Wednesday, October 5, 2016

Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah (Sejarah Pemikiran Ekonomi)

PENDAHULUAN

A.           Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah ( 661-728 H / 1263-1328 M ).
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.[1]
Berkat kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadis, fiqh, matematika, dan filsafat. Gurunya berjumlah 200 orang, diantaranya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khair, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir. Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya, Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa.
Karena Ibnu Taimiyah sangat dihormati oleh banyak orang, membuat sebagian yang lain merasa iri dan berusaha menjatuhkan dirinya. Sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak 4 kali. Meskipun didalam penjara ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti untuk menghasilkan karya. Ibnu Taimiyah meninggal pada tanggal 26 Desember 1328 M (20 Dzul Qaidah 728 H). Jenazahnya disholati oleh orang-orang yang yang menyukainya maupun membencinya. Sebagai bentuk penghargaan terakhir bagi ulama besar yang telah mengeluarkan karya agung bagi umat muslim maupun umat manusia.[2]



PEMBAHASAN
Banyak sekali pembahasan ibnu Taimiyah mengenai sistem ekonomi yang berkembang di masyarakat. Mulai pandangan beliau mengenai pasar, hak milik, bunga, organisasi, hingga kebijakan ekonomi negara, maka kami memfokuskan pembahasan makalah ini seputar harga yang adil, mekanisme pasar dan regulasi harga.

1.             Harga Yang Adil
Konsep harga yang adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-Qur’an sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW, menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, Ibnu Taimiyah seringkali menggunakan dua istilah, yakni kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ia menyatakan, “Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan inilah esensi keadilan (nafs al-‘adl)”.
Di tempat yang lain, ia membedakan antara dua jenis harga, yakni harga yang tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah mengganggap harga yang setara sebagai harga yang adil. Oleh karena itu, ia menggunakan kedua istilah ini secara bergantian.
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensasi yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum.
Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl), Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan adalah jumlah yang sama dari objek khusus dimaksud dalam pemakaian yang umum (urf). Hal ini juga terkait dengan tingkat harga (si’r) dan kebiasaan (‘adah). Lebih jauh, ia mengemukakan bahwa evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara.
Ibnu Taimiyah membedakan antara legal-etik dengan aspek ekonomi dari suatu harga yang adil. Ia menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal-etik dan harga yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Ia menyatakan, “Sering kali terjadi ambiguitas di kalangan para fuqaha dan mereka saling berdebat tentang karakteristik dari suatu harga yang setara, terutama yang berkaitan dengan jenis (jins) dan kuantitas (miqdar)”.
Karena merupakan sebuah konsep hukum dan moral, Ibnu Taimiyah mengemukakan konsep kompensasi yang setara berdasarkan aturan hukum yang minimal harus dipenuhi dan aturan moral yang sangat tinggi. Ia menyatakan, “Mengompensasikan suatu barang dengan yang lain yang setara merupakan keadilan yang wajib (‘adl wajib) dan apabila pembayaran yang dilakukan secara sukarela itu dinaikkan, hal tersebut adalah jauh lebih baik dan merupakan perbuatan baik yang diharapkan (ihsan mustahab). Namun, jika mengurangi kompensasi tersebut, maka hal tersebut adalah kezaliman yang diharamkan (zhulm muharram). Begitu pula halnya menukar barang yang cacat dengan yang setara merupakan keadilan yang diperbolehkan (‘adl jaiz). Meningkatkan kerusakannya justru melanggar hukum (muharram) dan menguranginya merupakan perbuatan baik yang diharapkan (ihsan mustahab)”.
Tentang perbedaan antara kompensasi yang setara dengan harga yang adil, ia menjelaskan, “Jumlah yang tertera dalam suatu aka ada dua macam. Pertama, jumlah yang telah dikenal baik di kalangan masyarakat. Jenis ini telah dapat diterima secara umum. Kedua, jenis yang tidak lazim sebagai akibat dari adanya peningkatan atau penurunan kemauan (rughbah) atau faktor lainnya. Hal ini dinyatakan sebagai harga yang setara”.
Tampak jelas bagi Ibnu Taimiyah bahwa kompensasi yang setara itu relatif merupakan sebuah fenomena yang dapat bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Berbeda halnya dengan konsep kompensasi yang setara, persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi harga yang sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa harga yang setara adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan penawaran.

2.             Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jeli dalam suatu pasar bebas tentang penentuan harga oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ia mengemukakan, “Naik dan turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-orang tertentu. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan penawaran turun, harga akan naik. Di sisi lain, apabila persediaan barang meningkat dan permintaan terhadapnya menurun, harga pun akan turun. Kelangkaan atau kelimpahan ini bukan disebabkan oleh tindakan orang-orang tertentu. Ia bisa jadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak mengandung kezaliman, atau terkadang ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman. Hal ini adalah kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan di hati manusia.”
Lebih jauh lagi ia mengemukakan bahwa penetapan harga yang dilakukan pemerintah dengan cara menghilangkan keuntungan  para pedagang akan menyebabkan terjadinya kerusakan harga, penyembunyian barang oleh para pedagang serta rusaknya kesejahteraan masyarakat.
Ibnu Taimiyah telah membahas pentingnya suatu persaingan dalam pasar yang bebas (free market), peranan “market supervisor” dan lingkup dari peranan negara. Negara harus mengimplemetasikan aturan main yang islami sehingga produsen, pedagang, dan para agen lainnya dapat melakukan transaksi secara jujur dan fair. Negara juga harus menjamin pasar berjalan secara bebas dan terhindar dari praktek-praktek pemaksaan, manipulasi dan eksploitasi yang memanfaatkan kelemahan pasar, sehingga persaingan dapat berjalan seacara sehat.[3]
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan yang juga berimplikasi terhadap harga, diantaranya:
a.       Keinginan masyarakat (rughbah) terhadap berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah.
b.      Jumlah peminat (tullah) terhadap suatu barang.
c.       Lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan.
d.      Kualitas pembeli.
e.       Jenis uang yang digunakan dalam transaksi.
f.       Tujuan transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal diantara kedua belah pihak.
g.      Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual.[4]

3.             Regulasi Harga
Ibnu Taimiyah membedakan “dua tipe penetapan harga, tak adil dan tak sah serta adil dan sah.” Penetapan harga yang tak adil dan dilarang berlaku atas naiknya harga akibat kompetisi kekuatan pasar yang bebas mengakibatkan terjadinya kekurangan suplai atau menaikkan permintaan.
Menurutnya, “memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidak-adilan itu dilarang.” Ini berarti, penduduk memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memasuki atau atau keluar dari pasar. Ibnu Taimiyah mendukung pengesampingan elemen monopolistik dari pasar dan karena itu ia menentang kolusi apapun antara orang-orang profesional atau kelompok para penjual dan pembeli.
Tetapi disaat terjadi ketidak-sempurnaan pasar atau bahkan keadaan darurat (bencana alam, bencanna kelaparan, perang, dsb), Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah dan memaksa penjualan bahan-bahan dagang pokok, seperti makanan sehari-hari. Ia berkata, “Inilah saatnya pemegang otoritas untuk memaksa seseorang menjual barang-barangnya pada harga yang jujur (harga yang adil), jika penduduk sangat membutuhkannya.” Namun disaat kondisi stabil, maka penetapan/pengawasan harga oleh pemerintah ini justru akan menghambat peredaran barang yang berakibat merugikan penduduk (pembeli).
Meskipun dalam berbagai kasus diperbolehkan mengawasi harga, tapi dalam seluruh kasus tak disukai keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga. Mereka boleh melakukannya setelah melalui perundingan (musyawarah), diskusi, dan konsultasi dengan penduduk yang berkepentingan. Sehingga dapat dicapai kesepakatan harga yang dapat diterima leh semua pihak.[5]
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi. Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Vol. 3. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010.

Anto Hendrie, M.B, Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonosia, 2003

Islahi, A. A. Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997.

  




[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Vol. 3 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 351.
[2] A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), 67-70.
[3] Hendri Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami (Yogyakarta: Ekonosia, 2003), 77.
[4] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 260.
[5] A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), 111.

No comments:

Post a Comment