PEMBAHASAN
1. Pengertian
Khilafah dan Imarah
- Khilafah adalah mengandung arti “perwakilan”, “pergantian”, atau “jabatan khalifah”. Istilah ini berasal dari kata Arab, “khalf”, yang “wakil”, “pengganti”, dan “penguasa”. Secara istilah, khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu konsensus elit politik (ijma’) dan pemberian legitimasi (bay’ah). Karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam, cara yang digunakan dengan memilih pemimpin yang ditetapkan oleh elit politik. Setelah itu baru dibai’at oleh para rakyatnya. Cara demikian, menurut Harun Nasution tidak merupakan bentuk kerajaan, tetapi lebih cenderung pada republik. Dalam arti, kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun-temurun.[1].
- Munawir Sjadzali, dengan mengutip pendapat Mawardi mengatakan bahwa imamah adalah khalifah, sultan, atau kepala negara. Dengan demikian menurut Munawir, Mawardi memberikan juga bagi agama kepada jabatan kepala negara disamping baju politik. Adapun Taqiyyudin an Nabhani menyamakan antara imamah dengan khilafah.
Istilah Imamah
muncul pertama kali dalam pemikiran politik Islam tentang kenegaraan yaitu
setelah Nabi saw wafat 632 M.
Selanjutnya konsep ini berkembang menjadi pemimpin dalam shalat, dan kemudian
berkembang lagi menjadi pemimpin religio-politik (religious-political
leadership) seluruh komunitas muslim, dengan tugas yang telah diembankan
Tuhan kepadanya, yaitu memimpin komunitas tersebut memenuhi
perintah-perintahNya.[2]
2.
Antara
Khilafah dan Imarah
Dalam banyak hadis shahih
memang ada pembahasan kepemimpinan dalam pengertian umum. Kepemimpinan dalam
arti umum ini disebut dengan istilah Imârah, Qiyâdah, atau Ri’âsah.
Imam Taqiyuddin An-Nabhani menerangkan, “Imarah (kepemimpinan) itu lebih umum,
sedangkan Khilafah itu lebih khusus, dan keduanya adalah kepemimpinan (ri’âsah).
Kata Khilafah digunakan khusus untuk suatu kedudukan yang sudah dikenal,
sedangkan kata Imarah digunakan secara umum untuk setiap-tiap pemimpin (amir).”
(Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah, II/125).
Hadis tentang Imarah, misalnya, sabda Nabi saw.:
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ بَحْرِ بْنِ بَرِّىٍّ
حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَجْلاَنَ عَنْ
نَافِعٍ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ ».
“Jika keluar tiga orang dalam sebuah perjalanan, hendaklah satu orang dari
mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud).
Dengan menggunakan aplikasi
al-Maktabah al-Syamilah dapat dicari dengan lafadz فَلْيُؤَمِّرُوا ditemukan hadist tersebut ada pada kitab Sunan
Abu Daud باب في القوم Juz 8 pada halaman 54 dan 55.
Dengan demikian, jelaslah
bahwa kepemimpinan dalam arti yang umum, memang juga diterangkan dalam Islam,
namun istilahnya bukan Khilafah atau Imamah, seperti khayalan dan tipuan Ulil,
melainkan Imarah. Imarah inilah yang bersifat umum sehingga mencakup
kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO,
manager, dan sebagainya. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi][3]
3.
Syarat-Syarat
Khalifah
a.
Syarat
In’iqad (syarat sah pengangkatan khalifah).
1.
Muslim. Allah SWT berfirman :
3
`s9ur @yèøgs ª!$# tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9
n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$#
¸xÎ6y ÇÊÍÊÈ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin.” (QS. An Nisa’: 141)
Khalifah esensinya merupakan
seorang waliyul amri, sedangkan Allah mensyaratkan agar waliyul amri kaum
muslimin itu adalah seorang muslim. Allah SWT berfirman :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$#
óOä3ZÏB (
“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan
taatilah RasulNya dan ulil amri di antara kamu.” (QS.
An Nisa’:59)[4]
2.
Laki-Laki. Berdasarkan hal ini wanita tidak bisa menjadi khalifah.
Berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh abu Bakar yang mengatakan :
حدثنا عثمان بن الهيثم حدثنا
عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال
: لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى
الله عليه و سلم أيام الجمل بعد ما كدت أن ألحق بأصحاب الجمل فأقاتل معهم قال لما بلغ
رسول الله صلى الله عليه و سلم أن أهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال
( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة )
“Sungguh Allah SWT telah memberiku manfaat
dari—kata-kata yang pernah ku dengar dari Rasulullah saw—pada saat perang
Jamal, aku hampir saja mengikuti tentara Jamal (yang dipimpin oleh Aisyah yang
mengendarai unta) dan berperang di pihak mereka”. Lalu ia melanjutkan: “Ketika
sampai berita kepada Rasulullah saw bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri
Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda, “ Tidak akan pernah beruntung suatu
kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.”[5]
Hadist tersebut kami lacak
dengan menggunakan aplikasi al-Maktabah Al-Syamilah ditemukan hadist tersebut
terdapat pada kitab صحيح بخارى pada باب كتاب النبى Juz 4 halaman 1610.
3.
Baligh. Berdasarkan riwayat Imam Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwa
Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ عَنْ
أَبِى الأَحْوَصِ ح وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ
- الْمَعْنَى - عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِى ظَبْيَانَ - قَالَ هَنَّادٌ
- الْجَنْبِىِّ قَالَ أُتِىَ عُمَرُ بِامْرَأَةٍ قَدْ فَجَرَتْ فَأَمَرَ بِرَجْمِهَا
فَمَرَّ عَلِىٌّ رضى الله عنه فَأَخَذَهَا فَخَلَّى سَبِيلَهَا فَأُخْبِرَ عُمَرُ قَالَ
ادْعُوا لِى عَلِيًّا. فَجَاءَ عَلِىٌّ رضى الله عنه فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ
لَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُفِعَ الْقَلَمُ
عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ
وَعَنِ الْمَعْتُوهِ
حَتَّى يَبْرَأَ ».
وَإِنَّ هَذِهِ مَعْتُوهَةُ بَنِى فُلاَنٍ لَعَلَّ الَّذِى أَتَاهَا أَتَاهَا وَهِىَ
فِى بَلاَئِهَا. قَالَ فَقَالَ عُمَرُ لاَ أَدْرِى. فَقَالَ عَلِىٌّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
وَأَنَا لاَ أَدْرِى.
“Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas tiga orang: Anak
kecil hingga mencapai akil baligh, orang yang tidur hingga bangun, dan orang
gila hingga akalnya kembali.”
Hadist ini kami Takhrij dengan menggunakan
aplikasi yang sama dengan menggunakan lafadz الْمَعْتُوهِ
حَتَّى terdapat dalam kitab Sunan Abu Daud باب فى المجنون Juz 13 halaman 58.
Dalil lain mengenai tidak bolehnya khalifah
dijabat oleh anak kecil adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary:
“Dari Abi ‘Aqil Zuhrah bin Ma’bad dari
kakeknya, Abdullah bin Hisyam. Dia hidup pada masa Nabi saw dan pernah diajak
oleh ibunya, Zainab binti Humaid kepada Rasulullah saw. Dia (Ibu Hisyam)
berkata: “Wahai Rasulullah, baiatlah dia.” Nabi saw menjawab: “Dia masih
kecil.” Lalu beliau mengusap kepalanya, dan
mendo’akannya.”[6]
4.
Berakal. Tidak sah orang gila diangkat menjadi khalifah berdasarkan hadits
Nabi saw:
حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى
، وَعَفَّانُ ، وَرَوْحٌ ، قَالُوا : حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ ، عَنْ حَمَّادٍ
، عَنْ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ الأَسْوَدِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ
الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ،
وَعَنِ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ ، قَالَ عَفَّانُ : وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِلَ ، وَقَدْ قَالَ حَمَّادٌ : وَعَنِ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ ، وَقَالَ
رَوْحٌ : وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ.
“telah diangkat pena itu atas tiga orang : orang gila,
yang hilang kesadarannya hingga sembuh. Orang tidur hingga bangun. Dan anak
kecil hingga bermimpi keluar sperma (baligh).”
Hadist ini kami Takhrij pada aplikasi
al-Maktabah al-Syamilah dan terdapat pada kitab hadist sebagai berikut:
الصفحاة
|
الجزء
|
الباب
|
الكتاب
|
885
|
2
|
الشركة فى
|
صحيح بخارى
|
2636
|
6
|
بيعة الصغير
|
صحيح بخاري
|
1487
|
3
|
المبايعة بعد
|
صحيح مسلم
|
57
|
9
|
فى البيعة
|
سنن ابو داود
|
430
|
3
|
المجلد الثالث
|
مسند احمد
|
468
|
3
|
المجلد الثالث
|
مسند احمد
|
233
|
4
|
المجلد الرابع
|
مسند احمد
|
5.
Adil. Yaitu orang yang konsisten menjalankan agamanya (bertakwa dan
menjalankan muru’ah). Allah swt telah mensyaratkan pada seorang saksi dengan
syarat ‘adalah (adil) dengan firmanNya:
(#rßÍkôr&ur
ôurs
5Aôtã
óOä3ZÏiB
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil dari kamu.” (QS. At Thalaq: 2).
Kedudukan seorang khalifah
tentu saja lebih tinggi daripada seorang saksi. Karena itu, tentu lebih utama
dia memiliki syarat adil. Sebab kalau kepada seorang saksi saja ditetapkan
syarat adil, apalagi bagi seorang khalifah.
6.
Merdeka. Seorang hamba sahaya tidak sah menjadi seorang khalifah, karena dia
adalah milik tuannya, sehingga ia tidak memiliki wewenang untuk mengatur bahkan
terhadap dirinya sendiri.
7.
Mampu melaksanakan amanat Khalifah. Tidak sah baiat
kepada seseorang yang tidak sanggup mengemban urusan umat (amanat khalifah)
berdasarkan Kitab dan Sunnah.
b.
Syarat
Afdhaliyah (Syarat Keutamaan)
Syarat Afdhaliyah merupakan syarat keutamaan pengangkatan seseorang
menjadi khalifah. Syarat Afdhaliyah ini bisa ditetapkan jika
didukung oleh nash-nash yang shahih atau termasuk kategori hukum yang
ditetapkan dengan nash yang shahih pula. Sebab menetapkan syarat-syarat yang
wajib dipenuhi oleh orang yang hendak diangkat menjadi khalifah harus didukung
oleh dalil yang mengandung tuntutan yang tegas, yang mengisyaratkan wajibnya
syarat tersebut. Oleh karena itu, jika suatu dalil tidak mengandung perintah
yang tegas, maka persyaratan itu akan menjadi Syarat Afdhaliyah,
bukan Syarat In’iqad.
Atas dasar tersebut, tidak
disyaratkan secara wajib bahwa seorang khalifah harus seorang yang pemberani
dan politikus ulung yang hebat dalam mengatur urusan rakyat dan kepentingan
lain, sebab tidak ada hadits yang menjelaskan hal itu.
حدثنا أبو اليمان أخبرنا شعيب عن الزهري قال كان محمد
ابن جبير بن مطعم يحدث
: أنه بلغ
معاوية وهو عنده في وفد من قريش أن عبد الله بن عمرو بن العاص يحدث أنه سيكون ملك
من قحطان فغضب معاوية فقام فأثنى على الله بما هو أهله ثم قال أما بعد فإنه بلغني
أن رجالا منكم يتحدثون أحاديث ليست في كتاب الله تعالى ولا تؤثر عن رسول الله صلى
الله عليه و سلم فأولئك جهالكم فإياكم والأماني التي تضل أهلها فإني سمعت رسول
الله صلى الله عليه و سلم يقول ( إن هذا الأمر في قريش لا يعاديهم أحد إلا كبه الله على وجهه ما أقاموا الدين
)
“Sesungguhnya urusan kekuasaan ini ditangan
orang Quraisy, tiada seorangpun yang memusuhi mereka, kecuali pasti Allah akan
membuatnya jatuh tersungkur, selama mereka masih menegakkan (hukum-hukum) agama
ini.”
Hadist ini kami takhrij
dengan menggunakan aplikasi maktabah syameela dengan menggunakan lafadz الأمر في قريش dan terdapat di dalam kitab sebagai berikut:
الصفحة
|
الجزء
|
الباب
|
الكتاب
|
1289
|
3
|
مناقب قريش
|
صحيح بخارى
|
1290
|
3
|
مناقب قريش
|
صحيح بخارى
|
1611
|
6
|
الامر من قريش
|
صحيح بخارى
|
2612
|
6
|
الامر من قريش
|
صحيح بخارى
|
1451
|
3
|
الناس تبع لقريش
|
صحيح مسلم
|
1452
|
3
|
الناس تبعع لقريش
|
صحيح مسلم
|
29
|
2
|
المجلد الثنى
|
مسند احمد
|
Maksud
nash ini adalah bahwa kekuasaan berada ditangan oarang Quraisy dan dibenarkan
pula berada selain mereka, sebab Rasulullah SAW pernah mengangkat Abdullah bin
Rawahah, Zaid bin Haritsah dan Usamah bin Zaid menjadi Amir. Padahal mereka
bukan orang Quraisy. Dengan demikian syarat Quraisy adalah syarat keutaman
bukan syarat sahnya pengangkatan seorang khalifah.[7]
4.
Kedudukan
Imam atau Khalifah.
Imam hanyalah seseorang
yang dipilih oleh umat untuk menjadi mandataris dan menangani kepentingan serta
kebutuhan umat. Islam tidak mengenal adanya kedudukan istimewa seorang imam
atau khalifah terhadap umatnya. Yaitu suatu kedudukan yang membuatnya tidak
memerlukan nasihat, bimbingan, dan bebas dari kewajiban-kewajiban tertentu yang
berlaku kepada umatnya. Akan tetapi setiap umat dalam pandangan Islam mempunyai
kewajiban dan hak yang sama.
Khalifah, dalam pandangan
Islam sama sekali tidak mempunyai sifat Ketuhanan walaupun sedikit. Dia
bukanlah manusia “kudus” dan bebas dari dosa dalam pandangan kaum muslimin,
tidak memiliki wewenang tunggal untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah.
Khalifah semacam ini oleh
agama tidaklah diberi suatu keistimewaan mengenai pemahamannya terhadap
Al-Qur’an dan hukum-hukumnya dan tidak pula ditempatkan pada kedudukan
istimewa. Akan tetapi ia sama dengan para penuntut ilmu lainnya. Kelebihannya
terletak pada kecemerlangan pikiran dan lebih banyak benarnya di dalam
menetapkan hukum.
Seorang khalifah ditaati
selama ia berpegangi pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, sedangkan kaum
muslimin melakukan kontrol terhadapnya. Jika keliru, maka dia diluruskan. Dan
jiika tersesat, ia diberi nasihat dan peringatan. Karena tidak boleh ada
ketaatan pada makhluk dalam perbuatan mendurhakai Allah. Akan tetapi jika ia
telah meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di dalam
tindakan-tindakannya, maka umat wajib menggantinya dengan orang lain, selama
usaha penggantiannya tiodak menimbulkan bahaya lebih besar.[8]
KESIMPULAN
1.
Pengertian
Khilafah dan Imamah.
Khilafah
adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan
hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.
Sedangkan imamah adalah khalifah,
sultan, atau kepala negara. Dengan demikian menurut Munawir, Mawardi memberikan
juga bagi agama kepada jabatan kepala
negara disamping baju politik. Adapun Taqiyyudin an Nabhani menyamakan antara imamah
dengan khilafah.
2.
Antara
Khilafah dan Imarah.
Dalam
banyak hadis shahih memang ada pembahasan kepemimpinan dalam pengertian umum.
Kepemimpinan dalam arti umum ini disebut dengan istilah Imârah, Qiyâdah,
atau Ri’âsah. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menerangkan, “Imarah
(kepemimpinan) itu lebih umum, sedangkan Khilafah itu lebih khusus, dan
keduanya adalah kepemimpinan (ri’âsah). Kata Khilafah digunakan
khusus untuk suatu kedudukan yang sudah dikenal, sedangkan kata Imarah
digunakan secara umum untuk setiap-tiap pemimpin (amir).”
3.
Syarat-syarat
khalifah.
a.
Syarat
In’iqad
1.
Muslim.
2.
Laki-laki.
3.
Baligh.
4.
Berakal.
5.
Adil.
6.
Merdeka.
7.
Mampu
melaksanakan amanat khalifah.
b.
Syarat
Afdhaliyah diantaranya boleh seorang khalifah diangkat dari seseorang yang
berasal dari bangsa Quraisy maupun dari bangsa atau kaum yang lain.
4.
Kedudukan
Imam atau Khalifah.
Imam hanyalah seseorang yang dipilih oleh umat
untuk menjadi mandataris dan menangani kepentingan serta kebutuhan umat. Islam
tidak mengenal adanya kedudukan istimewa seorang imam atau khalifah terhadap
umatnya. Yaitu suatu kedudukan yang membuatnya tidak memerlukan nasihat,
bimbingan, dan bebas dari kewajiban-kewajiban tertentu yang berlaku kepada
umatnya. Akan tetapi setiap umat dalam pandangan Islam mempunyai kewajiban dan
hak yang sama.
[1]
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, (Yayasan Indonesiatera: Magelang,
2001), 30.
[2] Ibid,
32.
[3] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/03/04/khilafah-dan-imamah-2/
akses tgl 08 mei 2013.
[4] Abdul
Qadim Zalllum, Sistem Pemerintahan Islam, (Bangil: Al-Izzah, 2002), 55.
[5] Ibid,
56.
[6]
Zallum, 57.
[7]
Zallum, 61
No comments:
Post a Comment