Pembahasan
A.
Rene Descartes ( 1596 – 1650 )
Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. Merupakan
salah satu pendiri pemikiran modern. Ia belajar pada college selama 9
thun (1606-1615), selama 6 tahun sastra klasik, dan 3 tahun filsafat, logika,
ilmu pasti-alam, dan metafisik. Filsafat itu lebih kurang berdasarkan
karya-karya Aristoteles, tetapi terbuka bagi kebutuhan zaman.[1]
Menurut catatan, Descartes adalah orang Inggris. Ayahnya adalah
anggota parlemen inggris. Pada tahun 1612 Descartes pergi ke Prancis. Dia taat
mengerjakan ajaran agama Katholik, tetapi ia juga menganut Galileo yang pada
waktu itu ditentang oleh tokoh – tokoh Gereja. Dari tahun 1629 - 1649 ia
menetap di Belanda.
Dari tahun 1615 sampai ke 1618 ia belajar terutama ilmu pasti-alam.
Pada saat itu ketertarikan Descartes pada ilmu filsafat belum besar. Sejak 1618
ia selama 10 tahun banyak dalam perjalanan, tetapi ia sekaligus sibuk
berkegiatan ilmiah, selalu berkutub ilmu eksakta dan filsafat. Tahun 1628 ia
berangkat ke Nederland dan tinggal disana sampai tahun 1949. Ia mengarang
tentang ilmu pasti-alam, metodologi dan filsafat. Tahun 1949-1950 ia berada di
Swedia selama satu tahun, mengajar ratu Christina. Disana ia sakit radang
paru-paru dan meninggal.[2]
B.
Metode Pemikiran ( Cogito Ergo Sum )
Salah satu filsuf yang menaruh perhatian sangat besar pada
asumsi-asumsi yang mengusulkan suatu metode umum yang memilki kebenaran yang
pasti. Filsuf asal Prancis ini dijuluki sebagai “Bapak Filsafat Modern”, karena
beliau menempatkan akal pikiran atau rasio pada kedudukan yang tertingggi.
Filsafat Descartes, terutama konsep tentang manusia bersifat dualisme. Beliau
mengganggap jiwa (res cogitans) dan badan (res extensta) sebagai
dua hal terpisah.
Bagi Descartes ilmu alam
tidak dapat dibangun tanpa menyusun metafisik terlebih dahulu, yang akan
memberinya suatu dasar prinsipiil. Berdasarkan pemahaman itu, maka metafisik
dan ilmu alam menjadi suatu pengertian yang utuh. Tetapi dalam seluruh
pemikirannya, filsafat alam dan dunialah yang berkedudukan dominan. Descartes
sendiri tidak begitu tertarik pada metafisik. Dibandingkan filsafat teknis
sebelumnya.[3]
Descartes telah lama merasa tidak puas terhadap perkembangan
filsafat yang amat lamban. Sangat lamban terutama bila dibandingkan dengan
perkembamgan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang
mengatasnamakan agama telah menyebabkan
lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dikembalikan kepada semngat
Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Ia ingin menghidupkan kembali
rasionalisme Yunani.[4]
Ia mengetahui bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa
dasar filsafat haruslah rasio (akal). Tokoh-tokoh Gereja waktu itu tetap yakin bahwa dasar filsafat haruslah
iman. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun
argumentasi yang amat terkenal, argumentasi itu tertuang dalam metode cogito
tersebut.[5]
Dengan metode, Descartes berusaha memahami sebagai aturan-aturan yang dapat dipakaikan
sebagai kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh ( fundamentum certum et
incomcussum veritatis ). Berfilsafat bagi Descartes berarti melontarkan
persoalan metafisis untuk menemukan sebuah fundamen yang pasti, yaitu suatu
titik yang tidak bisa goyah dan terbantahkan.[6]
Descartes menyatakan bahwa kesangsian merupakan pembuktian kepada
diri kita bahwa kita ini nyata. Selama
kita ini sangsi, kita akan merasa bahwa kita nyata-nyata ada. Meskipun dalam
sebuah tipuan yang sangat lihai, sebuah kepastian “aku yang menyangsikan” itu
tidak ada yang bisa membantah, maka kepastian eksistensiku dicapai dengan
berpikir. Descartes kemudian mengatakan Je pense donc je suis atau cogito
ergo sum ( aku berpikir, maka aku ada).[7]
Menurut Descartes, untuk memperoleh pengetahuan yang terang dan
jelas maka terlebih dahulu kita harus meragukan segala sesuatu. Descartes
menyatakan, “pengertian yang benar haruslah dapat menjamin dirinya sendiri”. Untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang tidak
diragukan lagi kebenarannya Descartes menggariskan empat aturan.[8]
a.
Janganlah pernah menerima
baik apa saja sebagai benar, jika anda tidak memiliki pengetahuan yang cukup
tentang kebenarannya. Cermat dan hindari kesimpulan – kesimpulan dan
prakonsepsi yang terburu-buru. Dan janganlah memasukkan apapun kedalam
pertimbangan anda lebih daripada yang terpapar yang begitu jelas, sehingga
tidak diperlukan lagi.
b.
Pecahkanlah kesulitan anda menjadi sebanyak mungkin bagian dan
sebanyak yang dapat dilakukan untuk mempermudah penyelesaiiannya secara lebih baik.
c.
Arahkanlah pemikiran anda secara tertib mulai dari objek yang
sederhana dan paling mudah di ketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit,
tahap demi tahap kepengetahuan yang paling kompleks, dengan mengandaikan
sesuatu urutan bahkan diantara objek yang sebelum itu tidak mempunyai
ketertiban kodrati.
d.
Buatlah penomoran untuk seluruh pemasalahan selengkap mungkin dan tinjau ulang secara
menyeluruh sehingga anda dapat merasa pasti tidak ada satupun yang merasa
tertinggal.
Keempat langkah yang dikemukakan descartes ini menggambarkan suatu
sikap skeptis metodis dalam upaya memperoleh kebenaran yang pasti. Descartes
mengaitkan aktifitas ilmiah dengan metode skeptis.[9]
Descartes menyatakan dalam metodenya bahwa “segala hal harus kita renungkan dan akhirnya bisa
memunculkan kepatian dari hal itu. Sebab yang tinggal adalah “saya yang
ragu-ragu”. Inilah kepastian pertama, “Saya ragu-ragu, karena saya berpikir”.
Saya yang berpikir ini adalah kepastian kedua. Akhirnya, Cogito ergo
sum ( saya berpikir, maka saya ada ). Semua ini disebutnya sebagai
keraguan metodis ( dubium methodicum ). Pola berpikirnya deduktif atau
mengambil kesimpulan mengenai realitas dari konsep-konsep”.[10]
[1] Anton Bakker, Metode
- Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), 68.
[3] Ibid, 69.
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) 129.
[5] Ibid.
[7] Budi, Filsafat
Modern, 40.
[9] Rizal
Muntansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu ( Yogyakarta: pustaka ilmu,
2004), 110.
No comments:
Post a Comment