BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadits Mutawatir
Mutawatir
menurut bahasa berarti mutabi yakni yang datang berikutnya atau
beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.
Sedangkan
pengertian hadits mutawatir menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara
lain sebagai berikut:
مَارَوَاهُ جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ تُحِيْلُ
الْعَادَةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذَبِ
“ hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk
berdusta”.
Ada juga yang
mengatakan:
مَارَوَاهُ جَمْعٌ تُحِيْل تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى
الْكَذَبِ عَنْ مِثْلِهِمْ مِنْ أَوَّلِ السَّنَدِ إِلَى مُنْتَهَاهُ
“hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut
adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal
sanad sampai akhir sanad, pada setiap tingkat (Thabaqat)”.
Sementara Nur
ad-Din ‘atar mendefinisikan:
الَّذِي رَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيْرٌ لَايُمْكِنُ
تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذَبِ عَنْ مِثْلِهِمْ إِلَى انْتِهَاءِ السَّنَدِ
وَكَانَ مُسْنَنَدُهُمْ الحِسُّ
“hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad)
sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indera.[1]
Adapun hadits
mutawatir menurut ulama hadits adalah:
هُوَ خَبَرٌ عَنْ
مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ جَمٌّ يُجِبُ فِ العَادَةِ إِحَالَةُ اِجْتِمَاعِهِمْ
وَتَوَاطُئِهِمْ عَلَى الْكَذِبِ
“khabar yang didasarkan pada panca indera yang dikhabarkan oleh
sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkhabarkan
berita itu dengan dusta”.[2]
Jadi hadits
mutawatir bisa diartikan hadis
yang di riwayatkan oleh sejumlah besar periwayat yang ada pada semua tingkatan
dan para periwayat tersebut mustahil mereka berkumpul untuk berdusta serta di
terima secara langsung melalui panca indra.[3]
B.
Syarat-syarat
hadits mutawatir
a.
Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus
berdasarkan tanggapan pancaindera, yakni warta yang mereka sampaikan itu harus
benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
b.
Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak
mungkin mereka sepakat untuk berdusta. Dengan demikian, jumlahnya adalah
relatif, tidak ada batas tertentu. Menurut Abu Ath-Thayib, jumlah
perawinyaempat orang. Ashhab Asy-Syafii menyatakan lima orang, dan ulama lain
menyatakan mencapai dua puluh atau empat puluh orang.
c.
Adanya keseimbangan jumlah antara para rowi dalam tabaqah pertama
dengan jumlah rawi dalam tabaqah berikutnya. [4]
Menurut ulama mutakhirin suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits
mutawatir jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi
Hadits mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang
membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta. Mengenai masalah ini ulama berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada
yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu,
menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan
mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut ulama yang menetapkan
jumlah tertentu, merka masih berselisih mengenai jumlah itu.
Al-Qadhi Al-Baqillani jumlah perawi hadits mutawatir tidak boleh
berjumlah empat. Lebih dari itu lebih baik. Ia menetapkan sekurang-sekurangnya
berjumlah 5 orang. Al-Isthakhary
menetapkan yang oaling baik minimal 10 orang, sebab jumlah 10 itu merupakan
awal bilangan banyak.
Ulama
lain menentukan 12 orang, mendasarkan pada firman Allah:
وبعثنا منهم اثني عشر نقيبا ( المائدة : )
...dan telah kami angkat
diantar mereka 12 orang pemimpin. (QS Al-Maidah : 12)
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, sesuai
dengan firman Allah:
إن يكن منكم عشرون صابرون يغلبوا مائتين (
الانفال: )
Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh...(QS Al-Anfal : 65)
Ayat ini memberikan sugesti kepada orang-orang mukmin yang tahan
uji, yang hanya dengan jumalh 20 orang saja mampu mengalahkan 200 orang kafir.
Ada juga yang mengatakan
bahwa jumlah perawi yang diperlukan dalam hadits mutawatir minimal 40 orang.
b.
Adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqah pertama dengan
thabaqah berikutnya.
Jumlah perawi hadits mutawatir antar tabaqah (lapisan) dengan
tabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bial suatu hadits diriwayatkan
dua puluh orang sahabat, kemudian diterima doleh sepuluh orang tabi’in, dan
sekanjutnya hanya diterima oleh lima tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai
hadits mutawadtir. Sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat
pertama dengan thabaqah-thabaqah seterusnya.
Akan tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah
perawi pada tiap thabaqah tidaklah terlalu penting. Sebab yang diinginkan
dengan banyaknya perawi adalah terhindarnya kemungkinan berbohong.
c.
Berdasarkan tanggapan pancaindera
Berita yang disampaikan oleh perawinya tersebut harus berdasrkan
tanggapan pancaindera. Artinya bahwa berita mereka sampaikan itu harus
benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri. Oleh karena itu,
bila berita itu hasil renungan, pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa
lain ataupun hasil istinbath dari dalil-dalil yang lain, maka tidak dapat di
katakan hadits mutawatir misalnya berita tentang baharunya alam semesta yang
berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda yang rusak itu baharu, maka berita
seperti ini tidak dapat dikatakan Hadits Mutawatir. Demikian juga berita
tentang ke-Esaan Tuhan menurut hasil pemikiran pada filosof, tidak dapat
digolongkan sebagai hadits mutawatir.[5]
C.
Pembagian hadits mutawatir
a.
Hadits mutawatir lafzhi
Hadits mutawatir lafzhi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai antara riwayat satu dan
lainnya. Yakni:
ما اتفقت ألفاظ الرواة فيه ولوحكما/هوما
تواترلفظه وفيمعناه
“Hadits yang sama bunyi
lafadz, hukum, dan maknanya.”
Contoh
hadits mutawatir lafzhi adalah:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النر ( رواه البخارى)
“barang
siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap memduduki
tempat duduknya dineraka.” (HR
Bukhari)
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40
orang sahabat. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan
oleh 62 orang dengan lafadz dan makna yang sama.
b.
Hadits mutawatir ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang lafadz dan maknanya
berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian
makna secara umum.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadit:
مااختلفوا فى لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كلي
“hadits
yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat di ambil makna umum.”[6]
Ada juga yang mengatakan hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits
yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berdusta.
Mereka menukilkan dalam berbagai bentuk, tetapi dalam satu masalah atau
mempunyai titik persamaan.
Menurut Al-Suyuthi hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang
dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka sepakat
berdusta atas kejadian yang berbeda-beda tetapi bertemu pada titik persamaan.
Contoh
hadits mutawatir ma’nawi:
كان النبي صلى الله عليه وسلم لايرفع يديه في شيئ مندعائه إلا
فالاستسقاء وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه ( رواه البخارى)
“Nabi
SAW tidak mengangkat keduanya tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam
shalat istisqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua
ketiaknya.” (HR Bukhari)[7]
c.
Hadits mutawatir ‘amali.
Sebagian ulama memberikan defenisi mutawatir amali sebagai berikut:
ما
علم من الدّ ين با لضرورة وتواتر بين المسلمين أن النبيّ صلى ا الله عليه وسلّم
فعله أو أمر به أو غير ذلك
“sesuatu yang diketahui dengan
mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir antara kaum muslimin bahwa Nabi
saw. Mengerjakannya atau menyuruhnya dan atau selain itu”.
Dengan demikian hadis mutawatir amali adalah hadis
mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah saw. Yang disaksikan dan ditiru
tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian dijadikan contoh pada
generas-generasi berikutnya. Misalnya hadis tentang shalat.[8]
D.
Pengertian Hadits Ahad
Secara etimologi, kata
"ahad" merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti satu. Maka
Khobar Ahad atau Khobar Wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu
orang.
Sedangkan secara terminologi, Hadits Ahad adalah :
لحد يث الاحد هوالحديث
الذى لم يبلغ رواته مبلغ الحد يث المتوتر سواء كان الراوى واحد او اثنين اوثلاثة
ااو اربعة اوخمسة الى غير ذ لك من العداد التى لا تشعر بان الحديث د خل فى خبر
المتوتر.
Artinya :
“Hadis ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi
hadis mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya.
Tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi
tersebut masuk dalam kelompok hadis mutawatir”.
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut
Atau dengan kata lain,
Hadits Ahad adalah suatu Hadits yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai
jumlah pemberita Hadits Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga
orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak
memberi pengertian bahwa Hadits tersebut masuk ke dalam Hadits Mutawatir.[9]
E.
Pembagian Hadits Ahad
Hadis
Aahaad terbagi menjadi 3 macam yaitu: Masyhur,
`Aziz dan Gharib.
1. Hadis Masyhur
Masyhur menurut
bahasa adalah tenar, terkenal atau menampakkan. Dalam istialh hadis masyhur terbagi menjadi dua macam
yaitu:
a. Masyhur Ishthilaahi.
“Yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan (tabaqaqh)
sanad dan belum mencapai tingkat mutawatir”.
Contoh hadis :
“sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari
dada seorang hamba, tetapi akan melepaskan ilmu dengan dengan mengambil para
ulama, sehingga apabila tidak terdapat serang yang alim maka orang yang bodoh akan dijaikan sebagai
pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu, mereka sesat dan
menyesatkan”.
Hadis ini diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yaitu Ibnu Amru, Aisyah
dan Abu Hurairah. Dengan demikian hadis ini masyhur dikalangan sahabat, karena
terdapat tiga orang sahabat yang meriwayatkannya, sekalipun dikalangan tabi`ian
lebih dari tiga orang tapi tidak mencapai tingkat mtawatir.
b. Masyhur Ghayr Ishthilahi
Hadis MasyhurGhayrIshthilahiadalah hadis yang popular atau terkenal
dikalangan kelompok atau golongan tertentu, sekalipun jumlah perawinyatiak
mencapai tiga orang atau lebih.
2.
Hadis `Aziz
`Aziz secara bahasa berarti sedikit atau langka, atau berarti kuat.
Hadis diberi nama`aziz karena sedikit atau langka adanya.
Dari segi istilah terdapat beberapa defenisi antara lain adalah
“ hadis yang tidak
diriwayatkan kurang daridua orang disemua tingkatan (tabaqah) sanad”.
contoh hadis `aziz:
لايوءمن أحدكم حتىّ أكون
أحبّ إليه من نفسه من ولده ووالده والنّاس أجمعين (متفق عليه)
“hadis diriwayatkan dari Abu
Hurairahra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: tidak beriman salah seorang
diantara kamu sehingga aku lebih dicintai dari pada orang tuanya, anaknya dan
manusia semuanya”.(HR.Muttafaq `Alaih)
Hadis ini
diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu Anas dan Abu Hurairah.Kemudian Anas
memberitakan kepada dua orang yaitu Qatadah dan Abdul Aziz ibnShuhaib.Qatadah memberitakan pula kepada dua orang yaitu Syu`bah dan Sa`id. Dan Abdul Aziz memberitakan pula kepada dua
orang yaitu Ismail ibn Ulaiyah dan Abdul Waris.
3.
Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa berarti “menyendiri” atau “ jauh dari kerabatnya”. menurut istilah ialah “ hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi
yang menyendiri dalam meriwayatkannya”.
Ibnu Hajar mendefenisikan sebagai berikut:
“hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang
yang menyendiri dalam meriwayatkannya,
dimana saja penyendiriansanaditu terjadi”.
Dilihat dari bentuk penyendirian rawi, hadis gharib terbagi menjadi dua
macam:
a. Gharib Mutlak
Gharib mutlak yaitu “
hadis yang garabah-nya (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok
sanad adalah ujung sanadyaitu seorang sahabat”.
Pokok sanad atau disebut asal sanad karena sahabat yang menjadi referensi
utama dalam periwayatan hadis meskipun banyak jalan dan tingkatan dalam sanad.
Contoh hadis Nabi saw.
عن عمرابن الخطّاب رضى
الله عنه قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: انّما الاعمال با لنّيات
و انّما لكلّ امرئ ما نوى (رواه البخارى ومسلم وغرهما)
“ Sesungguhnya amal itu tergantung
dari niatnya,…….”
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab saja. Kemudian
diriwayatkan oleh Al-Qamah bin Waqqash kemudian Muhammad bin Ibrahim. Dengan
demikian hadis tersebut gharib mutlak karena
hanya Umar bin Khattab saja yang meriwayatkan dari kalangan sahabat.
b. Gharib Nisbi
Gharib nisbi yaitu apabila keghariban (perawi satu orang ) terjadi pada pertengahan
sanad bukan pada awal sanadnya. Maksudnya satu hadis yang diriwayatkanoleh
lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu
hadis ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para
perawi tersebut.
Adapun berbagai kegharibanatau ketersendirian yang dianggap sebagai gharibnisbi
adalah sebagai beikut:
1. Seorang perawi terpercaya secara sendiriran
meriwayatkan hadis (muqayyad bi ats-tsiqah)
2. Seorang perawi tertentu meriwayatkan secara
sendiriran dari seorang perawi tertentu pula (muqayyad `alaar-rawi)
3. Penduduk negeri atau penduduk daerah secara
tersendiri meriwayatkan hadis (muqayyad
bi al-balad).[10]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Pengertian
Hadits Mutawatir
Hadits
mutawatir bisa diartikan hadis
yang di riwayatkan oleh sejumlah besar periwayat yang ada pada semua tingkatan
dan para periwayat tersebut mustahil mereka berkumpul untuk berdusta serta di
terima secara langsung melalui panca indra.
B.
Syarat-syarat Hadits Mutawatir
a.
Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus
berdasarkan tanggapan pancaindera.
b.
Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak
mungkin mereka sepakat untuk berdusta.
c.
Adanya keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah pertama
dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikutnya.
Sedangakan
menurut mutaakhirin syarat hadits mutawatir adalah sebagai berikut:
a.
Diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi
b.
Adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqah pertama dengan
thabaqah berikutnya.
c.
Berdasarkan tanggapan pancasila
C.
Pembagian Hadits Mutawatir
1.
Hadits Mutawatir Lafzhi
2.
Hadits Mutawatir Ma’nawi
3.
Hadits Mutawatir ‘Amali
D.
Pengertian Hadits Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis
mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya. Tetapi
jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut
masuk dalam kelompok hadis mutawatir”.
E.
Pembagian
Hadits Ahad
a. Hadis Masyhur
Hadits Masyhur dibagi
menjadi 2 yaitu:
1.
Masyhur
Ishthilaahi.
2.
Masyhur Ghayr Ishthilahi
b. Hadis `Aziz
c. Hadits Gharib
Hadits Gharib dibagi
menjadi 2 yaitu:
1.
Gharib Mutlak
2.
Gharib Nisbi
[1] Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 95-97
[2] Solahudin dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadits, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), 129
[3]http//www.%20Ridho%20%20Hadits%20segi%20kuantitas%20dan%20kualitas%20Hadits.htm.
[4] Solahudin dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadits, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), 130
[5] Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 97-101
[6] Solahudin dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadits, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), 131
[7] Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),104
[8]http//www.blognya%20Zulkhulafair%20%20hadits%20ditinjau%20dan%20ssegi%20kuantitas%20dan%20kualitas%20sanadnya.htm.
[9]
http//www.%20Ridho%20%20Hadits%20segi%20kuantitas%20dan%20kualitas%20Hadits.htm.
[10]http//www.blognya%20Zulkhulafair%20%20hadits%20ditinjau%20dan%20ssegi%20kuantitas%20dan%20kualitas%20sanadnya.htm.
No comments:
Post a Comment