Pengetahuan
Menurut Karl R. Popper
PENDAHULUAN
Sejarah
tentang perkembangan ilmu merupakan suatu kisah kesuksesan dan kemenangan
pengetahuan dalam mengalahkan kebodohan. Salah satu pendorong keberhasilan
tersebut ialah adanya natural curiosity
(rasa ingin tahu secara alamiah) yang amat besar pada diri manusia dan anugrah
kemampuan akal yang dapat mengelola dan merekam setiap pengetahuan yang
diperolehnya. Perkembangan ilmu seperti sekarang ini tidak berlangsung secara
mendadak melainkan melalui proses panjang secara bertahap dan melintasi rute
perjalanan, separti halnya dalam metode penelitan butuh waktu untuk
menyelesaikan suatu permasalahan.
Penelitian
adalah terjemah dari bahasa inggris: reseach
yang berarti usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan
suatu metode tertentu dengan cara
hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat
digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.
Metode
penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan
terhadap segala permasalahan. Dimana penelitian dikenal adanya beberapa macam
teori untuk menerapkan salah satu metode yang relevan terhadap permasalahan
tertentu, untuk itu dalam makalah ini akan dibahas secara khusus tentang pengetahuan
menurut karl poper.
Dalam makalah ini kami memfokuskan
perhatian pada: Riwayat Hidup Karl Popper, Karya-karya Karl Popper, Testing
Pemikiran Karl Popper, Kritik Terhadap Pemikiran Karl Popper.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup dan karya Karl Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 21 Juli
1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr. Simon S.C. Popper, seorang
pengacara yang meminati filsafat dan masalah social. Masa remajanya di kota
Wina merupakan masa yang cukup menentukan arah perkembangan pribadi dan
intelektualnya. Masa pendidikan dilalui selama periode tahun 1920-an di kota
tersebut. Popper memulai pendidikan ilmiah formalnya sebagai murid privat.
Bidang-bidang pelajarannya cukup luas, namun Popper lebih memfokuskan
perhatiannya pada bidang matematika dan fisika teoretis. Pada tahun 1925,
Popper mengikuti kursus lanjutan di Institut Pedagogi, cabang dari Universitas
Wina dan pada masa itu pula ia bertemu dengan calon istrinya.
Pada tahun 1928, Popper meraih gelar Doktor dengan
judul disertasi : Masalah Psikologi dalam Psikologi Pemikiran. Popper merasa
tidak puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari bidang
epistemologi yang dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan. Usahanya
ini semakin intentif ketika ia berjumpa dengan positivisme logis dari lingkaran
Wina. Popper bukan termasuk dalam lingkaran Wina, sebab dia merupakan kritikus
paling tajam terhadap gagasan-gagasan lingkaran Wina.
Popper yang berdarah Yahudi, harus meninggalkan tempat
kelahirannya sebab pada waktu itu Jerman di bawa penguasanya Hitler telah
menduduki tempat itu. Popper pindah ke Selandia Baru dan mengajar di
Universitas Christchurch. Ia pun tidak menetap di sana, sebab pada tahun1945,
ia pindah ke Inggris dan mengajar di London School of Economics. Karl Popper
menginggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di London Selatan akhibat
penyakit jantung. Adapun beberapa karya tulisnya yang terbesar antara lain
sebagai berikut: The Poverty of Historicism (1945); The Logic of Scientific
Discovery (1959); Conjectures and Refutations: The Growt of Scientific
Knowledge (1963).[1]
B.
Karya-karya Karl Popper
1.
Logik der Forschung. Julius Springer Verlag,
Vienna, 1935
2.
.The Open Society and
Its Enemies. (2 Vols). Routledge, London, 1945.
3.
The Logic of Scientific
Discovery. (translation of Logik der Forschung). Hutchinson, London, 1959.
4.
Conjectures and
Refutations: The Growth of Scientific Knowledge. Routledge, London, 1963.
5.
The Poverty of
Historicism (2nd. ed). Routledge, London, 1961.
6.
Objective Knowledge: An
Evolutionary Approach. Clarendon Press, Oxford, 1972.
7.
Unended Quest; An
Intellectual Autobiography. Fontana, London, 1976.
8.
‘A Note on
Verisimilitude’, The British Journal for the Philosophy of Science 27, 1976, 147-159.
9.
The Self and Its Brain:
An Argument for Interactionism (with J.C. Eccles). Springer International,
London, 1977.
10. The Open Universe: An Argument for Indeterminism. (ed.
W.W. Bartley 111). Hutchinson, London, 1982.
11. Realism and the Aim of Science. (ed. W.W. Bartley
III). London, Hutchinson, 1983.
12. The Myth of the Framework: In Defence of Science and
Rationality. Routledge, London, 1994.
13. Knowledge and the Mind-Body Problem: In Defence of
Interactionism. (ed. M.A. Notturno). Routledge, London, 1994.[2]
C.
Testing Pemikiran Menurut Karl Popper
Meski
Karl Raimund Popper, selanjutnya disebut Popper banyak mengenal anggota
Lingkaran Wina (Vienna Cirle) yang cenderung pada positivisme logis, dan sering
melakukan kontak (misalnya dengan Viktor Karft dan Herbert Feigl), namun ia
tidak pernah menjadi anggota kelompok tersebut, bahkan ia tidak pernah
menghadiri pertemuan-pertemuan tersebut. Ia sendiri melontarkan pemikirannya
disebabkan penolakannya terhadap pemikiran-pemikiran kelompok tersebut, dan ia
menyebut dirinya sebagai kritikus paling tajam terhadap mereka pemikiran
filosof Popperr meliputi antara lain persoalan induksi, verifikasi, konjektur,
demarkasi, falsifikasi, dan dunia tiga.[3]
Popper
mengemukakan bahwa sistem
ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokkan kedalam tiga dunia (Word), yaitu
Dunia 1, Dunia 2, Dunia 3. Popper manyatakan bahwa Dunia 1 merupakan kenyatakan
fisis dunia, sedangkan Dunia 2 adalah kejadian dan kenyataan psikis dalam diri
manusia, dan Dunia 3 yaitu hipotesa, hukum. Teori ciptaan manusia dan hasil
kerjasama antara Dunia 1 dan Dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni,
metafisik, agama, dan lain sebagainya. Menurut Popper Dunia 3 itu hanya ada
selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang
sedang berlangsungan, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri
paea seniman, dan penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka.
Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung “mengendap” dalam bentuk fisik
alat-alat ilmiah, buku-buku, karya seni, dan lain sebagainya. Semua itu
merupakan bagian dari Dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan sisa dunia 3
dalam dunia 1 itu. Maka Dunia 2-lah yang membuat manusia bisa membangkitkan
kembali dam mengembangkan Dunia 3 tersebut. Menurut Popper Dunia 3 itu mempunyai
kedudukannya sendiri. Dunia 3 berdaulat (autonomous), artinya tidak semata-mata
begitu saja terikat pada Dunia 1, tetapi sekaligus tidak terikat juga pada
subjek tertentu. Maksudnya Dunia 3 tidak terikat pada Dunia 2, yaitu pada orang
tertentu, pada suatu lingkungan masyarakat maupun pada periode sejarah
tertentu. Dunia 3 inilah yang merupakan dunia ilmiah yang harus mendapat
perhatian para ilmuwan dan filsuf. Kalau diskematisasikan, maka hubungan antara
ketiga dunia tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.[4]
Kenyataan fisis Dunia
|
Kenyataan psikis dalam diri manusia
|
Hipotesa Hukum, Teori (ciptaan manusia)
|
Studi Ilmiah
|
Karya Ilmiah
|
Penelitian Ilmiah
|
v PERKEMBANGAN PENGETAHUAN MANUSIA
Oleh
popper perkembangan pengetahuann manusia berasal dari permasalahan manusia dan
usaha untuk memecahkan permasalahan tersebut. Usaha ini dimulai dengan
perumusan teori jika tidak ada teori maka dicari pengetahuan lain dimana
dibutuhkan imajinasi yang kreatif dan mandiri dalam perumusan teori.
Dan oleh
Popper pusat dari permasalaan ilmu pengetahuan tertinggi adalah mengenali
ilmuan sebagai pemecah masalah. Sejak ilmuwan dengan permasalahan bukan dengan
pengamatan. Popper membantah satu-satunya teknik logis adalah bagian integral
metode kritikan yaitu mengurangi uji coba teori sehingga disampaikan hipotesa
yang bersifat sementara. Kesimpulan sementara ini apakah dipalsukan atau
menguatkan. Mengapa ? Karena hanya suatu minat, harapan dan berbagai keinginan
Bagaimana
bekerja menggunakan prosedur ?
a.
Secara formal Jika bertentangan uji coba konsistensi internal dari sistem
teori,
b.
Semiformal. Aksioma teori untuk membedakan yang empiris dan unsur logis maka
dibuat format logis dari teori. Kegagalan format logis, mengarahkan pencarian
kedata empiris yang sebenarnya tidak ada, sehingga dicari teori yang bersifat
analitik ( berdasarkan purbasangka dan unsur buatan untuk membedahkan keduanya
)
c. Membandingakn
teori baru dengan yang sudah ada. Apakah suatu kemajuan. Jika tidak, jangan
diadopsi. Jika “ya” merupakan suatu kemajuan dari teori yang telah ada (
diadopsi ).
Popper
menekankan jika suatu teori lebih baik dibanding denan teori lain hanya bisa
diuji secara deduktif bukan secara induktif. Karena deduktif tidak dipalsukan
mempunyai isi empiris dan prediktif yang lebih besar.
Contoh
teori newton grafitasi universal diganti teori relatifitas Einsteins. Popper
melihat ini, merupakan sifat alami pengetahuan, disetiap waktu ada yang
berlawanan, dilain waktu menyelaraskan lebih teori sebelumnya, Kalau tidak ada
pembandingnya, teori terakhir untuk sementara diadopsi.
Singkatnya Teori X menjadi lebih baik dibanding teori (a) menyaingi teori
Y, jika X mempunyai isi empiris lebih benar dan karenanya kuasa bersifat
prediksi lebih besar dibanding Y.
Maka
ilmuwan akan mengambil teori yang tidak bisa diturunkan lagi atau mengambil
yang sementara diperdebatkan, jika ramalan baru membuktikan maka teori baru
dibenarkan diadopsi secara aktif jika ramalan tidak membuktikan mereka
memalsukan teori. Perkembangan selanjutnya filosofi ilmu pengetahuan oleh
Popper yang juga ditunjukan oleh Humes adalah semua pengetahuan diperoleh dari
pengalaman yang universal.
Penekanan popper tentang pentingnya roh yang kritis ke ilmu pengetahuan
merupakan inti sari dari rasionalita sebab pemikiran kritis dapat menghapuskan
teori sumbang/palsu dan menetapkan teori yang terbaik dari yang tersedia.
Karena bersifat menjelaskan dan bersifat prediksi
Mengenai masalah falsifikasi, Popperlah yang
memperkenalkan sebagai pelengkap epistemologi positivistik. Dengan batasan yang
sangat ketat antara pengetahuan ilmiah dan bukan ilmiah, yaitu testabilitas,
refutubilitas, verifikasi dan falsifikasi, maka epistemologi positivistik
menjadi kokoh. Popper tidak puas atas tuntutan empiris yang hanya melalui
verifikasi tanpa falsifikasi. Sebab, hukum ilmiah pada dasarnya merupakan
hipotesis atau merupakan dugaan belaka, yang perlu pengujian dengan metode
“trial and error”. Semakin sering dan semakin berhasil suatu hipotesa itu diuji
(mendapatkan konfirmasi) maka semakin besar kebenarannya.
Hal itulah yang sering dianggap sebagai pemecah kemacetan
pendekatan induksi yang menjadi dasar metode kualitatif. Induksi yang selalu
terbatas pada sejumlah hal yang terhingga, tidak mungkin dijabarkan dalam
pernyataan umum. Sebaliknya, pernyataan umum tidak dapat diverifikasikan oleh
suatu proses verifikasi yang terhingga. Popper, tidak percaya akan metode
“generalisasi” yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan berasal dari observasi
dan dari observasi itu diturunkan teori-teori melalui cara induksi atau
generalisasi (Vredenbregt, 1985: 3). Dengan demikian cara induksi dianggap
tidak berperan dalam epistemologi atau metode ilmiah.
Dengan falsifikasi, seseorang teorisi selalu akan memilih
teori yang akan ditolak, dengan pengertian bahwa ia akan menerima unsur-unsur
teori lama itu yang ternyata dapat bertahan melalui pengujian dan sekaligus
menjelaskan di mana teori lama itu gagal dan sekaligus di mana teori itu
berhasil. Teori baru itu akan tetap dipegang selama ternyata dapat bertahan
terhadap pengujian, dan akan digugurkan apabila ternyata tidak cocok.
Pemikiran Popper memiliki tiga unsur. Pertama, sebagai
metode untuk testing hanya bisa digunakan metode deduksi. Kedua, kekuatan teori
tidak dapat diukur berdasarkan verifikasi, melainkan hanya mungkin berdasarkan
falsifikasi. Ketiga, pengetahuan tidak dapat dicari dasarnya pada observasi,
melainkan hanya mungkin pada teori yang diajukan sebagai ikhtisar pemecahan
masalah.[6]
Rasionalisme kritis merupakan kecenderungan dalam
filsafat eropa dan amerika yang prinsip utamanya dirumuskan oleh Popper (dia
mencetuskan istilah Rasionalisme Kritis). Sistem ini sering disebut dengan
falsifikasional[7].
Jika situasi ini benar dalam tahap paling awal dalam penemuan maka kurang benar
dalam kasus pembeneran (justification) itu sendiri. Disini lagi, tahun 1920
sampai seterusnya, perdebatan dalam filsafat ilmu sangat terfokus pada dua
posisiyang bertentagan secara tajam dan jika ditinjau dari belakang keduanya
tampak terlalu sempit.[8]Popper
seorang filsuf kontemporer yang melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi
berupa sifat pembeneran (justification) terhadap teori yang telah ada.
Ia mengajukan prinsip falsifikasi yang dapat diurai sebagai berikut.
Pertama, Popper
menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan
kebenarannya melalui prinsip verifikasi, sebagaimana yang dianut oleh kaum
positivistic. Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis (dugaan sementara),
tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh
teori yang lebih cepat.
Kedua, cara kerja metode induksi yang secara sistematis
dimulai dari pengamatan (observasi) secara teliti gejala yang sedang
diselidiki. Pengamatan yang berulang-ulang itu akan memperlihatkan adanya
cirri-ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu
dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti empiris yang dapat mendukungnya.
Hipotesa yang berhasil dibenarkan akan berubah menjadi hokum. Popper menolak
cara kerja diatas, terutama pada asas verifisbilitas, bahwa sebuah pernyataan
itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti pengamatan empiris.
Ketiga, Popper menawarkan pemecahan baru dengan
mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat
dibuktikan kesalahannya. Maksudnya, sebuah hipotesa, hokum, ataukah teori
kebenarannya hanya bersifat sementara, sejauh belum ditemukan
kesalahan-kesalahan yang ada didalamnya. Jika ada pernyataan semua angsa itu berbulu
putih” melalui prinsip falsifiabilitas
itu cukup ditemukan seekor angsa yang berbulu selain putih (entah hitam,
kuning, hijau, dan lain-lain), maka runtuhlah pernyataan semula. Bagi Popper,
ilmu pengetahuan dapat berkembang maju manakala suatu hipotesa telah terbukti
salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesa baru. Namun ada kemungkinan
lain, yaitu hanya salah satu unsur baru yang lain, sehingga hipotesa telah
disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan
segala usaha penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh. [9]
PENUTUP
Popper
mengemukakan bahwa system ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokkan kedalam
tiga dunia (Word), yaitu Dunia 1, Dunia 2, Dunia 3. Popper manyatakan bahwa
Dunia 1 merupakan kenyatakan fisis dunia, sedangkan Dunia 2 adalah kejadian dan
kenyataan psikis dalam diri manusia, dan Dunia 3 yaitu hipotesa, hukum.
Mengenai masalah falsifikasi, Popperlah yang
memperkenalkan sebagai pelengkap epistemologi positivistik. Dengan batasan yang
sangat ketat antara pengetahuan ilmiah dan bukan ilmiah, yaitu testabilitas,
refutubilitas, verifikasi dan falsifikasi, maka epistemologi positivistik menjadi
kokoh. Popper tidak puas atas tuntutan empiris yang hanya melalui verifikasi
tanpa falsifikasi. Sebab, hukum ilmiah pada dasarnya merupakan hipotesis atau
merupakan dugaan belaka, yang perlu pengujian dengan metode “trial and error”.
Semakin sering dan semakin berhasil suatu hipotesa itu diuji (mendapatkan
konfirmasi) maka semakin besar kebenarannya.
Dengan falsifikasi, seseorang teorisi selalu akan memilih
teori yang akan ditolak, dengan pengertian bahwa ia akan menerima unsur-unsur
teori lama itu yang ternyata dapat bertahan melalui pengujian dan sekaligus
menjelaskan di mana teori lama itu gagal dan sekaligus di mana teori itu
berhasil. Teori baru itu akan tetap dipegang selama ternyata dapat bertahan
terhadap pengujian, dan akan digugurkan apabila ternyata tidak cocok.
DAFTAR PUSTAKA
Choiru Rofi, ahmad, “Signifikansi Teori-teori Popper, Khun, dan Lakatos
Terhadap Perkambangan Ilmu-ilmu Keislaman”,dalam Ulumunal Jurnal Keislaman, Vol
XIII No 2, 2009.
Suraji, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia,
(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), 69
Mustansyir, Rizal M.
Hum, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 153
http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/11/pemikiran-epistemologis-karl-raimund-popper/
tgl 19 sept 2012 jam 19:03
S Machfudz, Anas, Makalah-makalah
Metodhologi Penelitian, (Jakarta: Lipi), 21
Jerome R. Ravert, Filsafat
Ilmu Sjarah dan Ruang Lingkup Bahasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, maret
2004).
Ahmad Faruk, M.Fil.I, Filsafat Umum Sebuah
Penelusuran Tematis, Stain Ponorogo Press, Oktober 2009,
http://anwafi.blogspot.com/2010/12/karl-r-popper-dan-problem-filsafat-ilmu.html
TGL.19, September, 2012 JAM
18:58
[1] http://anwafi.blogspot.com/2010/12/karl-r-popper-dan-problem-filsafat-ilmu.html
Tanggal 19,
September, 2012 JAM 18:58
[2]
http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/11/pemikiran-epistemologis-karl-raimund-popper/
Tanggal 19 september 2012 jam 19:03
[3] Ahmad
Choiru Rofiq, “Signifikansi Teori-teori Popper, Khun, dan Lakatos Terhadap
Perkambangan Ilmu-ilmu Keislaman”,dalam Ulumunal Jurnal Keislaman, Vol
XIII No 2, 2009, 182
[4] Drs.
Suraji, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2010), 69
[5] Drs.
Rizal Mustansyir M. Hum, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), 153
[6] Anas S
Machfudz, Makalah-makalah Metodhologi Penelitian, (Jakarta: Lipi), 21
[7]
Ahmad Faruk, Filsafat Umum Sebuah
Penelusuran Tematis, Stain Ponorogo Press, Oktober 2009, 37
[8] Jerome
R. Ravert, Filsafat Ilmu Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, maret 2004), 169
[9] Ibid
Rizal Mustansyir, 117
No comments:
Post a Comment