PENDAHULUAN
A.
Riwayat Hidup
Ibnu Taimiyah ( 661-728
H / 1263-1328 M ).
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap
Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari
1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan
tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan
penulis sejumlah buku.[1]
Berkat kecerdasan dan kejeniusannya,
Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah
mata pelajaran, seperti tafsir,
hadis, fiqh, matematika, dan filsafat. Gurunya berjumlah 200
orang, diantaranya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khair, Ibn
Abi Al-Yusr, dan Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir. Ketika berusia 17 tahun,
Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya, Syamsuddin Al-Maqdisi,
untuk mengeluarkan fatwa.
Karena Ibnu Taimiyah sangat dihormati
oleh banyak orang, membuat sebagian yang lain merasa iri dan berusaha
menjatuhkan dirinya. Sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa
tahanan sebanyak 4 kali. Meskipun
didalam penjara ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti untuk menghasilkan karya. Ibnu
Taimiyah meninggal pada tanggal 26 Desember 1328 M (20 Dzul Qaidah 728 H).
Jenazahnya disholati oleh orang-orang yang yang menyukainya maupun membencinya.
Sebagai bentuk penghargaan terakhir bagi ulama besar yang telah mengeluarkan
karya agung bagi umat muslim maupun umat manusia.[2]
PEMBAHASAN
Banyak sekali
pembahasan ibnu Taimiyah mengenai sistem ekonomi yang berkembang di masyarakat.
Mulai pandangan beliau mengenai pasar, hak milik, bunga, organisasi, hingga
kebijakan ekonomi negara, maka kami memfokuskan pembahasan makalah ini seputar
harga yang adil, mekanisme pasar dan regulasi harga.
1.
Harga Yang Adil
Konsep harga yang adil pada hakikatnya
telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-Qur’an sendiri sangat
menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu,
adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar,
khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW, menggolongkan riba
sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Dalam membahas persoalan yang berkaitan
dengan harga, Ibnu Taimiyah seringkali menggunakan dua istilah, yakni
kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl)
dan harga yang setara (tsaman al-mitsl).
Ia menyatakan, “Kompensasi yang setara
akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan inilah esensi keadilan (nafs al-‘adl)”.
Di tempat yang lain, ia membedakan
antara dua jenis harga, yakni harga yang tidak adil dan dilarang serta harga
yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah mengganggap harga yang setara sebagai
harga yang adil. Oleh karena itu, ia menggunakan kedua istilah ini secara
bergantian.
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi
yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak
sama dengan harga yang adil (tsaman
al-mitsl). Persoalan tentang kompensasi yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas
persoalan kewajiban moral dan hukum.
Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara
(‘iwadh al-mitsl), Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan adalah jumlah yang sama dari
objek khusus dimaksud dalam pemakaian yang umum (urf). Hal ini juga terkait dengan tingkat harga (si’r) dan kebiasaan (‘adah). Lebih jauh, ia mengemukakan
bahwa evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi
dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara.
Ibnu Taimiyah membedakan antara
legal-etik dengan aspek ekonomi dari suatu harga yang adil. Ia menggunakan
istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal-etik dan harga
yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Ia menyatakan, “Sering kali terjadi ambiguitas di kalangan
para fuqaha dan mereka saling berdebat tentang karakteristik dari suatu harga
yang setara, terutama yang berkaitan dengan jenis (jins) dan kuantitas (miqdar)”.
Karena merupakan sebuah konsep hukum dan
moral, Ibnu Taimiyah mengemukakan konsep kompensasi yang setara berdasarkan
aturan hukum yang minimal harus dipenuhi dan aturan moral yang sangat tinggi.
Ia menyatakan, “Mengompensasikan suatu
barang dengan yang lain yang setara merupakan keadilan yang wajib (‘adl wajib) dan apabila pembayaran yang
dilakukan secara sukarela itu dinaikkan, hal tersebut adalah jauh lebih baik
dan merupakan perbuatan baik yang diharapkan (ihsan mustahab). Namun, jika mengurangi kompensasi tersebut, maka
hal tersebut adalah kezaliman yang diharamkan (zhulm muharram). Begitu pula halnya menukar barang yang cacat
dengan yang setara merupakan keadilan yang diperbolehkan (‘adl jaiz). Meningkatkan kerusakannya justru melanggar hukum (muharram) dan menguranginya merupakan
perbuatan baik yang diharapkan (ihsan
mustahab)”.
Tentang perbedaan antara kompensasi yang
setara dengan harga yang adil, ia menjelaskan, “Jumlah yang tertera dalam suatu aka ada dua macam. Pertama, jumlah
yang telah dikenal baik di kalangan masyarakat. Jenis ini telah dapat diterima
secara umum. Kedua, jenis yang tidak lazim sebagai akibat dari adanya
peningkatan atau penurunan kemauan (rughbah)
atau faktor lainnya. Hal ini dinyatakan sebagai harga yang setara”.
Tampak jelas bagi Ibnu Taimiyah bahwa
kompensasi yang setara itu relatif merupakan sebuah fenomena yang dapat
bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu
bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi
oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Berbeda halnya dengan konsep kompensasi
yang setara, persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi harga yang
sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa harga
yang setara adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara
bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan penawaran.
2.
Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman
yang jeli dalam suatu pasar bebas tentang penentuan harga oleh kekuatan
permintaan dan penawaran. Ia mengemukakan, “Naik
dan turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-orang
tertentu. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau
penurunan impor barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila permintaan
naik dan penawaran turun, harga akan naik. Di sisi lain, apabila persediaan
barang meningkat dan permintaan terhadapnya menurun, harga pun akan turun.
Kelangkaan atau kelimpahan ini bukan disebabkan oleh tindakan orang-orang
tertentu. Ia bisa jadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak mengandung kezaliman,
atau terkadang ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman. Hal ini adalah
kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan di hati manusia.”
Lebih jauh lagi ia mengemukakan bahwa
penetapan harga yang dilakukan pemerintah dengan cara menghilangkan
keuntungan para pedagang akan
menyebabkan terjadinya kerusakan harga, penyembunyian barang oleh para pedagang
serta rusaknya kesejahteraan masyarakat.
Ibnu Taimiyah telah
membahas pentingnya suatu persaingan dalam pasar yang bebas (free market),
peranan “market supervisor” dan lingkup dari peranan negara. Negara
harus mengimplemetasikan aturan main yang islami sehingga produsen, pedagang,
dan para agen lainnya dapat melakukan transaksi secara jujur dan fair.
Negara juga harus menjamin pasar berjalan secara bebas dan terhindar dari
praktek-praktek pemaksaan, manipulasi dan eksploitasi yang memanfaatkan
kelemahan pasar, sehingga persaingan dapat berjalan seacara sehat.[3]
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa faktor
yang mempengaruhi permintaan yang juga berimplikasi terhadap harga,
diantaranya:
a. Keinginan
masyarakat (rughbah) terhadap
berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah.
b. Jumlah
peminat (tullah) terhadap suatu
barang.
c. Lemah
atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat
dan ukuran kebutuhan.
d. Kualitas
pembeli.
e. Jenis
uang yang digunakan dalam transaksi.
f. Tujuan
transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal diantara kedua belah
pihak.
g. Besar
kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual.[4]
3.
Regulasi Harga
Ibnu Taimiyah membedakan “dua tipe penetapan harga, tak adil dan tak
sah serta adil dan sah.” Penetapan harga yang tak adil dan dilarang berlaku
atas naiknya harga akibat kompetisi kekuatan pasar yang bebas mengakibatkan
terjadinya kekurangan suplai atau menaikkan permintaan.
Menurutnya, “memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar
kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidak-adilan
itu dilarang.” Ini berarti, penduduk memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memasuki
atau atau keluar dari pasar. Ibnu Taimiyah mendukung pengesampingan elemen
monopolistik dari pasar dan karena itu ia menentang kolusi apapun antara
orang-orang profesional atau kelompok para penjual dan pembeli.
Tetapi disaat terjadi ketidak-sempurnaan
pasar atau bahkan keadaan darurat (bencana alam, bencanna kelaparan, perang,
dsb), Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah dan
memaksa penjualan bahan-bahan dagang pokok, seperti makanan sehari-hari. Ia
berkata, “Inilah saatnya pemegang
otoritas untuk memaksa seseorang menjual barang-barangnya pada harga yang jujur
(harga yang adil), jika penduduk sangat membutuhkannya.” Namun disaat
kondisi stabil, maka penetapan/pengawasan harga oleh pemerintah ini justru akan
menghambat peredaran barang yang berakibat merugikan penduduk (pembeli).
Meskipun dalam berbagai kasus
diperbolehkan mengawasi harga, tapi dalam seluruh kasus tak disukai
keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga. Mereka boleh melakukannya
setelah melalui perundingan (musyawarah), diskusi, dan konsultasi dengan
penduduk yang berkepentingan. Sehingga dapat dicapai kesepakatan harga yang
dapat diterima leh semua pihak.[5]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Boedi.
Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung:
Pustaka Setia, 2011.
Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Vol. 3. Jakarta: PT.
Raja
Grafindo Persada, 2010.
Anto Hendrie,
M.B, Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonosia, 2003
Islahi, A. A. Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 1997.
No comments:
Post a Comment