BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebahagiaan dalam keluarga merupakan keinginan yang diharapkan
semua manusia, dan semua itu akan terasa disaat sebuah keluarga menjalankan apa
yang menjadi kewajiban dan hak masing – masing baik suami ataupun istri dalam
sebuah keluarga. Oleh karena itu, segala tingkah laku, gerak langkah, selalu
berorientasi kearah itu walaupun dalam aplikasi memakai cara yang berlawanan
dengan tujuan tadi.
Pernikahan
merupakan suatu akad yang menjadikan Hukum yang asalnya haram menjadi halal,
yaitu kebolehannya bergaul antara seorang laki-laki dengan seorang wanita
dan saling tolong menolong diantara keduanya serta menentukan batas hak dan
kewajiban di antara keduanya. Namun pada kenyataannya tidak sedikit dalam sebuah keluarga tidak
selalu tenang dan menyenangkan. Ada kalanya kehidupannya begitu ruwet dan memusingkan. Hal
tersebut terjadi karena peran dan fungsi mereka khususnya bagi suami ataupun
istri sudah tidak melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab mereka masing-masing.
Terlepas dari kewajiban dan hak seorang istri terhadap suami atau sebaliknya.[1]
Selama dalam ikatan pernikahan antara suami
dan isteri banyak hukum yang menghalangi suami untuk tidak menggauli
isterinya, bahkan akan terjadi talaq seperti dalam Ílla
(Sumpah), dan Li’an Semua itu merupakan penghalang bagi suami untuk menggauli
isterinya tersebut.
Penyusun
pada kesempatan kali ini tidak akan membahas mengenai kewajiban dan hak
tersebut akan tetapi akan membahas mengenai ila dan li’an. Kedua masalah diatas
akan terjadi disaat suami atau istri tidak melaksanakan apa yang menjadi
kewajiban dan hak mereka masing - masing dalam sebuah keluarga. Maka menjadi penting dan sangat menarik untuk kita kaji dan pelajari
tentang tersebut maka untuk lebih jelasnya masalah ílla (Sumpah), dan Li’an akan kami paparkan dalam makalah ini.[2]
B.
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan pada latar
belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
1. Bagaimana pengertian Illa’dan Li’an?
2. Bagaimana dalil, hukum dan akibat hukum serta hikmahnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Illa’
1. Pengertian Illa’
Secara
etimologis (bahasa), kata illa’ bearti melarang diri dengan menggunakan
sumpah. Sedangkan menurut istilah (terminologis), kata illa’ bearti
sumpah untuk tidak mencampuri lagi istri dalam waktu empat bulan atau dengan
tidak menyebutkan jangka waktunya.[3]
Illa’ ialah sumpah seorang suami yang
dapat melakukan persetubuhan untuk tidak menyetubuhi istrinya tanpa batas waktu
atau selama empat bulan lebih.[4]
Orang
jahiliyah biasa melakukan illa’. Dan kebiasaan itu berlangsung terus
sampai pada permulaan Islam. Karena illa’ ini menyebabkan kesengsaraan
istri, dimana istri tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan, maka Allah
menurunkan firman-Nya Q.S. al-Baqarah: ayat 226 dan 227:
tûïÏ%©#Ïj9 tbqä9÷sム`ÏB öNÎgͬ!$|¡ÎpS ßÈšts? Ïpyètö‘r& 9åkôr&
(
bÎ*sù râä!$sù ¨bÎ*sù
©!$#
Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ OŠÎ=tæ . ÷bÎ)ur
(#qãBt“tãt,»n=©Ü9$# ¨bÎ*sù
©!$#
ìì‹Ïÿxœ ÒOŠÎ=tæ
Artinya:’’ kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya
diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada
isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.’’
Menurut
Rijal illa’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam
waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan. Menurut Hakim dalam bukunya
hukum perkawinan islam illa adalah sumpah suami untuk tidak melakukan
hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman
jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun.
Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi
tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut
Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah
suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau
tidak menyebutkan jangka waktunya.[5]
Dari
Asy-Sya’bi dari Masruq dari Aisyah, ia berkata,” Rasulullah SAW melakukan Illa’
terhadap istri-istrinya dan mengharamkan Maka yang haram dijadikan halal dan
dibayarkan kafarat untuk sumpah itu” [6]
Meng-illa'
isteri Maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri. Maka suami setelah 4
bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi isterinya lagi dengan membayar
kafarat sumpah atau menceraikan.
Jika suami
bersumpah (melakukan illa’) tidak akan bercampur dengan istrinya hanya
empat bulan atau kurang dari itu, kemudian ia bercampur sebelum waktu tersebut,
wajiblah ia membayar kafarat, yaitu dengan memerdekakan budak atau memberi
makan dua belas fakir miskin, atau berpuasa selama tiga hari.[7]
2. Dalil
Hukum Illa’
Ayat Tersebut diatas diturunkan untuk
menghapuskan apa yang sudah berlangsung di masyarakat Jahiliyah, berupa
pemanjangan illa’, yaitu sampai satu hingga dua tahun Maksudnya, Oleh
karana itu, Allah menghapus kebiasaan tersebut, dan dia tetapkan jangka waktu
maksimal ila, yaitu empat bulan. Maksudnya, si suami diberi tangguh selama
empat bulan dari sejak sumpah itu diucapkan. Dan jika telah jatuh tempo, ia
diminta untuk mencampuri istrinya atau menceraikan istrinya. Oleh karena itu,
Alloa berfirman, ‘’Kembali” disini merupakan kiasan dari jima’. Demikian
dikatakan Ibnu Abbas, Masruq, dan Ulama lainya
Jika seseorang bersumpah untuk tidak mencampuri
istrinya dalam waktu tertentu, baik kurang atau lebih dari empat bulan. Jika
kurang dari empat bulan, maka ia harus menunggu berakhirnya masa yang telah
ditentukan. Setelah itu ia dibolehkan mencampuri istrinya kembali. Bagi si
istri agar bersabar, dan ia tidak berhak menuntutnya untuk rujuk pada masa itu.
Demikian itulah yang ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah bahwa
Rosulullah SAW pernah meng-Illa’ (bersumpah untuk tidak mencampuri) istrinya
selama satu bulan. Kemudian
beliau turun (dari biliknya pada hari kedua puluh sembilan). Dan beliau
bersabda.”Satu bulan itu adalah dua puluh Sembilan hari”
Menurut Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Umar bin
Khattab juga mengenai hal yang sama. Tetapi jika lebih dari empat bulan, maka
bagi sang istri
boleh mennutut suaminya mencampurinya setelah masa empat bulan itu selesai atau
menceraikanya. Dan untuk itu, Hakim boleh memaksa suami untuk ini agar ia tidak
memudharatkan istrinya. Oleh karena itu, Alaah SWT berfirman, “Kepada
orang-orang yang meng’illa’ istri-istrinya” Artinya, bersumpah untuk
tidak mencampuri istrinya.
Yang demikian itu mennujukkan bahwa illa’
itu hanya dikhususkan oleh terhadap isrti dan tidak terhadap para hamba sahaya.
Sebagaimana yang menjadi pendapat jumhur ‘Ulama. [8]
3. Akibat Hukum Illa’
Adapun
akibat hukum yang di timbulkan apabia pasangan suami istri melakukan illa’,
karena yang bertindak sebagai eksekutor atau yang bersumpah untuk tidak
meniduri istri adalah suami, maka akibat hukumannya adalah yang pertama tersiksanya
seorang istri karena tidak ditiduri dan tidak pula diceraikan, kemudian yang
kedua adalah selama 4 bulan suami tidak boleh meniduri istri atau membayar
kafarat sumpah atau dengan menceraikannya sang istri.[9]
4. Syarat-Syarat Illa’
Ada beberapa syarat illa’
yaitu:
a. Orang yang meng-illa’ itu
harus bersumpah dengan menyebut nama Allah atau salah satu sifat-Nya.
b. Bersumpah untuk tidak mencampuri
istrinya lebih dari empat bulan.
c. Yang menjadi objek sumpah itu adalah
istrinya.[10]
B. Li’an
1. Pengertian Li’an.
Li’an adalah mashdar dari kata kerja la’ana,
yulaa’inu, li’aanan terambil dari kata alla’nu yang berarti kutukan
atau laknat.[11]
Suami istri yang saling berli’an akan berakibat saling dijauhkan oleh
hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya. Li’an
mengakibatkan perceraian antara suami istri selama-lamanya. Li’an
terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam
kandungan istrinya sebagai anaknya, sedangkan istrinya menolak tuduhan atau
pengingkaran tersebut.[12]
2. Dalil Hukum Li’an
Dalil
Li’an Q.S An-Nur 6-9
tûïÏ%©!$#ur
tbqãBötƒ
öNßgy_ºurø—r&
óOs9ur
`ä3tƒ
öNçl°;
âä!#y‰pkà
HwÎ)
öNßgÝ¡àÿRr&
äoy‰»ygt±sù
óOÏdωtnr&
ßìtö‘r&
¤Nºy‰»uhx©
«!$$Î
¼çm¯RÎ)
z`ÏJs9
šúüÏ%ω»¢Á9$#
ÇÏÈ èp|¡ÏJ»sƒø:$#ur
¨br&
|MuZ֏s9
«!$#
Ïmø‹n=tã
bÎ)
tb%x.
z`ÏB
tûüÎÉ‹»s3ø9$#
ÇÐÈ (#ätu‘ô‰tƒur
$pk÷]tã
z>#x‹yèø9$#
br&
y‰pkô¶s?
yìtö‘r&
¤Nºy‰»pky
«!$$Î
¼çm¯RÎ)
z`ÏJs9
šúüÎÉ‹»s3ø9$#
ÇÑÈ sp|¡ÏJ»sƒø:$#ur
¨br&
|=ŸÒxî
«!$#
!$pköŽn=tæ
bÎ)
tb%x.
z`ÏB
tûüÏ%ω»¢Á9$#
ÇÒÈ
Artinya:’’ Dan orang-orang yang
menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang
benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk
orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar
Termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah
atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.’’
3. Akibat Hukum Li’an
Ada lima
akibat hukum yang akan terjadi setelah terjadinya li’an yaitu :
a. Suami terlepas dari had
b. Kewajiban had bagi istri
c. Lepasnya ikatan perkawinan untuk selama-lamanya
d. Lepasnya hubungan nasab di antara anak dengan bapaknya
e. Haram bagi mantan suami menikah lagi dengan mantan
istrinya.
Menurut H.
Muhammad Anwar dijelaskan bahwa adakalanya tuduhan zina itu disertai dengan
anak yang baru lahir dari istrinya dengan alasan seperti, si suami yang
belum pernah menjima’ istrinya tiba-tiba melahirkan anak, atau lahirnya bayi
itu kurang dari waktu enam bulan sejak menjima’ istrinya sedang bayinya seperti
bayi yang cukup umur, atau bisa juga lahirnya bayi itu sesudah lebih dari empat
tahun tidak jima’.
Tuduhan
suami tersebut harus disertai dengan 4 orang saksi yang membenarkan adanya
suatu perzinaan, tetapi jika tidak bisa mendapatkannya maka suami harus
mengadakan tuduhan di depan hakim yang menyatakan bahwa istrinya telah berzina
dan tuduhannya adalah benar yang kemudian diikuti dengan sumpah Demi
Allah(Wallahi)[13].
Dan bagi si istri
masih ada cara untuk membela diri agar bisa terhindar dari had yaitu dengan
cara melakukan li’an juga. Sedangkan tata caranya seperti halnya di
atas, Cuma kalimat yang harus diucapkan yang berbeda. Adapun kalimat yang
diucapkan sebagai berikut : “Demi Allah suami saya itu berdusta”. Dan
kemudian berkata “Demi Allah kemurkaan Allah akan menimpa saya jika suami saya
itu benar”. Namun hanya saja dalam pernyataan ini tidak ada yang namanya
nafyul walad karena anak tersebut jelas-jelas keluar dari rahimnya sendiri.
Ketentuan had bagi suami
itu apabila istri yang dituduh zina bukan tergolong anak-anak dan perawan yang
sama masih belum dijima’, apabila tergolong, maka konsekuensinya bukan bernama
had akan tetapi ta’zir.
Suami tetap di had,
walaupun pada saat menuduh zina dalam keadaan hilang ingatan, apabila hal
tersebut memang disengaja seperti mabuk-mabukan.
Sedangkan had bagi orang
tersebut yaitu 80 cambukan jika berstatus merdeka dan 40 cambukan jika
berstatus budak. Sedangkan masalah ta’zir itu tidak ada batasan yang seperti :
dalam arti tergantung situasi dan kondisi yang ada.[14]
4. Hikmah Li’an.
a. Tidak
boleh menuduh istri yang berlebi-lebihan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa
sample penjelasan yang terdapat dalam kajian teori tentang ila dan
lian. Maka akan diperoleh suatu temuan yang telah dipaparkan dalam
pembahasan diatas mengenai ila dan lian. Nusyuz merupakan
pelanggaran yang dilakukan istri terhadap perintah suami. Dalam hal ini
perintah suami yang di anggap menyalahi dikategorikan dalam hal khusus
(perintah dalam lingkup keluarga atau suami istri), bukan hal umum (perintah
dalam lingkungan masyarakat). Illa’ merupakan sumpah suami yang tidak
akan mencampuri istrinya untuk beberapa bulan
dan dalam ila, seorang suami dapat rujuk kembali dengan istrinya. Sedangkan
lian adalah tuduhan suami bahwa istrinya selingkuh dengan laki-laki lain tetapi
harus di imbangi dengan bukti yang kuat.
B. Saran dan
Kritik
Demikian makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
untuk perbaikan penyusunan makalah yang baik. Semoga makalah ini bermanfaat.
Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Fanani, Zainuddi
bin Abdul Aziz al Malibari. Tarjamah Fathul Mu’in Jilid II, Jakarta:
Sinar Baru al Gesindo,1985.
Al Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqhul Mar’ati Muslimah. Jakarta:
Amani, 1999
Al Mundzir, Hafizh.
At Taghrib Wat Tarhib. Jakarta: Pustaka Amani, 1995.
Diibulbigha,
Mustofa. Fiqh Syafi’i terj. At Tahdzib. Rembang: CV Bintang Pelajar,
1995.
Hasan, Ayyub Syaikh. Fikih Keluarga Penerjemah Abdul Gofar
EM. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001.
http://makalahkomplit.blogspot.com/tanggal
unduh 27-11-2015/hukum-li-dan-ayat-tentang-lian.html
pukul 10.55
http://muvid.wordpress.com/2008/07/01/sumpah-lian-dan-konsekwensi-hukumnya-dalam-al-quran-uu-perkawinan-dan-khi/,
Tanggal unduh 27-11-2015 pukul 10.13 WIB
Mathlub, Abdul
Majid Mahmud. Panduan Hukum Keluarga Sakinah. Solo: Era Intermedia, 2005.
Nur, Djamaan.
Fiqih Munakahat. Semarang : Dina Utama, 1993.
Sabiq, Sayyid. Fiqh
Sunnah Jilid 4. Jakarta: Cakrawala, 2009.
[3] Ayyub Syaikh
Hasan, Fikih Keluarga Penerjemah Abdul Gofar EM (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, 2001), 337.
[4] Zainuddi bin Abdul Aziz al Malibari al Fanani, Tarjamah
Fathul Mu’in Jilid II (Jakarta: Sinar Baru al Gesindo,1985), 1397.
[5]
http://desbayy.blogspot.com/2015/05/makalah-ila-fasakh-lian-dan-dzihar.html
[6] Ibrahim
Muhammad Al Jamal, Fiqhul Mar’ati Muslimah (Jakarta, Amani, 1999), 325.
[8] Ayyub, Syaikh
Hasan, Fikih Keluarga, 337.
[9] http://desbayy.blogspot.com/2015/05/makalah-ila-fasakh-lian-dan-dzihar.html
[10] Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, 342.
[14]http://muvid.wordpress.com/2008/07/01/sumpah-lian-dan-konsekwensi-hukumnya-dalam-al-quran-uu-perkawinan-dan-khi/,
Tanggal unduh 27-11-2015 pukul 10.13 WIB
No comments:
Post a Comment