Monday, October 10, 2016

pemikiran Rene Deskartes (makalah ekonomi syariah)

Pembahasan
A.      Rene Descartes ( 1596 – 1650 )

Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. Merupakan salah satu pendiri pemikiran modern. Ia belajar pada college selama 9 thun (1606-1615), selama 6 tahun sastra klasik, dan 3 tahun filsafat, logika, ilmu pasti-alam, dan metafisik. Filsafat itu lebih kurang berdasarkan karya-karya Aristoteles, tetapi terbuka bagi kebutuhan zaman.[1]
Menurut catatan, Descartes adalah orang Inggris. Ayahnya adalah anggota parlemen inggris. Pada tahun 1612 Descartes pergi ke Prancis. Dia taat mengerjakan ajaran agama Katholik, tetapi ia juga menganut Galileo yang pada waktu itu ditentang oleh tokoh – tokoh Gereja. Dari tahun 1629 - 1649 ia menetap di Belanda.  
Dari tahun 1615 sampai ke 1618 ia belajar terutama ilmu pasti-alam. Pada saat itu ketertarikan Descartes pada ilmu filsafat belum besar. Sejak 1618 ia selama 10 tahun banyak dalam perjalanan, tetapi ia sekaligus sibuk berkegiatan ilmiah, selalu berkutub ilmu eksakta dan filsafat. Tahun 1628 ia berangkat ke Nederland dan tinggal disana sampai tahun 1949. Ia mengarang tentang ilmu pasti-alam, metodologi dan filsafat. Tahun 1949-1950 ia berada di Swedia selama satu tahun, mengajar ratu Christina. Disana ia sakit radang paru-paru dan meninggal.[2]

B.       Metode Pemikiran ( Cogito Ergo Sum )

Salah satu filsuf yang menaruh perhatian sangat besar pada asumsi-asumsi yang mengusulkan suatu metode umum yang memilki kebenaran yang pasti. Filsuf asal Prancis ini dijuluki sebagai “Bapak Filsafat Modern”, karena beliau menempatkan akal pikiran atau rasio pada kedudukan yang tertingggi. Filsafat Descartes, terutama konsep tentang manusia bersifat dualisme. Beliau mengganggap jiwa (res cogitans) dan badan (res extensta) sebagai dua hal terpisah.
Bagi  Descartes ilmu alam tidak dapat dibangun tanpa menyusun metafisik terlebih dahulu, yang akan memberinya suatu dasar prinsipiil. Berdasarkan pemahaman itu, maka metafisik dan ilmu alam menjadi suatu pengertian yang utuh. Tetapi dalam seluruh pemikirannya, filsafat alam dan dunialah yang berkedudukan dominan. Descartes sendiri tidak begitu tertarik pada metafisik. Dibandingkan filsafat teknis sebelumnya.[3]
Descartes telah lama merasa tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban. Sangat lamban terutama bila dibandingkan dengan perkembamgan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan  agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dikembalikan kepada semngat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Ia ingin menghidupkan kembali rasionalisme Yunani.[4]
Ia mengetahui bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal). Tokoh-tokoh Gereja waktu itu  tetap yakin bahwa dasar filsafat haruslah iman. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasi yang amat terkenal, argumentasi itu tertuang dalam metode cogito tersebut.[5]
Dengan metode, Descartes berusaha memahami  sebagai aturan-aturan yang dapat dipakaikan sebagai kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh ( fundamentum certum et incomcussum veritatis ). Berfilsafat bagi Descartes berarti melontarkan persoalan metafisis untuk menemukan sebuah fundamen yang pasti, yaitu suatu titik yang tidak bisa goyah dan terbantahkan.[6]
Descartes menyatakan bahwa kesangsian merupakan pembuktian kepada diri kita  bahwa kita ini nyata. Selama kita ini sangsi, kita akan merasa bahwa kita nyata-nyata ada. Meskipun dalam sebuah tipuan yang sangat lihai, sebuah kepastian “aku yang menyangsikan” itu tidak ada yang bisa membantah, maka kepastian eksistensiku dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian mengatakan Je pense donc je suis atau cogito ergo sum ( aku berpikir, maka aku ada).[7]
Menurut Descartes, untuk memperoleh pengetahuan yang terang dan jelas maka terlebih dahulu kita harus meragukan segala sesuatu. Descartes menyatakan, “pengertian yang benar haruslah dapat menjamin dirinya sendiri”.  Untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya Descartes menggariskan empat aturan.[8]
a.        Janganlah pernah menerima baik apa saja sebagai benar, jika anda tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebenarannya. Cermat dan hindari kesimpulan – kesimpulan dan prakonsepsi yang terburu-buru. Dan janganlah memasukkan apapun kedalam pertimbangan anda lebih daripada yang terpapar yang begitu jelas, sehingga tidak diperlukan lagi.
b.      Pecahkanlah kesulitan anda menjadi sebanyak mungkin bagian dan sebanyak yang dapat dilakukan untuk mempermudah penyelesaiiannya secara lebih baik.
c.       Arahkanlah pemikiran anda secara tertib mulai dari objek yang sederhana dan paling mudah di ketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit, tahap demi tahap kepengetahuan yang paling kompleks, dengan mengandaikan sesuatu urutan bahkan diantara objek yang sebelum itu tidak mempunyai ketertiban kodrati.
d.      Buatlah penomoran untuk seluruh pemasalahan  selengkap mungkin dan tinjau ulang secara menyeluruh sehingga anda dapat merasa pasti tidak ada satupun yang merasa tertinggal.
Keempat langkah yang dikemukakan descartes ini menggambarkan suatu sikap skeptis metodis dalam upaya memperoleh kebenaran yang pasti. Descartes mengaitkan aktifitas ilmiah dengan metode skeptis.[9]
Descartes menyatakan dalam metodenya bahwa “segala hal harus kita renungkan dan akhirnya bisa memunculkan kepatian dari hal itu. Sebab yang tinggal adalah “saya yang ragu-ragu”. Inilah kepastian pertama, “Saya ragu-ragu, karena saya berpikir”. Saya yang berpikir ini adalah kepastian kedua. Akhirnya, Cogito ergo sum ( saya berpikir, maka saya ada ). Semua ini disebutnya sebagai keraguan metodis ( dubium methodicum ). Pola berpikirnya deduktif atau mengambil kesimpulan mengenai realitas dari konsep-konsep”.[10]






[1] Anton Bakker, Metode - Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), 68.
[2] Ibid.
[3] Ibid, 69.
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) 129.
[5] Ibid.
[6] Budi Hardiman, Filsafat Modern (Gramedia Pustaka Utama, 2007) 39.
[7] Budi, Filsafat Modern, 40.
[8] Rizal Muntasyir, Filsafat Analistik (Jogiakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 28.
[9] Rizal Muntansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu ( Yogyakarta: pustaka ilmu, 2004), 110.

No comments:

Post a Comment