ASAS HUKUM WARIS ISLAM
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembagian harta warisan
merupakan amalan yang harus segera dilakukan bagi ahli waris. Dalam pembagian
warisan tidak hanya membahas siapa saja yang menjadi ahli waris dari
peninggalan mawaris. Dalam hal ini membahas mengenai prinsip-prinsip dasar
sebelum pembagian harta warisan. Ada beberapa pertimbangan yang menjadi prinsip
dasar dalam hal kewarisan. Sehingga pihak ahli waris mendapatkan sesuai dengan
haknya.
Dalam beberapa
pandangan para ahli waris ada beberapa hal yang menjadi prinsip dasar dalam pembagian
warisan. Seperti halnya sebuah peraturan yang harus ditaati, pembagian warisan
memiliki aturan sendiri. Sebagai contoh, ada prinsip paksaan dalam asas
kewariasan yang berlaku.
Islam sangat menjunjung
tinggi asas keadilan dalam pembagian warisan. Sehingga dalam pembagian warisan,
semua pihak tidak ada yang merasa dirugikan.Dan mendapatkan porsi sesuai kebutuhan
dirinya dan tanggungannya.
PEMBAHASAN
Dalam Hukum Kewarisan
Islam atau yang lazim disebut ilmu faraidh, segala hal yang
menyangkut ahli waris maupun harta peninggalan mawaris. Dan permasalahan pealihan
harta kekayaan mawaris semuanya diatur secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi. Sebagai hukum agama yang berasal dari Allah swt. hukum pembagian warisan
mengandung beberapa asas yang berlaku bagi ahli waris.
Adapun asas-asas yang
berlaku dalam Hukum Kewarisan Islam adalah sebagai berikut :
A.
Asas
Ketauhidan
Asas pertama yang
menjadi dasar pembagian harta warisan adalah asas ketauhidan atau prinsip
ketuhanan. Prinsip ini didasarkan pada pandangan bahwa, pembagian harta warisan
harus didasarkan pada keimanan yang kuat kepada Allah swt. jika tidak demikian,
tidak akan ada seorangpun yang akan bersedia melaksanakan sesuai dengan aturan
yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan
umat islam harus taat kepada Allah dan Rasulnya sebagai berikut :
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# ¼ã&s!qßuur wur (#öq©9uqs? çm÷Ytã óOçFRr&ur tbqãèyJó¡n@ ÇËÉÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu
berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS.
Al-Anfaal: 20)
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS:Al-Anfaal: 7)
Dan masih banyak ayat Al-Qur’an yang menekankan bahwa asas tauhid
mesti didahulukan sebelum pembagian harta warisan.
Ayat-ayat diatas menetapkan bahwa mentaati Allah mesti dibarengi
dengan mentaati Rasulullah. Sunnah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah
merupakan contoh teladan yang telah sesuai dengan Al-Qur’an, sehingga tidak
mungkin ditemukan kecacatan yang menyebabkan tidak relevannya antara Sunnah dan
Al-Qur’an.[1]
B.
Asas Ijbari
Dalam
hukum peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada yang masih hidup
berlaku dengan sendirinya tanpa ada paksaan dari yang akan meninggal maupun
yang akan menerima. Makna “Ijbari” memiliki arti bahwa semua perbuatan
seorang hamba, bukanlah kehendak hamba tersebut melainkan kehendak dan
kekuasaan Allah. [2]
Peralihan
harta dari orang yang telah meninggal kepada ahli waris berlaku dengan
sendirinya, tidak ada individu maupun lembaga yang mengatur yang dapat
menangguhkan pemindahan tersebut. Peralihan harta tersebut semata-mata karena
kematian orang yang memiliki harta. Dengan kata lain asas berlaku selagi orang
tersebut telah meninggal dunia, dan tidak berlaku bila yang memiliki masih hidup.
C.
Asas Bilateral-Individual
Mengenai asas bilateral ini membicarakan peralihan kemana harta itu
dikalangan ahli waris. Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa
harta beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti orang yang menerima
hak kewarisan dari kedua pihak kerabat, yaitu dari pihak ayah maupun pihak ibu.
Pengertian individual dalam asas ini memliki makna bahwa harta
peninggalan pewaris dapat dimiliki perorangan oleh ahli warisnya, bukan
dimiliki secara kolektif.
Dengan demikian pengertian bilateral individual adalah asas bahwa
setiap laki-laki dan perempuan dapat menerima hak kewarisan dari pihak ayah
maupun pihak ibu. Harta bagian dapat dimiliki secara individual sesuai dengan
porsi yang telah ditetapkan.[3]
D.
Asas Keadilan Berimbang
Dalam hal masalah kewarisan prinsip ini memiliki makna bahwa antara
pihak laki-laki maupun perempuan memiliki persamaan hak mendapatkan harata
warisan yang sama kuat. Namun, keadilan disini tidak meiliki arti bahwa
laki-laki dan perempuan mendapatkan porsi yang sama dalam pembagian harta
warisan. Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak,
memang tidak memiliki kesamaan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak
adil, karena pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang diterima
tetapi juga dikaitkan dengan kebutuhan dan kegunaan.
Secara umum, dapat dikatakan laki-laki membutuhkan lebih banyak
materi dibandingkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan pria (dalam ajaran
Islam) memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap
keluarganya. Sebagaiman tercantum dalam surat an-Nisaa’:
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr&
Artinya
: “. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)” (QS:An-Nisaa’: 34)
E.
ASAS KEMATIAN
Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal
dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian
seseorang. Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang
kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai
harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada
orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta
itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih
hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah
kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.[4]
F.
Asas Persamaan Hak dan Perbedaan Bagian
Asas persamaan dalam hukum Islam adalah persamaan hak mewarisi
harta ibu bapak dan kerabatnya, persamaan ini dapat dilihat dari jenis kelamin
dan usia tiap-tiap ahli waris. Antara laki-laki dan perempuan sama-ama berhak
untuk mewarisi harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, begitu juga antara
orang dewasa dan anak-anak.
Perbedaan antara waris
terletak pada porsi bagian yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Perbedaan ini disesuaikan dengan perbedaan beban kewajiban yang harus
ditunaikan dalam keluarga. Laki-laki mendapatkan porsi yang lebih besar dari
perempuan, sebab laki-laki memikul beban tanggungan bagi dirinya dan juga
keluarganya. Sedangkan anak mendapatkan bagian lebih banyak daripada orang tua,
sebab anak memikul kewajiban pelanjut orang tua untuk meneruskankehendak,
kebutuhan, cita-cita dan eksistensi keluarga.[5]
KESIMPULAN
Asas-asas
yang menjadi landasan hukum dibagikanny warisan terdapat enam bentuk :
1.
Asas Ketauhidan
2.
Asas Ijbari
3.
Asas Bilateral-Individual
4.
Asas Keadilan Berimbang
5.
Asas Kematian
6.
Asas Persamaan Hak dan Perbedaan Bagian
Keenam bentuk asas hukum kewarisan diatas memiliki keterkaitan yang
saling melengkapi antara satu dan juga yang lainnya.
Daftar Pustaka
Anshori, Abdul
Ghofur. Filsafat Hukum Kewarisan Islam. Yogyakarta: UII
Press, 2005.
Saebani, Beni
Ahmad. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Syarifuddin,
Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004.
No comments:
Post a Comment