Monday, October 10, 2016

HUKUM PERIKATAN PRESTASI dan WANPRESTASI (makalah ekonomi syariah)

BAB 1

A.           PENDAHULUAN
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Pada dasarnya, ada sedikit kemiripan antara hukum perdata di Indonesia dengan di Mesir, dikarenakan negara Mesir sendiri mengadopsi hukum dari Perancis, sedangkan Indonesia mengadopsi hukum dari Belanda, dan Hukum Perdata Negara Belanda berasal dari Hukum Perdata Perancis (yang terkenal dengan nama Code Napoleon). Jadi, hukum perdata yang di Indonesia dengan di Mesir pada hakikatnya sama. Akan tetapi hanya bab dan pembagiannya saja yang membedekannya dikarenakan berasal dari satu nenek moyang yang sama. Sumber - sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
B.            RUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa itu Hukum Perikatan
2.      Apa penjelasan tentang Prestasi
3.      Apa penjelasan tentang Wanprestasi

BAB II
PEMBAHASAN
A.                HUKUM PERIKATAN
Dalam Buku III BW yang berjudul “van Verbintenissen”, di mana istilah ini juga merupakan istilah lain yang dikenal  dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah “obligation”. Istilah verbintenis dalam BW (KUHPerdata), ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, di dalam salah satu bukunya menegaskan bahwa :“Istilah verbintenis, ada yang menterjemahkan dengan “perutangan”, perjanjian maupun dengan “perikatan”. Karena masing-masing para sarjana mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menterjemahkan dan mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yakni “verbintenis”,  diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam KUHPerdata digunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. R. Subekti, mempergunakan istilah “verbintenis” untuk perkataan     “perikatan”, demikian juga R. Setiawan, memakai istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. Selanjutnya Utrecht, memakai istilah perutangan untuk “verbintenis”. Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai terjemahan dan“verbintenissenrecht, sedangkan. Sementara itu   R. Wirjono Prodjodikoro,  memakai istilah “het verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan, demikian juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,  memakai istilah “hukum perutangan” untuk “verb intenissenrecht” .(R. Soetojo , 1979; 10).
Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa untuk istilah “verbintenis”dikenal adanya tiga istilah untuk menterjemahkannya yakni; “perikatan, perutangan, dan perjanjian”, akan tetapi dalam berbagai perkuliahan di Fakultas Hukum yang ada di Indonesia, penggunaan terjemahan istilah “verbintenis” tersebut lebih cenderung menggunakan istilah perikatan untukverbintenis tersebut, demikian juga halnya dalam tulisan ini digunakan istilah perikatan untuk menterjemahkan verbintenis dimaksud. Beranjak dari uraian di atas, jika dikaitkan dengan adanya ketidak samaan pendapat tentang terjemahan istilah verbintenis tersebut, hal ini berpengaruh terhadap perumusan perikatan, karena di dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pngertian perikatan secara yuridisnya, oleh karena untuk merumuskan tentang perikatan dapat dipedomani beberapa pendapat para ahlinya.
Berkaitan dengan itu, menurut Hofmann, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap demikian itu”. Selanjutnya Pitlo mengatakan, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Sementara itu, menurut Abdulkadir Muhammad;.”Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan. Soediman Kartohadiprodjo, juga merumuskan perikatan tersebut dengan; “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih,  atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Demikian juga halnya, menurut R.Setiawan, bahwa  “perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. (R.Setiawan, 1994; 2).
Dari berbagai pengertian atau rumusan perikatan sebagaimana dikemukakan para ahli di atas, dapat dikatakan, bahwa perikatan tersebut pada dasarnya merupakan hubungan hukum yang artinya hubungan yang di atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat satu dan kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat saja dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-udanglah yang menegaskan, di mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan atau hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar hukum.
Hubungan hukum sebagaimana dimaksudkan, harus dibedakan dengan hubungan lainnya yang ada di dalam pergaulan masyarakat, seperti pergaulan yang berdasarkan etika dan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan. Penyimpangan terhadap hubungan tersebut, tidak menimbulkan akibat hukum, misalnya; janji untuk bertemu dengan pasangan, janji untuk pergi kuliah bersama dan lain-lain yang pada dasarnya berada diluar lingkungan hukum dalam arti, hal ini bukan merupakan perikatan atau hubungan hukum.
B.                 SUMBER HUKUM PERIKATAN
a.             Perjanjian
Menurut ketentuan pasal 1233 KUHPdt. perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena Undang-Undang. Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa sumber perikatan itu adalah perjanjian dan undang – undang.
Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, pihak – pihak  dengan sengaja dan bersepakat saling mengikatkan diri, dalam perikatan mana timbul hak dan kewajiban yang perlu diwujudkan . hak dan kewajiban ini berupa prestasi. Pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi. Adapun setelah terjadi perjanjian, baik debitur maupun kreditur memiliki beberapa tanggung jawab. Adapun tanggung jawab dapat dibedakan :
                  ·            Tanggung Jawab
Perikatan itu akan timbul kalau tidak kalu tidak ada perbuatan berjanji (perjanjian). Perjanjian  tidak akan ada kalu tidak ada persekutuan (kesepakatan) antara pihak – pihak. Perikatan tidak akan ada artinya kalau prestasi tidak dapat atau tidak mungkin diwujuskan. Untuk mewujudkan prestasi itu perlu ada tanggung jawab. Dalam setiap perjanjian, kewajiban pihak – pihak selalu disertai tanggung jawab menurut hukum.
                  ·            Perikatan Tanpa Tanggung Jawab
Sebuah perikatan tanpa tanggung jawab dapat terjadi apabila pihak yang kalah tidak dapat memenuhi kewajibannya berprestasi, yaitu membayar kepada pihak yang menang, pihak yang menang ini tidak dapat mewujudkan prestasinya tersebut. sebab kewajiban berprestasi pihak yang kalah itu tidak disertai dengan tanggung jawab.
                  ·            Kewajiban Berprestasi Dapat Dipaksakan
Sebagian besar perikatan yang terdapat dalam masyarakat timbul karena perjanjian. Karena itu Undang – Undang mengatur bahwa perjanjianyang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang – Undang (pasal 1338 ayat 1 KUHPdt). Artinya jika salah satu pihak memungkiri, maka kewajiban berprestasi itu dapat dipaksakan. Jika yang memungkiri itu tidak bersedia mewujudkan prestasinya, pihak lain dapat mengajukan perkaranya ke muka pengadilan, dan pengadilan akan memaksakan perwujudan prestasinya itu dengan denga menyita dan melelang harta kekayaannya sejumlah yang harus dipenuhinya terhadap pihak yang lain itu.


b.             Undang – Undang
Selain daripada perjanjian, perikatan itu dapat timbul karena undang – undang. Perikatan yang timbul karena undang – undang ini dalam pasal 1352 KUHPdt diperinci menjadi dua, yaitu perikatan yang timbul semata – mata karena ditentukan undang – undang, dan perikatan yang timbul karena perbuatan orang.
Dalam pasal 1353 ditentukan juga bahwa perikatan yang timbul dari perbuatan orang ini diperinci lagi menjadi perikatan yang timbul dari perbuatan menurut hukum dan perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.
Dalam perikatan yang timbul karena undang – undang, hak dan kewajiban pihak – pihak itu ada, karena ditetapkan oleh undang – undang. Kewajiban berprestasi yang disertai tanggung jawab debitur diatur dan ditetapkan dalam undang – undang.
c.              Kesusilaan
Tidak hanya perbuatan yang diperjanjikan saja atau pun perikatan yang diatur dalam undang – undang saja, melainkan perikatan dapat juga timbul dari sebuah moral/kesusilaan atau kepatutan yang telah dipahami dalam masyarakat. Tanggung jawab debitur juga didasarkan pada prikemanusiaan.

C.                PRESTASI
Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan: “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.
Dari pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian “memberi sesuatu” mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu penyerahannya.
Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu:
1.      Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian.
2.      Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis.
Wujud prestasi yang lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Salah satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan, yakni suatu prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam:
1.      Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
2.      Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan untuk pemesan.
3.      Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian tindak akan mendirikan suatu bangunan, perjanjian tidak akan menggunakan merk dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat:
1.      Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan jenisnya, tanpa adaya ketentuan sulit untuk menentukan apakah debetur telah memenuhi prestasi atau belum.
2.      Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan.
3.      Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4.      Prestasi harus mungkin dilaksanakan.




D.                WANPRESTASI
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
  • Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian,
  • Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sangaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
1.      debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
2.      debitur memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik atau keliru,
3.      debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tanggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur sepaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tanggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitur agar ia memenuhi prestasinya? Debitur perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitur tidak memenuhinya, debitur dinyatakan telah lalai atau wanprestasi. Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui Pengdilan Negeri yang berwenang, yang disebut “somatie”. Kemudian Pengadilan Negeri melalui perantaraan Jurusita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitur, yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi misalnya melalui suart tercatat, telegram, atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debiotur dengan tanda terima. Surat peringatan disebut “ingebreke stelling”.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau saksi hukum berikut ini:
1.      Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata),
2.      Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (pasal 1266 KUH Perdata),
3.      Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko berlaih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237  ayat 2),
4.      Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUH Perdata),
5.      Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah,
6.      Keadaan Mamaksa (overmacht).
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena peristiwa yang yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur. Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
1.      Tidak  dipenuhinya  prestasi   karena   terjadi   peristiwa    yang     membinasakan/ memutuskan benda objek perikatan; atau
·                Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprstasi,
·                Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
Dalam hal ini keadaan memaksa yang memenuhi unsur satu dan tiga, maka keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar menyebutnya dengan absolute overmacht. Dasarnya ialah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi, karena bendanya lenyap/musnah. Misalnya jual beli lukisan karapan sapi karya Afandi, ketika akan diserahkan kepada pembeli di sebuah hotel, lukisan tersebut terbakar habis bersama-sama mobil yang membawanya karena kecelakaan lalu lintas. Peristiwwa ini mengakhiri perikatan karena tidak mungkin dapat dipenuhi oleh debitur.
BAB III
KESIMPULAN

Para ahli merumuskan perikatan bermacam – macam seperti disebutkan  dibawah ini :
1)             Abdulkadir Muhammad “Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan”.
2)             Soediman Kartohadiprodjo, juga merumuskan perikatan tersebut dengan; “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih,  atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”.
3)             Demikian juga halnya, menurut R.Setiawan, bahwa  “perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum.
Adapun sumber – sumber hukum perikatan terbagi atas :
a)      Perjanjian
·           Tanggung Jawab
·           Perikatan Tanpa Tanggung Jawab
·           Kewajiban Berprestasi Dapat Dipaksakan
b)      Undang – Undang
c)      Kesusilaan
Prestasi dalam Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
  • Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian,
·         Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.



DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Jakarta,1982.


http://audiiayu.wordpress.com/2013/04/14/makalah-hukum-perjanjian/




No comments:

Post a Comment