BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali perbuatan itu diulang-ulang
hingga dikatakan sebagai a>dah kebiasaan. Akan tetapi semua kebiasaan
yang dilakukan manusia tidak semuanya hal-hal yang bersifat baik, namun hal-hal
buruk juga menjadi sebuah kebiasaan. Dalam us}ul al-fiqh kebiasaan yang
dilakukan berulang kali dan menjadi sebuah kebiasaan dan akhirnya bisa dijadikan
sumber hukum dibahas dalam bab a>dah atau ‘urf.
A>dah dan ‘urf apabila diperhatikan kedua kata
itu dari segi asal penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata 'a>dah dari bahasa Arab: ; akar
katanya: 'a>da, ya' u>du mengandung arti perulangan. Sedangkan kata 'urf pengertiannya
tidak melihat dari segi berulangankalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi
dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal
dan diakui oleh orang banyak.[1]
Karena ‘urf
dan a>dah ini bisa dijadikan sebagai sumber hukum maka seharusnya a>dah
kebiasaan itu tidak berlawanan dengan nas{ al-Qur’an. Selain itu ‘urf
dan a>dah yang bisa dijadikan
sumber hukum harus memenuhi beberapa syarat, salah satunya adalah mengandung maslahah
dan dapat diterima oleh akal sehat. Tidak semua urf dan kebiasaan yang
telah dilakukan berulangkali bisa digunakan sumber hukum. Dan serinring kali
dalam kehidupan bermasyarakat banyak sekali kebiasaan/urf yang
berlawanan dengan n}ash Berdasarkan hal-hal tersebut maka makalah ini penting
untuk dibahas dalam mata kuliah ini. Dalam makalah ini akan membahas mengenai
beberapa hal yang akan dirumuskan dalam beberapa rumusan masalah dibawah ini
terkait dengan urf sehingga permasalahan ini perlu dikaji agar beberapa
masalah diatas bisa diselesaikan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian ‘urf dan bagaimana pembagiannya?
2.
Apa alasan bagi penggunaan ‘urf dalam pemikiran hukum Islam?
3.
Bagaimana perbandingan ‘urf dan a>dah?
4.
Apa kaidah-kaidah ‘urf dan’a>dah dalam us{ul al-fiqh?
5.
Bagaimana penggunaan urf dan a>dah dalam contoh kasus?
6.
Bagaimana kontroversi tentang Islam Nusantara?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian 'Urf
Kata ‘urf
berasal dari kata ‘arafa, yang sering diartikan dengan al-ma’ru>f
dengan arti “sesutu yang dikenal”.[2]
Dalam buku lain disebutkan'urf
ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di
kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama us}ul
al-fiqh, ‘urf disebut a>dah (adat
kebiasaan).[3] Sedangkan menurut Muhammad Dahlan ‘urf
adalah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan baik berupa
perkataan, perbuatan, atau tidak melakukan sesuatu.[4]
B.
Macam-macam
'Urf
Ditinjau dari segi
sifatnya, 'urf terbagi menjadi dua macam, yakni ‘urf qauwli dan ‘urf
amali.
1.
'Urf
qauli, ialah 'urf yang berupa perkataan. Kata walad,
menurut bahasa berarti anak, mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi
dalam 'urf diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun (daging), menurut
bahasa berarti daging, mencakup segala macam daging. Tetapi dalam percakapari
sehari-hari ('urf) hanya berarti daging binatang darat saja, tidak
termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan),
2.
'Urf
amali, ialah 'urf berupa perbuatan. Seperti
kebiasaan jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan bunyi akad jual beli.
Padahal menurut syara', shighat (bunyi) akad jual beli itu merupakan
rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan masyarakat melakukan
jual beli tanpa s{ighat jual beli dan ternyata tidak terjadi hal-hal
yang tidak diingini, maka syara' membolehkannya.
Ditinjau dari segi
diterima atau tidaknya sebagai rujukan hukum, 'urf terbagi atas :
1.
'Urf
s}ahih, ialah
'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan
syara". Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah,
dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan
dengan syara'.[5] 'Urf yang s}ahih terbagi
menjadi dua macam, yaitu 'urf ‘a>m (umum)
dan 'Urf Khas (khusus).
a)
'Urf 'a>m
ialah 'urf yang telah disepakati masyarakat di seluruh negeri,
seperti mandi di kolam, di mana sebagian orang terkadang melihat aurat
temannya, dan akad istisna'
(perburuhan). Ulama Madzhab Hanafi menetapkan bahwa 'urf ini ('urf ‘a>m)
dapat mengalahkan qiyas, yang
kemudian dinamakan istihsan 'urf.
'Urf
ini dapat mentakhs}is nas}
yang 'a>m yang bersifat z{an>i,
bukan yang qat}'i. Di
antara contoh meninggalkan keumuman dari nash
z}ann>i karena adanya 'urf
ialah larangan Nabi SAW mengenai jual beli yang disertai dengan adanya syarat. Dalam hal ini, jumhur ulama Madzhab
Hanafi dan Maliki menetapkan kebolehan diberlakukannya
semua syarat, jika memang berlakunya syarat-syarat itu dipandang telah menjadi 'urf
(tradisi).
Akan tetapi apa sesungguhnya 'urf ‘a>m yang
dapat mentakhshis
nas} 'a>m yang
z}ann>i dan dapat
mengalahkan qiyas. Dalam hubugan ini, kami temukan alasan yang
dikemukakan oleh fuqaha' tentang di tolehkannya meninggalkan qiyas
dalam aqad is- tithsna' sebagai berikut: "Menurut qiyas, aqad
istithna' tidak diperbolehkan. Akan tetapi kami meninggalkan dalil
qiyas lantaran akad tersebut telah berjalan di tengah masyarakat tanpa
seorang pun yang menolak, baik dari kalangan sahabat, tabi'in, maupun ulama-ulama
sesudahnya sepanjang
masa. Ini merupakan Hujjah yang kuat yang dapat dijadikan alasan untuk
meninggalkan dalil qiyas" 'urf seperti itu dibenarkan berdasarkan ijma'.
Bahkan tergolong macam ijma' yang paling kuat karena didukung, baik oleh
kalangan mujtahid maupun di luar ulama-ulama mujtahid; oleh golongan sahabat
maupun orang-orang yang datang, setelahnya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa 'urf 'a>m
ialah 'urf yang berlaku di seluruh negeri tanpa memandang kepada
kenyataan pada abad-abad yang telah silam.
b)
'Urf
h}as,
yaitu: 'urf yang dikenal berlaku pada suatu negara, wilayah atau
golongan masyarakat tertentu, seperti urf yang berhubungan dengan perdagangan,
pertanian dan lain sebagainnya. 'urf semacam ini tidak boleh berlawanan
dengan nas}. Hanya boleh berlawanan dengan qiyas yang illatnya
ditemukan tidak melalui jalan yang qat}’iy,
baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi jelas dan
terangnya.[6]
2.
Urf
fasid, ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat
diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan
sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini
tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan
agama Islam.[7]
C.
Alasan
‘Urf dapat Dijadikan Dalil
Alasan ‘urf
dapatbdijadikan dalil adalah sebagai berikut:
1.
Hadits Nabi yang berbunyi:
مارأه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن
Hal ini menunjukkan bahwa segala a>dah
kebiasaan yang dianggap baik oleh umat Islam adalah baik menurut Allah; karena
apabila tidak melaksanakan kebiasaan tadi, maka akan menimbulkan kesulitan. Dalamkaitan ini, Allah berfirman:
$tBur
@yèy_
ö/ä3øn=tæ
Îû
ÈûïÏd9$#
ô`ÏB
8ltym
4
“Dan Allah tidak menyempitkan kamu
dalam urusan agama “ (al-Hajj: 78).
Imam al-Sarkhasyi dari Madzhab Hanafi di dalam kitabnya,
al-Masbut}, menyebutkan: "Sesungguhnya
yang ditetapkan 'urf, seperti yang ditetapkan dalil nadi". Maksudnya
barangkali ialah bahwa segala yang ditetapkan oleh 'a>dah kebiasaan adalah sama dengan yang ditetapkan oleh
dalil yang berupa nash di dalam masalah-masalah yang tidak terdapat nash untuk
penyelesaiannya.
2. Hukum Islam di
dalam khitab-nya memelihara hukum- hukum Arab yang maslahat seperti
perwalian nikah oleh laki-laki, menghormati tamu dan sebagainya.[9]
3.
'a>dah. kebiasaan manusia baik berupa perbuatan maupun
perkataan berjalan sesuai dengan aturan hidup n^anusia dan keperluannya,
apabila dia berkata ataupun berbuat sesuai dengan pengertian dan apa yang biasa
berlaku pada masyarakat.[10]
Para ulama yang mengamalkan 'urf itu dalam memahami dan
mengistibathkan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima 'urf tersebut, yaitu:
a.
a>dah atau 'urf itu bernilai maslahat dan dapat
diterima akal sehat.
Syarat ini merupakan kelaziman bagi 'a>dah atau 'urf yang s}ahih, sebagai
persyaratan untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang ditinggal mati suaminya, dibakar
hidup-hidup bersama pembakaran jenzah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai
baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal
yang sehat. Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular.
b.
'A>dah atau 'urf itu berlaku umum dan merata di
kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan 'a>dah itu, atau di kalangan sebagian besar warganya. Dalam
hal ini al-Suyuthi mengatakan:
“Sesungguhnya 'a>dah yang diperhitungkan
itu adalah yang berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan
diperhitungkan.”
Umpamanya: kalau alat pembayaran
resmi yang berlaku di suatu tempat hanya satu jenis mata uang, umpamanya dolar
Amerika, maka dalam suatu transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan
secara jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui
dan tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku. Tetapi
bila di tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama: berlaku (ini
yang dimaksud dengan: kacau), maka dalam transaksi harusdisebutkan jenis
matauangnya.[11]
c.
'Urf yang dijadikan sandaran dalam
penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu;
bukan 'urf yang muncul
kemudian. Hal ini berarti 'urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum.
d.
'A>dah tidak
bertentangan dan melalaikan dalil syara' yang ada atau bertentangan dengan
prinsip yang pasti.[12]
Urf atau 'a>dah itu bukanlah dalil yang berdiri
sendiri. 'a>dah atau 'urf itu menjadi
dalil karena ada yang mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma'
atau mashlahat. 'a>dah yang berlaku di kalangan umat
berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama
sudah mengamalkannya, berarti secara tidak langsung telah terjadi ijma\ walaupun dalam bentuk sukuti.
Menurut al-Ghazali prosedur ‘urf
yang sehat/baik ialah ‘urf yang telah dikenal oleh masyarakat dan tidak
bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang diharamkan, dan tidak
membatalkan semua kewajiban[14]
'A>dah itu berlaku dan diterima orang
banyak karena mengandung kemashlahatan. Tidak memakai 'a>dah seperti ini, berarti menolak mashlahat, sedangkan semua
pihak telah sepakat untuk mengambil Sesuatu yang bernilai maslahat, meskipun
tidak ada nash yang secara langsung mendukungnya.[15]
D. Perbandingan ‘Urf dan A>dah
Secara umum ‘a>dah adalah sebuah kecenderungan pada
suatu obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek pekerjaan
yang dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi maupun kelompok[16].
Di antara ahli bahasa Arab ada
yang menyamakan kata 'a>dah dan 'urf tersebut, kedua kata itu mutaradif (sinonim). Seandainya kedua kata itu
dirangkaikan dalam suatu kalimat, seperti: "hukum itu didasarkan kepada 'a>dah dan 'urf,
tidaklah berarti kata 'a>dah dan 'urf itu berbeda maksudnya meskipun digunakan kata sambung
"dan" yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan antara dua
kata. Karena kedua kata itu memilki arti yang sama, maka dalam contoh tersebut,
kata 'urf adalah sebagai
penguat terhadap kata 'a>dah.[17]
Bila diperhatikan kedua kata itu
dari segi asal penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata 'a>dah dari bahasa Arab: ; akar katanya: 'a>da, ya' u>du mengandung arti perulangan.
Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan 'a>dah. Tentang berapa kali suatu
perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut 'a>dah, tidak ada ukurannya dan banyak tergantung pada
bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang lebar
dijelaskan al-Suyuthi dalam kitabnya
al-Asybah wa al-Nazha>ir.[18]
Kata 'urf pengertiannya
tidak melihat dari segi berulangankalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi
dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal
dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini (dari sudut berulang kali, dan dari sudut
dikenal) yang menyebabkan
timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang
prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang
telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak;
sebaliknya karenaperbuatan itu sudah dikenaldan diakui orang banyak, maka
perbuatan itu dilakukan orang secara berulangkah. Dengan demikian meskipun dua
kata tersebut dapat dibedakan tetapi perbedannya tidak berarti.[19]
Perbedaan antara kedua kata itu,
juga dapat dilihat dari segi kandungan artinya, yaitu: 'a>dah hanya memandang dari segi
berulangkalinya suatu perbuatan dilalaikan dan tidak meliputi penilaian
mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut.[20] Jadi
kata 'a>dah ini berkonotasi
netral, sehingga ada 'a>dah
yang baik dan ada 'a>dah yang buruk. Definisi tentang 'a>dah yang dirumuskan Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya us}ul al-fiqh
cenderung ke
arah pengertian ini, yaitu:
ما أعتداه الناس من معاملات واستثقامت عليه أمورهم
Apa-apa yang
dibiasakan oleh
manusia dalam pergaulannya dan telah mantap
dalam urusan-urusannya.[21]
Kalau kata 'a>dah mengandung konotasi netral, maka 'urf tidak demikian
halnya. Kata 'urf digunakan dengan
memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan yaitu diakui, diketahui dan
diterima oleh orang banyak. Dengan demikian kata 'urfom mengandung konotasinya baik. Hal ini tampak dalam penggunakan kata 'urf dengan arti ma 'ruf dalam firman Allah, pada contoh
di atas. Sejalan dengan pengertian tersebut, Badran mengartikan 'urf itu dengan:
Apa-apa yang dibiasakandan diikuti oleh orang banyak, baik dalam bentuk ucapan atau
perbuatan, berulang-tdangdilakukan sehingga berbekas dalam jiwa mereka dan
diterirna baik oleh akal mereka.[22]
Musthafa Syalabi tidak melihat
perbedaan kedua kata itu dari segi konotasi kandungan artinya (netral dan tidak
netral) seperti diuraikan di atas,
tetapi dari segi ruang lingkup penggunaannya. Kata
‘urf selalu digunakan untuk jamaah atau golongan, sedangkan kata 'a>dah
dapat digunakan untuk sebagian orang di samping berlaku pula untuk golongan. Apa
yang telah bisa dilakukan (Menjadi kebiasaan) seseorang, maka perbuatan itu
dapat dikatakan sebagai a>dah orang itu, namun tidak dapat dikatakan
sebagai ‘urf orang itu.[23]
E.
Kaidah-Kaidah
‘Urf
Di antara kaidah-kaidah al-fiqhiyah yang berhubungan dengan 'urf
ialah :
ألعدة محكمة
استعمال النس حجة, يجب العمل بها
Artinya: Praktek yang biasa dijalankan adalah dasar hukum yang wajib dipergunakan.
لاينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان
F.
Contoh
kasus ‘Urf
1.
Tidak bisa diterimanya tuduhan seorang
istri apabila telah digauli oleh suaminya, kemudian mengingkari bahwa ia telah
menerima mahar dari suaminya, baik sedikit atau banyak. Dalam hal ini, ulama
muta'akhirin mengambil fatwa seorang ahli al-fiqh, Abu Laits, yang
menganggap batal pengingkaran semacam itu, karena yang demikian adalah mustahil
menurut a>dah, dan si suami tidak berkewajiban memenuhi/memberi mahar
yang digugat oleh istrinya. Meskipun bersamaan dengan itu, terdapat kaedah
yang menyatakan:[26]
البينة على من ادعى واليمين على من أنكر
Atinya:
"Saksi wajib didatangkan oleh pihak penggugat, sedang pengangkat sumpah
wajib bagi orang yang mengingkari."
Hal itu mengingat mewabahnya
kebohongan dan pengingkaran terhadap hak-hak yang sebenarnya telah diterima.
2.
Pembatasan penyewaan tanah wakaf dan harta milik anak
yatim. Misalnya, dibatasi selama masa yang tidak lebih dari setahun dalam hal
rumah atau toko; dan dibatasi selama tidak lebih dari tiga tahun dalam hal ini
tanah pertanian atau perkebunan.
3. Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa masalah persaksian tidak memerlukan pengakuan bersih
terhadap para saksi oleh orang yang dapat
dipercaya dalam peradilan. Hal ini karena adanya sabda Nabi SAW:
المسلمون عدول
بعضهم على بعض
Artinya: "Kaum muslimin adalah
orang-orang yang adil, antara sebagian atas dan sebagian yang lain "
Hukum itu memang sesuai bila diterapkan pada masa Abu
Hanifah. Akan tetapi setelah menggejala kebohongan di mana- mana, maka
diperlukan adanya keterangan bersih diri bagi para saksi itu. Keterangan bersih
diri ini oleh kedua murid Abu Hanifah dijadikan syarat dalam persaksian ketika
keduannya menyelesaikan kasus masyarakat dalam sebuah pengadilan.[27]
G.
Kontrofersi
Islam Nusantara
BAB III
KESIMPULAN
A. 'Urf ialah sesuatu yang telah
dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama us}ul al-fiqh, ‘urf
disebut
a>dah (a>dah
kebiasaan)
B. Ditinjau
dari segi sifatnya, 'urf terbagi menjadi dua macam, yakni ‘urf qauli
dan ‘urf amali. Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya sebagai
rujukan hukum, 'urf terbagi atas : 'Urf shahih dan Urf
fasid. 'Urf yang S{ahih terbagi menjadi dua macam, yaitu 'Urf Aam (umum) dan 'Urf Khas (khusus).
C.
Alasan
‘urf dapat dijadikan dalil adalah
1.
Hadits Nabi,
2. Hukum Islam di
dalam khitab-nya memelihara hukum- hukum Arab yang maslahat seperti
perwalian nikah oleh laki-laki, menghormati tamu dan sebagainya
3. 'A>dah.
Beberapa persyaratan untuk menerima 'urf :
a.
A>dah atau 'urf itu bernilai
maslahat dan dapat diterima akal sehat
b.
'A>dah atau 'urf itu berlaku umum dan merata di
kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan 'a>dah itu, atau di kalangan sebagian besar warganya.
c.
'Urf yang dijadikan sandaran dalam
penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu.
d.
'a>dah tidak
bertentangan dan melalaikan dalil syara' yang ada atau bertentangan dengan
prinsip yang pasti.
e.
Tidak berlaku di dalam ibadah mahd}ah.
D. Dalam hal ini
sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya
sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi
dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya karenaperbuatan itu sudah
dikenaldan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara
berulangkah. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi
perbedannya tidak berarti. Perbedaan antara kedua kata itu, juga dapat dilihat
dari segi kandungan artinya, yaitu: 'a>dah
hanya memandang dari segi berulangkalinya suatu perbuatan dilalaikan dan tidak
meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut. 'urf digunakan dengan memandang pada
kualitas perbuatan yang dilakukan yaitu diakui, diketahui dan diterima oleh
orang banyak.
E. Di antara kaidah-kaidah al-fiqhiyyah yang berhubungan dengan 'urf
ialah :
ألعدة محكمة
Artinya: a>dah kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum.
F.
Salah satu
contoh ‘urf adalah tidak bisa diterimanya tuduhan seorang istri apabila telah
digauli oleh suaminya.
G. Kontrofersi
istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang
mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan 'Islam Arab.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy,
Hasbi. Falsafah Hukum Islam.
Jakarta: PT Bulan Bintang, 1975.
Asmawi. Perbandingan Us}ul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2013.
Dahlan, Muhammad.
Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras, 2012.
Djazuli. Us}ul Fiqh Metodologi Hukum
Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2000.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150614_indonesia_islam_nusantara tanggal 01/12/2015 jam 09.41
Kamali, Muhammad
Hashim. Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka
Perlajar, 1996.
Mun’im, Abdul. Diktat Us}ul al-Fiqh. Ponorogo:Stain Ponorogo, 2007.
Syarifuddin,
Amir. Us}{ul Al-fiqh.
Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami. Bandung: PT.al-Ma’arif, 1993.
Zahra, Muhammad
Abu. Us}ul al-Fiqh. Jakarta: Kota Firdaus, 2008.
Zuhdi,
Masjfuk. Pengantar Hukum Syariah.
Jakarta: CV Haji Masagung, 1987.
Zubair, Maimoen. Formulasi
Nalar Fiqh. Surabaya: Khalista, 2009.
[2] Muhammad
Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Yogyakarta, Pustaka
Perlajar, 1996), 270.
[3] Abdul Mun’im, Diktat Us}ul al-Fiqh
(Ponorogo, STAIN Ponorogo, 2007), 48.
[5]
Ibid., 49.
[6] Muhammad Abu Zahra, Us}ul
al-Fiqh (Jakarta, Kota Firdaus, 2008), 418.
[7]
Abdul Mun’im, Diklat Us}ul Fiqh, 49.
[12]
Ibid., 377.
[16] Maimoen
Zubair, Formulasi Nalar Fiqh (Surabaya: Khalista, 2009), 247.
[20]
Asmawi, Perbandingan Us}ul Fiqh (Jakarta, Amzah, 2013). 161.
[22]
Ibid.
[26]
Muhammad Abu Zahra, Us}ul al-Fiqh, 421.
[27]
Muhammad Abu Zahra, Us}ul al-Fiqh, 422.
[28]http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150614_indonesia_islam_nusantara tanggal 01/12/2015 jam 09.41
[29] Ibid.
[30] Ibid.,
No comments:
Post a Comment