EPISTEMOLOGI POSITIVISTIK,
HUMANISTIK DAN SOSIAL KRITIS
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia sebagai mahluk rasional sebenarnya sudsh di bekali dengan rasa
ingin tahu. Keingin tahuan manusia ini sudah dapat di saksikan sejak seseorang
masih kanak - kanak dan akan terus berkembang secara dinamis mengikuti fase -
fase perkembangan kejiwaan orang tersebut. Keingintahuan manusia akan
terpuaskan bila ia sudah memperoleh pengetahuan mengenai apa yang di
pertanyakan.
Dengan demikian dapat di katakan bahwa manusia tidak akan pernah mencapai
kepuasan mutlak untuk menerima realita untuk dihadapinya sebagai titik
terminasi yang mantap. Untuk mendukung dan menyalurkan keingintahuan
tersebut,maka di lakukanlah penelitian dengan metode – metode yang sesuai
dengan penelitian yang dilakukan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Epistemologi Positivistik
Epistimologi
derivasinya dari bahasa yunani yang berarti teor iilmu pengetahuan.Epistemologi
merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan dan logas, teori.[1]
Objek
telaah epistomologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu dating dan bagaimana
mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi
dan kondisi ruang serta waktu tentang suatu hal. Landasan epistemology adalah
proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika,
bagaiman cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan
seni, serta apa definisinya.[2]
Positivistik
adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif.[3]
Pendekatan
ini lahir dari cara pandang ilmu alam dalam melihat objek pengamatannya.
Menurut pendekatan ini, ilmu alam dan ilmu social adalah sama, perbedaan di
antara keduanya hanya terletak pada objek kajiannya. Ilmu alam mengkaji gejala fisik
yang ada memiliki karak teristik yang sama di semuatempat. Misalnya adalah hewan,
tumbuhan dan benda-benda di alam bebas.Ilmu social memiliki objek pengamatan yaitu
manusia.Sosok manusia adalah pendekatan ini, juga diposisikan sama seperti benda-benda
lain yang ada di alam. Manusia bersifat pasif dan memiliki karakter yang sama disemua
tempat. Pendekatan positivistic
menggunakan logika berfikir deduktif, menganggap semua realitasakan berlaku umum
dan bersifat sama disemua tempat. Setiap gejala social selalu merupakan akibat dari
gejala social yang lain.[4]
Asumsi
Dasar Epistemologi Positivistik
•
Perdebatan epistemologi
positivistik dengan epistemologi humanistik dimulai filosof Wilhelm Dilthey
(1833) dengan Windeband: tentang ilmu ideografis dan nomotetis.
•
Dipopulerkan oleh
August Comte (1798-1875): Emile Durkheim (1858-1917), Karl Popper (1906-1994) The
Logic of Scientific (1959) dan Objective Knowledge (197Comte
(metafisis, teologis, positivistik); Durkheim (eksternal, objektif, memaksa);
Popper (verifikasi, falsifikasi).
•
Popper: Pertama,
sebagai metode untuk testing hanya bisa digunakan metode deduksi: Kedua,
kekuatan teori tidak diukur berdasarkan verifikasi, melainkan hanya mungkin
berdasarkan falsifikasi.Ketiga, pengetahuan tidak dapat dicari dasarnya
pada observasi, melainkan hanya mungkin pada teori yang diajukan sebagai
ikhtisar.
Ciri-ciri
positivistic, dapat dilahat dari tiga pilar keilmuan, yaitu :
a. Aspekontologis, positivistic menghendaki bahwa
realitas budaya dapat dipelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari objeklain,
dandapatdikontrol.
b. Secara
epistemologos yaitu upaya untuk mencari
generalisasi terhadap fenomena budaya.
c. Secaraaksiologis, menghendaki agar proses
penelitian budaya bebas nilai. Artinya, peneliti mengejar objektivitas agar
dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat.[5]
Tokoh
utama aliaran positivism ini adalah August Comte (1798-1857 M).Ia berpendapat bahwa
inderituamat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan
alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Berkaitan
dengan perkembangan pemikiran manusia, menurut Comte perkembangan tersebut melalui
tiga zaman atau tahap yaitu :
1. Tahap
teologis, suatu tahap atau zaman dimana manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala
alam, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala
tersebut. Tahap ini dibagi atas tiga periode, pertama dimana benda-benda dianggap
berjiwa (animisme), kedua politeisme yaitu manusia percaya pada dewa-dewa,
ketiga monoteisme yaitu manusia percaya pada satu Allah sebagai Yang Maha Kuasa.
2. Tahap
metafisis, suatu tahap dimana kekuatana dikodrati diganti dengan ketentuan-ketentuan
abstrak.
3. Tahap
positif yaitu suatu tahap dimana orang tidak lagi mencaai pengetahuan tentang
yang mutlak baik teologis maupun metafisis.[6]
Dalam garis besarnya
positivistic dapat dikatakan bahwa :
a. Positivisik
mempelajari “permukaan” masalah atau bagian luarnya, sedangkan
post-positivistik mencobam emperoleh gambaran yang lebih mendalam.
b. Positivistic
bersifat atomistic, memecah kenyataan dalambagian-bagian mencari hubungan antara
variabel yang terbatas, sedangkan post-positivistik memandang peristiwa secara keseluruhan
dalam konteksnya dan mencoba memperoleh pemahaman yang holistic.
c. Tujuan
utama penelitian positivistic ialah mencapai generalisasi yang dapat digunakan untuk
meramalkan atau memprediksi, sedang kantujuan utama post-positivistik ialah memahami
makna atau “Verstehan”.
d. Positivistik bersifat
deterministic tertuju kepada kepastian dengan menguji hipotesis, sedang kanpos-positivistik
memandang hasil penelitian sebagai spekulatif.[7]
B.
Humanistik
Pengertian
Humanistik adalah lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia.Pendekatan
ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal
yang positif.Kemampuan bertindak positifini yang disebut sebagi potensi manusia
dan para pendidik yang beraliran humanism biasanya memfokuskan pengajarannya pada
pembangunan kemampuan positifini.Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan
pengembangan emosipositif yang terdapat dalam domain afektif.Emosi adalah kerakteristik
yang sangat kuat yang Nampak dari para pendidik beraliran humanisme.[8]
Pendekatan Humanistik berupaya untuk
memahami gejala social dengan memosisikan inidividu sebagai makhluk yang aktif .Pendekatan
ini berbeda dengan pendekatan positivistic
.Menurut pendekatan ini, manusia menciptakan dunianyasen diri melalui proses
pemaknaan atas gejala social disekitarnya. Pada dasarnya realitas social
dibentuk oleh hasil pemaknaan manusia atas realitas social tersebut, sehingga tidak
ada realitas social yang bersifat pasti.Relitas social sangat bergantung pada bagaimana
manusia memakai realitas social tersebut.[9]
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada
prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.)
tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja
dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam
batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu
kebebasan manusia harus segera dipatahkan.[10]
Asumsi Dasar
Epistemologi Humanistik
•
Ilmu tidak pernah netral (bebas
nilai) dan ilmuwan punya tanggungjawab sosial (ideologis) terhadap yang
dilakukan.
•
Menganggap adanya peran sentral
terhadap aktor dalam mengontruksikan realitas, Sifat ilmu
sosial bersifat ideografis yang bersifat “hermeneutic” yang memberikan
pemahaman yang bersifat menyeluruh dan mendalam.
•
Setiap situasi sosial selalu
didukung oleh jaringan makna yang dimuat oleh aktor.
•
Motivasi menjadi dasar pemahaman
karena: tingkah laku manusia sangat sulit untuk dipahami; tingkah laku manusia hanya dapat dipahami
melalui manusia lain; manusia sebagai subyek ramalan ilmiah seringkali
mempunyai kemampuan membalik ramalan-ramalan itu.
•
karenannya salah satu metode yang paling tepat
adalah “verstehen”
Adapun program-program pembangunan
yang bersumber dari teori pembangunan humanistic antara lain disebutkan sebagai
berikut :
a. Program
pembangunan masyarakat (CD = Community Development) di India danger akan
Animation Rurale (penggairahan pedesaan) di Senegal, keduanya merupakan kegiatan
nasional semesta dengan disponsori pemerintah yang bertujuan membangkitkan semangat
serta hasrat pembangunan dikalangan penduduk pedesaan.
b. Gerakan
perkampunagn pedesaan Fhilipina (PRRM = Philippine Rural Recontruction
Movement). Gerakan ini mencerminkan suatu pola baru dalam dunia modern,
khususnya melalui usaha pendidikan.
c. Proyek
“Comilla” di Bangladesh, gerakan kebudayaan rakyat (ACPO = Action Cultural
Popular) di Colombia merupakan badan pendidikan nasional / swasta yang didukung
oleh gereja tujuan yang mendidik kaum “Campesino” terlantar dan miskin agar
dapat menjelma sebagai manusia Amerika Latin gaya baru yang diberi semangat dan
sarana untuk memperbaiki nasibatas kemampuan sendiri.[11]
C.
Sosial
Kritis
Pendekatan
kritis memberikan kritis terhadap dua pendekatan sebelumnya.Menurut pendekatan kritis,
pendekatan positivistic merupakan pendekatan yang tidak manusiawi, karena melihat
manusia sebagai objek yang pasif, tidak memiliki kemampuan untuk membangun realitas
social serta menganggap bahwa realitas social di mana pun memiliki karakter
yang sama. Sementara bagi pendekatan kritis, pendekatan humanistic terlalu mementingkan
ide dangagasan individu di atas segalanya.Ide mengalahkan kondisi riil dalam kehidupan
manusia itu sendiri. Pendekatan humanistic adalah pendekatan yang bersifat subjektif
dan relatif.Pendekatan kritis berupaya mengungkap makna di balik realitas yang
tidak terlihat.Pendekatan ini juga berupaya melakukan perubahan kondisi dan membangun
realitas yang lebih baik.[12]
•
Teori kritis sering
juga dilihat sebagai kritik ideologi. Dalam bidang epistemologi, kritik itu
diupayakan agar membuka selubung ideologi dari positivisme ilmiah. Teori ini
muncul akibat keprihatinan yang timbul sekitar realitas sosial maupun
pengetahuan tentang realitas itu.
Menurut
Horkeimer pemisahan antara “facts” and “values” pada kenyataannya merupakan
produk masyarakat (ilmiah) tertentu. Tokoh-tokoh mazhab Frankfurt sependapat
bahwa teori tidak dapat dipisahkan dari paktis dan tidak ada ilmu yang bebas
nilai
Teori yang disebut sebagai sosial kritis harus memiliki ciri
sebagai berikut :
1. Teori sosial kritis berlawanan dengan positivisme. Dia
beranggapan bahwa pengetahuan bukan semata-mata refleksi atas dunia statis “di
luar sana”.teori sosial kritis berlawanan dengan pandangan positivis yang
menyatakn bahwa sains harus menjelaskan hukum alam masyarakat. Sebaliknya,
teori sosial kritis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh historis (terus
mengalami perubahan).
2. Teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini,
yang secara umum ditandai oleh dominasi, eksploitasi dan penindasan. Dalam hal
ini, teori sosial kritis mendorong kemungkinan kemajuan masyarakat. Peran teori
sosial kritis bersifat politis karena dia berpartisipasi dalam mendorong
perubahan sosial.
3. Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan sosial
dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya seksualitas,
peran keluarga, dan tempat kerja. Dalam hal ini sosial kritis menghindari
determinisme dan mendukung voluntarisme.[13]
Kritik sosial kritis atas positivisme adalah optimisme
yang menekankan kebebasan eksistensial mendasar manusia dan pada peluang mobilisasi
sosial. Kritik positivisme bukanlah idealistis maupun realistis. Hanya saja,
teori ini mengakui bahwa pilihan yang kita buat terhambat oleh masa lalu dan
masa kini, yaitu kelas sosial kita, jender, ras, agama dan asal usul
kebangsaan, yaitu semua hal yang mengindikasikan biografi pribadi kita.[14]
•
Tugas teori sosial kritis adalah
membawa praktik pembebasan. Tugas seperti ini bisa ditempuh dengan berbagai
jalan:pertama, teori sosial harus mampu menjalankan tentang bagaimana keadaan
dan sistem sosial yang ada, telah menciptakan bentuk pemahaman dan “kesadaran
palsu” tentang realitas sosial yang
harus diterima masyarakat demi melanggengkan sistem tersebut. Ini berarti bahwa
ilmu sosial kritis berkepentingan terhadap bangkitnya kesadaran kritis
masyarakat terhadap realitas sosial yang mereka hadapi.
•
Kedua, teori sosial juga harus
memfasilitasi timbulnya visi alternatif tentang relasi sosial yang bebas dari
bentuk penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan.
Fungsi ilmu social kritis adalah meningkatkan
kesadaran para pelaku perubahan dari realitas yang diputar balikkan oleh kalangan
tertentu dan disembunyikan dari pemahaman sehari-hari. Fungsi ilmu social kritis
yang demikian didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia, baik laki-laki atau perempuan
secara potensial adalah agen aktif dalam pembangunan dunia social dan kehidupan
personal. Rakyat adalah subyek dalam menciptakan proses sejarah, bukan obyek.
Teori kritis secara sadar berkeinginan untuk membebaskan manusia dari konsep-konsep
yang secara ideologis beku dari kenyataan dan kemungkinan-kemungkinan yang
dapat dilakukan.
Ilmu social kritismen empatkan manusia
sebagai sekumpulan subyek yang aktif dalam membentuk dunia mereka sendiri yang didasarkan
pada dialog antar subyek (analisis/peneliti dengan pelaku), bukan sekedar observasi
dan eksperimen yang menipu rakyat. Ilmu-ilmu social kritis karena itu harus secaral
angsung menjadikan rakyat mengerti dunia mereka sendiri dan mampu melakukan aksi-aksi
revolusioner dengan cara melibatkan mereka dalam proses analisa/penelitian.
Dengan begini ilmu alam menja disebuah metode untuk aksi penyadaran, bukan
ideology dominasi teknokrat terhadap rakyat yang dianggap pasif.[15]
Akhirnya, peneliti sosial kritis mungkin tidak memasukkan
diri mereka dalam afiliasi teoritis yang telah mapan karena mereka mengakui
bahwa terdapat pembagian kerja antara penelitian dan teori. Tidak seperti
penelitian positivis, peneliti sosial kritis tampaknya lebih melihat karya
teoritis sebagai sesuatu yang sah dan perlu, dengan melukiskan satu gambar
besar yang mengkerangkakan penelitian dan juga mengembangkan “narasi” tentang
kemungkinan perubahan sosial, dengan menunjukkan bagaimana illuminasi empirik
dominasi menyarankan perlunya satu strategi untuk mengatasi dominasi dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat.[16]
Peneliti juga harus mendekonstruksi sebuah kebenaran yang
sudah banyak diyakini oleh orang lain. Pendekatan kritis memaknai proses
penelitian sebagai proses kritik yang berupaya mengungkap kebenaran tersembunyi
di dalam struktur yang nyata yang bertujuan untuk membantu manusia mengubah
kondisi dan membangun dunia yang lebih baik.
Berikut ini dijelaskan beberapa perbedaan pandangan dari
ketiga pendekatan tersebut :
Positivistik
|
Humanistik
|
Kritis
|
1. Mengapa seorang harus melakukan penelitian sosial?
|
||
·
Untuk mendapatkan
penjelasan ilmiah
·
Untuk
menemukan dan mendomentasikan hukum yang bersifat universal mengenai perilaku
manusia.
|
·
Untuk
mempelajari tindakan sosial yang bermakna, bukan hanya tindakan yang
eksternal atau perilaku yang dapat diamati orang.
|
·
Berorientasi
pada tindakan.
·
Untuk
mengubah dunia, melakukan kritik dan mentransformasikan hubungan sosial.
|
2. Apa sifat dasar realitas sosial?
|
||
·
Realitas itu
nyata; realitas berada diluar sana, menjadi objek yang dapat ditemukan.
·
Realitas
sosial tidak acak, melainkan berpola dan tertib.
|
·
Kehidupan
sosial manusia tidak pernah selesai (selalu berubah).
·
Manusia
menciptakan tindakan yang bertujuan untuk berinteraksi dengan makhluk sosial.
|
·
Mengapdosi
posisi realis (yaitu , realitas sosial adalah “di luar sana” untuk
ditemukan).
·
Realitas
sosial selalu berubah, dan perubahan berakar pada konflik atau kontradiksi
dari hubungan sosial atau lembaga.
|
3. Apa dasar keberadaan manusia?
|
||
·
Manusia
diasumsikan memiliki kepentingan pribadi, mencari kesenangan dan rasional.
·
Kita dapat
belajar mengenai orang-orang dengan mengamati.
|
·
Orang-orang
terlibat dalam proses menciptakan sistem melalui pemaknaan yang sifatnya
fleksibel melalui interaksi sosial.
|
·
Orang
memiliki banyak potensi yang belum direalisasi.
·
Orang-orang
kreatif, dapat diubah dan adaptif (mudah menyesuaikan diri).
|
4. Bagaimana penjelasan atau teori realitas sosial?
|
||
·
Ilmu
pengetahuan menjelaskan terjadinya kehidupan sosial dengan cara menemukan
hukum-hukum kausal (sebab-akibat)
·
Bersifat
logis, deduktif mendefinisikan sistem, aksioma dan hukum yang saling
berhubungan
|
·
Seseorang
memiliki kehendak dan kebebasan untuk menciptakan makna sosial.
·
Menjelaskan
dan menafsirkan bagaimana orang melakukan kehidupan mereka sehari-hari.
|
·
Sebagian
deterministik (ada yang menentukan) dan sebagian voluntarisme (dapat
diciptakan sendiri).
|
5. Bagaimana memberikan bukti yang baik atau informasi
faktual?
|
||
·
Bukti dan
informasi didasarkan pada pengamatan yang tepat yang dapat diulangi oleh
orang lain.
|
·
Tertanam
dalam konteks interaksi sosial yang mencair.
|
·
Apakah
informasi yang disampaikan melalui teori dapat mengungkapkan makna dibalik
ilusi.
|
6. Kapan nilai-nilai sosial politik masuk ke dalam ilmu
pengetahuan?
|
||
·
Nilai-nilai
tidak memiliki tempat kecuali ketika memilih suatu topik.
|
Nilai merupakan bagian intregal dari kehidupan sosial,
tidak ada nilai-nilai kelompok yang salah, hanya berbeda.
|
·
Semua ilmu
pengetahuan harus dimulai dengan posisi; beberapa posisi ada yang benar, ada
yang salah.[17]
|
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam
epistemology, secara lebih rinci terdapat perbincangan mengenai dasar, batas,
dan obyek pengetahuan.Oleh sebagian orang, epistemology disebut filsafatilmu.Secara
umum, epistemology mempersoalkan kebenaran pengetahuan.Hal yang dibicarakan adalah
pengetahuan dan susunannya (system).Ilmu atau science adalah gejala gejala yang
dapat diamati berulang-ulang melalui eksperimen sehinga dapat diamati secara berulang-ulang
oleh orang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda.
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian
pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk
yang terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang
diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa
sebenarnya epistemologi itu.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani
episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran
yang berbeda yang memfokuskan dirinya kejalan keluarumum dalam masalah-masalah atau
isu-isu yang berhubungan dengan manusia.Humanisme telah menjadi sejenis doktrin
beretika yang cakupannya diperlua sehingga mencapai seluruh etnisitas manusia,
berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok
etnister tentu.
DAFTAR PUSTAKA
Adib ,Muhammad.Filsafat
ilmu,Yogyakarta : Puataka Pelajar, 2011.
http://anshorysyakoer.blogspot.com/2013/03/filsafat_26.html
Waris. Filsafat
Umum, Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009.
Martono,Nanang. Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta:
RajaGrafindo Persada 2011.
Tamburaka,Rustam E. Pengantar
Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah
Filsafat,
dan Iptek, Jakarta: PT RINEKA CIPTA
2002.
Agger,Ben. Teori
Sosial Kritis, Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta 2006.
Nasution. Metode
Penelitian Naturalistik – Kualitatif, Bandung: Tarsito 1996.
Anggota IKPI.Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta:
Gadjah Mada University
Press 2006.
[2]http://anshorysyakoer.blogspot.com/2013/03/filsafat_26.html
[3]Waris, Filsafat
Umum, (Ponorogo: STAIN Po PRESS 2009), 54.
[4]Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: RajaGrafindo Persada
2011), 11.
[5]Anggota
IKPI, Metodologi Penelitian Kebudayaan,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2006), 38-39.
[7]Nasution, Metode Penelitian Naturalistik –
Kualitatif, (Bandung: Tarsito 1996), 7.
[9]Nanang, Metode Penelitian Kuantitatif, 11-12.
[11]Rustam E Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan
Iptek, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA 2002), 118.
[12]Nanang, Metode
Penelitian Kuantitatif, 12-13.
[13]Ben Agger, Teori Sosial Kritis, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana Yogyakarta 2006), 7-9.
[14]Ibid, 15.
[16] Agger,Sosial Kritis, 343-344.
[17]Nanang, Metode Penelitian Kuantitatif, 13-15.
No comments:
Post a Comment