PENDAHULUAN
Setelah
melarang perzinahan dan pembunuhan, maka kini dilarangnya melakukan pelanggaran
terhadap apa yang berkaitan erat dengan jiwa dan kehormatan manusia yakni
harta. Ayat ini menegaskan bahwa: Dan janganlah kamu mendekati harta anak
yatim, kecuali dengan cara yang paling baik yakni dengan mengembangkan dan
menginvestasikannya. Lakukan hal itu sampai ia dewasa. Dan bila mereka
telah dewasa dan mampu, maka serahkanlah harta mereka dan penuhilah janji terhadap
siapapun kamu berjanji, baik kepada Allah, maupun kepada kandungan janji, baik
tempat, waktu dan substansi yang dijanjikan; sesungguhnya janji yang
kamu janjikan pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt. kelak
dihari Kemudian, atau diminta kepada yang berjanji untuk memenuhi janjinya.
Dalam
al-Nisa’: 5 antara lain terdapat tuntunan kepada para wali untuk memelihara dan
mengembangkan harta yang dimiliki oleh kaum lemah seperti anak yatim, dan tidak
mengabaikan kebutuhan yang wajar dari pemilik harta yang tidak mampu mengelola
harta itu. Mereka hendaknya diberi belanja dan pakaian dari hasil harta itu
bukan dari modalnya, dan kepada mereka hendaklah diucapkan kata-kata yang
baik. Dalam surah yang sama ditemukan
juga tuntutan agar wali menguji anak yatim dengan memperhatikan keaaan mereka
dalam hal penggunaan harta serta melatih mereka mengelola hartanya sehingga
bila mereka telah hampir mencapai umur dewasa, maka ketika itu, jika para wali
melihat tanda-tanda kecerdasan dan kepandaian memelihara harta serta kestabilan
mental anak yatim, maka hendaklah ia segera menyerahkan harta mereka karena itu
tidak ada lagi alasan untuk menahannya.
Disana
para wali juga diingatkan agar jangan memanfaatkan harta anak yatim untuk
keperluan pribadi, dengan dalih bahwa merekalah yang mengelolanya bukan anak
yatim itu. Memang para wali dapat memanfaatkannya dalam batas kepatutan, tetapi
tidak membelanjakan itu dalam keadaan tergesa-gesa.
ü Kisi-kisi pembahasan :
1.
Teks
Ayat Surah Al-Israa’ : 34.
2.
Terjemahan
Surah Al-Israa’ : 34.
3.
Penjelasan
kosa kata (ma’na al-mufrodat).
4.
Munasabah
Ayat.
5.
Tafsir
dan Kandungan Ayat.
PEMBAHASAN
1.
Teks Ayat
Al-Israa’: 34
wur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOÏKuø9$# wÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr&
4Ó®Lym x÷è=ö7t ¼çn£ä©r& 4 (#qèù÷rr&ur Ïôgyèø9$$Î/ ( ¨bÎ) yôgyèø9$# c%x. Zwqä«ó¡tB ÇÌÍÈ
wur
dan Janganlah
|
#qç/tø)s?
Kalian
mendekati
|
A$tB
harta
|
OÏKuø9$#
anak
Yatim
|
wÎ)
melainkan
|
ÓÉL©9$$Î/
dengan
yang
|
Ïd
dia
|
`|¡ômr&
lebih baik
|
Ó®Lym
sehingga
|
x÷è=ö7t
ia
sampai
|
¼çn£ä©r&
dewasa
|
#qèù÷rr&ur
dan
penuhilah
|
Ïôgyèø9$$Î/
janji
|
bÎ)
sesungguhnya
|
ôgyèø9$#
janji
|
c%x.
adalah
|
ÇÌÍÈ Zwqä«ó¡tB
dimintai
pertanggung-jawaban
|
2.
Terjemah
Ayat Al-Israa’: 34
Artinya
: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
3.
Penjelasan
kosa-kata (ma’na al-mufrodat)
ÉOÏKuø9$#
Anak
yatim, yang ayahnya telah meninggal, sedangkan dia belum dewasa dan belum dapat
berdiri sendiri.
ß`|¡ômr&
Lebih
baik, disini memiliki makna bahwa membelanjakan harta anak yatim mesti
dikeluarkan untuk hal-hal yang diperlukan.
çn£ä©r&
Dewasa/baligh,
telah mencapai usia dewasa baik secara jasmani maupun rohani.
4.
Munasabah
Ayat ( QS Al-Nisa’: 6 )
Dahulu, masyarakat jahiliyah tidak mau memberi harta warisan kepada
perempuan, juga anak-anak yang masih dibawah umur. Sedangkan menurut mereka,
harta tersebut diperuntukkan untuk laki-laki yang telah dewasa. Hingga Allah
menurunkan ayat ini.[1]
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuø9$# #Ó¨Lym #sÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷$$sù öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( wur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçy9õ3t 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uù=sù ( `tBur tb%x. #ZÉ)sù ö@ä.ù'uù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sÎ*sù öNçF÷èsùy öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkôr'sù öNÍkön=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7Å¡ym ÇÏÈ
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup
umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai
memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah
kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka
hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan
cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”
5.
Tafsir
dan Kandungan Ayat
wur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOÏKuø9$# wÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7t ¼çn£ä©r& 4
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak
yatim,”
Pada ayat sebelumnya Allah
telah melarang perzinahan dan pembunuhan yang erat kaitannya dengan kehormatan
dan jiwa manusia. Apabila kejahatan ini terjadi akan menimbulkan pihak ahli
waris, yakni anak yang ditinggal oleh salah satu maupun kedua orang tuanya.
Yang apabila anak yatim memiliki harta sementara dirinya belum mencapai usia
dewasa, maka penangguhan pemberian harta diberikan setelah dirinya telah
mencapai usia dewasa.[2]
Pada ayat ini Allah melarang para pengasuh anak yatim (wali) untuk
mendekati/menggunakan harta anak yatim. Larangan mendekati/menggunakan harta
anak yatim mengandung arti untuk melindungi garta anak yatim agar tidak habis
sia-sia. Allah SWT memberikan perlindungan terhadap harta itu, karena harta itu
sangat diperlukan oleh manusia, dan manusia yang paling memerlukannya ialah
anak yatim, karena keadaannya yang belum mampu mengurusi hartanya dan belum
dapat mencari nafkah.[3]
Setelah ayat ini diturunkan, para sahabat Rasulullah yang mengasuh
anak yatim merasa takut kembali, sehingga mereka tidak mau makan bersama-sama
anak yatim dan tidak pula mau bergaul dengan mereka. Oleh sebab itu Allah
menurunkan kelonggaran dalam Surah Al-Baqarah : 220.[4]
bÎ)ur öNèdqäÜÏ9$séB öNä3çRºuq÷zÎ*sù 4 ª!$#ur ãNn=÷èt yÅ¡øÿßJø9$# z`ÏB ËxÎ=óÁßJø9$# 4
“Dan jika
kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui
siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan.”
Pada ayat ini, Allah memberikan batasan pengecualian dari larangan tersebut. Apabila
harta tersebut dipergunakan untuk pemeliharaan ataupun untuk pengembangan harta
anak yatim. Maka untuk hal ini tidak terdapat larangan mengambil sebagian harta
anak yatim untuk kepentingan atau dikembangkan sebagai modal dengan maksud agar
harta tersebut bertambah. Oleh sebab itu diperlukan orang yang bertanggung
jawab untuk mengurus harta anak yatim ini. Orang yang bertugas untuk memelihara
harta anak yatim ini disebut Was} (pengampu) dan
diperlukan juga lembaga pemerintah untuk mengawasi agar tidak terjadi
penyelewengan.[5]
(#qèù÷rr&ur Ïôgyèø9$$Î/ ( ¨bÎ) yôgyèø9$# c%x. Zwqä«ó¡tB ÇÌÍÈ
“Dan
penuhilah janji, Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
Dalam ayat ini dimaksudkan, apabila anak ayatim tersebut telah
mencapai usia dewasa dan telah matang, pada masa itulah hartanya tersebut
diserahkan karena dirinya telah mengerti dan mampu mengurus sendiri dengan cara
yang wajar. Dengan catatan penyerahan harta yang menjadi tanggungan penagmpu
dilakukan oleh 2 orang saksi.[6]
Penangguhan kepemilikan harta dapat dilakukan oleh orang-orang
tertentu. Sebab-sebab seseorang dicegah untuk mengelola hartanya sendiriadalah
sebagai berikut :
a)
Dibawah
umur
Maksudnya dibawah umur ialah
anak yang belum akil baligh (belum mukallaf), baik karena akalnya yang belum
matang atau karena yang lainnya. Ia harus diawasi dan dijaga oleh walinya,
tidak boleh diserahkan sebelum dia baligh berakal.
b)
Safih
(Bodoh)
Safih (bodoh) artinya kurang
akal, mungkin karena masih kecil, dungu, atau karena usia lanjut.[7] Allah
berfirman :
wur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr&
“Dan janganlah kamu berikan kepada
orang-orang itu akan harta benda mereka”
(QS: 04:05)
c)
Lemah Jasmani dan
Rohani
Mengenai penangguhan penyerahan harta bagi orang tua, jumhur ulama
berpendapat boleh. Sebagaimana anak kecil yang termasuk safih. Mayoritas
jumhu ulama dan Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa yang dimaksud lemah jasmani dan
rohani disini ialah orang tua yang sudah tumbuh jenggotnya dan beruban, tetapi
belum bisa menguasai dirinya dan pengeluaran hartanya. Namun Abu Hanifah
memberikan catatan bahwa apabila seseorang telah berumur 25 tahun hartanya
wajib diserahkan baik dia telah dewasa maupun belum.[8]
d)
Hamba
(Budak)
Seseorang
yang menjadi hamba (budak) tidak lagi berkuasa untuk mengurus harta sebab dia
sendiri dimiliki oleh tuannya, dan berarti derajat hamba (budak) sama dengan
harta dan dapat diperjual belikan. Sebagaimana Firman Allah SWT :
* z>uÑ ª!$# ¸xsVtB #Yö6tã %Z.qè=ôJ¨B w âÏø)t 4n?tã &äóÓx«
“Allah
membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat
bertindak terhadap sesuatu.” (An-Nahl: 75)
e)
Sedang
Sakit Keras
Sesungguhnya
orang yang telah menderita sakit keras yang tidak memiliki harapan untuk
kesembuhannya dan tidak berdaya lagi untuk melakukan perbuatan apapun, maka
baginya tidak dibolehkan baginya untuk mengurus hartanya, sebagai gantinya para
ahli warisnyalah yang diserahkan kepengurusannya.[9]
f)
Wanita
Bersuami
Seorang
wanita yang telah memiliki suami, berada dibawah pengawasan suaminya, baik
dirinya sendiri, anak-anaknya, maupun harta bendanya. Oleh karena itu, wanita
tidak berkuasa atau berwenang atas hartanya, kecuali harta-harta yang
dikhususkan intuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda :
“ Wanita tidak boleh memberikan sesuatu kecuali atas izin suaminya”
“ Wanita tidak boleh memberikan sesuatu kecuali atas izin suaminya”
g)
Keluar
dari Islam ( Murtad )
Seoarng muslim yang keluar
dari agama Islam atau yang disebut juga dengan murtad terhalang menguasai
hartanya sendiri sebab dia berada dalam kekuasaan pemerintahan Islam.
Ia tidak berkuasa atas
hartanya karena dia akan menerima hukuman menurut syari’at Islam, yaitu hukuman
mati atas kesalahan yang dibuatnya, yakni eluar dari agama Islam.[10]
h)
Jatuh
Bangkrut
Seseorang dapat dikatakan
bangkrut apabila jumlah hutangnya jauh lebih besar dari jumlah harta yang
dimilikinya. Oleh sebab itu dia tiadak diperbolehkan mengelola hartanya, yang
dikhawatirkan akan semakin banyak jumlah hutang yang akan dibayarkan olehnya.[11]
DAFTAR
PUSTAKA
Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah . Jakarta: Raja Grafindo, 2002.
Bina
Ilmu, Tafsir Ayat Ahkam Ash-As}abuni . Surabaya: PT Bina Ilmu Offset,
1983.
S}ihab, M. Qurais}, Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sonhadji,
HM, Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1987.
Teungku
Muhammad Hasbi As}idieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur . Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000.
[1]Syaikh Muhammad Ali As}-S}abuni, Shafwatut
Tafasir Vol. I, Terj. Bina Ilmu (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1983),
370.
[4] Ibid, 574.
[5] Ibid, 573.
[6] Teungku
Muhammad Hasbi As}idieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 2323.
[7]Suhendi, Fiqh
Muamalah, 224-225.
[10] Suhendi, Fiqh
Muamalah, 228.
[11] Ibid, 229.
No comments:
Post a Comment