Tuesday, October 11, 2016

‘Urf Sebagai Dalil Hukum (makalah ekonomi syariah)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali perbuatan itu diulang-ulang hingga dikatakan sebagai a>dah kebiasaan. Akan tetapi semua kebiasaan yang dilakukan manusia tidak semuanya hal-hal yang bersifat baik, namun hal-hal buruk juga menjadi sebuah kebiasaan. Dalam us}ul al-fiqh kebiasaan yang dilakukan berulang kali dan menjadi sebuah kebiasaan dan akhirnya bisa dijadikan sumber hukum dibahas dalam bab a>dah atau ‘urf.
A>dah dan ‘urf  apabila diperhatikan kedua kata itu dari segi asal penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata 'a>dah dari bahasa Arab: ; akar katanya: 'a>da,  ya' u>du mengandung arti perulangan. Sedangkan kata 'urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulangankalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.[1]
Karenaurf dan a>dah ini bisa dijadikan sebagai sumber hukum maka seharusnya a>dah kebiasaan itu tidak berlawanan dengan nas{ al-Qur’an. Selain itu ‘urf dan a>dah  yang bisa dijadikan sumber hukum harus memenuhi beberapa syarat, salah satunya adalah mengandung maslahah dan dapat diterima oleh akal sehat. Tidak semua urf dan kebiasaan yang telah dilakukan berulangkali bisa digunakan sumber hukum. Dan serinring kali dalam kehidupan bermasyarakat banyak sekali kebiasaan/urf yang berlawanan dengan n}ash Berdasarkan hal-hal tersebut maka makalah ini penting untuk dibahas dalam mata kuliah ini. Dalam makalah ini akan membahas mengenai beberapa hal yang akan dirumuskan dalam beberapa rumusan masalah dibawah ini terkait dengan urf sehingga permasalahan ini perlu dikaji agar beberapa masalah diatas bisa diselesaikan.
B.     Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian ‘urf dan bagaimana pembagiannya?
2.         Apa alasan bagi penggunaanurf dalam pemikiran hukum Islam?
3.         Bagaimana perbandingan ‘urf dan a>dah?
4.         Apa kaidah-kaidah ‘urf dan’a>dah dalam us{ul al-fiqh?
5.         Bagaimana penggunaan urf  dan a>dah dalam contoh kasus?
6.         Bagaimana kontroversi tentang Islam Nusantara?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian 'Urf
Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, yang sering diartikan dengan al-ma’ru>f dengan arti “sesutu yang dikenal”.[2] Dalam buku lain disebutkan'urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama us}ul al-fiqh, ‘urf disebut a>dah (adat kebiasaan).[3]  Sedangkan menurut Muhammad Dahlan ‘urf adalah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan baik berupa perkataan, perbuatan, atau tidak melakukan sesuatu.[4]
B.   Macam-macam 'Urf
Ditinjau dari segi sifatnya, 'urf terbagi menjadi dua macam, yakni ‘urf qauwli dan ‘urf amali.
1.      'Urf qauli, ialah 'urf yang berupa perkataan. Kata walad, menurut bahasa berarti anak, mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam 'urf diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun (daging), menurut bahasa berarti daging, mencakup segala macam daging. Tetapi dalam percakapari sehari-hari ('urf) hanya berarti daging binatang darat saja, tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan),
2.      'Urf amali, ialah 'urf berupa perbuatan. Seperti kebiasaan jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan bunyi akad jual beli. Padahal menurut syara', shighat (bunyi) akad jual beli itu merupakan rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan masyarakat melakukan jual beli tanpa s{ighat jual beli dan ternyata tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara' membolehkannya.
Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya sebagai rujukan hukum, 'urf terbagi atas :
1.      'Urf s}ahih, ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara". Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'.[5] 'Urf yang s}ahih terbagi menjadi dua macam, yaitu 'urf ‘a>m (umum) dan 'Urf Khas (khusus).
a)      'Urf 'a>m ialah 'urf  yang telah disepakati masyarakat di seluruh negeri, seperti mandi di kolam, di mana sebagian orang terkadang melihat aurat temannya, dan akad istisna' (perburuhan). Ulama Madzhab Hanafi menetapkan bahwa 'urf ini ('urf ‘a>m) dapat mengalahkan qiyas, yang kemudian dinamakan istihsan 'urf.  'Urf ini dapat mentakhs}is nas} yang 'a>m yang bersifat z{an>i, bukan yang qat}'i. Di antara contoh meninggalkan keumuman dari nash z}ann>i karena adanya 'urf ialah larangan Nabi SAW mengenai jual beli yang disertai dengan adanya syarat. Dalam hal ini, jumhur ulama Madzhab Hanafi dan Maliki menetapkan kebolehan diberlakukannya semua syarat, jika memang berlakunya syarat-syarat itu dipandang telah menjadi 'urf (tradisi).
Akan tetapi apa sesungguhnya 'urf a>m yang dapat mentakhshis nas} 'a>m yang z}ann>i dan dapat mengalahkan qiyas. Dalam hubugan ini, kami temukan alasan yang dikemukakan oleh fuqaha' tentang di tolehkannya meninggalkan qiyas dalam aqad is- tithsna' sebagai berikut: "Menurut qiyas, aqad istithna' tidak diperbo­lehkan. Akan tetapi kami meninggalkan dalil qiyas lantaran akad tersebut telah berjalan di tengah masyarakat tanpa seorang pun yang menolak, baik dari kalangan sahabat, tabi'in, maupun ulama-ulama sesudahnya sepanjang masa. Ini merupakan Hujjah yang kuat yang dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan dalil qiyas" 'urf  seperti itu dibenarkan berdasarkan ijma'. Bahkan tergolong macam ijma' yang paling kuat karena didukung, baik oleh kalangan mujtahid maupun di luar ulama-ulama mujtahid; oleh golongan sahabat maupun orang-orang yang datang, setelahnya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa 'urf 'a>m ialah 'urf yang berlaku di seluruh negeri tanpa memandang kepada kenyataan pada abad-abad yang telah silam.
b)      'Urf h}as, yaitu: 'urf yang dikenal berlaku pada suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu, seperti urf yang berhubungan dengan perda­gangan, pertanian dan lain sebagainnya. 'urf semacam ini tidak boleh berlawanan dengan nas}. Hanya boleh berlawanan dengan qiyas yang illatnya ditemukan tidak melalui jalan yang qat}iy, baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi jelas dan terangnya.[6]
2.      Urf fasid, ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.[7]
C.   Alasan ‘Urf dapat Dijadikan Dalil
Alasan ‘urf dapatbdijadikan dalil adalah sebagai berikut:
1.      Hadits Nabi yang berbunyi:
مارأه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن
"Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka hal itu baik pula di sisi Allah".[8]
Hal ini menunjukkan bahwa segala a>dah kebiasaan yang dianggap baik oleh umat Islam adalah baik menurut Allah; karena apabila tidak melaksanakan kebiasaan tadi, maka akan menimbulkan kesulitan. Dalamkaitan ini, Allah berfirman:
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4  
Dan Allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan agama (al-Hajj: 78).
Imam al-Sarkhasyi dari Madzhab Hanafi di dalam ki­tabnya, al-Masbut}, menyebutkan: "Sesungguhnya yang ditetapkan 'urf, seperti yang ditetapkan dalil nadi". Maksudnya barangkali ialah bahwa segala yang ditetap­kan oleh 'a>dah kebiasaan adalah sama dengan yang dite­tapkan oleh dalil yang berupa nash di dalam masalah-ma­salah yang tidak terdapat nash untuk penyelesaiannya.
2.      Hukum Islam di dalam khitab-nya memelihara hukum- hukum Arab yang maslahat seperti perwalian nikah oleh laki-laki, menghormati tamu dan sebagainya.[9]
3.      'a>dah. kebiasaan manusia baik berupa perbuatan maupun perkataan berjalan sesuai dengan aturan hidup n^anusia dan keperluannya, apabila dia berkata ataupun berbuat sesuai dengan pengertian dan apa yang biasa berlaku pada masyarakat.[10]
Para ulama yang mengamalkan 'urf itu dalam memahami dan mengistibathkan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima 'urf tersebut, yaitu:
a.                   a>dah atau 'urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.
Syarat ini merupakan kelaziman bagi 'a>dah atau 'urf yang s}ahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang ditinggal mati suaminya, dibakar hidup-hidup ber­sama pembakaran jenzah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat. Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular.
b.        'A>dah atau 'urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan 'a>dah itu, atau di kalangan sebagian besar warganya. Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan:
 Sesungguhnya 'a>dah yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka  tidak akan diperhitungkan.”
Umpamanya: kalau alat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat hanya satu jenis mata uang, umpamanya dolar Amerika, maka dalam suatu transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku. Tetapi bila di tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama: berlaku (ini yang dimaksud dengan: kacau), maka dalam transaksi harusdisebutkan jenis matauangnya.[11]
c.         'Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu; bukan 'urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti 'urf  itu harus telah ada sebelum penetapan hukum.
d.        'A>dah tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara' yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.[12]
e.         Tidak berlaku di dalam ibadah mahd}ah.[13]
Urf atau 'a>dah itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri. 'a>dah atau 'urf itu menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma' atau mashlahat. 'a>dah yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama sudah mengamalkannya, berarti secara tidak langsung telah terjadi ijma\ walaupun dalam bentuk sukuti.
Menurut al-Ghazali prosedur ‘urf yang sehat/baik ialah ‘urf yang telah dikenal oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang diharamkan, dan tidak membatalkan semua kewajiban[14]
'A>dah itu berlaku dan diterima orang banyak karena mengandung kemashlahatan. Tidak memakai 'a>dah seperti ini, berarti menolak mashlahat, sedangkan semua pihak telah sepakat untuk mengambil Sesuatu yang bernilai maslahat, meskipun tidak ada nash yang secara langsung mendukungnya.[15]
D.  Perbandingan ‘Urf dan A>dah
Secara umum ‘a>dah adalah sebuah kecenderungan pada suatu obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek pekerjaan yang dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi maupun kelompok[16]. Di antara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata 'a>dah dan 'urf  tersebut, kedua kata itu mutaradif  (sinonim). Seandainya kedua kata itu dirangkaikan dalam suatu kalimat, seperti: "hukum itu didasarkan kepada 'a>dah dan 'urf,  tidaklah berarti kata 'a>dah dan 'urf  itu berbeda maksudnya meskipun digunakan kata sambung "dan" yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan antara dua kata. Karena kedua kata itu memilki arti yang sama, maka dalam contoh tersebut, kata 'urf adalah sebagai penguat terhadap kata 'a>dah.[17]
Bila diperhatikan kedua kata itu dari segi asal penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata 'a>dah dari bahasa Arab: ; akar katanya: 'a>da,  ya' u>du mengandung arti perulangan. Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan 'a>dah. Tentang berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut 'a>dah, tidak ada ukurannya dan banyak tergantung pada bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang lebar dijelaskan al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah  wa  al-Nazha>ir.[18]
Kata 'urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulangankalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini (dari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya karenaperbuatan itu sudah dikenaldan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulangkah. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi perbedannya tidak berarti.[19]
Perbedaan antara kedua kata itu, juga dapat dilihat dari segi kandungan artinya, yaitu: 'a>dah hanya memandang dari segi berulangkalinya suatu perbuatan dilalaikan dan tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut.[20] Jadi kata 'a>dah ini berkonotasi netral, sehingga ada 'a>dah yang baik dan ada 'a>dah yang buruk. Definisi tentang 'a>dah yang dirumuskan Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya us}ul al-fiqh cenderung ke arah pengertian ini, yaitu:
ما أعتداه الناس من معاملات واستثقامت عليه أمورهم
Apa-apa yang dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusan-urusannya.[21]
Kalau kata 'a>dah mengandung konotasi netral, maka 'urf  tidak demikian halnya. Kata 'urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan yaitu diakui, diketahui dan diterima oleh orang banyak. Dengan demikian kata 'urfom mengandung konotasinya baik. Hal ini tampak dalam penggunakan kata 'urf dengan arti ma 'ruf dalam firman Allah, pada contoh di atas. Sejalan dengan pengertian tersebut, Badran mengartikan 'urf itu dengan:
Apa-apa yang dibiasakandan diikuti oleh orang banyak, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan, berulang-tdangdilakukan sehingga berbekas dalam jiwa mereka dan diterirna baik oleh akal mereka.[22]
Musthafa Syalabi tidak melihat perbedaan kedua kata itu dari segi konotasi kandungan artinya (netral dan tidak netral) seperti diuraikan di atas, tetapi dari segi ruang lingkup penggunaannya. Kata ‘urf selalu digunakan untuk jamaah atau golongan, sedangkan kata 'a>dah dapat digunakan untuk sebagian orang di samping berlaku pula untuk golongan. Apa yang telah bisa dilakukan (Menjadi kebiasaan) seseorang, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai a>dah orang itu, namun tidak dapat dikatakan sebagai ‘urf  orang itu.[23]
E.   Kaidah-Kaidah ‘Urf
Di antara kaidah-kaidah al-fiqhiyah yang berhubungan dengan 'urf ialah :
ألعدة محكمة
Artinya: a>dah kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum.[24]

استعمال النس حجة, يجب العمل بها
Artinya: Praktek yang biasa dijalankan adalah dasar hukum yang wajib dipergunakan.
لاينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان
Artinya: Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhubungan) dengan perubahan masa.[25]
F.   Contoh kasus ‘Urf
1.      Tidak bisa diterimanya tuduhan seorang istri apabila telah digauli oleh suaminya, kemudian mengingkari bahwa ia telah menerima mahar dari suaminya, baik sedikit atau banyak. Dalam hal ini, ulama muta'akhirin mengambil fatwa seorang ahli al-fiqh, Abu Laits, yang menganggap batal pengingkaran semacam itu, karena yang demikian adalah mustahil menurut a>dah, dan si suami tidak berkewajiban memenuhi/memberi mahar yang digugat oleh istri­nya. Meskipun bersamaan dengan itu, terdapat kaedah yang menyatakan:[26]
البينة على من ادعى واليمين على من أنكر
Atinya: "Saksi wajib didatangkan oleh pihak penggugat, sedang pengangkat sumpah wajib bagi orang yang mengingkari."
Hal itu mengingat mewabahnya kebohongan dan penging­karan terhadap hak-hak yang sebenarnya telah diterima.
2.      Pembatasan penyewaan tanah wakaf dan harta milik anak yatim. Misalnya, dibatasi selama masa yang tidak lebih dari setahun dalam hal rumah atau toko; dan dibatasi selama tidak lebih dari tiga tahun dalam hal ini tanah pertanian atau perkebunan.
3.      Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masalah persaksian tidak memerlukan pengakuan bersih terhadap para saksi oleh orang yang dapat dipercaya dalam peradilan. Hal ini karena adanya sabda Nabi SAW:
المسلمون عدول بعضهم على بعض
Artinya: "Kaum muslimin adalah orang-orang yang adil, antara sebagian atas dan sebagian yang lain "

Hukum itu memang sesuai bila diterapkan pada masa Abu Hanifah. Akan tetapi setelah menggejala kebohongan di mana- mana, maka diperlukan adanya keterangan bersih diri bagi para saksi itu. Keterangan bersih diri ini oleh kedua murid Abu Hanifah dijadikan syarat dalam persaksian ketika keduannya menyelesaikan kasus masyarakat dalam sebuah pengadilan.[27]
G.  Kontrofersi Islam Nusantara
Pemunculan istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia. Islam Nusantara  mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan 'Islam Arab' telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan penganut Islam di Indonesia. Walaupun dianggap bukan istilah baru, istilah Islam Nusantara belakangan telah dikampanyekan secara gencar oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, NU.[28]
Dalam pembukaan acara Istighosah menyambut Ramadhan dan pembukaan munas alim ulama NU, Minggu (14/06) di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara. Selain itu, Presiden Joko Widodo dalam pidato pembukaan Munas Ulama NU, menyatakan mendukung model Islam Nusantara. Menurutnya, istilah Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Hal ini sering disebutnya "dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras."
Dari pijakan sejarah itulah, NU akan terus mempertahankan karakter Islam Nusantara. Dimana karakter Islam Nusantara  yaitu "Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran." Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya. Said Aqil menegaskan, model seperti ini berbeda dengan apa yang disebutnya sebagai "Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara."[29]
Pemikir Islam Azyumardi Azra mengatakan model Islam Nusantara atau Islam Nusantara dibutuhkan oleh masyarakat dunia saat ini, karena ciri khasnya mengedepankan "jalan tengah". Sektarian di Indonesia itu jauh, jauh lebih kurang dibandingkan dengan sektarianisme yang mengakibatkan kekerasan terus-menerus di negara-negara Arab. Selain itu  bersifat tawasut (moderat), jalan tengah, tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik.[30]
BAB III
KESIMPULAN

A.    'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama us}ul al-fiqh, ‘urf disebut a>dah (a>dah kebiasaan)
B.    Ditinjau dari segi sifatnya, 'urf terbagi menjadi dua macam, yakni ‘urf qauli dan ‘urf amali. Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya sebagai rujukan hukum, 'urf terbagi atas : 'Urf shahih  dan Urf fasid. 'Urf yang S{ahih terbagi menjadi dua macam, yaitu 'Urf Aam (umum) dan 'Urf Khas (khusus).
C.   Alasan ‘urf dapat dijadikan dalil adalah
1.    Hadits Nabi,
2.    Hukum Islam di dalam khitab-nya memelihara hukum- hukum Arab yang maslahat seperti perwalian nikah oleh laki-laki, menghormati tamu dan sebagainya
3.    'A>dah.
Beberapa persyaratan untuk menerima 'urf :
a.    A>dah atau 'urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat
b.    'A>dah atau 'urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan 'a>dah itu, atau di kalangan sebagian besar warganya.
c.    'Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu.
d.    'a>dah tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara' yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.
e.    Tidak berlaku di dalam ibadah mahd}ah.
D.   Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya karenaperbuatan itu sudah dikenaldan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulangkah. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi perbedannya tidak berarti. Perbedaan antara kedua kata itu, juga dapat dilihat dari segi kandungan artinya, yaitu: 'a>dah hanya memandang dari segi berulangkalinya suatu perbuatan dilalaikan dan tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut. 'urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan yaitu diakui, diketahui dan diterima oleh orang banyak.
E.     Di antara kaidah-kaidah al-fiqhiyyah yang berhubungan dengan 'urf ialah :
ألعدة محكمة
Artinya: a>dah kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum.
F.    Salah satu contoh ‘urf adalah tidak bisa diterimanya tuduhan seorang istri apabila telah digauli oleh suaminya.
G.    Kontrofersi istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan 'Islam Arab.



DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1975.

Asmawi. Perbandingan Us}ul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2013.

Dahlan, Muhammad. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras, 2012.

Djazuli. Us}ul Fiqh Metodologi Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000.


Kamali, Muhammad Hashim. Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Perlajar, 1996.

Mun’im, Abdul. Diktat Us}ul al-Fiqh. Ponorogo:Stain Ponorogo, 2007.

Syarifuddin, Amir. Us}{ul Al-fiqh. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.

Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung: PT.al-Ma’arif, 1993.

Zahra, Muhammad Abu. Us}ul al-Fiqh. Jakarta: Kota Firdaus, 2008.

Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta: CV Haji Masagung, 1987.

Zubair, Maimoen. Formulasi Nalar Fiqh. Surabaya: Khalista, 2009.





[1]  Amir Syarifuddin, Us}{ul al-Fiqh (Jakarta, PT Logos Wacana Ilmu, 1999), 364.
[2]  Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Yogyakarta, Pustaka Perlajar, 1996), 270.
[3] Abdul Mun’im, Diktat Us}ul al-Fiqh (Ponorogo, STAIN Ponorogo, 2007), 48.
[4]  Muhammad Dahlan, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Teras, 2012), 148.
[5]  Ibid., 49.
[6] Muhammad Abu Zahra, Us}ul al-Fiqh (Jakarta, Kota Firdaus, 2008), 418.
[7]  Abdul Mun’im, Diklat Us}ul Fiqh, 49.
[8]  Djazuli, Us}ul Fiqh Metodologi Hukum Islam (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2000) 186.
[9]  Ibid., 187.
[10]  Ibid.
[11]  Amir Syarifuddin, Us}{ul al-Fiqh (Jakarta, PT Logos Wacana Ilmu, 1999), 367.
[12]  Ibid., 377.
[13]  Djazuli, Us}ul Fiqh 187.
[14]  Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah (Jakarta, CV Haji Masagung, 1987), 86.
[15]  Amir Syarifuddin, Us}{ul al-Fiqh, 378.
[16]  Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh (Surabaya: Khalista, 2009), 247.
[17]  Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1975), 310.
[18]  Amir Syarifuddin, Us}{ul al-Fiqh,363.
[19]  Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Bandung, PT.al-Ma’arif, 1993), 88.
[20]  Asmawi, Perbandingan Us}ul Fiqh (Jakarta, Amzah, 2013). 161.
[21]  Amir Syarifuddin, Us}{ul al-Fiqh, 364.
[22]  Ibid.
[23]  Amir Syarifuddin, Us}{ul Al-fiqh, 365.
[24]  Abdul Mun’im, Diktat Us}ul Fiqh, 50.
[25]  Ibid.
[26]  Muhammad Abu Zahra, Us}ul al-Fiqh, 421.
[27]  Muhammad Abu Zahra, Us}ul al-Fiqh, 422.
[29]  Ibid.
[30]  Ibid.,

No comments:

Post a Comment