Thursday, October 6, 2016

KONSEP KHILAFAH DALAM ISLAM (Hadist Ahkam II)

PEMBAHASAN

1.       Pengertian Khilafah dan Imarah

  1. Khilafah adalah mengandung arti “perwakilan”, “pergantian”, atau “jabatan khalifah”. Istilah ini berasal dari kata Arab, “khalf”, yang “wakil”, “pengganti”, dan “penguasa”. Secara istilah, khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua  rukun, yaitu konsensus elit politik (ijma’) dan pemberian legitimasi (bay’ah). Karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam, cara yang digunakan dengan memilih pemimpin yang ditetapkan oleh elit politik. Setelah itu baru dibai’at oleh para rakyatnya. Cara demikian, menurut Harun Nasution tidak merupakan bentuk kerajaan, tetapi lebih cenderung  pada republik. Dalam arti, kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun-temurun.[1]. 
  2. Munawir Sjadzali, dengan mengutip pendapat Mawardi mengatakan bahwa imamah adalah khalifah, sultan, atau kepala negara. Dengan demikian menurut Munawir, Mawardi memberikan juga bagi agama kepada jabatan  kepala negara disamping baju politik. Adapun Taqiyyudin an Nabhani menyamakan antara imamah dengan khilafah.
Istilah Imamah muncul pertama kali dalam pemikiran politik Islam tentang kenegaraan yaitu setelah Nabi saw wafat  632 M. Selanjutnya konsep ini berkembang menjadi pemimpin dalam shalat, dan kemudian berkembang lagi menjadi pemimpin religio-politik (religious-political leadership) seluruh komunitas muslim, dengan tugas yang telah diembankan Tuhan kepadanya, yaitu memimpin komunitas tersebut memenuhi perintah-perintahNya.[2]

2.                  Antara Khilafah dan Imarah
Dalam banyak hadis shahih memang ada pembahasan kepemimpinan dalam pengertian umum. Kepemimpinan dalam arti umum ini disebut dengan istilah Imârah, Qiyâdah, atau Ri’âsah. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menerangkan, “Imarah (kepemimpinan) itu lebih umum, sedangkan Khilafah itu lebih khusus, dan keduanya adalah kepemimpinan (ri’âsah). Kata Khilafah digunakan khusus untuk suatu kedudukan yang sudah dikenal, sedangkan kata Imarah digunakan secara umum untuk setiap-tiap pemimpin (amir).” (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah, II/125).
Hadis tentang Imarah, misalnya, sabda Nabi saw.:
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ بَحْرِ بْنِ بَرِّىٍّ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَجْلاَنَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ ».
“Jika keluar tiga orang dalam sebuah perjalanan, hendaklah satu orang dari mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud).
Dengan menggunakan aplikasi al-Maktabah al-Syamilah dapat dicari dengan lafadz فَلْيُؤَمِّرُوا ditemukan hadist tersebut ada pada kitab Sunan Abu Daud باب في القوم   Juz 8 pada halaman 54 dan 55.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kepemimpinan dalam arti yang umum, memang juga diterangkan dalam Islam, namun istilahnya bukan Khilafah atau Imamah, seperti khayalan dan tipuan Ulil, melainkan Imarah. Imarah inilah yang  bersifat umum sehingga mencakup kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan sebagainya. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi][3]
3.                  Syarat-Syarat Khalifah
a.         Syarat In’iqad (syarat sah pengangkatan khalifah).
1.                   Muslim. Allah SWT berfirman :
3 `s9ur Ÿ@yèøgs ª!$# tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y ÇÊÍÊÈ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin.” (QS. An Nisa’: 141)
Khalifah esensinya merupakan seorang waliyul amri, sedangkan Allah mensyaratkan agar waliyul amri kaum muslimin itu adalah seorang muslim. Allah SWT berfirman :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (
“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’:59)[4]
2.    Laki-Laki. Berdasarkan hal ini wanita tidak bisa menjadi khalifah. Berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh abu Bakar yang mengatakan :
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال
 : لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه و سلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه و سلم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال ( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة )
“Sungguh Allah SWT telah memberiku manfaat dari—kata-kata yang pernah ku dengar dari Rasulullah saw—pada saat perang Jamal, aku hampir saja mengikuti tentara Jamal (yang dipimpin oleh Aisyah yang mengendarai unta) dan berperang di pihak mereka”. Lalu ia melanjutkan: “Ketika sampai berita kepada Rasulullah saw bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda, “ Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.”[5]
Hadist tersebut kami lacak dengan menggunakan aplikasi al-Maktabah Al-Syamilah ditemukan hadist tersebut terdapat pada kitab صحيح بخارى pada باب كتاب النبى   Juz 4 halaman 1610.

3.    Baligh. Berdasarkan riwayat Imam Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwa Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ عَنْ أَبِى الأَحْوَصِ ح وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ - الْمَعْنَى - عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِى ظَبْيَانَ - قَالَ هَنَّادٌ - الْجَنْبِىِّ قَالَ أُتِىَ عُمَرُ بِامْرَأَةٍ قَدْ فَجَرَتْ فَأَمَرَ بِرَجْمِهَا فَمَرَّ عَلِىٌّ رضى الله عنه فَأَخَذَهَا فَخَلَّى سَبِيلَهَا فَأُخْبِرَ عُمَرُ قَالَ ادْعُوا لِى عَلِيًّا. فَجَاءَ عَلِىٌّ رضى الله عنه فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَبْرَأَ ». وَإِنَّ هَذِهِ مَعْتُوهَةُ بَنِى فُلاَنٍ لَعَلَّ الَّذِى أَتَاهَا أَتَاهَا وَهِىَ فِى بَلاَئِهَا. قَالَ فَقَالَ عُمَرُ لاَ أَدْرِى. فَقَالَ عَلِىٌّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَأَنَا لاَ أَدْرِى.
 Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas tiga orang: Anak kecil hingga mencapai akil baligh, orang yang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga akalnya kembali.”
Hadist ini kami Takhrij dengan menggunakan aplikasi yang sama dengan menggunakan lafadz الْمَعْتُوهِ حَتَّى  terdapat dalam kitab Sunan Abu Daud  باب فى المجنون Juz 13 halaman 58.
Dalil lain mengenai tidak bolehnya khalifah dijabat oleh anak kecil adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary:
“Dari Abi ‘Aqil Zuhrah bin Ma’bad dari kakeknya, Abdullah bin Hisyam. Dia hidup pada masa Nabi saw dan pernah diajak oleh ibunya, Zainab binti Humaid kepada Rasulullah saw. Dia (Ibu Hisyam) berkata: “Wahai Rasulullah, baiatlah dia.” Nabi saw menjawab: “Dia masih kecil.” Lalu beliau mengusap kepalanya, dan mendo’akannya.”[6]

4.      Berakal. Tidak sah orang gila diangkat menjadi khalifah berdasarkan hadits Nabi saw:
حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى ، وَعَفَّانُ ، وَرَوْحٌ ، قَالُوا : حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ ، عَنْ حَمَّادٍ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ الأَسْوَدِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ ، قَالَ عَفَّانُ : وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ ، وَقَدْ قَالَ حَمَّادٌ : وَعَنِ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ ، وَقَالَ رَوْحٌ : وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ.

“telah diangkat pena itu atas tiga orang : orang gila, yang hilang kesadarannya hingga sembuh. Orang tidur hingga bangun. Dan anak kecil hingga bermimpi keluar sperma (baligh).”
Hadist ini kami Takhrij pada aplikasi al-Maktabah al-Syamilah dan terdapat pada kitab hadist sebagai berikut:
الصفحاة
الجزء
الباب
الكتاب
885
2
الشركة فى
صحيح بخارى
2636
6
بيعة الصغير
صحيح بخاري
1487
3
المبايعة بعد
صحيح مسلم
57
9
فى البيعة
سنن ابو داود
430
3
المجلد الثالث
مسند احمد
468
3
المجلد الثالث
مسند احمد
233
4
المجلد الرابع
مسند احمد

5.    Adil. Yaitu orang yang konsisten menjalankan agamanya (bertakwa dan menjalankan muru’ah). Allah swt telah mensyaratkan pada seorang saksi dengan syarat ‘adalah (adil) dengan firmanNya:
(#rßÍkô­r&ur ôursŒ 5Aôtã óOä3ZÏiB
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil dari kamu.” (QS. At Thalaq: 2).
Kedudukan seorang khalifah tentu saja lebih tinggi daripada seorang saksi. Karena itu, tentu lebih utama dia memiliki syarat adil. Sebab kalau kepada seorang saksi saja ditetapkan syarat adil, apalagi bagi seorang khalifah.
6.    Merdeka. Seorang hamba sahaya tidak sah menjadi seorang khalifah, karena dia adalah milik tuannya, sehingga ia tidak memiliki wewenang untuk mengatur bahkan terhadap dirinya sendiri.
7.    Mampu melaksanakan amanat Khalifah. Tidak sah baiat kepada seseorang yang tidak sanggup mengemban urusan umat (amanat khalifah) berdasarkan Kitab dan Sunnah.
b.         Syarat Afdhaliyah (Syarat Keutamaan)
Syarat Afdhaliyah merupakan syarat keutamaan pengangkatan seseorang menjadi khalifah. Syarat Afdhaliyah ini bisa ditetapkan jika didukung oleh nash-nash yang shahih atau termasuk kategori hukum yang ditetapkan dengan nash yang shahih pula. Sebab menetapkan syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh orang yang hendak diangkat menjadi khalifah harus didukung oleh dalil yang mengandung tuntutan yang tegas, yang mengisyaratkan wajibnya syarat tersebut. Oleh karena itu, jika suatu dalil tidak mengandung perintah yang tegas, maka persyaratan itu akan menjadi Syarat Afdhaliyah, bukan Syarat In’iqad.
Atas dasar tersebut, tidak disyaratkan secara wajib bahwa seorang khalifah harus seorang yang pemberani dan politikus ulung yang hebat dalam mengatur urusan rakyat dan kepentingan lain, sebab tidak ada hadits yang menjelaskan hal itu.
حدثنا أبو اليمان أخبرنا شعيب عن الزهري قال كان محمد ابن جبير بن مطعم يحدث
 : أنه بلغ معاوية وهو عنده في وفد من قريش أن عبد الله بن عمرو بن العاص يحدث أنه سيكون ملك من قحطان فغضب معاوية فقام فأثنى على الله بما هو أهله ثم قال أما بعد فإنه بلغني أن رجالا منكم يتحدثون أحاديث ليست في كتاب الله تعالى ولا تؤثر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم فأولئك جهالكم فإياكم والأماني التي تضل أهلها فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( إن هذا الأمر في قريش لا يعاديهم أحد إلا كبه الله على وجهه ما أقاموا الدين )
“Sesungguhnya urusan kekuasaan ini ditangan orang Quraisy, tiada seorangpun yang memusuhi mereka, kecuali pasti Allah akan membuatnya jatuh tersungkur, selama mereka masih menegakkan (hukum-hukum) agama ini.”
Hadist ini kami takhrij dengan menggunakan aplikasi maktabah syameela dengan menggunakan lafadz الأمر في قريش dan terdapat di dalam kitab sebagai berikut:
الصفحة
الجزء
الباب
الكتاب
1289
3
مناقب قريش
صحيح بخارى
1290
3
مناقب قريش
صحيح بخارى
1611
6
الامر من قريش
صحيح بخارى
2612
6
الامر من قريش
صحيح بخارى
1451
3
الناس تبع لقريش
صحيح مسلم
1452
3
الناس تبعع لقريش
صحيح مسلم
29
2
المجلد الثنى
مسند احمد

Maksud nash ini adalah bahwa kekuasaan berada ditangan oarang Quraisy dan dibenarkan pula berada selain mereka, sebab Rasulullah SAW pernah mengangkat Abdullah bin Rawahah, Zaid bin Haritsah dan Usamah bin Zaid menjadi Amir. Padahal mereka bukan orang Quraisy. Dengan demikian syarat Quraisy adalah syarat keutaman bukan syarat sahnya pengangkatan seorang khalifah.[7]
4.                  Kedudukan Imam atau Khalifah.
Imam hanyalah seseorang yang dipilih oleh umat untuk menjadi mandataris dan menangani kepentingan serta kebutuhan umat. Islam tidak mengenal adanya kedudukan istimewa seorang imam atau khalifah terhadap umatnya. Yaitu suatu kedudukan yang membuatnya tidak memerlukan nasihat, bimbingan, dan bebas dari kewajiban-kewajiban tertentu yang berlaku kepada umatnya. Akan tetapi setiap umat dalam pandangan Islam mempunyai kewajiban dan hak yang sama.
Khalifah, dalam pandangan Islam sama sekali tidak mempunyai sifat Ketuhanan walaupun sedikit. Dia bukanlah manusia “kudus” dan bebas dari dosa dalam pandangan kaum muslimin, tidak memiliki wewenang tunggal untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Khalifah semacam ini oleh agama tidaklah diberi suatu keistimewaan mengenai pemahamannya terhadap Al-Qur’an dan hukum-hukumnya dan tidak pula ditempatkan pada kedudukan istimewa. Akan tetapi ia sama dengan para penuntut ilmu lainnya. Kelebihannya terletak pada kecemerlangan pikiran dan lebih banyak benarnya di dalam menetapkan hukum.
Seorang khalifah ditaati selama ia berpegangi pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, sedangkan kaum muslimin melakukan kontrol terhadapnya. Jika keliru, maka dia diluruskan. Dan jiika tersesat, ia diberi nasihat dan peringatan. Karena tidak boleh ada ketaatan pada makhluk dalam perbuatan mendurhakai Allah. Akan tetapi jika ia telah meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di dalam tindakan-tindakannya, maka umat wajib menggantinya dengan orang lain, selama usaha penggantiannya tiodak menimbulkan bahaya lebih besar.[8]


KESIMPULAN
1.      Pengertian Khilafah dan Imamah.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Sedangkan  imamah adalah khalifah, sultan, atau kepala negara. Dengan demikian menurut Munawir, Mawardi memberikan juga bagi agama kepada jabatan  kepala negara disamping baju politik. Adapun Taqiyyudin an Nabhani menyamakan antara imamah dengan khilafah.
2.      Antara Khilafah dan Imarah.
Dalam banyak hadis shahih memang ada pembahasan kepemimpinan dalam pengertian umum. Kepemimpinan dalam arti umum ini disebut dengan istilah Imârah, Qiyâdah, atau Ri’âsah. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menerangkan, “Imarah (kepemimpinan) itu lebih umum, sedangkan Khilafah itu lebih khusus, dan keduanya adalah kepemimpinan (ri’âsah). Kata Khilafah digunakan khusus untuk suatu kedudukan yang sudah dikenal, sedangkan kata Imarah digunakan secara umum untuk setiap-tiap pemimpin (amir).”
3.      Syarat-syarat khalifah.
a.       Syarat In’iqad
1.      Muslim.
2.      Laki-laki.
3.      Baligh.
4.      Berakal.
5.      Adil.
6.      Merdeka.
7.      Mampu melaksanakan amanat khalifah.
b.      Syarat Afdhaliyah diantaranya boleh seorang khalifah diangkat dari seseorang yang berasal dari bangsa Quraisy maupun dari bangsa atau kaum yang lain.
4.      Kedudukan Imam atau Khalifah.
Imam hanyalah seseorang yang dipilih oleh umat untuk menjadi mandataris dan menangani kepentingan serta kebutuhan umat. Islam tidak mengenal adanya kedudukan istimewa seorang imam atau khalifah terhadap umatnya. Yaitu suatu kedudukan yang membuatnya tidak memerlukan nasihat, bimbingan, dan bebas dari kewajiban-kewajiban tertentu yang berlaku kepada umatnya. Akan tetapi setiap umat dalam pandangan Islam mempunyai kewajiban dan hak yang sama.


[1] Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, (Yayasan Indonesiatera: Magelang, 2001), 30.
[2] Ibid, 32.
[4] Abdul Qadim Zalllum, Sistem Pemerintahan Islam, (Bangil: Al-Izzah, 2002), 55.
[5] Ibid, 56.
[6] Zallum, 57.
[7] Zallum, 61
[8][8] Yusuf Musa, Nidzamul Hukmi fil Islam, (Kairo: Maktabah Dar  At-Turats , 1963), 140-141. 

No comments:

Post a Comment