Tuesday, October 11, 2016

Prosesi Perceraian Menurut Fiqh dan K.H.I (makalah ekonomi islam)

PEMBAHASAN

A.          PROSES PERCERAIAN MENURUT FIQH
Meskipun dalam fiqh tidak ditemukan mengenai prosedur standart dalam memproses perceraian, tapi Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. telah memberikan tuntunannya. Adapun tuntunan dari Kitabullah dan As-Sunnah adalah sebagai berikut :
1.        Nusyu>z
Menurut bahasa nusyu>z ialah membangkang, menurut Slamet Abidin dan H. Aminuddin , nusyu>z artinya durhaka. Secara istilah istri yang melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syarak. Ia tidak menaati suaminya atau menolak diajak ketempat tidurnya. Termasuk perbuatan nusyu>z dalam kitab Fath Al-Mu’in disebutkan, jika istri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami, sekalipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Beberapa perbuatan yang dilakukan istri yang termasuk nusyu>z antara lain:
·      Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang telah disediakan sesuai dengan kemampuan suam, atau istri meninggalkan rumah tanpa seizin ssuami.
·      Istri menolak ajakan suaminya untuk menetap di rumah yang telah disediakannya tanpa alasan yang pantas.
·      Apabila istri bepergian tanpa suaminya atau mahramnya walaupun itu perjalanan wajib itu wajib, seperti haji. Karena perjalanan perempuan tidak dengan suami atau mahramnya termasuk maksiat.
Apabila  suami melihat bahwa istri akan berbuat hal-hal semacam itu, maka ia harus diberi nasihat dengan baik, kalau ternyata istri masih berbuat semacam itu , dan meneruskan kedurhakaannya, maka suami boleh memukulnya dengan syarat tidak melukai atau meninggalkan bekas pada tubuhnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. ( Surat Al-Nisa’ : 34 ) :
ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyu>znya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka
Berdasarkan ayat diatas, maka, dapat disimpulkan bahwa durhakanya sang istri  ( nusyu>z ) terdapat tiga tingkatan:
v Ketika tampak tanda-tanda kedurhaakaannya suami berhak memberi nasihat kepadanya,
v Sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak untuk berpisah tempat tidur dengannya,
v Kalaupun masih durhaka, suami berhak memukulnya, sebatas untuk memperingati kedurhakaannya. Adapun batasan memukul adalah tidak meninggalkan bekas luka ditubuh dan dilarang untuk memukul daerah muka.[1]

2.        Syiqaq
Syiqaq berarti perselisihan atau retak. Menurut istilah fikih, siqaq adalah perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.
Dasar hukumnya ialah firman Allah SWT:
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al-Nisa: 35)
Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat 34 yang menerangkan cara-cara suami memberi pelajaran kepada istri yang melalaikan kewajibannya. Apabila cara yang diterangkan ayat 34 telah dilakukan, namun perselisihan terus memuncak, maka suami hendaknya tidak tergesa-gesa menjatuhkan talak, melainkan mengangkat dua orang hakam yang bertindak sebagai juru damai.[2]

3.        Hakamain
Hakam berati juru damai. Jadi, hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami dan istri apabila terjadiperselisihan diantara keduanya. Dasar hukum hakamain tercantum dalam Surat Al-Nisa’ : 35
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS Al-Nisa: 35)

Para ahli fikih berbeda pendapat tentang arti hakam  yang disebut pada ayat diatas. Menurut Imam Abu Hanifah, sebagian pengikut Imam Hambali, dan qaul qadim dari Imam Syafi’i, hakam  itu berarti wakil atau sama halnya dengan wakil. Dengan demikian, hakam tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak istri sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami. Begitu pula hakam dari pihak istri tidak boleh mengadakan khulu’ kepada pihak suami sebelum mendapat persetujuan dari pihak istri.
Menurut Imam Malik, sebagian pengikut Imam Hambali dan qaul jadid dari Imam Syafi’i, hakamain  itu sebagai hakim sehingga boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat keduanya apakah mereka akan memberi keputusan perceraian atau memutuskan agar berdamai kembali. Dalam hal ini hakamain yang dimaksudkan adalah hakim atau pejabat pemerintah yang telah diberi wewenang untuk menangani perkara tersebut.[3]

B.           PROSES PERCERAIAN MENURUT KHI
Permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66-72 UU No.7/1989, pasal 14-18 PP. No. 9/1975, BAB XVI pasal 113-148 Kompilasi Hukum Islam, sebagai hukum acara khusus. Adapun tata caranya diatur sebagai berikut
Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (pasal 39 (1) UUP).
Permohonan cerai talak, meskipun menggunakan istilah permohonan tetapi haurs diproses sebagai perkara contentius, karena didalamnya mengandung unsur sengketa serta untuk melindungi hak-hak istri dalam upaya mencari Hukum

1.     Surat Permohonan Cerai Talak
Seorang suami yang beragama Islam (melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam), yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak (pasal 86 ayat (1) UU-PA).
Permohonan tersebut diatas memuat:
a.       Nama, umur dan tempat kediaman Pemohon, yaitu suami dan tremohon yaitu istri,
b.      Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (pasal 67 UU-PA).

Untuk melakukan percraian harus ada bukti yang cukup bahwa antara suami/istri tidak akan hidup rukun lagi sebagai suami-istri (pasal 39 ayat (2) UUP).[4]
Adapun permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah anak, nafkah istridan harta bersama suami-istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak. Adapun kumulasi perkara ini merupakan ketentuan khusus. Kumulasi perkara dapat diterima apabila:
-        Diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak,
-        Disertai alasannya masing-masing,
-        Diajukan sebagai rekonpensi dan memenuhi syarat rekonpensi.
Permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (istri), kecuali dalam hal:
a.       Termohon (istri), dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa ijin pemohon (suami), maka permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama di tempat tinggal pemohon,
b.      Termohon bertempat tinggal di luar negeri, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama di tempat tinggal pemohon,
c.        Pemohon dan termohon bertempat tinggal diluar negeri, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Jakarta Pusat.[5]

2.     Pemeriksaan Perkara
Sesudah surat gugatan atau permohonan dibuat dan dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan umum atau mungkin sudah sekaligus dilampiri dengan syaratsyarat khusus, atau dalam hal buta huruf, maka tahap selanjutnya didaftarkan di Kepaniteraan.
Sewaktu Kepaniteraan Pengadilan Agama menerima berkas, surat gugatan atau permohonan itu akan diteliti dan penelitian itu menyangkut dua hal:
-     Apakah surat gugatan atau permohonan itu sudah jelas, benar tidak tukar balik mulai dari identitas pihak-pihak, bagian posita dan tentang petitumnya, apakah posita sudah terarah sesuai dengan petitum dan sebagainya.
-     Apakah perkara tersebut termasuk kekuasaan Pengadilan Agama, baik kekuasaan relatif maupun absolut.[6]
Setelah perkara tersebut terdaftar di Kepaniteraan, Panitera melakukan penelitian terhadap kelengkapan berkas perkara. Penelitian Panitera tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara beserta resume tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan dengan disertai “saran tindak”, misalnya berbunyi “syarat-syarat cukup dan siap untuk disidangkan”.
Berdasarkan resume dan saran tindak tersebut, Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan Penetapan Penunjukkan Majelis Hakim (PMH) yang menunjuk Hakim Ketua dan Anggota Majelis yang akan memeriksa perkara yang dimaksudkan, mungkin sekaligus ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama dalam PMH, nantinya dapat ditunjuk oleh Ketua Majelis.
Selanjutnya berkas perkara beserta penetapan PMH diserahkan kepada Hakim Ketua Majelis yang ditunjuk untuk dipelajarinya. Berdasarkan PMH tersebut, Ketua Majelis mengeluarkan Penetapan Hari Sidang (PHS) yang menetapkan kapan hari/tanggal/jam sidang pertama akan dimulai.
Berdasarkan PHS tersebut, petugas panggil, yaitu juru sita / juru sita pengganti atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama akan memanggil pihak-pihak ke muka sidang menurut hari/tanggaljam/tempat yang telah ditentukan dalam PHS.[7]
3.     Pemanggilan Pihak-Pihak
Adapun hal-hal yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam memanggil para pihak yang sedang berperkara adalah sebagai berikut:
1.      Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa perceraian, baik suami maupun istri atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut,
2.      Panggilan dilakukan oleh juru sita/jurusita pengganti,
3.      Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai di tempat tinggalnya, pemanggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu,
4.      Panggilan dilakukan secara patut dan sudah diterima oleh pihak yang bersangkutan selambat-lambatny 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka,
5.      Panggilan kepada termohon dilampiri dengan salinan surat permohonan,
6.      Apabila tempat kediaman termohon tidak jelas atau tidak diketahui, maka pemanggilan dilakukan melalui mass media,
7.      Apabila termohon bertempat kediaman diluar negeri, panggilan disampaikan melalui Perwakilan RI setempat.[8]

4.     Upaya Perdamaian
Upaya perdamaian dalam perkara perceraian harus dilakukan lebih sungguh dalam perkara perdata apada umumnya. Apalagi dengan pertimbangan para pihak yang berperkara telah mempunyai anak.
Adapun tata caranya adalah sebagai berikut:
1.      Dalam sidang pertama, Hakim berusaha mendamaikan suami-istri yang akan bercerai.
2.      Dalam sidang perdamaian, suami-istri harus hadir secara pribadi, kecuali salah satu pihak bertempat tinggal diluar negeri dan tidak dapat hadir secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
3.      Selama perkara belum diputuskan, usaha perdamaian dapat dilakukan pada setiap tingkat peradilan.
4.      Dalam mendamaikan suami istri tersebut, Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu, misalnya BP.4 atau yang lainnya.
Apabila tercapai perdamaian, artinya suami-istri tidak jadi bercerai, maka perkara harus dicabut daan tidak perlu dibuatkan akta perdamaian seperti halnya dalam perkara perdata umumnya, melainkan dibuat “Penetapan” yang isinya  mengabulkan permohonan pemohon untuk mencabut kembali perkaranya, menyatakan perkara telah dicabut dan dicoret dari Register Induk Perkara yang bersangkutan, serta menyatakan bahwa kedua belah pihak masih terikat dalam ikatan perkawinan. Tetapi apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan perceraian dilanjutkan dalam sidang tertutup.[9]

5.     Putusan Majelis Hakim
Pengadilan Agama setelah memeriksa permohonan cerai talak dan berkesimpulan bahwa:
a.       Suami mempunyai alasan yang cukup untuk melakukan perceraian, dan
b.      Alasan-alasan cerai telah terbukti,
c.       Kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan, maka Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Putuan Hakim yang mengabulkan permohonan harus berbentuk “Putusan” dengan amar berjudul “Menetapkan”, kecuali jika ada amar yang bersifat kondemnatoir, maka amar berjudul “ Mengadili”. Terhadap putusan tersebut, pihak istri (termohon)dapat mengajukan banding maupun kasasi.
Adapun mengenai biaya perkara ini dibebankan kepada pemohon. Jika dalam perkara ini ada rekonpensi, atau disertai pembagian harta bersama, biaya perkara dapat dibagi dua (dipikul bersama).[10]

6.     Sidang Penyaksian Ikrar Talak (SPIT)
Setelah putusan mempunya kekuatan hukum tetap, Pengadilan Agama menetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak dalam suatu “Penetapan”, dengan memanggil suami istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. dalam sidang tersebut suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
Setelah istri dipanggil secara patut dan sah, tetapi tidak datang menghadap sendiri dan tidak pula  mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya. Namun apabila suami telah dipanggil untuk mengucapkan ikrar talaknya didepan sidang, tetapi tidak datang menghadap sendiri dan tidak pula mengirimkan wakilnya, maka kepadanya diberikan tenggang waktu selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal hari sidang penyaksian ikrar talak tersebut. namun apabila dalam waktu tenggang yang sudah diberikan suami tidak datang lagi untuk melaporkan diri bahwa ia akan mengucapkan  ikrar talak, maka gugurlah kekuatan putusan (ijin ikrar talak) tersebut, dan perceraian tidak dapat lagi diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
Dalam hal yang telah tersebut diatas, maka Hakim membuat “Penetapan” yang isinya menyatakan bahwa tenggang waktu untuk mengucapkantelah habis dan kekuatan putusan telah gugur.
Apabila dalam tenggang waktu yang telah diberikan selama 6 (enam) bulan tersebut, suami kemudian melaporkan diri bahwa ia tetap bermaksud untuk mengucapkan ikrar talak, maka Pengadilan Agama dapat membuka sidang lagi guna penyaksian ikrar talak dimaksud dengan memanggil suami istri atau wakilnya.
Sidang ikrar talak dibuka untuk umum. Dalam sidang tersebut, suami mengucapkan mengucapkan ikrar talak. Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang penyaksian ikrar talak ini dalam Berita Acara Persidangan. Perkawinan putus sjak ikrar talak diucapkan di depan sidang. Terhadap penetapan ini tidak dapat dimintakan banding ataupun kasasi.[11]

7.     Pengiriman Salinan Penetapan
Panitera atau pejabat Pengadilan Agama yang ditunjuk berkewajiban untuk selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan penetapan, tanpa bermaterai kepada:
1.      PPN yang wilayahnya meliputi tempat kediaman suami-istri tersebut, untuk mendaftarkan penetapan perceraian itu dalam sebuah daftar untuk itu,
2.      PPN di tempat perkawinan dilangsungkan, apabila perceraian dilakukan di wilayah berbeda dengan PPN tempat perkawinan dilangsungkan, untuk dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkara,
3.      PPN di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia, yaitu bagi mereka yang perkawinannya di langsungkan di luar negeri.
Kelalaian pengiriman salinan penetapan ini, menjadi tanggung jawab panitera dan pejabat yang ditunjuk tersebut, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau kuasanya.[12]

8.     Akta Cerai
Berdasarkan atas penetapan cerai tadi, maka Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai bukti cerai kepada bekas suami istri yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung sejak terjadinya perceraian.[13]





[1] H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 185-187.
[2]Ibid, 188.
[3] Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, 190.
[4] H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 207-208.
[5] Ibid, 209.
[6] H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 77.
[7]H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 132.
[8] Mukti Arto, Praktek Perkara, 209-211.
[9] Ibid, 213-214.
[10] Mukti Arto, Praktek Perkara, 218-220.
[11] Mukti Arto, Praktek Perkara, 220-221.
[12] Ibid, 221-222.
[13] Ibid, 222.

No comments:

Post a Comment