Nalar
Epistimologi Amin Abdullah (Jarring Laba-Laba)
Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“ Islamic Wordview”
Dosen Pengampu:
Dr. Aksin Wijaya
Disusun Oleh:
Hanafi Hadi Susanto
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Amin Abdullah
menegaskan bahwa persoalan utama saat ini adalah terkait dengan syarat dan cara
untuk memperoleh pengetahuan. Karena tugas dari epistimologi sendiri adalah
keluar dan terhindar dari keraguan, ketidak tahuan, bisa membedakan kepercyaan
yang sehat dan tidak sehat, pengembangan ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
Amin ingin
menggiring pembahasan epistimologinya dari pembahasan yang bertolak pada sebuah
pertanyaan mendasar mungkinkah manusia mengetahui? Kepada epistimologi yang
bertolah pada sebuah pertanyaan bagaimana manusia mengetahui?
Epistimologi
menurut Amin terbagi menjadi tiga aliran yakni pertaa rasionalisme yng menjadi
kapling keilmuan kalam dan filsafat, yang kedua kasf yang menjadi kapling keilmuan
tasawuf dan yang ketiga adalah empirisme yang mempunyai sedikit penganut.
Sejalan dengan
itu Amin mengusulkan agar kita menekankan empirisme dalam kajian epistimologi
islam kontemporer, apalagi al-Qur’an juga membicarakan ayat-ayat yang bersifat
umum. Menurut Amin kajian terhadap pesan-pesan spiritual dan moral al-Qur’an
harus dikaji secara empiris-interdisipliner. Kajian terhadap pesan spiritual
dan moral harus dikaitkan dengan ayat kauniyyah baik melalui ilmu kealaman,
maupun humaniora. Kemudian Amin menwarkan pendekatan keilmuan yang bercorak
integralistik-intierkonektif yang dikenal dengan istilah jarring laba-laba
keilmuan. Berdasarkan hal ini maka makalah ini akan membahas mengenai Nalar
Epistemologi Integrasi Jarring Laba-Laba Keilmuan menurut Amin Abdullah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapa
amin abdullah?
2.
Bagaimana
Epistemologi Integrasi Jarring Laba-Laba Keilmuan Amin Abdullah?
C.
Tujuan Mempelajari
1.
Mengetahui
dan memahami Siapa amin abdullah.
2.
Mengetahui
dan memahami Bagaimana Epistemologi Integrasi Jarring Laba-Laba Keilmuan
Amin Abdullah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mengenal Amin Abdullah
Nama: Amin Abdullah
Tempat, tanggal lahir: pati, 28 jili 1953
Riwayat pendidikan: dimulai dari Pondok Modern Gontor Ponorogo, di Kulliyat
Al-Mualimin al-Islamiyah (KMI) (1972), sarjana muda di tempat yang sama (1977),
sarjana lengkap di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan
Kalijaga (1982), Ph.D di Ankara turki (1985-1990)
Karya: falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Studi Agama:
Nomativitas ataukah Historisitas, Dinamika Islam Cultural: Pemetaan atas Wacana
Keislaman Kontemporer dan seterusnya.
B.
Nalar Epistemologi Integrasi Jarring Laba-Laba Keilmuan[1]
Anaisis Amin Abdullah
dimulai dari mengkritik tradisi keilmuan islam yang dikembangkan pada lembaga
pendidikan islam selama ini. Menurut Amin pendidikan saat ini menganut paradigma dikotomis-atomistik.tradisi
erfikir dikotomi-atomistik bukan hanya ilmu umum berhadapan
dengan ilmu keislaman, tetapi melibatkan paradigma sesame kluster disiplin
keilmuan islam dengan cara memisahkan bahkan mempertentangkan antara paradigma
epistimologi bayani, irfani, dan burhani.
Pola berfikir
dikotomi-atomistik yang berkembang selama ini menrut Amin akan menjadikan
manusia terasing dari nilai-nilai spiritual-moralitas, terasing dari dirinya
sendiri, keluarga, masyarakat, lingkungan dan sekitarnya. Selain itu menurut Amin
pandangan dikotomi-atomistik dinilai sebagai keceakaan sejarah dan tidak
sesuai dengan pandangan integralistik ilmu pengetahuan pada masa awal-awal
islam.
Berdasarkan
hal-hal diatas kemudian Amin mengusulkan paradigma baru pengembangan epistimologi keilmuan islam
kontemporer dengan cara mengintegrasikan kedua kategori keilmuan umum
dan agama, meskipun sebenarnya upanya integrasi keilmuan telah banyak
dilakukan pakar.
Integrasi ini menurut Amin tidak sekedar mencocokan, tetapi dibutuhkan
kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan korelasi dan saing berhubungan
antara disiplin keilmuan. Integrasi yang diusung mengambilbentuk
kemudian memadukan antara keilmuan umum dan agama tanpa haarus menghilangkan
keunikan antara masing-masing ilmu pengetahuan.
Sejalan dengan
hal itu Amin juga menawarkan visi baru terkait dengan program reintegrasi
apistimologi keilmuan dalam integrasi interkoneksi dimana Amin mengakui
bahwa ia meneruskan konsep yang pernah diusung oleh Kuntowijoyo dan haberman
(filosof barat). Visi baru Amin Abdullah diilusrasikan dalam sebuah bagan yang
sering disebut dengan jarring laba-laba keilmuan teoantroposentris-integralistikdan
skema keilmuan UIN Sunan Kalijaga: pendekatan integratif-disiplinary.
Dalam buku Satu
Islam Ragam Epistimologi ini, dijelaskan bahwa Amin merangkum disiplin ilmu
yang pernah dimiliki manusia dibawah payung jaring laba-labanya, dan didalamnya
mencerminkan adanya integrasi interkoneksi antara masing-masing ilmu
seperti ilmu-ilmu sosial, ilmu kealaman, dan humaniora dengan ilmu agama islam.
Sehingga antara masing-masing ilmu saling berkesinambungan, tidak saling
menolak atau saling memisahkan.
Dengan visi
barunya itu Amin menilai perguruan tinggi agama (STAIN dan IAIN) berfokus pada
lingkaran lapis 1, dan lapis ke 2 (kalam, falsafah, tasawuf, hadits, tarikh,
fiqh, dst). Dengan adanya hal ini maka mengakibatkan batas atau jurang yang
tidak bisa dijembatani oleh ilmu keislaman klasik dengan ilmu keislaman baru
yang telah memanfaatkan memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora
kontemporer. Diantara tokoh yang memanfaatkan ilmu itu kedalam kajian islam
adalah Muhammed Arkoun, muhammed abid al-jabiri, sayyed Husain nasr dll.
Amin mengakui
bahwa seluh bangunan keilmuan agama islam masih encerminkan episteme
klasik-skolastik yang dikotomi-atomistik lantaran hamper semua disusun dengan
meminjam analisis arkoun. Karena hal itu iqbal menilai pemikiran islam hapir
tidak bergerak selama 500 tahun.
Disisi lain Amin
menolak filsafat ilmu barat, dengan alasan perdebatan, pergumulan dan perhatian
epistimologi keilmuan barat terletk pada wilayah natural science, sebagian
wilayah humanities, dan social science. Sedangkan Islamic studies dan ulumuddin
khususnya syariah, akidah, tasawuf, ilmu al-qur’an, dan hadis terletak pada
wilayah classical humanities. Namun
disaat ini telah terjaadi pergeseran paradigma metodologi studi sosial
keislaman: dari studi yang terlepas dari konteks ke teks yang terkait dengan
konteks. Melihat dua kondisi itui Amin menawarkan penggunaan epistimologo yang
khas pemikiran islam yang dia pinjam dari jabiri, untuk melihat dan
menggabungkan epistimologi islam ke depan, hal ini disebut dengan al-takwil
al-ilmi.
Pendekatan
al-takwil al-ilmi yang dijadikan model tafsir alternatif selain tafsir dan
takwil yang umum digunakan para mufasir selama ini untuk menggunakan jalur
lingkar hermeneutis yang mendialogkan antara paradigma epistimologi bayani,
burhani dan irfani. Dalam pendekatan al-takwil al-ilmi Amin merumuskan tiga
pola relasi, yakni pola relasi parallel, linier dan sirkuler.
Pola relasi
paralel mengindikasikan bahwa masing-masing corak epistimologi berjalan
sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara yang satu dengan yang
lainnya dalam diri ilmuwan, da’I maupun ulama. Pola relasi linier yaitu
memnempatkan salah satu dari keduanya sebagai primadona sehingga mengakibatkan
penilaian yang berat sebelah. Pola relasi sekuler yang ditawarkan oleh Amin
yaitu mengharuskan masing-masing disiplin keilmuan untuk memahami
keterbatasannya sendiri, sembari bersedia mengambil manfaat dari temuan yang
ditawarkan, dan memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat
pada dirinya sendiri.
Dalam
pendekatan al-takwil al-ilmi mengusulkan agar ketiganya saling mengontrol,
mengkritik, memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan yang melekat dari
masing-masing epistimologi
Proyek itegrasi-interkoneksi
keilmuan Amin ini tidak sekedar menjadi sebuah wacana saja, namun juga sebagai
penggagas yang sekaligus pemimpin perguruan tinggi yang akan beralih status
menjadi UIN. Amin menyatakan momentum perubahan ini digunakan untuk memperbaiki
dan menyembuhkan luka dikotomi keilmuan umum dan agama yang makin hari makin
menyakitkan.
Oleh karena itu
Amin menilai bahwa tidak boleh masing-masing fakultas menolak disiplin ilmu
kealaman maupun humaniora untuk diajarkan dan dimasukkan ke dalam kurikulumnya.
Dalam mengimplementasikan kurikulum dengan semangat reintegritas
keilmuan Amin mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut: peradaban
teks (hadarah al-ilmi), yakni ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan sains dan
teknologi, dan peradaban filsafat.
Hadarah ilmi dibangun atas fondasi tata kerja nalar burhani, hadarah
al-nash (fiqh) dibangun di atas otoritas teks dan otoritas salaf dengan qiyas
sebagai metode kerja yang utama, sedangkan hadarah al-falsafah dibangun di atas
koherensi argumen-argumen logika.
Karaena
ketiganya harus berjalan bersama-sama maka Amin mengusulkan untuk mendesain
mata kuliah dengan cara menghindari pifall dan jebakan keangkuhan
disiplin ilmu yang merasa pasti dalam wilayahnya sendiri-sendiri.Amin kemudian
mengusulkan menggunakan skema interkonektid.
Skema interkonektid
memperlihatkan bahwa Integrasi
menurut Amin dimaknai dengan kerja sama, saling tegur sapa, saling membutuhkan,
saling koreksi dan saling berhubungan antara berbagai disiplin ilmu dalam
bentuk sirkuler, dan mengambil bentuk interkoneksi dalam konteks membangun
hubungan antara berbagai disiplin ilmu baik umum maupun agama. Karena Amin
melakukan interkoneksi antara ilmu agama dengan ilmu umum maka lahir
epistimologi integrasi-interkoneksi.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut Amin
Abdullah semua ilmu itu tiidak dapat dipisahkan, karena masing-masing ilmu
saling membutuhkan saling mengoresi dan saling berhubungan. Menurut Amin mememisahkan
masing-masing ilmu adalah sebuah kecelakaan dan tidak sesuai dengan pandangan
integralistik ilmu pengetahuan pada masa awal-awal islam.
DAFTAR PUSTAKA
Wijaya, Aksin. Satu Islam Ragam Epistimologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014.
No comments:
Post a Comment