Peran
Ra’y danMacam MetodePenalaran dalam Hukum Islam
Revisi makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“ Us}ul al-Fiqh”
Dosen Pengampu:
Dr. H.Abdul
Mun’im Saleh, M.Ag.
Disusun Oleh:
Hanafi Hadi Susanto
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ra’y
dan Ilmu Pengetahuan merupakan sesuatu hal
yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Karena ra’y digunakan
oleh manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dalam mengembangkan
ilmu hukum, ilmu sosial maupun ilmu
lainnya.
Sesungguhnya
pengembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam sesuai dengan perintah al-Qur’an
untuk mengamati alam dan mengunakan akal, yang merupakan dua dasar metodologi
sains. Perintah penggunaan ra’y sebagai dasar kerasionalan ilmu dengan
perintah mengamati alam sebagai dasar ilmu selalu berjalan seiring, dan firman
Allah juga selalu disertai pertanyaan “afala ta’qilu>n (mengapa tidak
kamu gunakan akalmu)” dan “afala tatafakkaru>n (mengapa tidak kamu
pikirkan).[1]
Dengan
menggunakan ra’y, manusia mampu memahami al-Qur’an yang diturunkan sebagai
wahyu oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan ra’y pula, manusia mampu
menelaah sejarah Islam dari masa ke masa dari masa lampau. Ra’y juga
digunakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Tidak
dapat dipungkiri, bahwa ra’y mempunyai kedudukan dalam wilayah agama,
yang penting dalam hal ini, menentukan dan menjelaskan batasan-batasan ra’y,
sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum Muslim berupaya dan berusaha
mengambil manfaat ra’y dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan
agama secara argumentatif.
Bila pada hukum yang berdasarkan
nas}s (tersurat) Allah sendiri yang menetapkan hukum dan pada hukum yang
tidak berdasarkan nas}s hukum Allah ditetapkan berdasarkan ra’y
maka kekuatan hukum yang berdasarkan nas}s tidak sama dengan kekuatan
hukum yang berdasaran ra’y. Untuk mengetahui seberapa jauh akal/ra’y
berperan dalam hukum Islam, maka dalam makalah ini akan dibahas sesuai dengan
rumusan masalah di bawah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian ra’y?
2.
Bagaimana peran ra’y dalam hukum
Islam?
3.
Bagaimana kedudukan kedudukan ra’y dalam
hukum Islam?
4.
Apa sajakah macam-macam dan prosedur metode
penalaran hukum ekstra tekstual?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ra’y dalam Hukum Islam
Kata ra’y secara
etimologi artinya melihat. Kata ra’y atau yang seakar dengan itu terdpat
dalam 328 ayat yang tersebar dalam al-Qur’an.[2]
Tentang apa yang dimaksud kata al-ra’y itu dalam al-Qur’an, tergantung
kepada apa yang menjadi objek dari perbuatan “melihat” itu. Objek yang
dikenai oleh kata al-ra’y dalam al-Qur’an secara garis besar dapat
dibagi dua macam, yaitu objek yang konkrit (berupa) dan objek yang abstrak
(tidak berupa).[3]
Untuk
artian berfikir, dalam al-Qur’an juga digunakan kata “fakara” atau kata
lain yang berakar kepada kata itu. Kata fakara ini terdapat dalam 18
ayat al-Qur’an yang pada umumnya bersamaan artinya dengan kata al-ra’y
tersebut. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Rum ayat 8:[4]
öNs9urr& (#rã©3xÿtGt
þÎû
NÍkŦàÿRr&
3
$¨B
t,n=y{
ª!$#
ÏNºuq»uK¡¡9$#
uÚöF{$#ur
$tBur
!$yJåks]øt/
wÎ)
Èd,ysø9$$Î/
9@y_r&ur
wK|¡B
3
¨bÎ)ur
#ZÏVx.
z`ÏiB
Ĩ$¨Z9$#
Ç!$s)Î=Î/
öNÎgÎn/u
tbrãÏÿ»s3s9
ÇÑÈ
Artinya: Dan mengapa mereka tidak
memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan
bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar
dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia
benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.
Kata fikir
mempunyai kaitan yamg erat dengan ra’y. Karena Allah SWT menggunaan kata
berakal dalam artian yang sama dengan berfikir. Kata “’aqala” (عقل) dan kata yang berakar kepadanya muncul dalam
49 ayat al-Qur’an. Umpamanya firmal Allah dalam surat al-Nah}l ayat 12:
t¤yur ãNà6s9
@ø©9$#
u$yg¨Y9$#ur
}§ôJ¤±9$#ur
tyJs)ø9$#ur
(
ãPqàfZ9$#ur
7Nºt¤|¡ãB
ÿ¾ÍnÌøBr'Î/
3
cÎ)
Îû
Ï9ºs
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
cqè=É)÷èt
ÇÊËÈ
Artinya: Dan Dia menundukkan malam dan
siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan
(untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya),[5]
Kata lain
yang digunakan Allah SWT dalam al-Qur’an yang artinya berfikir adalah نظر. Terjemahan
kata ini dalam bahasa Indonesia menjadi nalar. Walaupun kata ini secara lughawi
berarti memperlihatkan atau melihat, namun
bila digunakan untuk objek yang abstrak artinya menjadi memikirkan. Kata ini dalam arti berfikir
terdapat dalam al-Qur’an lebih dari 30 kali. Umpanya dalam surat al-Ankabu>t
ayat 20:
ö@è% (#rçÅ
Îû
ÇÚöF{$#
(#rãÝàR$$sù
y#ø2
r&yt/
t,ù=yÜø9$#
4
¢OèO
ª!$#
à×Å´Yã
nor'ô±¨Y9$#
notÅzFy$#
4
¨bÎ)
©!$#
4n?tã
Èe@à2
&äóÓx«
ÖÏs%
ÇËÉÈ
Artinya: Katakanlah: "Berjalanlah di
(muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari
permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.
Kalau dianalisa semua ayat
al-Qur’an yang berarti berfikir baik yang berakar pada kata رأي فكر dan, نظرterlihat keseluruhannya mendorong umat untuk menggunakan
pikirannya, baik dengan menggunakan ungkapan berfikir, atau kenapa tidak kamu
fikirkan?[6]
Berdasarkan berbagai ulasan di atas
penulis mengumpulkan dan mencaba mendefinisikan bahwa ra’y adalah sesuatu
yang dilihat oleh hati setelah melalui pemikiran dan perenungan dalam rangka
mengethui kebenaran berdasarkan tanda-taanda dan atau isyarat.
B.
Peran Ra’y
Dalam surat
al-An’a>m
ayat 38, ditegaskan bahwa tidak ada satu pun yang luput dalam kitab Allah.
Dalam ayat lain ditegaskan
lagi bahwa al-Qur’an itu telah sempurna dan tidak perlu ditambah lagi.[7]
Dalam
penjelasan tersebut tentang al-Qur’an diuraikan bahwa di antara ayat hukum
dalam al-Qur’an itu ada ayat yang mengungkapkan ketentuan hukum secara jelas
dan rinci sehingga tidak memungkinkan adanya pemahaman lain. Ayat semacam ini
terbatas jumlahnya. Persentasenya sangat kecil dibandingan dengan persoalan
hukum dalam kehidupan manusia yang memerlukan pengaturan hukum.[8]
Di samping
itu, yang lebih banyak terdapat dalam al-Qur’an adalah peraturan hukum yang
diungkapkan secara garis besar, sehingga memerlukan penjelasan Nabi. Dalam
uraian tentang Sunah, terutama tentang fungsi Sunah sebagai penjelas terhadap
al-Qur’an, dikemukakan bahwa sebagian dari aturan dalam al-Qur’an yang bersifat
global atau garis-garis besar itu telah dijelaskan secara harfiah oleh Nabi.
Juga masih banyak dari penjelasan Nabi itu yang membutuhkan penalaran.[9]
Selain itu,
kerena penjelasan Nabi itu bersifat sederhana, maka tidak mampu menjangkau
seluruh kejadian dan peristiwa yang bermunculan kemudian seiring dengan
perkembangan dan perubahan dalam kehidupan umat Islam. Dalam kenyataan, banyak
sekali kejadian yang telah dan yang akan muncul tidak ditemui jawaban secara
harfiah, baik dalam al-Qur’an maupun Sunah.[10]
Kita tidak
dapat mengatakan bahwa kejadian baru yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam
al-Qur’an dan Sunah itu berada di luar jangkauan syara’ atau bebas hukum,
karena kita yakin bahwa tindak tanduk manusia ada aturannya dari Allah. Dengan
demikian, harus diyakini bahwa semua persoalan dalam kehidupan di dunia ini
pasti ada aturannya dari Allah. Aturan Allah itu dapat ditentukan secara
harfiah dalam al-Qur’an atau dibalik yang harfiah itu. Dari segi ini, hukum
Allah dapat ditemukan dalam tiga kemungkinan sebagai berikut:[11]
1.
Hukum Allah
dapat ditemukan dalam ibarat lafad al-Qur’an menurut yang disebutkan secara
harfiah. Bentuk ini disebut hukum yang tersurat dalam al-Qur’an.
2.
Hukum Allah
tidak dapat ditemukan secara harfiah dalam lafad al-Qur’an maupun Sunah, tetapi
dapat ditemukan melalui isyrat atau petunjuk dan lafad yang disebutkan dalam
al-Qur’an. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum yang tersirat dibalik lafad
al-Qur’an.
3.
Hukum allah
tidak dapat ditemukan dari harfiah lafad dan tidak pula dari isyarat suatu
lafad yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sun>ah tetapi dapat ditemukan dalam
jiwa dari keseluruhan maksud Allah dalam menetapkan hukum. Hukum Allah dalam
bentuk ini disebut hukum yang tersuruk (tersembunyi) di balik
al-Qur’an.
Untuk
mengetahui hukum Allah
dalam bentuk pertama kita dapat mengandalkan dari apa yang tersurat dalam
al-Qur’an, dan penjelasannya dari Nabi (atau dari dalil nas}s). Peranan ra’y
dalam hal ini hampir tidak berarti. Titapi untuk memahami hukum dalam bentuk
kedua dan apalagi dalam bentuk ketiga sangat diperlukan peranan ra’y
atau ijtihad.[12]
Untuk
mengetahui hukum yang tersirat di balik yang tersurat dari suatu lafad,
dibutuhkan suatu pengkajian dengan menggunaan ra’y. Di sini diperlukan
daya ra’y yang tinggi untuk mengetahui hakikat dan tujuan suatu lafad
dalam al-Qur’an, sehingga memungkinkan untuk merentangkan hukum yang ditentukan
dalam lafad tersebut kepada kejadian lain yang bermunculan dibalik lafad itu.
Usaha suatu perentangan
lafad ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:[13]
a.
Perentangan
suatu lafad kepada maksud lain dapat dilakukan dengan pemahaman lafad semata.
Dalam us}u>l al-fiqh
cara seperti ini disebut kaidah mafhum. Umpamanya keharaman memukul
orang tua dipahami dari keharaman mengucapkan kata-kata kasar kepada mereka
yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Isra’ : 17, dan hukum haramnya
merusak harta anak yatim, yang ketentuan hukumnya tidak tersebut dalam
al-Qur’an. Dapat dipahami dari memakan harta anak yatim secara d}alim yang
ketentuan hukumnya terdapat dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 10.
b.
Perentangan
suatu lafad kepada maksud lain tidak dengan pemahaman lafad semata, tetapi
tergantung pada pemahaman alasan hukum atau ‘illat. Cara
perentangan lafad dalam bentuk ini disebut menggunakan kaidah al-qiyas.
Di kalangan ulama us}u>l al-fiqh al-qiyas diartikan
menghubungkan kejadian yang tidak ada nas}s} atau teks hukumnya kepada
kejadian lain yang ada nas}nya karena ‘illat kedua kejadian itu
sama. Umpaanya minum alkohol yang tidak jelas hukumnya dalam al-Qur’an
di-qiyaskan kepada larangan minum khamr yang terdapat dalam al-Qur’an (al-Maidah
:90), karena meminum alkohol dan khamr itu memiliki kesamaan ‘illat, yaitu
memabukkan.
Karena
penemuan hukum dalam bentuk kedua ini ada kaitannya secara langsung dengan teks
hukum yang ada, maka cara penemuan hukum di sini dapat diterima dan dibenarkan
oleh jumhur ulama dan ditempatkan sebagai salah satu dalil atau sumber dalam
perumusan al-fiqh
dan mendapat landasan yang kuat dalam firman Allah pada surat al-Nisa’ ayat
59.
Dalam mengetahui hukum yang tersuru>k
memang sangat diperlukan daya dan kemampuan ra’y yang tinggi. Bila dalam
mengetahui hukum yang tersirat ada pedoman yang digunakan dalam menetapkan
hukumnya yaitu kaitannya dengan nas}s}, maka dalam mengetahui hukum yang
tersuruk tidak ada yang dapat dijadikan pedoman yang kuat. Untuk maksud itu
sangat diperlukan kemampuan menggali hakikat dari tujuan Allah dalam menetapkan
hukum atas suatu kejadian.[14]
Bila hukum-hukum yang ditetapkan
Allah dalam al-Qur’an dianalisa, maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya Allah
menetapkan hukum itu adalah untuk mendatangkan kemaslahaan bagi manusia, baik
dalam bentuk memberikan manfaat untuk manusia atau manghindarkan madharat
(kerusakan) dari manusia. Karena itu hakikat dari tujuan hukum itu dapat
dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum fiqh.[15]
Dengan demikian, bila dalam
suatu kejadian terdapat kemaslahatan yang bersifat umum dan tidak ada dalil nas}s}
yang berbenturan dengannya, maka pada kejadian itu seseorang mujtahid dapat
melahirkan ketentuan hukum.[16]
Umpamanya pencangkokan kornea mata
dari yang yang sudah mati kepada seseorang
yang memerlukan pengobatan. Masalah ini tentu tidak akan terdapat jawaban
hukumnya secara harfiah dalam al-Qur’an, begitu pula dalam Sunah karena belum
pernah terjadi di zaman Nabi. Juga tidak mungkin ditemukan kaitannya dengan
salah satu lafad yang ada dalam nas}s. Manfaat dari perbuatan
pencangkokan mata ini jelas besar, yaitu orang buta dapat memanfaatkan
penglihatan dan tidak ada kepentingan orang lain yang terlanggar.[17]
Dengan demikian, mujtahid dapat
menyatakan kebolehan pencangkokan kornea mata itu. Demikian juga dengan masalah
bayi tabung, bedah plastik dan kejadian lain yang baru, para mujtahid dapat
menemukan hukumnya.
Dalam kasus diatas dua hal yang
dijadikan pedoman, yaitu maslahat dan tidak menyalahi nas}s yang ada.
Dengan berpedoman dengan dua hal ini mujtahid dapat menghadapi segala kejadian yang
bermunculan.[18]
Dari berbagai ulasan di atas, maka menurut
hemat penulis
bahwa penetapan hukum tidak lain
hanyalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, untuk mencapai kemaslahatan
ini maka peranan ra’y sangat diperlukan. Sehingga menurut penulis dalam
mencapai kemaslahatan harus menggali di dalam nas}s dan sunah dengan
menggunakan ra’y, karena tidak semua permasalahan-permasalahan hukum
tercantum secara jelas (tersurat) maupun tidak tercantum sama sekali (tersirat)
di dalam nas}s.
C. Kedudukan
Ra’y
Hukum islam itu adalah hukum
Allah, maka apapun yang dicapai oleh mujtahid dengan ra’y itu adalah
hukum Allah. Walaupun mujtahid dengan ra’ynya dapat menghasilkan hukum,
maka apa yang dihasilkannya itu bukanlah hukum mujtahid. Mujtahid tidak dapat
dan tidak berhak menetapkan hukum. Ia hanya sekedar menggali, menemukan dan
melahirkan hukum Allah yang tersuruk hingga nyata.[19]
Bila pada
hukum yang berdasarkan nas}s (tersurat) Allah sendiri yang menetapkan
hukum dan pada hukum yang tidak berdasarkan nas}s hukum Allah ditetapkan
berdasarkan ra’y maka kekuatan hukum yang berdasarkan nas}s tidak
sama dengan kekuatan hukum yang berdasaran ra’y.
Hukum yang
ditetapkan mujtahid dengan ra’y berdasarkan hasilnya adalah dugaan kuat
semata dari mujtahid. Tidak dapat dipastikan oleh mujtahid itu sendiri bahwa
itu sebenarnya hukum Allah, karena Allah tidak pernah menjelaskannya demikian.
Oleh karena itu hasil ra’y kekuatannya bersifat dzanni. Ketidak pastian
itu disebabkan oleh adanya kemungkinan kesalahan pada penemuannya sedangkan
hukum Allah itu tidak mungkin salah.[20]
Tetapi
semua orang yang mampu menggunakan ra’y melakukan pengkajian dengn
memenuhi ketentuan yang berlaku, tentang suatu peristiwa hukum dan ternyata
hasil penemuan mereka adalah sama, maka kemungkinan salah dapat dihindarkan.[21]
Berdasarkan
keterangan ini penulis sependapat bahwa kekuatan hukum berdasarkan ra’y
tidak sama dengan kekuatan hukum yang berdasarkan nas}s karena hukum
yang ditetapkan ra’y bersifat z}ann dan akan bergeser atau
berubah sesuai dengan perkembangan yang ada di masyarakat. Akan tetapi, kerena
hukum yang ditetapkan ra’y hanya bersifat menggali dan menemukan hukum,
maka hukum itu harus tidak bertentangan dengan nas}s. Sehingga untuk menemukan
hukum yang baru mujtahid harus memenuhi berbagai macam persyaratan untuk hasil
menghindari kesalahan.
D. Macam-Macam dan
Prosedur Metode Penalaran Hukum Ekstra Tekstual
1. Al-Qiyas
Qiyas secara bahaasa berarti mengukur
sesuatu dengan sesuatu.[22]
Menurut Hasyim Kamali qiyas bermakna mengukur atau memastikan panjang, berat
atau kualitas sesuatu.[23]
Yang dimaksud qiyas menurut para ahli us}u>lal al-fiqh adalah
mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nas}shnya dengan
hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan ‘illat
ukumnya dari kedua peristiwa itu.[24]
a. Rukun-rukun
al-qiyas:
1) Ashal (pokok) yaitu peristiwa yang
sudah ada nashnya yang dijadilan tempat mengal-qiyaskan.
2) Far’u yaitu (cabang) yaitu peristiwa
yang tidak ada nashnya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan
hukumnya dengan ashalnya.
3) Hukum ashal
yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nas} dan dikehendaki untuk
menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
4) ‘illat ialah suatu sifat yang terdapat
pada peristiwa yang ashal. Yang karena adanya sifat itu, maka peristiwa ashal
itu terdapat pula pada cabang, sehingga disamakanlah hukum cabang itu dengan
hukum peristiwa.[25]
b. Syarat
pelaku al-qiyas
Imam
Syafi’I mengharuskan bagi pelaku al-qiyas memenuhi
persyaratan-persyaratan berikut:[26]
1) Mengetahui
bahasa arab. Karena agama Islam ini datang dengan bahasa Arab, setiap mujtahid
haruslah mengetahui bahasa ini.
2) Mengetahui
ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an, kewajiban-kewajiban dan disiplin etisnya,
ayat-ayat yang mensikhkan dan yang dimansukhkan, yang umum dan yang khusus,
tujuan ditetapkannya suatu hukum, dan sebagaiya. Ayat-ayat yang mempunyai
banyak arti, hendaklah ditafsirkan dengan hadis, jika tidak ditemukan al-hadis,
hendaklah dengan ijma’ dan jika tidak dimungkinkan hendaklah dengan al-qiyas.
Oleh karena itu, ia harus: [27]
a) Mengetahui
al-hadis, pendapat sahabat, ijma’ ulama, perbedaan pendapat mereka dan al-qiyas.
b) Memiliki
akal sehat dan pikiran baik, mampu membedakan bukti-bukti yang hamper sama dan
tidak terburu-buru dalam mengemukakan pendapat.
c) Bersikap
terbuka sehingga bersedia mendengarkan pendapat orang lain yang yang berbeda
dengan pendapatnya. Dalam hubungan ini ia harus mengarahkan segala kemampuannya
dan waspada terhadap suara nuraninya, sehingga ia mengetahui pendapat mana yang
harus dipegang dan mana yang harus ditinggalkannya, tidak berkeras kepala
dengan pendapatnya sendiri.
Ulama muta’ah~{{{{}irin
menambahkan satu syarat yang dianggapnya sangat penting, yaitu: mengetahui
aspek sosial budaya masyarakat dan kebiasaan mereka.
Memperhatikan sulitnya
persyaratan tersebut tepenuhi dengan seseorang secara pribadi disatu sisi dan
perlunya ijtihat disisi lain, maka timbul konsep baru mengenai pola berijtihat
yang dikemukakan pakar usul fiqh antara lain Abed al-Wahab Khalaf, yaitu
ijtihat jama’i, dimana kumpul para ahli dari berbagai disiplin ilmu membahas
suatu kejadian atau peristiwa yang dihadapi kaum muslimin. Pola ini cukup
realistis dan tampaknya dipraktekkan di Indonesia dalam bentuk lembaga-lembaga
permanen atau situasional. Badan pembinaan Hukum Nasional, merupakan lembaga
ijtihad jama’i yang strategis dalam upaya pembaharuan hukum Islam di Indonesia.
Contohnya: keharaman membakar
harta anak yatim diqiyaskan pada memakan harta anak yatim.
2. Istih}san
Istih}san ialah membagi
al-qiyas atau meninggalkan al-qiyas dan menetapkan apa yang lebih bermanfaat
bagi manusia.[28]
Dalam buku lain Istih}san adalah mengganti argumen dengan fakta yang dapat
diterima, untuk maslahah} orang banyak.
Imam Syafi’i
dengan tegas menolak istih}san karena dipandangnya sebagai penetapan hukum
berdasarkan keinginan dan mencari yang enak, tanpa rujukan pada nas atau keluar
dari nas}s.[29]
Ulama-ulama yang berpegang kepada istih}san sebagai sumber hukum, yang
kebanyakan nereka adalah fuqaha-fuqaha aliran Hanafiyah dan Malikiyah. Baik
fuqaha Hanafiyah maupun Malikiyah baru memakai istih}san manakala
penetapan hukum berdasarkan qiyas itu akan mengakibatkan suatu
kejanggalan dan ketidakadilan.
Dalam
menetapkan dalil dengan istih}san sebenarnya adalah menetapkan dalil
dengan qiyas khafi dengan mengalahkan qiyas jail
atau mentarjihkan suatu qiyas terhadap qiyas yang menentangnya
dengan suatu dalil yang dapat dipakai untuk mentarjihkan atau menetapkan dalil dengan
maslahah} untuk mengecualikan suatu hukum dari hukum kulli. Masing-masing penetapan hukum
disebut penetapan hukum yang sahih.[30]
Contoh istih}san istis}na
(memesan untuk dibuatkan sesuatu atau jual beli secara inden). Istithna
adalah perikatan dalam lalu lintas perdagangan tetapi barang yang
diperdagangkan belum berwujud pada saat perjanjian dibuat. Hukum kulli
dalam contoh ini ialah tidak sah memperjualbelikan barang yang belum berwujud
pada saat perikatan terjadi. Tetapi karena perikatan itu sangat dibutuhkan dan
sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, maka kegiatan seperti ini dikecualikan. Dengan kata lain segi istih}sannya
adalah kebutuhan dan kebiasaan dalam masyarakat.[31]
3.
Istishab
Yang
disebut istishab menurut us}u>liyun adalah menetapkan hukum
sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang
merubahnya. Dengan ungkapan lain istishab ialah menjadikan hukum suatu
peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa
berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu. Macam-macam istishab
ada dua macam yakni:[32]
a.
Istishab
kepada hukum akal dalam predikat ibahah (mubah) atau baraatul
ashliyah (kemurnian menurut aslinya).
Misalnya:
jika si Ahmad mengaku mempiutangkan kepada Badri, padahal si Ahmad tidak
mempunyai bukti atas pengakuannya itu, maka si Badri bebas dari kewajiban
membayar berdasarkan baraatul ashliyah. Karena demikianlah menurut hukum
aslinya, sampai si Ahmad membuktikan pengakuannya.
b.
Istishab
kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada satu dalil pun yang
merubahnya. Misalnya seorang berwudhu, kemudian ragu apakah ia sudah batal atau
belum, maka dia dihukumi sebagai orang yang masih dalam keadaan wudu,
berdasarkan istishab terhadap hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya
secara yakin.[33]
4. Maslahah}
Murs>alah
Menurut
istilah us}u>l
al-fiqh Maslahah}} mursalah ialah menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang
tidak disebutkan sama sekali di dalam al-Qur’an dan Sun>ah atas pertimbangan
menarik kebaikan dan menolak kerusakan dalam kehidupan masyarakat.[34]
Prosedur yang harus dilalui
dalam menggunakan Maslahah}} mursalah harus memenuhi tiga syarat, yakni:
a. Maslahah}
yang dicapai itu benar-benar nyata, bukan sekedar dugaan yang tidak meyakinkan
adanya.
b. Maslahah}
harus bersifat umum, bukan Maslahah} perorangan atau kelompok tertentu saja.
c. Maslahah}
harus tidak bertentangan dengan ketentuan hukum atau prinsip agama yang telah
ditetapkan oleh agama dengan nas} atau ijma’.[35]
Contoh:
perkawinan anak di bawah umur tidak dilarang oleh agama dan sah jika dilakukan
oleh walinya yang berwenang. Namun, data-data statistik menunjukkan perkawinan
anak di bawah umur membawa akibat perceraian, karena anak-anak belum siap fisik
dan mentalnya untuk menghadapi tugas-tugas sebagai suami istri. Dan perceraian
tidak sesuai dengan tujuan perkawinan,. Maka atas dasar Maslahah} mursalah
pemerintah dibenarkan melarang perkawinan anak-anak, dan membuat peraturan
tentang batas umur bagi calon suami istri.[36]
5. Sadzudh
Dhariah
Adalah
tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan
umat. Menurut kebanyakan ulama us}u>l
al-fiqh diartikan sebagai
perantara atau jalan yang membawa kepada kejelekan/kerusakan saja.
Contohnya
adalah: melihat aurat wanita bukan mahram dan bukan pula istrinya adalah haram,
karena perbuatan itu bisa membawa kepada perbuatan keji/zina.[37]
6. ‘Urf
‘Urf
adalah apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan
terus-menerus berupa perkataan maupun perbuatan.[38] Menurut al-Ghazali prosedur ‘urf
yang sehat/baik ialah ‘urf yang telah dikenal oleh masyarakat dan tidak
bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang diharamkan, dan tidak
membatalkan semua kewajiban.[39]
Contoh: jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran
atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab-qabul , karena harga
barang tersebut sudah dima’lumi bersama.[40]
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Pengertian Ra’y
Kata ra’y
secara etimologi artinya melihat. Kata ra’y atau yang seakar dengan
itu terdpat dalam 328 ayat yang tersebar dalam al-Qur’an
2.
Peran Ra’y dalam Hukum
Islam
Perentangan suatu lafad kepada maksud lain dapat
dilakukan dengan pemahaman lafad semata.
Perentangan suatu lafad kepada maksud lain tidak dengan pemahaman lafad
semata, tetapi tergantung pada pemahaman alasan hukum atau ‘illa. Dengan demikian, bila dalam
suatu kejadian terdapat kemaslahatan yang bersifat umum dan tidak ada dalil nas}s yang
berbenturan dengannya, maka pada kejadian itu seseorang mujtahid dapat
melahirkan ketentuan hukum.
3.
Kedudukan Ra’y dalam
Hukum Islam
Hukum
yang ditetapkan mujtahid dengan ra’y berdasarkan hasilnya adalah dugaan
kuat semata dari mujtahid. Tidak dapat dipastikan oleh mujtahid itu sendiri
bahwa itu sebenarnya hukum Allah, karena Allah tidak pernah menjelaskannya
demikian. Oleh karena itu hasil ra’y kekuatannya bersifat z}anni.
4.
Macam-Macam Metode Penalaran Hukum Ekstra Tekstual
Al-Qiyas,
Istih}san, Istishab, Maslahah}} Murs>alah, Sadzudh dhariah, ‘Urf.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Sulaiman. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1996.
Ash Shiddieqy, Hasbi. Falsafah
Hukum Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang,
1975.
Dahlan, Muhammad. Us}ul Fiqh, Yogyakarta:
Teras, 2012.
Dahlan,
Zaini. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PTAI, 1987.
Effendi, Satria. Us}ul Fiqh, Jakarta:
Kencana, 2005.
Hasan,
Ahmad. Qiyas Penalaran Analogis Di Dalam Hukum Islam. Bandung: Pustaka,
2001.
Kamali,
Muhammad Hashim. Prinsip
dan Teori-Teori Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Perlajar, 1996.
Khalaf,
Abdul Wahab. Ilmu Us}uL al-Fiqh. Maktabah Al-Dakwah Al Islamiyah, Cet.
VIII, 1991.
Syaarifuddin
,Amir. Us}u>l Fiqh. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997.
Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung:
PT.al-Ma’arif, 1993.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar
Hukum Syariah.
Jakarta: CV Haji Masagung, 1987.
Zahra, Muhammad Abu. Us}ul al-Fiqh, Jakarta: Kota Firdaus, 2008.
izin copy makalahnya kak,,terimakasih
ReplyDeleteyups,,sama2
ReplyDeleteIzin copy mas
ReplyDeletehanafi