BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Perbankan adalah satu lembaga yang
melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang,
dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum
muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah
menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak jaman Rasulullah saw.
Praktek-praktek seperti menerima titipan
harta, meninjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis,
serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah.
Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit,
menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah saw.[1]
Selanjutnya, eksperimen lainnya
dilakukan di Pakistan pada akhir tahun 50-an, di mana suatu lembaga perkreditan
tanpa bunga didirikan di pedesaan negara itu.[2]
Namun demikian, eksperimen pendirian bank syariah yang paling
sukses dan inovatif di masa modern ini dilakukan di Mesir pada tahun 1963,
dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving
Bank. Bank ini mendapat sambutan yang cukup hangat di Mesir, terutama dari
kalangan petani dan masyarakat pedesaan.
Kesuksesan Mit Ghamr ini memberi inspirasi bagi umat muslim di seluruh dunia,
sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat
diaplikasikan dalam bisnis modern. Di negara Islam lainnya seperti Indonesia,
bank nir-bunga beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional.[3]
Bank syariah di Indonesia berkembang sudah cukup
lama, akan tetapi belum begitu diminati masyarakat muslim. Padahal jika kita
membandingkan antara bank syariah dan bank konvensional sangat jauh berbeda.
Misalnya dalam mengambil keuntungannya bank konvensional membebani nasabahnya
dengan menambahkan bunga dimana nasabah tidak kuat membayar maka bunga itu akan
tetap bertambah, dalam pembiayaan dapat kita bandingkan bahwa bank konvensional
hanya satu pembiayaan sedangkan dalam bank syariah sangat berfarisi dengan
baban yang diterima nasabah sangat tergantung dengan akad yang digunakan.
Melihat dari jasa keuangan konvensional penulis mengistilahkan dalam bahasa
jawa “nulung tapi menthung” (menolong tetapi sebenarnya memukul). Selain
itu alokasi dana yang dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan konvensional/bank
konvensional tidak ada kejelasan, apakah dana yang dikelola di investasikan
pada pasar modal atau hanya diputar dengan pada lembaga keuangan tersebut.
Hal-hal semacam ini dalam etika dasar dalam
perbankan tidak diperbolehkan karena menimbulkan ketidakkepercayaan dari
nasabah. Dalam hal ini bank syariah sudah memegang kunci dasar utama dalam
etika perbankan yakni bank syariah memberikan kepercayaan, dimana dana yang
ditabung, diinfestasikan dan bonus yang diberikan kepada nasabah sangat jelas
hukumnya karena bank mengelola dengan amanah sesuai dengan prinsip syariah.
Dari perbandingan di atas bank syariah
jauh lebih bagus dan lebih menguntungkan, seharusnya bank syariah di Indonesia haruslah
lebih besar dan lebih berkembang dari pada bank kovensional apalagi mayoritas
penduduk Indonesia mayoritas beragama islam. Namun kenyataanya bahwa bank
syariah sejauh ini menur penulis bank konvensional masih lebih diminati oleh
masyarakat Indonesia. Ini bisa dilihat slah satunya kota ponorogo yang
notabandnya adalah kota santri tetapi realita seperti ini sangat jelas
terlihat. Maka dari itu makalah ini sangat perlu dibahas karena untuk
mengetahui bagaimana perkembangan, kendala maupun pandangan kedepan bank
syariah jika dipandang dari etika bisnis dalam islam. Sehingga diharapkan
kedepannya bank syariah semakin berkembang dan lebih baik lagi.
B. Rumusan
masalah
1. Bagaimana
sejarah bank syariah di Indonesia?
2. Apa
faktor yang menghambat/kendala berkembangnya bank syariah di Indonesia?
3. Apa
faktor yang mempengaruhi berkembangnya bank syariah di Indonesia?
4. Bagaimana
arah pengembangan bank syariah di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Berdirinya Perbankan
Syariah di Indonesia
Umat
Islam Indonesia telah lama mendambakan adanya bank yang beroperasi sesuai
dengan syariat. K.H. Mas Mansur, ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pereode
1937-1944 telah menguraikan pendapatnya tentang penggunaan jasa Bank
Konvensional sebagai hal yang terpaksa dilakukan karena umat Islam belum
mempunyai sendiri bank yang bebas riba.[4]
Kemudian
disusul dengan ide untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia yang sebenarnya
sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an.[5] Hal ini dibicarakan pada
seminar nasional Hubungan Indonesia-Timur Tengah pada 1974 dan pada tahun 1976
dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu
Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun, ada beberapa
alasan yang menghambat terealisasinya
ide ini:[6]
1.
Operasi Bank Syariah yang menerapkan prinsip
bagi hasil belum diatur, dan karena itu, tidak sejalan dengan UU Pokok
Perbankan yang berlaku, yakni UU No 14/1967.
2.
Konsep Bank Syariah dari segi, politis berkonotasi
ldeologis, merupakan bagian dari atau berkaitan dengan konsep negara Islam, dan
karena itu tidak dikehendaki pemerintah.
3.
Masih dipertanyakan, siapa yang bersedia
menaruh modal dalam ventura semacam itu, sementara pendirian bank baru dari
Timur Tengah masih dicegah, antara lain pembatasan bank asing yang ingin
membuka kantornya di Indonesia.
Untuk
memobilisasi dana pembangunan, pemerintah pada tahun 1988 membuka peluang yang
seluas-luasnya untuk bisnis perbankan dengan mengeluarkan PAKTO (Paket Kebijaksanaan
Pemerintah bulan Oktober) pada tanggal 27 Oktober yang berisi tentang
liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain yang
telah ada.[7] Dengan ini dimulailah
pendirian Bank Umum Syariah pertama. di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia
pada tanggal 1 Mei 1992.[8]
Kemudian
disusul gagasan mengenai bank syariah muncul lagi sejak tahun 1988 disaat
pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi
liberalisasi industri perbankan. Para ulama waktu itu berusaha untuk mendirikan
bank bebas bunga, tetapi tidak ada satu pun perangkat hukum yang dapat menjadi
pedoman kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0%. Setelah
adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua,
Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.
Berdasarkan amanat Munas (Musyawarah Nasional) tersebut, maka dibentuk kelompok
kerja untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia. [9]
Bank
Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim Perbankan MUI tersebut di atas
akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1
November 1991. Pada saat akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham
sebanyak Rp 84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, pada acara silahturahmi presiden di Istana Bogor, dapat
dipenuhi total komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000,
Dana tersebut berasal dari presiden dan
wakil presiden, sepuluh menteri kabinet
pembangunan V, juga Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab,
Supersemar, Dharmais, Puma Bhakti Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya
Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan
sebagai yayasan penopang Bank Syariah.
Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada tanggal
1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia (BMI) mulai beroperasi.[10] Kemudian diikuti dengan
kemunculan Undang-Undang (UU) No 7 tahun 1992 tentang Perbankan, di mana
perbankan bagi hasil diakomodasi. Dalam UU tersebut, pasal 13 ayat (c)
menyatakan bahwa salah satu usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyediakan
pembiayaan. bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Menanggapi pasal tersebut,
pemerintah pada tanggal 30 Oktober 1992 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 72 tahun 1992 tentang, bank berdasarkan prinsip bagi hasil dan
diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam lembaran negara Republik
Indonesia NO. 119 tahun 1992.
Secara
tegas ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992 yang berbunyi:[11]
1.
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang
kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diper
kenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
2.
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang
kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip, bagi hasil, tidak diperkenankan
melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Dalam
menjalankan perannya, Bank Syariah berlandaskan pada UU Perbankan No. 7 Tahun
1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil yang kemudian dijabarkan dalam
Surat Edaran Bank Indonesia yang pada pokoknya menetapkan hak-hak, antara lain:[12]
a.
Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil
adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang dilakukan usaha semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil.
b.
Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah
prinsip, bagi hasil yang berdasarkan Syariah.
c.
Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib
memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).
d.
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang
kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak
diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
Sebaliknya, Bank Umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha tidak
dengan prinsip bagi hasil (konvensional), tidak diperkenankan melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.
Pendirian Bank Muamalat Indonesia ini diikuti oleh
perkembangan Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS). Namun adanya dua jenis bank tersebut belum
sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah. Oleh karena itu, dibangunlah
lembaga-lembaga simpan-pinjam yang disebut Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Pada
tahun 1998 muncul UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, di mana terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang
yang lebih besar bagi pengembangan Perbankan Syariah. Dari UU tersebut dapat
disimpulkan bahwa sistem Perbankan Syariah dikembangkan dengan tujuan sebagai
berikut:[13]
1)
Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi
masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Ditetapkannya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan
konvensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang
selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional
yang menerapkan sistem bunga.
2)
Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan
usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan
adalah investor yang harmonis. Sementara dalam Bank Konvensional konsep yang
diterapkan adalah hubungan debitur-kreditur.
3)
Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa
perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan
pembebanan bunga yang berkesinambungan, membatasi kegiatan spekulasi yang tidak
produktif, pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memperhati kan
unsur moral.
4)
Pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 ini diikuti
dengan dikeluar kannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Surat
Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih
kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
Perundang‑ undangan tersebut membuka kesempatan untuk pengembangan jaringan
perbankan Syariah, antara lain melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syariah
(KCS) oleh Bank Konvensional. Dengan kata lain, Bank Konvensional dapat
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah. Landasan dan kepastian
hukum yang kuat bagi para pelaku bisnis serta masyarakat luas ini meliputi:[14]
a)
Pengaturan aspek kelembagaan dan kegiatan
usaha dan Bank Syariah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat 3 UU No.
10 Tahun 1998. Pasal tersebut menjelaskan bahwa bank umum dapat memilih untuk
melakukan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional atau berdasarkan
prinsip Syariah atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Dalam hal bank umum melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Syariah, maka kegiatan tersebut dilakukan dengan
membuka satuan kerja dan kantor cabang khusus yaitu unit usaha syariah dan
kantor cabang Syariah. Sedangkan BPR harus memilih kegiatan usaha di antara
salah satunya saja.
Bank umum konvensional yang akan membuka kantor cabang syariah
wajib melaksanakan:[15]
Ø Pembentukan Unit Usaha
Syariah (UUS);
Ø Memiliki Dewan
Pengawas Syariah (DPS) yang di tempat kan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN);
Ø Menyediakan modal
kerja yang disisihkan oleh bank dalam suatu rekening tersendiri atas nama UUS
yang dapat digunakan untuk membayar biaya kantor dan izin-izin berkaitan dengan
kegiatan operasional maupun non operasional. Kantor Cabang Syariah (KCS).
b)
Ketentuan kliring instrumen moneter dan pasar
uang antar bank. Di dalam penjelasan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia telah diamanatkan bahwa untuk mengantisi pasi perkembangan prinsip
Syariah, maka tugas dan fungsi BI untuk mengakomodasi prinsip tersebut. Untuk
mengatur kelancaran lintas pembayaran antarbank serta pelaksanaan Pasar Uang
antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah, transaksi pembayaran dilakukan melalui
mekanisme kliring dengan membebankan rekening giro pada BI. Apabila dalam
pelaksanaan, saldo bank menjadi kurang dari Giro Wajib Minimum (GMW), maka bank
atau kantor cabangnya dikenakan kewajiban membayar.
Dalam kegiatan operasional, bank dapat
mengalami kelebihan atau kekurangan likuiditas. Bila terjadi kelebihan, maka
hal itu dianggap sebagai keuntungan bank. Sedangkan apabila terjadi kekurangan.
likuiditas, maka bank memerlukan sarana untuk menutupi kekurangan tersebut.
Bagi bank syariah yang mengalami kekurangan dana dapat menerbitkan sertifikat
Investasi Mudharabah antarbank (IMA) yang merupakan sarana pe nanaman modal
bagi bank syariah. Untuk menjaga kestabilan moneter, BI menyerap kelebihan
likuiditas bank-bank syariah melalui penerbitan Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia (SWBI) yang didasari pada prinsip wadiah (titipan).[16]
B.
Kendala-Kendala Operasional
Bank Syariah
Meskipun mampu bertahan dalam menghadapi gejolak
krisis, dalam usianya yang relative muda tentunya masih banyak kelemahan dan
kekurangan dalam operasionalisasi bank syariah. Masih adanya kekurangan dan
kelemahan tersebut justru menjadi cambuk dan tantangan bagi pengembangan bank syariah
ke depan. Adapun kendala/kelemahan bank syariah antara lain:
1.
sistem pelayanan
bank dan lembaga keuangan syariah yang belum optimal. Menurut penulis, faktor ini yang
menyebabkan nasabah perbankan Syari’ah seringkali pindah ke bank lain karena
menganggap pelayanan dari pihak perbankan Syari’ah kurang profesional, maka
pengembangan SDM bidang perbankan Syari’ah menjadi hal penting karena
keberhasilan pengembangan bank Syari’ah pada level Mikro ditentukan oleh
kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan dan ketrampilan pengelola bank.
Pengembangan SDM bisa dilakukan melalui kerjasama antara perbankan Syari’ah
dengan lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar maupun di Indonesia
sendiri.[17]
Abdul
aziz dalam bukunya yang berjudul etika bisnis perspektif islam menjelaskan
bahwa pimpinan bank berkewajiban dan bertanggung jawab:
a. mengembalikan seluruh atau sebagian
simpanan pada waktu diminta oleh nasabah secara pribadi maupun dengan surat
kuasa.
b. Menjaga kerahasia keuangan bank
menurut kelaziman dalam dunia perbankan.
c. Member informasi yang akurat dan
objektif jika diminta oleh nasabah.
d. Turut menjaga dan memelihara
kestabilan nilai rupiah.
e. Menjaga dan memelihara organisasi
tatakerja dan administrasi dengan baik.
f. Menyalurkan kredit secara lebih
selektif kepada calon debitur. Disini pimpinan bank harus lebih mengutamakan
kepentingan msyarakat luas dari pada kepentingan atau pribadi.[18]
2.
Keterbatasan Jaringan Kantor Bank Syari’ah: pengembangan
jaringan kantor bank Syari’ah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan
kepada masyarakat. Disamping itu, kurangnya jumlah bank Syari’ah yang ada juga
dapat menghambat perkembangan kerjasama diantara bank Syari’ah. Dalam upaya
pengembangan dan perluasan jaringan kantor bank Syari’ah, ada beberapa faktor
penting yang diperlukan sebagai dasar pengembangan jaringan. Faktor-faktor
tersebut meliputi skala pasar, SDM, sistem dan teknologi, ketimpangan dalam
distribusi dana, serta kegiatan ekonomi.[19]
3.
Tingkat
pengetahuan masyarakat tentang sistem dan manfaat perbankan syariah masih
rendah. Penelitian BI menunjukkan bahwa masyarakat yang tahu tentang manfaat
bank syariah hanya 11 %.[20]
4.
Kecilnya market
share
Adanya bank syariah yang beroperasi dengan
tujuan utama menggerakan perekonomian secara produktif. Di samping
sungguh-sungguh menjalankan fungsi intermediasi karena secara syariah tugas
bank selaku mudharib (pengelola dana)
harus menginvestasikan pada sektor ekonomi secara riil untuk kemudian berbagi
hasil dengan sahibul maal (pemilik
dana) sesuai dengan nisbah yang disepakati.
Masih kecilnya market share itu disebabkan
antara lain karena bank syariah mempunyai keterbatasan dana baik dari segi
permodalan maupun jumlah dana masyarakat yang berhasil dihimpun karena
alasan-alasan seperti yang diungkapkan di atas.[21]
5. Sumber daya manusia
yang memiliki keahlian dalam bank syariah masih sedikit.
Kendala-kendala di bidang sumber daya manusia
dalam pengembangan perbankan syariah disebabkan karena sistem ini masih belum
lama dikembangkan. Disamping itu, lembaga-lembaga akademik dan pelatihan
dibidang ini sangat terbatas sehingga tenaga terdidik dan berpengalaman dibidang
non perbankan syariah, baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank sentral
(pengawas dan peneliti bank), masih sangat sedikit.[22]
Menurut penulis tidak semua pelaku/bankir yang
ada dalam perbankan syariah memahami dan mendalami apa dan bagaimana tentang bank
syariah, sehingga dalam menejemen pengelolaannya sama dengan bank konvensional
hanya namanya yang syariah. dalam bukunya Abdul Aziz disebutkan bankir yang
professional memerlukan beberapa persyaratan, diantaranya:[23]
a.
.memiliki rasa percaya diri dan selalu optimis dalam setiap tindakan
yang dilakukannya karena setiap keputusan yang diambil telah didasari oleh
perhitungan dan analisis yang akurat
b.
Mampu menerima tekanan dari pihak manapun tanpa mengurangi kinerja dan
berani mengambil resiko.
c.
Mampu mengendalikan diri, penuh toleransi serta memiliki rasa
tanggungjawab sosial yang tinggi dalam mengelola bisnis perbankan.
C. . Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
1. Efisiensi
Efisiensi
bank syariah lebih baik dari pada bank konvensional dan efisiensi bank umum
syariah lebih baik bila dibanding unit usaha bank syariah. Penelitian yang
dilakukan Heralina Aida dari tahun 2001-2004 tentang perbandingan efisiensi
bank syariah dan bank konvensional pada tahun 2004, mendapatkan kesimpulan
bahwa: Efisiensi perbankan syariah di Indonesia dapat dihitung dengan
mengunakan Stochastic Frontier Aproach (SFA) dan Distribution Free
Aproach (DFA). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa scope ekonomi dan
skala ekonomi berpengaruh terhadap peningkatan efisiensi. Dari hasil
perbandingan dengan bank konvensional, tidak terlihat perbedaan secara
signifikan antara rata-rata efisiensi bank syariah dengan bank konvensional
yang menjadi referensi. [24]
Dari
penelitian ini penulis dapat mengaambil pelajaran bahwa tumbuh suburnya
unit-unit syariah belakangan ini harus diikuti dengan mentaati kode etik
perbankan dan program penjagaan yang ketat agar bank-bank tersebut bisa tetap
efisien. Penelitian ini mengambarkan bahwa semakin banyak jaringan dan unit
usaha syariah semakin rentan terhadap penambahan cost yang tidak terkendali.
Dalam
bukunya Abdul Aziz dijelaskan pula kode etik perbankan seyogyanya harus
berdasarkan atas:[25]
a. Menciptakan iklim usaha yang sehat.
b. Menciptakan integritas bank terhadap
lingkungan dan masyarakat luas serta pemerintah.
c. Mengangkat harkat perbankan nasional
di mata internasional.
d. Menciptakan keamanan, ketenangan dan
kenyamanan para pemilik dana maupun pemegang saham.
e. Menjaga keselarasan dan konsistensi
antara gaya menejemen, strategi dan kebijakan dalam mengembangkan usaha
perbankan
2. Pendidikan dan pengetahuan
masyarakat tentang perbankan syariah dan bunga.[26]
Menurut Guntur
S. Mahardika bank syariah lebih disukai oleh masyarakat berpendidikan tinggi
(sarjana) dan berpenghasilan menenggah. Ini mengambarkan fenomena masyarakat
perkotaan dengan tingkat pendidikan dan pendapatannya tersebut sering
mendapatkan informasi mengenai bank syariah.
Melihat
kondisi ini maka perbankan syariah harus peduli dan bergandengan tanggan dengan
semua pihak yang peduli dan benar-benar serius dalam pengembangan tingkat
pendidikan masyarakat. Perbankan syariah harus berinisiatif untuk mengeluarkan
program-program kreatif yang pada akhirnya akan membantu masyarakat untuk
meningkatkan pendidikannya, misalnya mempermudah pemberian pinjaman pendidikan,
bekerjasama dengan asuransi untuk memberikan fasilitas assuransi pendidikan
jika menjadi nasabah perbankan syariah dengan kriteria tertentu, bisa juga
dalam bentuk perbankan syariah memberikan paket-paket beasiswa kepada masyarakat,
termasuk pemberian beasiswa kepada karyawan perbankan syariah untuk melanjutkan
studi, sehingga bisa menjadi ahli di bidangnya, dan banyak lagi program-program
peningkatan pendidikan masyarakat.
Dengan
demikian perbankan syariah anti terhadap kemiskinan dan kebodohan, karena hal
ini memang sesuai dengan maqasid syariah Islam hal itu ternyata juga akan
menyebabkan tidak berkembangnya perbankan syariah di Indonesia.
3. Regulasi
Indonesia
telah mempunyai Undang-unang perbankan syariah No. 21 tahun 2008 dengan
diberlakukannya UU tersebut industri perbankan syariah diperkirakan akan
berkembang lebih cepat, tidak hanya menyangkut produk dan jasa yang
ditransaksikan, melainkan juga nilai transaksinya. Salah satu kelebihan yang
diberikan UU ini adalah UU ini masih mengakomodasi dual banking system. Sistim
yang berlaku sekarang: Unit usaha Syariah (UUS) yang menginduk pada bank umum
konvensional (BUK) masih berlaku.
Namun,
kelongaran ini tidak berlaku selamnya. Bagi Bank Umum Konvensional (BUK) yang
telah memiliki UUS, setelah 15 tahun sejak diberlakukannya UU ini atau telah
memiliki nilai aset UUS minimal 50% dari total nilai asset bank induknya, UUS
harus dipisahkan (spin off) dan menjadi bank umum syariah (BUS). Dengan
demikian pada tahun 2023 setidaknya Indonesia akan memiliki 31 Bank Umum
Syariah, yaitu 3 BUS yang saat ini ada ditambah 28 BUS hasil konversi UUS yang
ada sat ini.[27]
4. Fatwa bahwa bunga bank adalah riba
dan haram[28]
Menurut
Ahmad Yunus sikap masyarakat terhadap fatwa MUI tentang bunga bank haram memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap minat untuk mengunakan bank syariah. Artinya
semakin masyarakat memahami tentang konsep bunga, semakin besar kemungkinannya
untuk mengunakan bank syariah. Oleh karena itu dalam rangka untuk pengembangan
bank syariah perlu dilakukan usaha untuk memberikan pemahaman yag baik tentang
bunga bank kepada masyarakat. Selain itu jelas bahwa dalam al-Qur’an
disebutkan:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB (
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali ‘imron:130)
Menurut
penulis hal di atas membuktikan bahwa haramnya bunga berpengaruh terhadap
perkembangan perbankan syariah di Indonesia, dengan demikian kedepan
sosialisasi terhadap fatwa ini seharusnya terus dilakukan, sehingga masyarakat
juga semakin tahun bahwa perbankan syariah merupakan solusi kehidupan yang
berkah dunia dan akhirat.
5. Terbukti unggul menghadapi krisis
Sistim
Ekonomi Syariah berhasil menunjukkan keunggulannya, teruji pada saat terjadi
krisis ekonomi. Ketika bank-bank konvensional tumbang dan butuh suntikan dana
pemerintah hingga ratusan triliun, Bank Muamalat Indonesia, sebagai bank
syariah pertama di Indonesia, mampu melewati krisis dengan selamat tanpa
bantuan dana pemerintah sepeserpun.[29].
6. Integrasi Lembaga Keuangan Syariah
(LKS)
Tuntutan
integrasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang saling menopang. Bank syariah
dapat menggunakan asuransi syariah untuk menutup resiko pembiayaan terhadap
nasabahnya. Sebaliknya, asuransi syariah dapat menyimpan dananya di bank
syariah, pasar modal syariah, maupun reksadana syariah dan sukuk.
7. Daya Saing Perbankan Syariah di
Indonesia[30]
Dari
Laporan Karim Consulting terhadap Kajian atas 130 bank syariah di seluruh dunia
dalam rangka International Islamic Banking Award (IIBA) 2005, memberikan hasil
yang menarik tingkat profitabilitas bank syariah di Indonesia merupakan yang
terbaik di dunia diukur dari rasio laba terhadap aset (ROA), baik untuk
kategori bank yang full fledge maupun untuk kategori unit usaha syariah.
Begitu pula tingkat efisiensi operasi yang diukur dari rasio biaya operasi
terhadap pendapatan operasi.
Jadi
meskipun aset dan pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia tergolong liliput
dibandingkan raksasa Timur Tengah dan Malaysia, perbankan syariah Indonesia
memiliki daya saing yang tinggi dilihat dari pertumbuhan, profitabilitas, dan
efisiensi operasinya. Inilah peluang bisnis bagi bank-bank syariah Indonesia
untuk menarik investor asing.
8. Sosialisasi dan fasilitas yang
tersedia[31]
Berdasarkan
statistik, sebagian besar masyarakat yang menolak atau tidak mengunakan bank
syariah, disebabkan karena ketidak tahuan mereka tentang bank syariah. Mereka
menganggap bahwa bank konvensional sama saja dengan bank syariah atau sama
sekali tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu . selain faktor
ketidaktahuan, faktor penolakan juga disebabkan oleh sedikitnya jaringan ATM
dan atau kantor bank syariah. Sehingga masyarakat merasa sulit apabila ingin
melakukan transaksi.
Kondisi
ini sangat disebabkan oleh kurangnya informasi dan sosialisasi produk bank
syariah, khususnya terkait dengan sistim pembayaran, dimana dengan perkembangan
informasi dan teknologi dewasa ini sebagian besar ATM bank telah terintegrasi
sehingga nasabah bank dapat melakukan transaksi melalui ATM bank lain.
Dengan
demikian untuk memperbesar share perbankan syariah dan menarik nasabah-nasabah
baru perbankan syariah sangat disarankan untuk berinvestasi pada kampanye
perbankan syariah sehingga lebih banyak masyarakat yang tahu tentang perbankan
syariah, termasuk fasilitas dan kemudahan yang dimiliki perbankan syariah.
Implikasi lainnya adalah perbankan syariah harus berani untuk investasi
teknologi yang lebih baik dari perbankan konvensional yang ada saat ini.
Faktor-faktor ini akan sangat mempengaruhi minat masyarakat terhadap perbankan
syariah.
9. Meningkatnya kesadaran ke-Islaman masyarakat.[32]
Tren
kesadaran masyarakat muslim yang semakin meningkat, khususnya pada masyarakat
kelas menengah atas, karena fenomena munculnya aktivitas-aktivitas keislaman di
kampus-kampus dan perkantoran sekarang menjadi fenomena giatnya dakwah
keislaman, faktor ini juga akan mendorong lajunya pertumbuhan perbankan
syariah, karena penulis meyakini ada korelasi positif antara tingginya tingkat
pendidikan, tingginya pemahaman keislaman masyarakat dengan tingginya minat
masyarakat mengunakan fasilitas perbanakan syariah.
10. Masyarakat muslim terbesar didunia
ada di Indonesia[33]
Ini meruakan pasar potensial yang
sangat menggiurkan para pelaku perbankan syariah, apalagi diiringi dengan
semakin baiknya kesejahteraan masyarakat, seharusnya di Indonesialah pasar
perbankan syariah terbesar di dunia.
11. Peningkatan jumlah lembaga keuangan
syariah[34]
Menurut penulis
peningkatan jumlah lembaga keuangan yang ada semakin hari semakin bertambah dan
perkembangan akad yang digunakan juga semakin berfariasi.
12. Adanya pelayanan yang meluruskan
pelanggan dengan cara sesuai Islam[35]
Hal itu dapat terbukti dengan diraihnya
penghargaan Quality Assurance Service
Australia, predikat ISO 9001 tahun 2000. Hal ini untuk pelayanan bank
khususnya customer service dan taller banking diberikan pada BMI, serta
Market Research Indonesian tahun
2000, yang memasukkan BMI masuk deretan unggulan terbaik dari 5 bank dalam
pelayanan. Selain hal-hal tersebut menurut penulis untuk pelayanan yang
meluruskan pelanggan sesuai islam bankir harus memiliki etika, moral, akhlak
dan keahlian dibidang perbankan/keuangan.
Berdasarkan beberapa
hal yang mendukung berkembangnya perbankan Indonesia di atas, menurut penulis
hal yang paling dominan adalah pada nomor 12, karena pelayanan yang baik/Islami
akan mendatangkan trust (kepercayaan) dan dari kepercayaan akan menciptakan
kepuasan dan loyalitas dari nasabanya.
D.
Arah
Pengembangan Bank Syariah di Indonesia
Menurut
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dalam proses transisi ini, perbankan syariah
fokus pada 5 program strategis yang mendorong pada pemerataan ekonomi.
Program-program tersebut adalah sebagai berikut:[36]
1. Mengarahkan
pembiayaan perbankan syariah pada sektor ekonomi produktif dan masyarakat yang
lebih luas. Menurut penulis dalam hal ini sangat sesuai dengan keadaan sekarang
ini, lebih-lebih masyarakat pinggiran yang menggunakan jasa bank sebagai jalan
alternatif untuk konsumsi berubah menjadi prduktif sehingga dengan adanya
produk ini bisa mengurangi tingkat kemiskinan.
2.
Mengembangkan produk yang lebih memenuhi
kebutuhan masyarakat dan sektor produktif.
3.
Melaksanakan transisi pengawasan yang tetap
menjaga kesinambungan pengembangan perbankan syariah.
4.
Revitalisasi peningkatan sinergi dengan bank
induk.
5. Meningkatkan
edukasi dan komunikasi produk perbankan syariah.
Selain
faktor-faktor di atas perlu ditambahkan bahwa faktor pengawasan yang kuat
secara internal dan eksternal mutlak dibutuhkan. Jumlah dan skala bisnis bank
yang beragam menyebabkan risiko yang dihadapi akan relatif beragam sehingga
penguatan fungsi pengawasan regulator sebagai bagian dari early
warning sistem akan menjadi kunci dalam mengantisipasi munculnya
risiko sistematik yang mungkinj terjadi di masa-masa yang akan datang. Eksplorasi
dan analisis terhadap lima arah kebijakan perbankan syariah di atas memerlukan
kajian yang lebih luas dan panjang.
BAB III
KESIMPULAN
1. Sejarah
Bank Syariah di Indonesia
K.H. Mas
Mansur, ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pereode 1937-1944 telah menguraikan pendapatnya
tentang penggunaan jasa Bank Konvensional sebagai hal yang terpaksa dilakukan
karena umat Islam belum mempunyai sendiri bank yang bebas riba.
Pada tahun 1988 membuka peluang yang
seluas-luasnya untuk bisnis perbankan dengan mengeluarkan PAKTO (Paket
Kebijaksanaan Pemerintah bulan Oktober) pada tanggal 27 Oktober yang berisi
tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru
selain yang telah ada. Dengan ini dimulailah pendirian Bank Umum Syariah
pertama. di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 Mei 1992
Kemudian diikuti dengan kemunculan
Undang-Undang (UU) No 7 tahun 1992 tentang Perbankan, di mana perbankan bagi
hasil diakomodasi. Pada tahun 1998 muncul UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana terdapat beberapa
perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan Perbankan
Syariah. Dengan adanya UU tersebut bank syariah semakin kuat dan hingga kini
bank syariah semakin berkembang.
2. Faktor
yang menghambat/kendala berkembangnya bank syariah di Indonesia
a. Sistem
pelayanan bank dan lembaga keuangan syariah yang belum optimal.
b. Keterbatasan Jaringan Kantor Bank
Syari’ah: pengembangan jaringan kantor bank Syari’ah diperlukan dalam rangka
perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat.
c. Tingkat
pengetahuan masyarakat tentang sistem dan manfaat perbankan syariah masih
rendah.
d. Kecilnya market share.
e. Sumber daya manusia
yang memiliki keahlian dalam bank syariah masih sedikit.
3. Faktor
yang mempengaruhi berkembangnya bank syariah di Indonesia
a. Efisiensi
b. Pendidikan dan pengetahuan
masyarakat tentang perbankan syariah dan bunga
c. Regulasi
d. Fatwa bahwa bunga bank adalah riba
dan haram
e. Terbukti unggul menghadapi krisis
f. Integrasi Lembaga Keuangan Syariah
(LKS)
g. Daya Saing Perbankan Syariah di
Indonesia
h. Sosialisasi dan Fasilitas yang
tersedia
i.
Meningkatnya kesadaran keislaman Masyarakat
j.
Masyarakat muslim terbesar didunia ada di Indonesia
k. Peningkatan jumlah lembaga keuangan
syariah
l.
Adanya pelayanan yang meluruskan pelanggan dengan cara
sesuai Islam
4.
Arah
Pengembangan Bank Syariah
Perbankan syariah fokus pada 5
program strategis yang mendorong pada pemerataan ekonomi yaitu:
1. Mengarahkan
pembiayaan perbankan syariah pada sektor ekonomi produktif dan masyarakat yang
lebih luas
2.
Mengembangkan produk yang lebih memenuhi
kebutuhan masyarakat dan sektor produktif.
3.
Melaksanakan transisi pengawasan yang tetap
menjaga kesinambungan pengembangan perbankan syariah
4.
Revitalisasi peningkatan sinergi dengan bank
induk.
5.
Meningkatkan edukasi dan komunikasi produk
perbankan syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
M. Ma’ruf, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia.
Banjarmasin: Antasari Press, 2006.
Aziz, Abdul. Etika Bisnis Perspektif Islam
Implementasi Etika Islami Untuk Dunia Usaha, Bandung: Alfabeta, 2013.
Dewi,
Gemal. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.
Muhammad Surya, “Prospek, Faktor Pendukung,
Faktor Penghambat, dan Strategi Perkembangan Bank Syariah di Indonesia” (dalam
jurnal Ekonomi Islami, vol. 1, 2009.
Muhith, Abdul. “Sejarah Perbankan Syariah”,
Attanwir Bojonegoro, Vol. 01, 2012.
Parmudi,
Mochammad. Sejarah dan Doktrin Bank Islam. Yogyakarta: Kutub, 2005.
Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/ 3 /Pbi/2009 tentang Bank Umum Syariah.
Pujiyono, Arif. “Posisi dan Prospek Bank Syariah dalam Dunia
Usaha Perbankan”, Vol.1, jurnal: UNDIP, 2004.
Sudarsono,
Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia,
2004.
Trolle-Schultz, Erik How the First Islamic
Bank was Established in Europe, dalam Islamic Banking and Finance, terj.
Butterworths Editorial Staff, London, 1986.
Wibowo, Edi dkk, Mengapa Memilih Bank
Syariah?, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
Yunaldi, Wendra
Potret
Perbankan Syari’ah di Indonesia. Jakarta : Centralis, 2007.
http://banking.blog.gunadarma.ac.id/2010/04/15/kendala-kendala-seputar-perbankan-syariah-di-indonesia/, diakses 15 Mei 2016, 13:10 WIB
http://www.eramuslim.com/peradaban/ekonomi-syariah/peluang-tantangan-dan-outlook-perbankan-syariah-2013.htm. Diakses 16 Mei 2016, 08:15 WIB
http://www.kompasiana.com/ferial/kendala-kendala-yang-dihadapi-perbankan-syariah-indonesia_54ff49b2a333119e4c50faab diakses pada 15 Mei 2016, 11:00 WIB
http://www.kompasiana.com/ferial/kendala-kendala-yang-dihadapi-perbankan-syariah-indonesia_54ff49b2a333119e4c50faab diakses pada 15 Mei 2016, 11:00 WIB
https://muhammadsurya.wordpress.com/2009/03/10/prospek-faktor-pendukung-faktor-penghambat-dan-strategi-perkembangan-bank-syariah-di-indonesia/ diakses pada 15 Mei 2016, 14:00 WIB.
https://www.islampos.com/berikut-latar-belakang-berdirinya-bank-syariah-180990/.. Diakses pada 10 Mei 2016, 09:40 WIB
https://cintasyariah.wordpress.com/2010/02/25/perkembangan-bank-syariah-di-indonesia/#more-274 diakses pada 20 Mei 2016, 14:05.
http://www.academia.edu/10999342/Perkembangan_Bank_Syariah_di_Indonesia diakses pada 16 Mei 10:10 WIB.
[1] Edi Wibowo, Mengapa Memilih Bank Syariah?
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 10.
[2] Abdul Muhith, “Sejarah Perbankan Syariah”
(Attanwir Bojonegoro, Vol. 01, 2012),
69.
[3] Erik Trolle-Schultz, How the First Islamic
Bank was Established in Europe, dalam Islamic Banking and Finance,
terj. (Butterworths Editorial Staff, London, 1986), 43.
[4] Gemala
Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 59.
[5] Edi Wibowo dkk, MengapaMemilih Bank
Syariah? (Bogor: Ghalia Indonesia,2005), 18.
[7] M. Ma’ruf
Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
(Banjarmasin: Antasari Press, 2006), 17.
[10] https://www.islampos.com/berikut-latar-belakang-berdirinya-bank-syariah-180990/.. Diakses pada 10 Mei 2016, 09:40 WIB.
[16] Ibid.,
[17] http://www.kompasiana.com/ferial/kendala-kendala-yang-dihadapi-perbankan-syariah-indonesia_54ff49b2a333119e4c50faab diakses pada
15 Mei 2016, 11:00 WIB.
[18] Abdul aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam
Implementasi Etika Islami Untuk Dunia Usaha (Bandung: Alfabeta, 2013 ),
281.
[19] Arif Pujiyono, “Posisi dan Prospek Bank
Syariah dalam Dunia Usaha Perbankan”,
vol.1 (jurnal: UNDIP, 2004), 45.
[20] http://www.kompasiana.com/ferial/kendala-kendala-yang-dihadapi-perbankan-syariah-indonesia_54ff49b2a333119e4c50faab diakses pada
15 Mei 2016, 11:00 WIB.
[21] http://banking.blog.gunadarma.ac.id/2010/04/15/kendala-kendala-seputar-perbankan-syariah-di-indonesia/, diakses 15
Mei 2016, 13:10 WIB.
[22] Ibid.,
[23] Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, 284.
[24] Muhammad Surya, “Prospek, Faktor Pendukung,
Faktor Penghambat, dan Strategi Perkembangan Bank Syariah di Indonesia” (dalam
jurnal Ekonomi Islami, vol. 1,
2009), 33.
[25] Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, 282.
[26] https://muhammadsurya.wordpress.com/2009/03/10/prospek-faktor-pendukung-faktor-penghambat-dan-strategi-perkembangan-bank-syariah-di-indonesia/ diakses pada
15 Mei 2016, 14:00 WIB.
[27] Ibid.,
[28] Ibid.,,
[29] https://cintasyariah.wordpress.com/2010/02/25/perkembangan-bank-syariah-di-indonesia/#more-274 diakses pada
20 Mei 2016, 14:05 WIB.
[30] Ibid.,
[31] Ibid.,
[33] http://www.academia.edu/10999342/Perkembangan_Bank_Syariah_di_Indonesia diakses pada
16 Mei 10:10 WIB.
[34] Ibid.,
[36] http://www.eramuslim.com/peradaban/ekonomi-syariah/peluang-tantangan-dan-outlook-perbankan-syariah-2013.htm. Diakses 16 Mei 2016, 08:15 WIB.
No comments:
Post a Comment