PEMBAHASAN
A.
Kriteria
Pengangkatan Hakim
Hakim
dalam berbagai kajian makna, sangat variatif dan filosofis. Kata “hakim Al-Hakim”
sejatinya bermakna yang membuat hukum yakni Allah. Kata ini sering
ditemukan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh atau filsafat hukum Islam. Akan
tetapi, makna hakim seiring dengan dinamika bahasa, dimaknai sebagai jabatan di
pengadilan. Orang yang memutuskan dan menetapkan masalah di pengadilan saat ini
disebut hakim. Jabatan tertinggi dan terhormat tentunya sarat dengan kriteria dan
kualifikasi yang harus dipenuhi sebagai hakim.[1]
Dalam
UU No. 1 Tahun 1974, dijelaskan kriteria menjadi Hakim adalah sebagai berikut:
a)
Jujur,
b)
Merdeka,
c)
Berani
mengambil keputusan,
d)
Bebas
pengaruh baik dari dalam maupun dari luar.[2]
Melihat
unsur yang dijelaskan diatas, dalam analisis Alie Yafie, paling tidak terdapat
tiga syarat utama yang harus dipenuhi untuk menjadi Hakim: persyaratan jasmani,
persyaratan rohani, dan persyaratan ilmiah.[3]
B.
Syarat
Pengangkatan Hakim
Hakim
sebagai pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman, mempunyai tugas yang amat berat.
Untuk itu tidak sembarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat diangkat untuk
menduduki jabatan Hakim, melainkan harus menjalani tes penyaringan yang cukup
ketat dan berat. Syarat-syarat seseorang untuk dapat mengikuti tes penyaringan,
selain harus berpengalaman sebagai PNS yang cukup lama, dan pernah menduduki
jabatan fungsional di kepaniteraan serta berpangkat cukup tinggi[4], Pasal 13 ayat (1) UU No.
7 Tahun 1989 mensyaratkan sebagai berikut:
a)
Warga
Negara Indonesia.
b)
Beragama
Islam.
c)
Bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
d)
Setia
kepada Pancasila dan UUD 1945.
e)
Bukan
bekas anggota terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi masanya
atau bukan seseorang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam “Gerakan
Kontra Revolusi G.30 S/PKI”, atau organisasi terlarang yang lain.
f)
Pegawai
Negeri. Dalam hal ini telah memiliki pengalaman jabatan fungsional di
Kepaniteraan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Tinggi Agama.
g)
Sarjana
Syari’ah atau Sarjana Hukum yang menguasai Hukum Islam.
h)
Berumur
serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima tahun) tahun.
i)
Berwibawa,
jujur, adil dan berkelakuan tediak tercela.[5]
Untuk
dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama, menurut Pasal 14
ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 1989, selain ia memenuhi syarat diatas, ia juga
harus:
a)
Berumur
serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun.
b)
Berpengalaman
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan
Agama atau 15 (lima belas) tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Agama.
c)
Lulus
eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.[6]
d)
Untuk
diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama harus berpengalaman paling
singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim Pengadilan tinggi Agama atau 3 (tiga)
tahun bagi hakim Pengadilan Agama yang pernah menjabat ketua Pengadilan Agama.
Sebelum
melaksanakan tugas sebagai Ketua, Wakil Ketua, Hakim wajib mengucapkan sumpah
jabatan menurut Agama Islam yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 17 Tahun
1989 yang berbunyi:
“Demi Allah,
saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau
tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.”
“Saya bersumpah
bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini,
tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
suatu janji atau pemberian.”
“Saya bersumpah
bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala
Undang-Undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik
Indonesia.”
“Saya bersumpah
bahwa saya senantiasa menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama, dan dengan
tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang hakim
Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan.” [7]
Adapun
pejabat yang berwenang mengambil sumpah jabatan ini diatur dalam Pasal 44 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4). Pengambilan sumpah Hakim pada lingkungan Peradilan
Agama terbagi menjadi:
a)
Pengambilan
sumpah jabatan Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama dilakukan oleh Ketua
Pengadilan Agama.
b)
Pengambilan
sumpah jabatan Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama dilakukan oleh
Ketua Pengadilan Tinggi Agama.
c)
Pengambilan
sumpah jabatan Ketua Pengadilan Tinggi Agama dilakukan oleh Ketua Mahkamah
Agung.[8]
C.
Kode
Etik Hakim
Setiap
jabatan termasuk hakim memiliki kode etik dalam menjalankan tugasnya baik yang
bersangkutan dengan jabatannya sebagai Hakim maupun dalam perannya sebagai
anggota masyarakat. Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang disahkan oleh
Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial disepakati secara bersama kode
etik Hakim terdiri dari 10. Adapun prinsip kode etik bagi Hakim
diimplementasikan dalam poin berikut:
a)
Berperilaku adil
b)
Berperilaku jujur dan mendengarkan
kedua belah pihak
c)
Menunjukkan sikap yang arif dan
bijaksana, yaitu kemampuan untuk bertindak sesuai dengan norma-norma yang
dianut oleh masyarakat, baik norma hukum, norma agama, adat atau etika, dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi
d)
Bersikap mandiri
e)
Mempertahankan dan menunjukkan
integritas yang tinggi
f)
Bertanggung jawab, yaitu menerima
konsekuensi tindakan yang diambil dalam kinerja maupun pelaksanaan
kewenangannya
g)
Menjunjung tinggi harga diri
h)
Berdisiplin tinggi
i)
Berprilaku rendah hati
j)
Bersikap profesional.[9]
Dalam aturan yang tertuang dalam
Pasal 17, seorang Hakim dilarang merangkap jabatan menjadi:
a) Pelaksana
putusan Pengadilan,
b) Wali
pengampu, dalam hal ini yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa olehnya,
c) Pengusaha,
d) Penasihat
Hukum.[10]
D.
Hak
Imunitas Hakim
Salah atau
benar putusan yang dijatuhkan Hakim harus dianggap benar dan adil, apabila
putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van
gewisjsde).
Hakim tidak
dapat dituntut dan dipersalahkan atas pelaksanaan menjalankan fungsi dan
kewenangan peradilan meskipun melampauai batas kewenangan (ultra vires),
keliru menerapkan hukum (malpractice), melanggar proses beracara (procedural
error).[11]
E.
Pemberhentian
Hakim
Pemberhentian
dengan hormat diatur dalam Pasal 18 UU No. 3 Tahun 2006[12] yang sama bunyinya dengan
Pasal 18 UU No. 7 Tahun 1989, Pasal 19 UU No. 2 Tahun 1986, dan Pasal 19 UU No.
5 Tahun 1986. Dengan demikian alasan yang mendasari pemberhentian Hakim untuk
lingkungan Peradilan Agama serupa dengan alasan yang ditentukan dalam
lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.[13]
·
Dengan
Hormat
Adapun
pemberhentian dengan hormat jabatan Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan
Agama dilakukan atas dasar:
a)
Permintaan
sendiri.
b)
Sakit
jasmani dan rohani terus-menerus
c)
Telah
berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan
Agama, dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pengadilan Tinggi Agama
d)
Ternyata
tidak cakap dalam menjalankan tugasnya
e)
Ketua,
Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.[14]
·
Dengan
Tidak Hormat
Meskipun
Hakim merupakan seorang pejabat hukum bukan berarti manusia kebal hukum. Oleh
karena itu, apabila seorang Hakim melakukan tindak pidana, kepadanya dapat dilakukan
tindakan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan sebagaimana diatur dalam
Pasal 19 dan 21 KUHAP. Hanya prosedur yang agak berbeda dengan upaya paksa yang
dilakukan terhadap orang lain. Menurut Pasal 25, pada prinsipnya penangkapan
atau penahanan seorang hakim memerlukan formalitas khusus atau persyaratan
khusus berupa:
o Harus berdasar perintah Jaksa Agung,
o Setelah lebih dulu mendapat persetujuan
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama.[15]
Itulah
prinsip umum prosedur penangkapan atau penahanan seorang Hakim, kecuali dalam
hal-hal tertentu. Dalam hal-hal tertentu prinsip tersebut tidak berlaku. Yang
berlaku ialah tata cara upaya paksa biasa sebagaimana yang berlaku untuk setiap
orang. Berarti dalam hal-hal tertentu penangkapan atau penahanan dapat
dilakukan berdasarkan perintah pejabat penyidik Polri tanpa persetujuan Mahkamah
Agung dan Menteri Agama, apabila Hakim yang bersangkutan:
o Tertangkap tangan melakukan tindak
pidana kejahatan,
o Disangka telah melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana mati,
o Disangka telah melakukan tindak
kejahatan terhadap keamanan Negara.[16]
Apabila Hakim yang bersangkutan
jelas-jelas terbukti melakukan tindak pidana maupun melanggar sumpah jabatan
sebelumnya, maka pemberhentian dengan tidak hormat dapat berlaku pada Hakim
tersebut. Adapun mengenai aturan yang mengatur pemberhentian jabatan dengan
tidak hormat diatur dalam Pasal 19 UU No. 7 Tahun 1989 yaitu sebagaimana
berikut:
a)
Dipidana
karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, yakni pidana penjara
sekurang-kurangnya 3 bulan,
b)
Melakukan
perbuatan tercela,
c)
Terus
menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya,
d)
Melanggar
sumpah jabatan,
e)
Melanggar
larangan rangkap jabatan yang diatur dalam pasal 17.
Dalam
penjelasan sebelumnya, seorang Hakim adalah jabatan yang memiliki kedudukan
sebagai pegawai negeri. Apabila pemberhentian dengan tidak hormat telah berlaku
pada Hakim tersebut, tidak serta merta juga melenyapkan kedudukannya sebagai
pegawai negeri. Melainkan dengan tahapan. Jabatan Hakimnya dulu dicabut dan
diberhentikan. Setelah itu baru boleh dilakukan pemberhentian sebagai pegawai
negeri. Atau jabatan Hakimnya diberhentikan, namun kedudukannya sebagai pegawai
negeri tetap berlanjut.[17]
KESIMPULAN
1.
Kriteria
Hakim diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974.
2.
Syarat
pengangkatan Hakim pada lingkungan Pengadilan Agma diatur dalam Pasal 13 ayat
(1) UU No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 1989 pada
lingkungan Pengadilan Tinggi Agama.
3.
Kode
etik Hakim pada lingkungan Pengadilan Agama disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung
dan Ketua Komisi Yudisial yang ditandatangani pada tanggal 08 April 2009 di
Jakarta.
4.
Larangan
rangkap jabatan seorang Hakim, diatur dalam Pasal 17.
5.
Hak
imunitas Hakim ialah sebuah kekuatan hukum yang apabila Hakim telah membuat
keputusan baik itu benar atau salah, maka keputusan Hakim harus dianggap benar,
apabila keputusan tersebut telah memiliki kuatan hukum yang tetap (in kracht
van gewisjsde) .
6.
Pemberhentian
secara hormat yang Hakim yang bersangkutan diatur sepenuhnya dalam Pasal 18 UU
No. 3 Tahun 2006 dengan memperhatikan berbagai pertimbangan dari pejabat
terkait.
7.
Apabila
Hakim terbukti bersalah melakukan tindak pidana dan melanggar sumpah jabatan,
maka pemberhentiannya diatur dalam 19 UU No. 7 Tahun 1989.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamami,
Taufiq, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di
Indonesia, PT. Alumni: Bandung, 2003.
Harahap,
M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika:
Jakarta, 2003.
Supriyadi,
Dedi, Perbandingan Fiqh Siyasah, Pustaka Setia: Bandung, 2007.
Tri
Wahyudi, Abdullah, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2004.
[1] Dedi Supriyadi, Perbandingan
Fiqh Siyasah, (Pustaka Setia: Bandung, 2007), 199.
[3] Ibid, 201.
[4] Taufiq
Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di
Indonesia, (PT. Alumni: Bandung,
2003), 57.
[7] M. Yahya Harahap, Kedudukan
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Sinar Grafika: Jakarta, 2003),
122-123.
[8] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan
Agama di Indonesia, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004) 71.
[9] http://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/kode_etik_hakim.pdf, Akses tanggal 12 Mei 2013 08:04
[10] Harahap, 123.
[14] Supriyadi, 207-208.
[15] Harahap, 123.
[16] Ibid.
[17] Harahap, 122.
No comments:
Post a Comment