PEMBAHASAN
A.
Periode 1945-1970
Fenomena
peradilan Islam pasca kemerdekaan dapat dikatakan muncul setelah dikeluarkannya
Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Terdapat satu bait yang menjadi polemik
dikalangan para pendiri bangsa. Yang mana bait tersebut berbunyi “Ketuhanan
Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya”. Sehingga
perjuangan bagi tegaknya Syari’at Islam sedikit meredup pada Agustus 1945.
Dengan hilangnya bagian dari isi piagam tersebut membuat sulit bagi siapapun
yang ingin melegalkan hukum islam agar diberlakukan di negara Indonesia.[1]
Setelah
Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul Menteri Agama yang disetujui
Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari
kekuasan Departemen Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan ketetapan
pemerintah nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946. Pada masa pra kemerdekaan,
pengadilan agama dan hakim tidak mendapatkan gaji tetap maupun honorarium dari
pemerintah, maka setelah merdeka anggaran belanja pengadilan agama disediakan
oleh pemerintah.
Sejalan
dengan pasal II aturan Peralihan UUD 1945 dasar dan wewenang kekuasaan
peradilan agama masih tetap berlaku sebelum proklamasi, baik di Jawa dan
Madura, di Kalimantan dan daerah-daerah lainnya.[2]
Selama
masa Revolusi pada umumnya tidak ada perubahan tentang dasar peraturan
peradilan agama secara prinsipal, selain usaha-usaha pelestarian peradilan
agama itu sendiri. Selama masa Revolusi yang patut dicermati adalah:
1.
Keluarnya UU nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak,
rujuk menggantikan peraturan yang dahulu. Karena dalam peraturan dahulu tidak
lagi sesuai dengan keadaan. Dengan keluarnya UU NTR ini, maka segera diambil
tindakan dengan jalan memisahkan urusan pendaftaran NTR dari pengadilan agama.
Penghulu Kepala yang tadinya merangkap Ketua Pengadilan Agama, tidak lagi
mencampuri urusan pengadilan, dan oleh sebab itu terbentuklah penghulu kabupaten yang diserahi urusan
kepenghuluan disamping Penghulu Hakim dengan mendapat gaji dan tingkat serta
kedudukan sabagai Penghulu Kepala.
2.
Keluarnya penetapan Menteri Agama Nomor 6 tahun 1947 tentang penetapan
formasi pengadilan agama terpisah dari penghulu kabupaten, dengan kata lain
pemisahan tugas antara Penghulu Kabupaten sebagai kepala Pencatat Nikah dan
urusan kepenghuluan lainnya, dengan penghulu hakim sebagai ketua pengadilan
juga sebagai Qadi hakim syar’i.
3.
Keluarnya UU Nomor 19 tahun 1948 yang tidak pernah dinyatakan
berlaku, isinya antara lain dihapuskannya susunan pengadilan agama yang telah
ada selama ini, tetapi materi hukum yang menjadi wewenangnya ditampung dan
dimasukkan di pengadilan negeri yang secara istimewa diputusoleh dua orang
hakim ahli agama disamping hakim yang beragama Islam sebagai ketua. Kewenangan
Pengadilan Agama yang dimasukkan dalam Pengadilan Umum secara istimewa yang
diatur dalam pasal 35 ayat (2), pasal 75 dan pasal 33. Undang-undang ini sangat
penting tentang peradilan dalam masa pemerintahan RI di Yogyakarta.
Undang-undang ini bermaksud mengatur mengenai peradilan dan sekaligus mencabut
serta menyempurnakan isi UU Nomor 7 tahun 1947 tentang susunan dan Kekuasaan
Mahkamah Agung.
4.
Keputusan Recomba Jawa Barat No. Rec. Wj 229/72 tanggal 2 April
1948 dan peraturan yang tercantum dalam Javaasche Courant 1946 No. 32
dan 39 tahun 1948 nomor 25, dan 1949 No. 29 dan 65 menentukan bahwa di
daerah-daerah yang dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang dinamakan
Priesterraad diubah menjadi Penghulu Gerecht. Majelis Ulama bertindak sebagai pengadilan bandingan mengimbangi Mahkamah
Islam Tinggi yang pada saat itu telaah pindah ke Surakarta. Sebelum agresi
Militer 1 telah terdapat 80 pengadilan agama di Jawa dan Madura, setelah
perjanjian Renville jumlah pengadilan agama bertambah 41 buah.[3]
Pada tahun 1948 susunan Pengadilan Agama yang sekarang masih
berlaku dihapus dan materi hukumnya menjadi wewenang Pengadilan Negeri secara
istimewa. Pada tahun 1949 pemerintah melakukan usaha ke arah kesatuan dalam bidang peradilan secara menyeluruh
dengan dikeluarkannya UU Darurat Nomor 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara
untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pada pengadilan
sipil.
Dalam pasal 1 ayat (20 dan 94) dinyatakan bahwa Peradilan Agama berada
dalam linkungan Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Sebagai pelaksanaan dari
Undang-Undang Darurat tersebut, secara berangsur-angsur Departemen Kehakiman
menghapus Peradilan Adat dan Peradilan Swapraja di seluruh wilayah RI.
Sedangkan Peradilan Agama oleh pemerintah daerah setempat diserahkan
pengurusnya kepada Departemen Agama.
Usaha Departemen Agama mendapat sambutan yang baik dari masyarakat.
Kemudian Departemen Agama mengajukan usulan pembentukan Peradilan Agama diluar
Jawa, Madura, Kalimantan Selatan dan Aceh. Usulan tersebut dibahas dalam sidang
kabinet pada tanggal 29 Agustus 1957 dan mendapat persetujuan pemerintah dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tanggal 5 Oktober 1957. Kemudian
lahirnya UU Nomor 19 tahun 1964, LN 1964-107, yang kemudian diganti dengan UU
Nomor 14 tahun 1970, LN 1970-1071 Peradilan Agama diakui sebagai salah satu
dari empat lingkungan negara yang sah.[4]
Usaha selanjutnya ialah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 tahun
1970 telah memberi tempat kepada Peradilan Islam yang secara resmi. Bahwa
Peradilan Agama sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan Indonesia
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan sendirinya hal itu mendorong usaha peningkatan jumlah serta kualitas dan
aparatur pengadilan , khususnya hakim , untuk menyelesaikan tugas-tugas
peradilan tersebut.[5]
B.
Periode 1970-1999
UUD
Tahun 1945 Pasal 24 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung RI dan lain-lain badan peradilan menurut UU. Sebagai
realisasinya maka ditetapkan UU Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
UU
Nomor 14 tahun 1970 ini telah menempatkan Peradilan Agama sebagai salah satu
lingkungan pelaksanaan kekuasaan kehakiman, secara konstitusional Pengadilan
Agama merupakan salah satu badan peradilan yang mandiri dan sederajat dengan
peradilan yang lainnya. Wewenang peradilan agama ialah menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara tertentu bagi kelompok tertentu, yaitu
perselisihan di antara masyarakat yang beragama Islam. Ditetapkan pula bahwa
pembinaan dan pengawasan fungsi Pengadilan Agama dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung RI, sedangkan organisasi, administrasi, finansial berada di bawah
Departemen Agama RI.[6]
Pada
tahun 1974 dikeluarkan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang juga
mengatur yurisdiksi pengadilan agama, seluruh keputusan pengadilan agama tetap
harus mendapatkan atau meminta pengukuhan eksekusi dari pengadilan negeri. Hal
ini dapat dinyatakan pengadilan agama berada dibawah keputusan pengadilan
negeri. Pada tahun 1977 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang memperkuat
bagi kedudukan Pengadilan Agama, yaitu dengan diberikannya hak bagi Pengadilan
Agama untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.[7]
Meskipun
dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut secara jelas dikemukakan
bahwa hal-hal yang menjadi wewnang Pengadilan Agama, tetapi kenyataannya
yurisdiksi Peradilan Agama masih dibatasi.
Meski
kondisi Peradilan Agama masa ini seperti tersebut diatas, tetapi dengan
lahirnya UU No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 beban
kerja Pengadilan Agama menjadi bertambah.
Sehingga penyelesaian perkara dibantu oleh hakim honorer dari para kiai dan para tokoh masyarakat yang ahli
di bidang hukum Islam.
Dengan
diangkatnya Hakim Agama Honorer pada Pengadilan Agama, maka pada saat itu ada
dua macam status hakim pada Pengadilan Agama, yaitu (1) Hakim Agama tetap yang
diangkat dari lulusan fakultas syari’ah, yang diangkat langsung oleh Menteri
Agama RI; (2) Hakim Agama Honorer, yaitu hakim yang direkrut dari para Alim
Ulama atau orang yang dipandang mampu dalam bidang hukum Islam.[8]
Sejak
tahun 1975 Departemen Agama mulai merekrut para sarjana syari’ah untuk diangkat
untuk diangkat sebagai hakim pada Pengadilan Agama. Sehubungan dengan hal ini
banyak juga para sarjana wanita mengajukan permohonan untuk diangkat menjadi
hakim pada Pengadilan Agama. Terhadap hal ini terjadi pro-kontra, sehingga
Menteri Agama menyarankan untuk
membicarakan di dalam sidang Alim Ulama Terbatas pada tanggal 14-17 Juli 1975
di Jakarta. Dalam musyawarah tersebut disimpulkan antara lain: (1) Hakim wanita
dalam pengadilan adalah masalah perselisihan kalangan mujtahidin; (2) Ada
wanita yang telah menjadi hakim pada Pengadilan Agama beberapa waktu adalah
sesuai dengan kemashlahatan umum; (3) Oleh karena itu pengangkatan wanita pada
jabatan hakim Pengadilan Agama dapat dibenarkan. Atas dasar keputusan
Musyawarah Alim Ulama Terbatas itu Menteri Agama RI mengangkat wanita menjadi
hakim pada pengadilan agama. Bahkan sekarang ada wanita hakim yang menjabat
Ketua Pengadilan Agama.[9]
Pada
tahun 1980 lahir pula keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980 tentang
penyeragaman nama lembaga menjadi sebutan Pengadilan Agama. Kerapatan
Qadli di Kalimantan Selatan dan Mahkamah Syari’ah propinsi di luar Jawa dan Madura
sebagai pengadilan banding, disebut Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Tinggi
Agama berpuncak pada Mahkamah Agung yang mengawasi penyelenggaraan peradilan di
tanah air.[10]
Pada tanggal 29 Mei 1981 Depag dan MA
mengadakan rapat bersama yang diikuti oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama
seluruh Indonesia dan pejabat teras dari kedua instansi tersebut yang
menghasilkan beberpa keputusan penting yaitu: (1) Pelaksanaan kasasi akan
sepenuhnya dilaksanakan oleh Hakim Agung yang asli dalam bidang hukum Islam;
(2) perlu segera disusun Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan dan Acara
Peradilan Agama; (3) pengawasan terhadap jalannya peradilan diserahkan kepada
Pengadilan Tinggi Agama di daerah masing-masing ; (4) dalam hal pelaksanaan UU
Perkawinan, masih memerlukan aturan lain lebih lanjut perlu segera dikeluarkan
petunjuk pelaksanaannya; (5) diharapkan pula agar rapat kerja bersama diadakan
secara periodik. Usaha yang telah dilakukan oleh kedua lembaga negara ini
berpengaruh besar terhadap badan Peradilan Agama. Realisasi terhadap keputusan
kerja tersebut adalah, (1) penandatanganan empat buah Surat Keputusan Bersama
(SKB) antara ketua MA dan Menteri Agama RI pada Januari 1983. Salah satunya
mengenai pengawasan terhadap hakim Peradilan Agama dalam rangka meningkatkan
disiplin hakim; (2) pembentukan tim inti pembahasan dan penyusunan RUU tentang
Acara Peradilan Agama.
Langkah
strategis lainuntuk menndak lanjuti hasil raker adalah pembentukan hukum
materiil yang akan dijadikan pegangan bagi hakim Pengadilan Agama. Ide
pembentukan hukum materiil dalam wujud Kompilasi Hukum Islam (KHI) timbul
setelah beberapa tahun setelah Mahkamah Agung membina teknis yustisial
Peradilan Agama. MA menyarankan bahwa dalam penerapan keputusan peradilan
terdapat beberapa kelemahan antara lain soal hukum Islam yang ditetapkan
dilingkungan Peradilan Agama cenderung beragam disebabkan oleh perbedaan
pendapat ulama dalam hampir disetiap perkara. Untuk itu diperlukan suatu buku
pegangan yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim Pengadilan Agama dalam
melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin kesatuan hukum.
Setelah
mengalami proses kerja yang seksama dan memakan waktu yang cukup panjang, maka
rancangan KHI tersusun dan diterima baik dalam lokakarya yang dilaksanakan di
Jakarta tanggal 2-5 Februari 1988. Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buah
buku yaitu buku pertama Hukum Perkawinan, buku kedua Hukum Kewarisan, buku
ketiga memuat Hukum Perwakafan.[11]
Untuk
memperbaiki kekurangan pengadilan agama serta untuk menegakkan hukum Islam yang
berlaku secara yuridis formal, 8 Desember 1988 Presiden RI menyampaikan RUUPA
kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui menjadi UU menggantikan semua
peraturan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan UUPK No. 14 tahun 1970. Setelah
melalui perdebatan yang cukup panjang 29 Desember 1989 RUUPA disetujui menjadi
UU, yang kemudian dikenal dengan UU No. 7 tahun 1989. Dengan disetujuinya UU
ini semakin mantap dan berwibawa kedudukan Pengadilan Agama sebagai suatu badan
pelaksana kekuasaan kehakiman.[12]
Pada
tahun berikutnya ditahun 1991 dikeluarkan Inpres No. 1 tahun 1991 yang berisi
sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain beberapa keputusan yang telah
disebutkan diatas, masih terdapat beberapa keputusan perundang-undangan lain
yang memuat dan mendukung terlaksananya hukum Islam di Indonesia, diantaranya
UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan UU No. 17 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan ibadah haji.[13]
DAFTAR
PUSTAKA
Bisri,
Cik Hasan, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung.
Remaja Rosdakarya. 1997.
Fuad,
Mahsun, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris. Yogyakarta. LkiS. 2005.
Halim,
Abdul, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia. Jakarta.
RajaGrafindo Persada. 2000.
Manan,
Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradiln: Suatu Kajian dalam Sistem
Peradilan Islam. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. 2007.
Dapatkan Penghasilan Tambahan Disini..
ReplyDeleteDonaco Poker.. Agen Terpercaya dan Teraman..
Kemenangan besar bisa di dapatkan...
Cukup Deposit 10rb anda bisa dapatkan semuanya...
Hubungi Kami Secepatnya Di :
WHATSAPP : +6281333555662
PROMO TIAP HARI BOS
ReplyDeleteAgen Poker pulsa Terpercaya Di Indonesia, susunan agen Poker Online menggunakan pulsa ialah sebangun gembong judi yang mencalonkan tontonan poker online pada masa ini sudah banget ringan degnan munculnya pergelaran ini judi online deposit via pulsa akomodasi antep bersikap disebuah permainan judi online yang pandai kita jumpai waktu ini emang buah berasal makin meningkatnya masa dan teknologi saat ini didalam atraksi tandon online. Atas hanya menyimpan pulsa bagaikan aset endapan pementasan di poker via pulsa online, anggota sudah menjangkau putaran yang super bermain beserta membela permainan.
Sok menggunakan pulsa didalam pertunjukan judi online mestinya sebenarnya hendak makin mengecilkan pegawai masa agan mengerjakan atraksi tandon online. Menurut datangnya endapan lewat pulsa alkisah anakbuah akan bisa berlandaskan sepele berat bergaya dan menjabat jawara didalam sepadan permainan poker. Permainan poker online sedimen via pulsa jelasnya tentu capai beberapa nilai berlagak yang kuasa berupa pulsa jua atau berbentuk uang benar didalam sepadan atraksi judi online.
BACA JUGA:
judi sabung ayam via pulsa
situs judi online deposit pulsa
judi poker deposit pulsa
Ayo daftar sekarang hanya di ZeusBola
50 rb jadi jutawan tunngu apala lagi
ReplyDeletesilahan regis dan buktikan sendri ^^
sudah banyak member2 yg merasakan nya
New member 10%
sialhkan hub : WA : +62812-1495-2061