik harta yang tidak mampu mengelola harta itu. Mereka hendaknya diberi belanja dan pakaian dari hasil harta itu bukan dari modalnya, dan kepada mereka hendaklah diucapkan kata-kata yang baik.   Dalam surah yang sama ditemukan juga tuntutan agar wali menguji anak yatim dengan memperhatikan keaaan mereka dalam hal penggunaan harta serta melatih mereka mengelola hartanya sehingga bila mereka telah hampir mencapai umur dewasa, maka ketika itu, jika para wali melihat tanda-tanda kecerdasan dan kepandaian memelihara harta serta kestabilan mental anak yatim, maka hendaklah ia segera menyerahkan harta mereka karena itu tidak ada lagi alasan untuk menahannya.
Disana para wali juga diingatkan agar jangan memanfaatkan harta anak yatim untuk keperluan pribadi, dengan dalih bahwa merekalah yang mengelolanya bukan anak yatim itu. Memang para wali dapat memanfaatkannya dalam batas kepatutan, tetapi tidak membelanjakan itu dalam keadaan tergesa-gesa.
ü Kisi-kisi pembahasan :
1.         Teks Ayat Surah Al-Israa’ : 34.
2.         Terjemahan Surah Al-Israa’ : 34.
3.         Penjelasan kosa kata (ma’na al-mufrodat).
4.         Munasabah Ayat.
5.         Tafsir dan Kandungan Ayat.




PEMBAHASAN

1.        Teks Ayat Al-Israa’: 34
Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ ¼çn£ä©r& 4 (#qèù÷rr&ur Ïôgyèø9$$Î/ ( ¨bÎ) yôgyèø9$# šc%x. Zwqä«ó¡tB ÇÌÍÈ
        wur
  dan Janganlah
     #qç/tø)s?
Kalian mendekati
         A$tB
        harta
      OŠÏKuŠø9$#
   anak Yatim
         wÎ)
   melainkan
ÓÉL©9$$Î/
dengan yang
       Ïd
     dia
     `|¡ômr&
lebih baik
      Ó®Lym
  sehingga
      x÷è=ö7tƒ
ia sampai
   ¼çn£ä©r&
  dewasa
      #qèù÷rr&ur
dan penuhilah
     Ïôgyèø9$$Î/
     janji
        bÎ)
sesungguhnya
     ôgyèø9$#
    janji
    c%x.
    adalah
ÇÌÍÈ   Zwqä«ó¡tB
dimintai pertanggung-jawaban




2.             Terjemah Ayat Al-Israa’: 34

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.

3.        Penjelasan kosa-kata (ma’na al-mufrodat)
ÉOŠÏKuŠø9$#
Anak yatim, yang ayahnya telah meninggal, sedangkan dia belum dewasa dan belum dapat berdiri sendiri.
ß`|¡ômr& 
Lebih baik, disini memiliki makna bahwa membelanjakan harta anak yatim mesti dikeluarkan untuk hal-hal yang diperlukan.
çn£ä©r&
Dewasa/baligh, telah mencapai usia dewasa baik secara jasmani maupun rohani.
4.        Munasabah Ayat  ( QS Al-Nisa’:  6 )
Dahulu, masyarakat jahiliyah tidak mau memberi harta warisan kepada perempuan, juga anak-anak yang masih dibawah umur. Sedangkan menurut mereka, harta tersebut diperuntukkan untuk laki-laki yang telah dewasa. Hingga Allah menurunkan ayat ini.[1]
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uŽó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù'uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkô­r'sù öNÍköŽn=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
5.        Tafsir dan Kandungan Ayat

Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ ¼çn£ä©r& 4
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim,

Pada ayat sebelumnya Allah telah melarang perzinahan dan pembunuhan yang erat kaitannya dengan kehormatan dan jiwa manusia. Apabila kejahatan ini terjadi akan menimbulkan pihak ahli waris, yakni anak yang ditinggal oleh salah satu maupun kedua orang tuanya. Yang apabila anak yatim memiliki harta sementara dirinya belum mencapai usia dewasa, maka penangguhan pemberian harta diberikan setelah dirinya telah mencapai usia dewasa.[2]
Pada ayat ini Allah melarang para pengasuh anak yatim (wali) untuk mendekati/menggunakan harta anak yatim. Larangan mendekati/menggunakan harta anak yatim mengandung arti untuk melindungi garta anak yatim agar tidak habis sia-sia. Allah SWT memberikan perlindungan terhadap harta itu, karena harta itu sangat diperlukan oleh manusia, dan manusia yang paling memerlukannya ialah anak yatim, karena keadaannya yang belum mampu mengurusi hartanya dan belum dapat mencari nafkah.[3]
Setelah ayat ini diturunkan, para sahabat Rasulullah yang mengasuh anak yatim merasa takut kembali, sehingga mereka tidak mau makan bersama-sama anak yatim dan tidak pula mau bergaul dengan mereka. Oleh sebab itu Allah menurunkan kelonggaran dalam Surah Al-Baqarah : 220.[4]
bÎ)ur öNèdqäÜÏ9$sƒéB öNä3çRºuq÷zÎ*sù 4 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ yÅ¡øÿßJø9$# z`ÏB ËxÎ=óÁßJø9$# 4
Dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan.
Pada ayat ini, Allah memberikan batasan  pengecualian dari larangan tersebut. Apabila harta tersebut dipergunakan untuk pemeliharaan ataupun untuk pengembangan harta anak yatim. Maka untuk hal ini tidak terdapat larangan mengambil sebagian harta anak yatim untuk kepentingan atau dikembangkan sebagai modal dengan maksud agar harta tersebut bertambah. Oleh sebab itu diperlukan orang yang bertanggung jawab untuk mengurus harta anak yatim ini. Orang yang bertugas untuk memelihara harta anak yatim ini disebut Was} (pengampu) dan diperlukan juga lembaga pemerintah untuk mengawasi agar tidak terjadi penyelewengan.[5]
(#qèù÷rr&ur Ïôgyèø9$$Î/ ( ¨bÎ) yôgyèø9$# šc%x. Zwqä«ó¡tB ÇÌÍÈ
Dan penuhilah janji, Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
Dalam ayat ini dimaksudkan, apabila anak ayatim tersebut telah mencapai usia dewasa dan telah matang, pada masa itulah hartanya tersebut diserahkan karena dirinya telah mengerti dan mampu mengurus sendiri dengan cara yang wajar. Dengan catatan penyerahan harta yang menjadi tanggungan penagmpu dilakukan oleh 2 orang saksi.[6]
Penangguhan kepemilikan harta dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu. Sebab-sebab seseorang dicegah untuk mengelola hartanya sendiriadalah sebagai berikut :
a)              Dibawah umur
Maksudnya dibawah umur ialah anak yang belum akil baligh (belum mukallaf), baik karena akalnya yang belum matang atau karena yang lainnya. Ia harus diawasi dan dijaga oleh walinya, tidak boleh diserahkan sebelum dia baligh berakal.
b)             Safih (Bodoh)
Safih (bodoh) artinya kurang akal, mungkin karena masih kecil, dungu, atau karena usia lanjut.[7] Allah berfirman :
Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr&
Dan janganlah kamu berikan kepada orang-orang itu akan harta benda mereka
(QS: 04:05)

c)              Lemah Jasmani dan Rohani
Mengenai penangguhan penyerahan harta bagi orang tua, jumhur ulama berpendapat boleh. Sebagaimana anak kecil yang termasuk safih. Mayoritas jumhu ulama dan Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa yang dimaksud lemah jasmani dan rohani disini ialah orang tua yang sudah tumbuh jenggotnya dan beruban, tetapi belum bisa menguasai dirinya dan pengeluaran hartanya. Namun Abu Hanifah memberikan catatan bahwa apabila seseorang telah berumur 25 tahun hartanya wajib diserahkan baik dia telah dewasa maupun belum.[8]
d)             Hamba (Budak)
Seseorang yang menjadi hamba (budak) tidak lagi berkuasa untuk mengurus harta sebab dia sendiri dimiliki oleh tuannya, dan berarti derajat hamba (budak) sama dengan harta dan dapat diperjual belikan. Sebagaimana Firman Allah SWT :
* z>uŽŸÑ ª!$# ¸xsVtB #Yö6tã %Z.qè=ôJ¨B žw âÏø)tƒ 4n?tã &äóÓx«
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu.” (An-Nahl: 75)

e)              Sedang Sakit Keras
Sesungguhnya orang yang telah menderita sakit keras yang tidak memiliki harapan untuk kesembuhannya dan tidak berdaya lagi untuk melakukan perbuatan apapun, maka baginya tidak dibolehkan baginya untuk mengurus hartanya, sebagai gantinya para ahli warisnyalah yang diserahkan kepengurusannya.[9]

f)              Wanita Bersuami
Seorang wanita yang telah memiliki suami, berada dibawah pengawasan suaminya, baik dirinya sendiri, anak-anaknya, maupun harta bendanya. Oleh karena itu, wanita tidak berkuasa atau berwenang atas hartanya, kecuali harta-harta yang dikhususkan intuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda :
Wanita tidak boleh memberikan sesuatu kecuali atas izin suaminya

g)             Keluar dari Islam ( Murtad )
Seoarng muslim yang keluar dari agama Islam atau yang disebut juga dengan murtad terhalang menguasai hartanya sendiri sebab dia berada dalam kekuasaan pemerintahan Islam.
Ia tidak berkuasa atas hartanya karena dia akan menerima hukuman menurut syari’at Islam, yaitu hukuman mati atas kesalahan yang dibuatnya, yakni eluar dari agama Islam.[10]

h)             Jatuh Bangkrut
Seseorang dapat dikatakan bangkrut apabila jumlah hutangnya jauh lebih besar dari jumlah harta yang dimilikinya. Oleh sebab itu dia tiadak diperbolehkan mengelola hartanya, yang dikhawatirkan akan semakin banyak jumlah hutang yang akan dibayarkan olehnya.[11]


 DAFTAR PUSTAKA

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah . Jakarta: Raja Grafindo, 2002.

Bina Ilmu, Tafsir Ayat Ahkam Ash-As}abuni . Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1983.

S}ihab,  M. Qurais}, Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Sonhadji, HM, Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1987.

Teungku Muhammad Hasbi As}idieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur . Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.





[1]Syaikh  Muhammad Ali As}-S}abuni, Shafwatut Tafasir  Vol. I, Terj. Bina Ilmu  (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1983), 370.
[2] M. Qurais} S}ihab, Tafsir Al-Misbah vol 7. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 461.
[3] HM. Sonhadji, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1987), 573.
[4] Ibid, 574.
[5] Ibid, 573.
[6] Teungku Muhammad Hasbi As}idieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur  (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 2323.
[7]Suhendi, Fiqh Muamalah, 224-225.
[8] As}-S}abuni, Tafasir, 376-377.
[9] Suhendi, Fiqh Muamalah, 226.
[10] Suhendi, Fiqh Muamalah, 228.
[11] Ibid, 229.

No comments:

Post a Comment