BAB
I
PENDAHULUAN
Murabahah
merupakan bentuk penjualan pembayaran yang ditunda dan perjanjian komersial
murni, walaupun tidak berdasarkan teks al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi
dibolehkan dalam hukum Islam. Bank Islam telah menggunakan perjanjian murabahah
dalam aktivitas pembiayaan melalui barang dagangan, dan memperluas jaringan dan
penggunaannya.
Pembiayaan itu
terdiri lebih dari 75% pembiayaan bank Islam berdasarkan atas kepemilikan
pengembalian yang telah ditetapkan sebelumnya pada investasi bank. Keuangan
murabahah dan harga kredit yang lebih tinggi di dalamnya jelas menunjukkan
bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan yang berdasarkan murabahah, yang menuju
walaupun tidak langsung kepada penerimaan nilai waktu dari uang.
Menerima nilai
waktu dalam transaksi murabahah dan kemudian menolak hal yang sama dalam
transaksi uang nampaknya menjadi tidak konsisten dan tidak logis. Jika hukum
Islam dapat mengijinkan pembiayaan murabahah seperti dipraktikkan dalam
perbankan Islam, maka pertanyaannya adalah,”Apakah ada basis moral untuk tidak
mengijinkan bunga tetap pada pinjaman?”. Oleh karena itu, di dalam makalah ini
akan dijelaskan mengenai pembiayaan murabahah dalam lembaga ekonomi syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang
sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.
Secara hukum murabahah diatur dalam Pasal 1 angka 133 Undang-undang No. 10
Tahun 1998, yang menyatakan bahwa murabahah termasuk salah satu kegiatan berdasarkan
prinsip syariah yang dapat diterapkan oleh bank. Secara teknis mengenai
penerapan akad jual-beli dalam praktik perbankan syariah diatur dalam Fatwa
DSN-MUI dan PBI No. 7/46/PBI/2005.[1]
Pengaturan mengenai pembiayaan murabahah juga diatur dalam Fatwa DSN-MUI
No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Ketentuan umum mengenai pembiayaan murabahah
yang tercantum dalam fatwa tersebut,
yaitu:
1.
Bank
dan nasabah harus melakukan akad
murabahah yang bebas riba.
2.
Barang
yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3.
Bank
membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.
4.
Bank
membelikan barang yang diperlukan nasabah ats nama bank sendiri, dan pembelian
harus sah dan bebas riba.
5.
Bank
harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.
6.
Bank
kemudian menjual barang kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli
plus keuntungannya. Dalam hal ini Bank harus memberitahu secara jujur harga
pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7.
Nasabah
membayar harga barang yang telah disepakati pada jangka waktu tertentu.
8.
Untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan aau kerusakan akad, pihak Bank dapat
mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9.
Jika
bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga,
akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi
milik bank.
Pembayaran bisa dilakukan secara
spot (tunai) atau di kemudian hari yang disepakati bersama. Rukun dari akad murabahah
yaitu:
a.
Pelaku
akad, yaitu ba’I (penjual) dan musytari (pembeli).
b.
Objek
akad, yaitu mabi’ (barang dagangan) dan tsaman (harga).
Syarat akad murabahah yaitu:
a.
Penjual
memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
b.
Kontrak
pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c.
Kontrak
harus bebas dari riba.
d.
Penjual
harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat sesudah pembelian.
e.
Pembeli
harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,.[3]
Skema Bai’ al-Murabahah
1.
Negosiasi dan Persyaratan
|
6. bayar
|
|
Suplier (penjual)
Bentuk-bentuk akad murabahah antara lain:
a.
Murabahah
sederhana. Adalah bentuk akad murabahah ketika penjual memasarkan barang kepada
pembeli dengan harga sesuai harga perolehan ditambah marjin keuntungan yang
diinginkan.
b.
Murabahah
kepada Pemesan. Bentuk murabahah ini melibatkan 3 pihak, yaitu pemesan, pembeli
dan penjual. Bentuk murabahah ini juga melibatkan pembeli sebagai perantara
karena keahliannya atau karena kebutuhan pemesan akan pembiayaan.[4]
Pembiayaan murabahah yang umum
dipraktikkan oleh perbankan syariah di Indonesia juga memiliki perbedaan dengan
konsep klasik murabahah, yaitu:
Karakteristik
Pokok
|
Praktik
Klasik
|
Praktik di
Indonesia
|
Tujuan Transaksi
|
Kegiatan jual-beli
|
Pembiayaan dalam rangka penyediaan
barang
|
Tahapan Transaksi
|
2 tahap
|
1 tahap
|
Proses Transaksi
|
a.
Penjual
membeli barang dari produsen.
b.
Penjual
menjual barang kepada pembeli.
|
Bank selaku penjual dapat
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari produsen untuk dijual
kembali kepada nasabah
|
Pengungkapan harga pokok dan
marjin
|
Harus transparan
|
Harus transparan
|
Tenor
|
Sangat pendek
|
Jangka panjang (1-5 tahun)
|
Cara pembayaran transaksi
jual-beli
|
Cash and carry
|
Dengan cicilan
|
Kolateral
|
Tanpa kolateral
|
Ada kolateral/ jaminan tambahan[5]
|
B.
Murabahah dalam Sistem Perbankan Islam
Bank-bank Islam mengambil Murabahah
untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada kliennya untuk membeli barang
walaupun klien mungkin tidak memiliki uang tunai untuk membayar. Adapun
kelebihan kontrak Murabahah adalah:
ü Pembeli mengetahui semua biaya yang semestinya termasuk harga pokok
barang dan keuntungan;
ü Subjek penjualan adalah barang atau komoditas;
ü Pembayaran yang ditunda.[6]
1.
Ketentuan Murabahah kepada nasabah:
a)
Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian
pembelian suatu barang atau asset kepada bank.
b)
Jika
bank menerima permohonan, ia harus membeli terlebih dahulu asset yang
dipesannya secara sah dengan pedagang.
c)
Bank
kemudian menawarkan asset kepada nasabah dan nasabah harus menerima
(membeli)nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, kemudian kedua
belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
d)
Dalam
jual beli, bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat
menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
2.
Jaminan dalam Murabahah:
a)
Jaminan
dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
b)
Bank
dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
3.
Hutang dalam Murabahah:
a)
Secara
prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi tidak ada kaitannya dengan
transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut.
b)
Jika
nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib
segera melunasi seluruh angsurannya.
c)
Jika
penjualan barang menyebabkan kerugian, nasabah harus menyelesaikan hutang
sesuai kesepakatan awal.
4.
Penundaan pembayaran dalam
Murabahah:
a)
Nasabah
yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya.
b)
Jika
nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja atau jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajiban, maka penyelesaian dilakukan melalui BASARNAS setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[7]
BAB III
KESIMPULAN
A.
Pengertian Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang
sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Pengaturan
mengenai pembiayaan murabahah juga diatur dalam Fatwa DSN-MUI No.
04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
B.
Murabahah
dalam Sistem Perbankan Islam
Bank-bank Islam mengambil Murabahah
untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada kliennya untuk membeli barang
walaupun klien mungkin tidak memiliki uang tunai untuk membayar. Adapun
kelebihan kontrak Murabahah adalah:
ü Pembeli mengetahui semua biaya yang semestinya termasuk harga pokok
barang dan keuntungan;
ü Subjek penjualan adalah barang atau komoditas;
ü Subjek penjualan hendaknya memiliki dan dimiliki penjual dan ia
harus mampu mengirimkan kepada pembeli;
ü Pembayaran yang ditunda.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur, Aspek Hukum
Reksadana Syariah di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press,2001.
Anshori, Abdul Ghofur, Kapita Selekta
Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2008.
[1] Abdul Ghofur Anshori, dkk, Kapita
Selekta Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2008 ), hal. 35-36.
[2] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012 ), hal. 82.
[3] Muhammad Syafi’I antonio, Bank Syariah dari
Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press,2001), 102.
[4] Ibid, hal.89.
[5] Ibid, hal. 221-222.
[6] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), 138-139.
[7] Abdul Ghofur Anshori, Aspek
Hukum Reksadana Syariah di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2008),
21-23.
No comments:
Post a Comment