BAB 1
A.
PENDAHULUAN
Perikatan, lahir karena suatu
persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai
dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum
untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain,
dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah
mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua
belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut
prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan
tidak melakukan suatu perbuatan.
Pada dasarnya, ada sedikit
kemiripan antara hukum perdata di Indonesia dengan di Mesir, dikarenakan negara
Mesir sendiri mengadopsi hukum dari Perancis, sedangkan Indonesia mengadopsi
hukum dari Belanda, dan Hukum Perdata Negara Belanda berasal dari Hukum Perdata
Perancis (yang terkenal dengan nama Code Napoleon). Jadi, hukum perdata yang di Indonesia dengan
di Mesir pada hakikatnya sama. Akan tetapi hanya bab dan pembagiannya saja yang
membedekannya dikarenakan berasal dari satu nenek moyang yang
sama. Sumber - sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian
dan undang-undang dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi
undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber
undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut
hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
B.
RUMUSAN MASALAH
Masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa itu Hukum Perikatan
2.
Apa penjelasan tentang Prestasi
3.
Apa penjelasan tentang Wanprestasi
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
HUKUM PERIKATAN
Dalam Buku III
BW yang berjudul “van Verbintenissen”, di mana istilah ini juga
merupakan istilah lain yang dikenal dalam Code Civil Perancis, istilah
mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah “obligation”. Istilah
verbintenis dalam BW (KUHPerdata), ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam
kepustakaan hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, di
dalam salah satu bukunya menegaskan bahwa :“Istilah verbintenis, ada yang
menterjemahkan dengan “perutangan”, perjanjian maupun dengan “perikatan”. Karena
masing-masing para sarjana mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam
menterjemahkan dan mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan
perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud
pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yakni “verbintenis”,
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam
KUHPerdata digunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. R. Subekti,
mempergunakan istilah “verbintenis” untuk
perkataan “perikatan”, demikian juga R. Setiawan,
memakai istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. Selanjutnya Utrecht,
memakai istilah perutangan untuk “verbintenis”. Sebaliknya
Soediman Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai
terjemahan dan“verbintenissenrecht, sedangkan. Sementara itu R.
Wirjono Prodjodikoro, memakai istilah “het
verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan
hukum perikatan, demikian juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,
memakai istilah “hukum perutangan” untuk “verb intenissenrecht” .(R.
Soetojo , 1979; 10).
Dari uraian di
atas, maka dapat dikatakan, bahwa untuk istilah “verbintenis”dikenal
adanya tiga istilah untuk menterjemahkannya yakni; “perikatan, perutangan, dan
perjanjian”, akan tetapi dalam berbagai perkuliahan di Fakultas Hukum yang ada
di Indonesia, penggunaan terjemahan istilah “verbintenis” tersebut
lebih cenderung menggunakan istilah perikatan untukverbintenis tersebut,
demikian juga halnya dalam tulisan ini digunakan istilah perikatan untuk
menterjemahkan verbintenis dimaksud. Beranjak dari uraian di atas, jika
dikaitkan dengan adanya ketidak samaan pendapat tentang terjemahan istilah
verbintenis tersebut, hal ini berpengaruh terhadap perumusan perikatan, karena
di dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pngertian perikatan secara
yuridisnya, oleh karena untuk merumuskan tentang perikatan dapat dipedomani
beberapa pendapat para ahlinya.
Berkaitan
dengan itu, menurut Hofmann, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum
antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu seorang
atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan
dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang
berhak atas sikap demikian itu”. Selanjutnya Pitlo mengatakan, bahwa “perikatan
adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau
lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Sementara itu, menurut
Abdulkadir Muhammad;.”Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi
antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan.
Soediman Kartohadiprodjo, juga merumuskan perikatan tersebut dengan; “suatu
hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih,
atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban
(debitur) atas sesuatu prestasi”. Demikian juga halnya, menurut R.Setiawan,
bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang
diatur dan diakui oleh hukum. (R.Setiawan, 1994; 2).
Dari berbagai pengertian atau rumusan perikatan
sebagaimana dikemukakan para ahli di atas, dapat dikatakan, bahwa perikatan
tersebut pada dasarnya merupakan hubungan hukum yang artinya hubungan yang di
atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak,
yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat satu dan kewajiban,
misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau melahirkan satu atau
beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis perjanjian yang
diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat saja dilahirkan karena
adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-udanglah yang menegaskan, di
mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan
atau hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar hukum.
Hubungan hukum sebagaimana dimaksudkan, harus dibedakan
dengan hubungan lainnya yang ada di dalam pergaulan masyarakat, seperti
pergaulan yang berdasarkan etika dan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan.
Penyimpangan terhadap hubungan tersebut, tidak menimbulkan akibat hukum,
misalnya; janji untuk bertemu dengan pasangan, janji untuk pergi kuliah bersama
dan lain-lain yang pada dasarnya berada diluar lingkungan hukum dalam arti, hal
ini bukan merupakan perikatan atau hubungan hukum.
B.
SUMBER HUKUM PERIKATAN
a.
Perjanjian
Menurut
ketentuan pasal 1233 KUHPdt. perikatan dapat timbul baik karena perjanjian
maupun karena Undang-Undang. Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa
sumber perikatan itu adalah perjanjian dan undang – undang.
Dalam
perikatan yang timbul karena perjanjian, pihak – pihak dengan sengaja dan bersepakat saling
mengikatkan diri, dalam perikatan mana timbul hak dan kewajiban yang perlu
diwujudkan . hak dan kewajiban ini berupa prestasi. Pihak debitur berkewajiban
memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi. Adapun setelah
terjadi perjanjian, baik debitur maupun kreditur memiliki beberapa tanggung
jawab. Adapun tanggung jawab dapat dibedakan :
·
Tanggung Jawab
Perikatan itu
akan timbul kalau tidak kalu tidak ada perbuatan berjanji (perjanjian).
Perjanjian tidak akan ada kalu tidak ada
persekutuan (kesepakatan) antara pihak – pihak. Perikatan tidak akan ada
artinya kalau prestasi tidak dapat atau tidak mungkin diwujuskan. Untuk
mewujudkan prestasi itu perlu ada tanggung jawab. Dalam setiap perjanjian,
kewajiban pihak – pihak selalu disertai tanggung jawab menurut hukum.
·
Perikatan Tanpa Tanggung Jawab
Sebuah
perikatan tanpa tanggung jawab dapat terjadi apabila pihak yang kalah tidak
dapat memenuhi kewajibannya berprestasi, yaitu membayar kepada pihak yang
menang, pihak yang menang ini tidak dapat mewujudkan prestasinya tersebut.
sebab kewajiban berprestasi pihak yang kalah itu tidak disertai dengan tanggung
jawab.
·
Kewajiban Berprestasi Dapat Dipaksakan
Sebagian besar
perikatan yang terdapat dalam masyarakat timbul karena perjanjian. Karena itu
Undang – Undang mengatur bahwa perjanjianyang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang – Undang (pasal 1338 ayat 1 KUHPdt). Artinya jika salah satu pihak
memungkiri, maka kewajiban berprestasi itu dapat dipaksakan. Jika yang
memungkiri itu tidak bersedia mewujudkan prestasinya, pihak lain dapat
mengajukan perkaranya ke muka pengadilan, dan pengadilan akan memaksakan
perwujudan prestasinya itu dengan denga menyita dan melelang harta kekayaannya
sejumlah yang harus dipenuhinya terhadap pihak yang lain itu.
b.
Undang – Undang
Selain
daripada perjanjian, perikatan itu dapat timbul karena undang – undang.
Perikatan yang timbul karena undang – undang ini dalam pasal 1352 KUHPdt
diperinci menjadi dua, yaitu perikatan yang timbul semata – mata karena ditentukan
undang – undang, dan perikatan yang timbul karena perbuatan orang.
Dalam pasal
1353 ditentukan juga bahwa perikatan yang timbul dari perbuatan orang ini
diperinci lagi menjadi perikatan yang timbul dari perbuatan menurut hukum dan
perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.
Dalam
perikatan yang timbul karena undang – undang, hak dan kewajiban pihak – pihak
itu ada, karena ditetapkan oleh undang – undang. Kewajiban berprestasi yang
disertai tanggung jawab debitur diatur dan ditetapkan dalam undang – undang.
c.
Kesusilaan
Tidak hanya
perbuatan yang diperjanjikan saja atau pun perikatan yang diatur dalam undang –
undang saja, melainkan perikatan dapat juga timbul dari sebuah moral/kesusilaan
atau kepatutan yang telah dipahami dalam masyarakat. Tanggung jawab debitur
juga didasarkan pada prikemanusiaan.
C.
PRESTASI
Pasal 1234
KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian
Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan: “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan
sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang
bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai
pada saat penyerahan”.
Dari pasal
tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian
“memberi sesuatu” mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk
memeliharanya hingga waktu penyerahannya.
Istilah
“memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata
tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. Penyerahan
kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian.
2. Penyerahan hak
milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan
penyerahan yuridis.
Wujud prestasi yang
lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu
adalah melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan
sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak
telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana
mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui
bahwa debitur tidak bersedia melakukan atau menolak
memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Salah satu
unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan, yakni
suatu prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam:
1. Memberikan
sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
2. Berbuat
sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu
lukisan untuk pemesan.
3. Tidak berbuat
sesuatu, misalnya perjanjian tindak akan mendirikan suatu bangunan, perjanjian
tidak akan menggunakan merk dagang tertentu.
Prestasi dalam
suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat:
1. Suatu prestasi
harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan
jenisnya, tanpa adaya ketentuan sulit untuk menentukan apakah debetur telah
memenuhi prestasi atau belum.
2. Prestasi harus
dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat
mengadakan tuntutan.
3. Prestasi harus
diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4. Prestasi harus
mungkin dilaksanakan.
D.
WANPRESTASI
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang
diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya
kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
- Karena
kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun
karena kelalaian,
- Karena
keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan
debitur. Debitur tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah
melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur
dikatakan sangaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
1. debitur tidak
memenuhi prestasi sama sekali,
2. debitur
memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik atau keliru,
3. debitur
memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan
wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tanggang
waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur
sepaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tanggang
waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai
dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitur agar ia memenuhi
prestasinya? Debitur perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan
bahwa debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam
waktu itu debitur tidak memenuhinya, debitur dinyatakan telah lalai atau
wanprestasi. Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga
secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui
Pengdilan Negeri yang berwenang, yang disebut “somatie”. Kemudian
Pengadilan Negeri melalui perantaraan Jurusita menyampaikan surat peringatan
tersebut kepada debitur, yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan
tertulis tidak resmi misalnya melalui suart tercatat, telegram, atau
disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debiotur dengan tanda terima. Surat
peringatan disebut “ingebreke stelling”.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan
wanprestasi adalah hukuman atau saksi hukum berikut ini:
1. Debitur
diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (pasal
1243 KUH Perdata),
2. Apabila
perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan/pembatalan
perikatan melalui Hakim (pasal 1266 KUH Perdata),
3. Dalam
perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko berlaih kepada debitur sejak terjadi
wanprestasi (pasal 1237 ayat 2),
4. Debitur
diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan
disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUH Perdata),
5. Debitur wajib
membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan Negeri, dan debitur
dinyatakan bersalah,
6. Keadaan
Mamaksa (overmacht).
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi
oleh debitur karena peristiwa yang yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat
diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur
tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbul diluar kemauan dan
kemampuan debitur. Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
1. Tidak
dipenuhinya prestasi karena terjadi
peristiwa yang
membinasakan/ memutuskan benda objek perikatan; atau
·
Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang
menghalangi perbuatan debitur untuk berprstasi,
·
Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan
terjadi pada waktu membuat perikatan.
Dalam hal ini keadaan memaksa yang memenuhi unsur satu
dan tiga, maka keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar
menyebutnya dengan absolute overmacht. Dasarnya ialah ketidakmungkinan
(impossibility) memenuhi prestasi, karena bendanya lenyap/musnah. Misalnya jual
beli lukisan karapan sapi karya Afandi, ketika akan diserahkan kepada pembeli
di sebuah hotel, lukisan tersebut terbakar habis bersama-sama mobil yang
membawanya karena kecelakaan lalu lintas. Peristiwwa ini mengakhiri perikatan
karena tidak mungkin dapat dipenuhi oleh debitur.
BAB III
KESIMPULAN
Para ahli merumuskan perikatan bermacam – macam seperti
disebutkan dibawah ini :
1)
Abdulkadir Muhammad “Perikatan adalah hubungan hukum yang
terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan”.
2)
Soediman Kartohadiprodjo, juga merumuskan perikatan
tersebut dengan; “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan
pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”.
3)
Demikian juga halnya, menurut R.Setiawan, bahwa
“perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur
dan diakui oleh hukum.
Adapun sumber – sumber hukum perikatan terbagi atas :
a) Perjanjian
·
Tanggung Jawab
·
Perikatan Tanpa Tanggung Jawab
·
Kewajiban Berprestasi Dapat Dipaksakan
b) Undang –
Undang
c) Kesusilaan
Prestasi dalam Pasal 1234
KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Wanprestasi artinya tidak
memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan
alasan, yaitu:
- Karena kesalahan debitur, baik
dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian,
·
Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure,
jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni,
Jakarta,1982.
http://audiiayu.wordpress.com/2013/04/14/makalah-hukum-perjanjian/
No comments:
Post a Comment