BAB I
PENDAHULUAN
Dalam hukum perjanjian
Islam rukun ketiga akad adalah adanya objek akad (mahallul-'aqd). Hal
ini, seperti dalam semua sistem hukum, adalah wajar sekali karena objek
tersebut yang menjadi sasaran yang hendak dicapai oleh para pihak melalui
penutupan akad. Apabila tidak ada objek, tentu akadnya menjadi sia-sia dan
percuma. Tidak mungkin para pihak dapat melaksanakan prestasinya bilamana
prestasi itu tidak ada dan tidak jelas.
Dalam hukum perjanjian
Islam objek akad dimaksudkan sebagai suatu hal yang karenanya akad dibuat dan
berlaku akibat- akibat hukum akad. Objek akad dapat berupa benda, manfaat
benda, jasa atau pekerjaan, atau suatu yang lain yang tidak bertentangan dengan
Syariah.[1] Benda
meliputi benda bergerak dan tidak bergerak maupun benda berbadan dan benda tak
berbadan.
Misalnya akad jual beli
rumah objeknya adalah benda, yaitu liciupa rumah dan uang harga penjualannya
yang juga merupakan liriula. Akad sewa-menyewa objeknya adalah manfaat barang
yang ili-.cwa, akad pengangkutan objeknya adalah jasa pengangkutan. Imbalannya,
yang bisa berupa benda (termasuk uang), manlaat atau lusa, juga merupakan objek
akad. Jadi dalam akad jual beli rumah, misalnya, menurut hukum Islam bukan
hanya rumahnya saja yang merupakan objek akad, tetapi imbalannya yang berupa
uang atau berupa lainnya juga merupakan objek akad jual beli.
Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai syarat pada objek akad. Para ahli hukum Islam mensyaratkan
beberapa syarat pada 6b|ck akad, yaitu:
1. objek akad dapat diserahkan atau dapat
dilaksanakan;
2. objek akad harus tertentu atau dapat
ditentukan; dan
3. objek akad dapat
ditransaksikan menurut syarak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Objek Akad Dapat Diserahkan atau Dapat
Dilaksanakan
Objek akad disyaratkan
harus dapat diserahkan apabila objek tersebut berupa barang seperti dalam akad
jual beli, atau dapat dinikmati atau diambil manfaatnya apabila objek itu
berupa manfaat benda seperti dalam sewa-menyewa benda (ijarah al-manafi').[2]
Apabila objek akad berupa suatu perbuatan seperti mengajar, melukis,
mengerjakan suatu pekerjaan, maka pekerjaan itu harus mungkin dan dapat
dilaksanakan. Dasar ketentuan ini disimpulkan dari beberapa hadis Nabi Saw., antara lain
adalah:
1. Hadis Hakim Ibn Hizam
yang menyatakan bahwa Nabi Saw. bersabda: Jangan engkau menjual barangyang
tidak ada padamu. [HR an-Nasa'i].
2. Hadis Abu Hurairah yang
mengatakan: Rasulullah Saw. melarang jual beli lempar krikil dan jual beli
garar. [HR Muslim].
Larangan menjual barang
yang tidak ada pada seseorang dalam hadis pertama causa legis-nya adalah
karena Nabi Saw. mempertimbangkan bahwa barang itu tidak dapat dipastikan
apakah akan dapat diserahkan oleh penjual atau tidak. Atas dasar itu
disimpulkan suatu aturan umum mengenai objek akad, yaitu bahwa objek tersebut
harus merupakan barang yang dapat dipastikan bisa diserahkan. Hadis kedua
melarang jual beli jual beli lempar kerikil dan jual beli garar. Yang dimaksud
garar di sini adalah suatu objek yang
tidak dapat dipastikan apakah akan bisa diserahkan atau tidak.[3]
Dari larangan dalam
kedua hadis di atas dan banyak hadis lain serupa diabstraksikan aturan umum
bahwa objek akad harus dapat dipastikan bisa diserahkan atau dilaksanakan.
objek akad harus ada
pada waktu ditutupnya perjanjian apabila para pihak memang bermaksud melakukan
akad terhadap objek yang sudah ada, sehingga apabila kemudian ternyata
barangnya tidak ada, maka perjanjiannya batal demi hukum. Akan tetapi, apabila
para pihak bermaksud untuk melakukan akad terhadap objek yang tidak harus ada
pada waktu dibuatnya perjanjian, melainkan dapat diserahkan kemudian, maka
objek itu tidak harus ada pada waktu penutupan perjanjian, namun dapat
dipastikan bisa diserahkan pada tanggal yang ditentukan.
Hukum Islam kontemporer
seperti tercermin dalam ketentuan pasal beberapa KUH Perdata yang bersumber
prinsip Syariah mengadopsi pandangan Ibn al-Qayyim dan menegaskan,[4]
"Boleh menjadi objek akad atas beban suatu benda yang baru akan ada di
masa di kemudian hari apabila tidak mengandung garar."
Dalam hal objek akad
merupakan suatu perbuatan seperti mengajar, melakukan pengangkutan, atau
melakukan suatu peker- |aan tertentu, maka syaratnya adalah bahwa perbuataan
atau pekerjaan tersebut mungkin dilaksanakan. Tidak boleh merupakan hal yang
tidak dapat dipastikan apakah dapat atau tidak dapat dilaksanakan. Apabila
objek merupakan hal yang tidak dapat dipastikan bisa atau tidaknya dilaksanakan
berarti terdapat unsur garar yang dilarang dalam hadis Nabi Saw. yang telah
dikutip di muka.
B. Objek Akad Tertentu
1. Pengertian akad
tertentu
Objek akad itu tertentu
artinya diketahui dengan jelas oleh para pihak sedemikian rupa sehingga
tidak menimbulkan sengketa. Apabila objek tidak jelas secara
mencolok sehingga dapat menimbulkan persengketaan, maka akadnya tidak sah.
Ketidakjelasan kecil (sedikit) yang tidak membawa kepada persengketaan tidak
membatalkan akad.
Ahli-ahli hukum Hanafi menjadikan adat kebiasaan dalam masyarakat sebagai
ukuran menentukan menyolok mau tidaknya suatu ketidakjelasan.[5]
2. Objek Akad Berupa Benda
Apabila objek akad berupa
benda, maka kejelasan objek tersebut terkait pada apakah objek tersebut hadir
(ada) di majelis (kad (tempat ditutupnya perjanjian) atau tidak. Bilamana objek
dimaksud ada (hadir) pada majlis akad, maka kejelasan objek lersebut, menurut
ahli-ahli hukum Hanafi dan Hambali, cukup dengan menunjukkannya kepada mitra
janji sekalipun objek tersebut berada di dalam tempat tertutup, seperti gandum
atau gula dalam karung. Menurut ahli-ahli hukum Maliki, penunjukan tidak cukup,
melainkan harus dilihat secara langsung jika hal itu memang dimungkinkan. Jika
tidak mungkin dilihat, cukup dideskripsikan. Ahli-ahli hukum Syafi'i
mengharuskan melihat secara langsung terhadap objek, baik objek itu hadir atau
tidak di tempat dilakukannya akad.22
Objek akad yang tidak berada
di majlis akad (tempat dilakukannya akad) dapat dideskripsikan dengan suatu
keterangan yang dapat memberikan gambaran yang jelas dan menghilangkan ketidakjelasan
yang mencolok mengenai objek. Bilamana objek tersebut berupa benda individu,
maka dideskripsikan sedemikian rupa sehingga menjadi jelas dan bilamana berupa
benda yang memiliki satuan yang banyak dan serupa seperti barang produk pabrik
yang sama jenisnya, maka dijelaskan dengan menyebutkan jenis, kualitas dan
jumlahnya.
3. Objek Akad Berupa Perbuatan
Apabila objek berupa
perbuatan, maka seperti halnya objek yang berupa benda, objek tersebut harus
tertentu atau dapat ditentukan, dalam pengertian jelas dan diketahui oleh para
pihak. Dalam akad melakukan suatu pekerjaan, pekerjaan itu harus dijelaskan
sedemikian rupa sehingga meniadakan ketidakjelasan yang mencolok. Dalam kitab
al-Bada'i' dikatakan,
Di antara syarat
perjanjian melakukan pekerjaan dengan para tukang atau pekerja adalah
menjelaskan pekerjaannya, karena ketidakjelasan pekerjaan dalam perjanjian
melakukan perkerjaan merupakan ketidakjelasan yang dapat menimbulkan
persengketaan dan oleh karena itu akadnya fasid.
C. Objek Akad Dapat Ditransaksikan
Suatu objek dapat
ditransaksikan dalam hukum Islam apabila memenuhi kriteria-kriteria berikut:
1. Tujuan objek tersebut
tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat
ditransaksikan apabila transaksi tersebut bertentangan dengan tujuan yang
ditentukan untuk sesuatu tersebut;
2. Sifat atau hakikat dari
objek itu tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak
dapat ditransaksikan apabila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan
transaksi;
3. Objek tersebut tidak
bertentangan dengan ketertiban umum[6]
BAB III
KESIMPULAN
A.
Objek Akad Dapat Diserahkan atau Dapat
Dilaksanakan
Dalam hal objek akad
merupakan suatu perbuatan seperti mengajar, melakukan pengangkutan, atau
melakukan suatu pekerjaan tertentu, maka syaratnya adalah bahwa perbuataan
atau pekerjaan tersebut mungkin dilaksanakan. Tidak boleh merupakan hal yang
tidak dapat dipastikan apakah dapat atau tidak dapat dilaksanakan. Apabila
objek merupakan hal yang tidak dapat dipastikan bisa atau tidaknya dilaksanakan
berarti terdapat unsur garar yang dilarang dalam hadis Nabi Saw. yang telah
dikutip di muka.
B.
Objek Akad Tertentu
Apabila objek akad
berupa benda, maka kejelasan objek tersebut terkait pada apakah objek tersebut
hadir (ada) di majelis (kad (tempat ditutupnya perjanjian) atau tidak. Apabila
objek berupa perbuatan, maka seperti halnya objek yang berupa benda, objek
tersebut harus tertentu atau dapat ditentukan, dalam pengertian jelas dan
diketahui oleh para pihak.
C. Objek
Akad Dapat Ditransaksikan
Suatu objek dapat
ditransaksikan dalam hukum Islam apabila memenuhi kriteria-kriteria: Tujuan objek tersebut
tidak bertentangan dengan transaksi, Sifat atau hakikat dari objek itu tidak bertentangan dengan transaksi, Objek tersebut tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
Daftar pustaka
Madkur, al-Fiqh al-Islami: al-Madkhal wa al-Amwal
wa al-Huquq wa al- Milkiyyah wa al-'Aqd, Kairo: Maktabah
'Abdullah Wahbah, 1955.
Al-Kasani, Bada'i' ash-shana'i' fi Tartib
asy-Syarakhi’ , Beirut: Dar Ihya’at- Turats al-'Arabi, 1998.
Asy-Syirazi, al-Muliadzdzcibfi Fiqh al-Imam
asy-Syafi'i, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Pasal 160 KUH Perdata Yordania, pasal KUH Muamalat UEA Pasal 202 (1), dan KUH Perdata
Irak 129
Madkur, al-Fiqh
al-Islami: al-Madkhal wa al-Annval wa al-Huquq wa al- Milkiyyah wa
al-'Aqd, Kairo: Maktabah Wahbah, 1955.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian
Syariah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
No comments:
Post a Comment